Rabu, 21 Mei 2014

Harga Transfer dan Pengurangan Pajak

clip_image002

 

Disusun oleh :

Ahmad David Darissalam (11510121)

Lora Asmasari (11510)

Yayan Setyobudi (11510)

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG


Pendahuluan

Harga Transfer (harga transfer) didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan unit penjual (selling division) dan unit divisi pembeli (buying divison). Harga transfer lazimnya dipraktikkan oleh perusahaan yang organisasinya berbentuk desentralisasi dan pertanggungjawaban dilakukan melalui pusat laba (profit center) atau pusat investasi (investment center). Karena organisasi perusahaan bersifat desentralisasi maka keputusan untuk menentukan biaya produksi dan harga jual produk adalah menjadi wewenang masing-masing divisi, meskipun tidak mutlak.

Pada awalnya, Tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain. Selain itu harga transfer terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan.

Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, seringkali ditemukan transaksi antar anggota perusahaan multinasional yang tidak luput dari rekayasa harga transfer. Praktik ini dipakai untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. Bagi perusahaan berskala global (multinational corporations), harga transfer dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas. Perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax). Hal ini telah mendorong dilakukannya praktik harga transfer untuk menghindari pajak (tax avoidance). Harga transfer diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Harga transfer ini telah menuai banyak sekali masalah di berbagai negara karena dalam praktiknya mereka menggunakan hal-hal yang sangat bertentangan dengan aturan yang ada.

Bagaimana Harga Transfer Dapat Mengurangi Jumlah Pajak?

Sebagian besar transaksi yang terjadi antar anggota grup multinasional tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa transaksi, seperti penjualan barang dan jasa, lisensi, paten, penjamin utang dan seterusnya. Harga-harga yang dibebankan pada transaksi tersebut, tidak harus sama dengan harga yang berlaku di pasaran bebas. Oleh karena perusahaan multinasional memiliki posisi yang menentukan dalam hal prinsip apa yang akan digunakannya yang tentunya menguntungkan bagi grupnya, maka dapat saja perusahaan multinasional tersebut menggunakan harga yang menyimpang dari harga yang berlaku umum. Penyimpangan harga yang dimaksud adalah penyimpangan dari harga yang disebut sebagai “arm’s length price” (harga wajar) yang lazimnya berlaku dan disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi terhadap barang yang sama dan dalam kondisi yang sama pula, apabila perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan istimewa.

Perusahaan multinasional bisa saja menggunakan harga transfer yang lebih rendah dari arm’s length price untuk tujuan mengefisienkan beban pajaknya atau menggunakan harga yang lebih tinggi dari arm’s length price untuk tujuan tertentu. Apabila terjadi transaksi yang menyimpang dari arm’s length price, apakah harga lebih tinggi atau rendah, hal ini dianggap sebagai usaha untuk menggeser laba perusahaan dari satu grup ke grup lainnya dan hal ini berarti pula bahwa pajak yang terutang di kedua grup yang terlibat tersebut akan mengalami perubahan.

Banyak permasalahan yang sering dihadapi oleh perusahaan multinasional dalam perencanaan perpajakannya yang berbeda dengan peraturan pajaknya. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah perusahaan multinasional memecah-mecah penghasilan dan biaya yang dialokasikan di berbagai yurisdiksi untuk menghindari adanya pajak berganda, melalui perjanjian penghindaran pajak berganda. Penghindaran pajak berganda dapat dihindari dengan:

1) Penghasilan yang dikenakan sebaiknya hanya satu negara saja;

2) Perhitungan untuk kredit pajak dapat dilakukan dengan pajak yang terutang.

Pajak berganda dapat dikurangi dengan berbagai cara, yaitu melalui kredit pajak (tax credit), perjanjian perpajakan (tax treaties), surga pajak (tax heavens), pengecualian pajak (tax exemption) dan prinsip penangguhan (the deferral principle). Dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Kredit Pajak, wajib pajak yang dapat mengurangi jumlah pajak terutangnya yang di luar negeri dari jumlah pajak yang berdasarkan penghitungan peraturan pajak domestik. Pengurangan ini sifatnya langsung dari jumlah pajak terutang, sehingga mengurangi pajak berganda;

(2) Perjanjian Perpajakan, mengatur tentang penghasilan dari antar negara yang dikenakan pajak atau tidak dikenakan pajak oleh otoritas negara dari pengahsilan yang diperoleh atau tidak diperoleh;

(3) Surga Pajak, suatu negara yang penghasilannya rendah atau tidak ada pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh. Kebanyakan perusahaan multinasional yang mempunyai investasi atau transfer pengahasilan yang rendah menggunakan negara tax heavens untuk menggeser penghasilannya dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara tax heavens melalui harga transfer;

(4) Pengecualian Pajak, perusahaan tertentu yang tidak perlu membayar pajak penghasilan dari penghasilan yang diperolehnya;

(5) Prinsip Penangguhan, penundaan pajak penghasilan bagi perusahaan induk yang mempunyai penghasilan di luar negeri, sampai perusahaan induk tersebut diterima.

Permasalahan yang perlu ditangani bukan hanya pajak berganda, tetapi juga pajak internasional yang perlu diperhatikan karena berdampak pada keputusan manajemen, dimana investasi yang dilakukan, produk yang dipasarkan, bentuk usaha yang baik untuk komersial dan fiskal, lintas valas yang ketat atau pengembalian hasil keuntungan setelah pajak, cara pembiayaannya, termasuk masalah tentang harga transfer.

Aturan Pajak tentang Harga Transfer

Ditinjau dari perspektif perpajakan internasional, suatu perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak global mereka dengan cara memanfaatkan ketiadaan ketentuan perpajakan suatu negara yang tidak mengatur ketentuan anti penghindaran pajak (anti-tax avoidance) atau mengaturnya tetapi tidak memadai, sehingga menimbulkan peluang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan praktik penghindaran pajak.

Ketentuan anti penghindaran pajak di Negara Indonesia, diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), akan tetapi tidak diatur secara ketat seperti yang diterapkan di banyak negara. Sebagai contoh, dalam ketentuan perpajakan Indonesia tidak ada pembatasan perbandingan antara modal dan utang (Debt Equity Ratio) untuk mencegah pembebanan biaya bunga yang tidak wajar, dan juga belum ada prosedur rinci tentang Advance Pricing Agreement (APA) yang bisa diterima oleh pihak fiskus maupun Wajib Pajak sebagai jalan tengah untuk memecahkan kebuntuan pemeriksaan transaksi harga transfer yang begitu rumit dan memerlukan waktu yang lama. Oleh karena ketiadaan sebagian aturan tentang anti penghindaran pajak dalam ketentuan perpajakan Indonesia, tentu saja akan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk memperkecil beban pajak mereka.

Skema harga transfer yang sering dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah dengan cara mengalihkan laba mereka dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara yang tarif pajaknya rendah. Untuk mencegah adanya pengalihan atas laba adalah dengan berbagai macam cara antara lain:

1. Otoritas pajak di berbagai Negara membuat aturan harga transfer yang ketat seperti penerapan hukuman atau sanksi.

2. Persyaratan dokumen yang lengkap.

3. Pemeriksaan pajak terhadap perusahaan yang melakukan praktik harga transfer.

Mengenai ketentuan harga transfer, harus ditentukan Negara mana yang berhak memajaki laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya lebih dari satu Negara. Untuk perusahaan yang berorientasi pada laba, maka perusahaan multinasional akan berusaha untuk meminimalkan beban pajak melalui praktik penghindaran pajak (tax avoidance) di negara-negara yang tidak mengatur secara ketat tentang ketentuan anti penghindaran pajak. Di Indonesia, untuk menangkal skema harga transfer, maka sudah dibuat unit khusus (setingkat seksi) dalam jajaran Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, yaitu Sub Direktorat Pemeriksaan Transaksi Khusus Seksi Harga transfer. Dalam pemeriksaan harga transfer harus ada kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Agar tidak ada pemeriksaan yang dilakukan di luar koridor ketentuan perpajakan yang berlaku

Terkait dengan isu harga transfer, secara umum otoritas fiskal harus memperhatikan dua hal mendasar agar koreksi pajak terhadap dugaan harga transfer mendapat justifikasi yang kuat. Kedua hal prinsipil tersebut adalah: (1) afiliasi (associated enterprises) atau hubungan istimewa (special relationship) dan (2) kewajaran atau arm’s length principle (Harimurti, 2007).

Dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:

1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:

1. Kepemilikan atau penyertaan modal.

2. Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak Orang Pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan. Penggunaan kata “hubungan istimewa” dalam akuntansi sudah tidak digunakan lagi tetapi menggunakan istilah “berelasi” merujuk pada istilah bahasa Inggris yang menggunakan kata “related party”. Pihak-pihak berelasi didefinisikan secara luas dalam PSAK 7. Suatu perusahaan dikatakan mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan pelapor jika:

• Perusahaan tersebut yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah ventura bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, sub-subdiaries, dan fellow subsidiaries).

• Perusahaan tersebut adalah perusahaan asosiasi (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 15 Investasi dalam Perusahaan Asosiasi).

• Perusahaan tersebut adalah perusahaan ventura bersama di mana perusahaan pelapor menjadi venture (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 12 Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama).

• Perusahaan tersebut adalah perorangan (dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut) dari anggota manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk perusahaannya.

• Perusahaan tersebut adalah perusahaan yang mengendalikan, venture bersama, atau yang dipengaruhi secara signifikan oleh individu (dan anggota keluarga dekat dari individu tersebut) dari anggota manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk perusahaannya.

• Perusahaan tersebut adalah suatu program imbalan pascakerja untuk imbalan kerja dari salah satu perusahaan pelapor atau perusahan mana pun yang berelasi dengan perusahaan pelapor. Hubungan istimewa dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas posisi keuangan dan hasil usaha perusahan pelapor.

Pihak-pihak berelasi dapat melakukan transaksi yang tidak akan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antara pihak-pihak berelasi juga dapat dilakukan dengan harga yang berbeda dengan transaksi serupa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sebagai contoh, anak perusahaan yang biasanya menjual produknya ke pihak independen dengan harga jual normal, mungkin akan diminta untuk menjual produknya ke induk perusahaan dengan harga pokok saja. Namun bisa saja dua perusahaan yang berelasi memiliki transaksi yang tidak istimewa. Contohnya adalah anak perusahaan yang menjual dengan harga jual normal kepada induknya. Mengingat dampak dari hubungan istimewa dengan suatu pihak, PSAK 7 mensyaratkan pengungkapan informasi tertentu dari pihak-pihak berelasi.

Harga Transfer yang Seharusnya

Berkaitan dengan masalah kewajaran, menurut PSAK No. 17, menyatakan bahwa pengakuan akuntansi suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan pada suatu harga yang disepakati pihak yang bersangkutan. Harga yang berlaku antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertukaran antara pihak yang independen (arm’s length price). Pihak yang mempunyai hubungan istimewa mungkin mempunyai suatu tingkat keluwesan dalam proses penentuan harga, yang tidak terdapat dalam transaksi antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sedangkan menurut UU PPh, Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Menurut arm’s length principle, harga-harga transfer seharusnya ditetapkan supaya dapat mencerminkan harga yang disepakati sebagaimana transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak terkait yang bertindak secara bebas. Apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari transaksi tersebut haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independen, sehingga ketidaksesuaian, dapat menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas fiskal.

Dalam Pasal 18 ayat (3a) UU PPh dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. Maksud dari pernyataan dalam pasal 18 ayat (3a) ini mengenai kewenangan Dirjen Pajak untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berbicara tentang kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) yaitu kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan harga transfer oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.

Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Untuk mencegah penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar (non arm's length price), maka Dirjen Pajak menetapkan pedoman penentuan harga transfer di Indonesia yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2011. Aturan ini membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principles) terkait transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Aturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak berelasi.

Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa terdapat 2 pihak yang harus tunduk kepada ketentuan tersebut. Pertama, pedoman harga transfer ini berlaku untuk penentuan harga transfer atas transaksi yang dilakukan wajib pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dengan wajib pajak luar negeri di luar Indonesia (Cross-Border Transfer Pricing / CBTP). CBTP inilah yang sebenarnya yang menjadi alasan utama mengapa perlu ada pedoman harga transfer. Perbedaan tarif pajak Indonesia dengan negara lain dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) dengan cara mengatur harga transfer untuk memindahkan laba ke negara yang tarif pajaknya rendah. Kedua, pedoman harga transfer bisa juga diterapkan untuk transaksi antara wajib pajak yang berhubungan istimewa di Indonesia yang dapat memanfaatkan perbedaan tarif karena:

1. Perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu;

2. Perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau

3. Transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.

Untuk mengurangi praktik harga transfer perlu dikaji beberapa hal:

Pertama, mengaktifkan peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam laporan keuangan.

Kedua, memperluas kriteria harga transfer tidak hanya related parties, tetapi melebar ke semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non afiliasi.

Ketiga, menggunakan data pembanding eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor) untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor. Dalam Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa, dimana eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir.

Keempat, mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan harga transfer, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk menghindari pajak.

Kelima, perlu ada data center, seperti Indonesian Coal Index, yang meng-update harga terbaru komoditas tambang. Harga terbaru komoditas diperlukan untuk assesment kewajaran omset penjualan pada SPT tahunan perusahaan pertambangan.

Keenam, pembentukan Single Document Window (SDW) antar negara yang telah menerapkan tax treaty, dan forum multilateral, seperti APEC. Model SDW efektif untuk mengawasi harga pengiriman barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan perantara abal-abal di tax heaven country akan terkena pajak, sehingga modus harga transfer tidak efisien untuk perusahaan tersebut.

Kesimpulan

Dalam praktek harga transfer dalam perusahaan multinasional ini merupakan cara yang bertujuan untuk menekan beban pajak yang nantinya perusahaan dapat mengehemat pajak secara global dengan merelokasikan penghasilan global yang low tax countries dan menggeser beban dalam jumlah yang besar ke dalam big tax countries. Pengaruh harga transfer juga harus diperhatikan dari sisi Undang-undang Perpajakan agar dalam menentukan harga transfer tidak menambah beban pajak yang seharusnya tidak terjadi atau seharusnya diminimalkan.

Berkenaan dengan arm’s length price Wajib Pajak dengan otoritas pajak harus melakukan penyesuaian harga transfer, dalam menyesuaikannya dapat dilakukan harga transfer negosiasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang sering dikenal dengan kesepakatan harga transfer. Harga transfer dilakukan berdasarkan harga pasar yang tidak memiliki implikasi perpajakan, apabila tidak menggunakan harga pasar maka umumnya akan terjadi pemindahan penghasilan. Dengan adanya pemindahan penghasilan tersebut maka pajak yang dibayar secara keselurahan akan lebih rendah. Sehingga, total laba pajak secara keseluruhan akan lebih besar dibanding kalau perusahaan tidak menggunakan harga transfer.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami