Rabu, 25 Agustus 2010

ANALISIS DAMPAK SOSIAL PARIWISATA DI INDONESIA

2.1 Aspek Sosial yang Tertinggal

Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan objek kajian sosiologi. Namun demikian kajian sosiologi belum begitu lama dilakukan terhadap pariwisata, meskipun pariwisata sudah mempunyai sejarah yang sangat panjang. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pariwisata pada awalnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat maupun daerah (negara).

Sebagaimana halnya dengan pembangunan secara umum, ada beberapa hal yang menyebabkan aspek-aspek sosial-budaya atau aspek sosiologis kurang mendapat perhatian. Dengan mengikuti teori modernisasi klasik, pembangunan di dunia ketiga umunya memberikan penekanan pada aspek ekonomi. Paradigma dan program-program yang memfokuskan perhatian pada aspek ekonomi seringkali bertentangan dengan program-program dengan penekanan aspek sosial. Dalam konflik kepentingan ini, aspek sosial lebih sering dikalahkan. Masih dalam kaitan dengan focus ekonomi, salah satu tujuan setiap program pembangunan adalah untuk mengejar produktivitas, dan dalam usaha ini manusia (tenaga kerja) dipandang sebagai 'faktor produksi' yang mekanis, maka berbagai aspek sosial-budaya kurang mendapatkan perhatian.

Faktor lain yang memarginalisasi aspek sosial-budaya adalah karena performance indicator (kinerja atau keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif. Sementara itu sebagian besar dari isu sosial-budaya bersifat kualitatif, sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan 'pembangunan'. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap aspek sosial-budaya ini. Apalagi aspek sosial budaya memang sangat sulit diukur. Kesulitan mengukur ini ditambah lagi dengan kesulitan menentukan 'hasil' dari program-program dalam bidang sosial-budaya sangat sulit diisolisasi, sehingga sulit juga untuk menentukan secara pasti adanya hubungan sebab-akibat (cause and effect), apalagi dalam waktu yang singkat.

Penggunaan perencana dari luar,sesuai dengan dalil-dalil teori modernisasi, sering secara tidak sadar membawa nilai-nilai luar, serta memaksakan penerapan nilai-nilai tersebut di daerah yang dibangun. Sifat etnosentrisme perencana dari luar ini sering menihilkan budaya lokal. Etnosentrisme perencana (konsultan) luar ini didukung kemudian oleh sentralisasi pengambilan keputusan, dimana masyarakat lokal tidak mempunyai peran di dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup atau menentukan masa depan mereka.

Belakangan aspek sosial-budaya mulai diperhatikan, karena berbagai alasan. Di kalangan ahli pembangunan, mulai muncul wacana bahwa pembangunan tersebut sesungguhnya adalah untuk manusia, sebagai suatu proses belajar (social-learning process), dan dalam hal ini manusia merupakan pusat dan penggerak, sekaligus untuk siapa pembangunan tersebut dilakukan, sesuai dengan konsep people-centred development (David Korten, 1987). Jadi manusia bukan sekedar 'faktor produksi'.

Kritik tajam juga banyak ditujukan kepada teori modernisasi klasik, dan mengingatkan akan pentingnya unsur non-material dalam pembangunan, seperti human dignity (Julius Nyerere), social needsspiritual needs (Apthorpe). Menurut faham humanism, pembangunan harus diusahakan untuk 'memanusiakan manusia', sebagaimana berkembang dalam wacana pembangunan di Zambia dan Tanzania. Dalam pemanusiaan manusia ini, pembangunan harus memberikan penghargaan terhadap nilai 'rasa', yang mungkin tidak 'rasional' dalam konsep masyarakat lokal (the rational of irrationality). (Maslow), atau

Pengalaman empiris juga telah banyak membuktikan bahwa begitu banyak dana dan waktu dikeluarkan untuk melakukan 'pembangunan', tetapi mengalami kegagalan. Tidak jarang, pembangunan justru mengundang protes dari masyarakat di mana pembangunan dilaksanakan (indigenous people). Kegagalan program yang tidak adaktif secara sosial-budaya ini ini memberikan pelajaran penting, betapa aspek sosial-budaya harus mendapatkan tempat dalam perencanaan pembangunan, bukan saja sebagai 'aspek pinggiran'.

Berkembangnya kembali kajian ekologi manusia (human ecology) yang sangat menghargai pengetahuan masyarakat lokal (ethnoscience) juga sangat mendorong perencana dan pelaksana pembangunan untuk melihat aspek-aspek sosial-budaya secara lebih serius.

2.2 Dampak Sosial Pariwisata

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.

Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah:

  1. Dampak terhadap sosial-ekonomi.
  2. Dampak terhadap sosial-budaya.

1.2.1 Dampak Sosial Ekonomi

Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:

  1. Dampak terhadap penerimaan devisa,
  2. Dapat terhadap pendapata masyarakat,
  3. Dampak terhadap kesempatan kerja,
  4. Dampak terhadap harga-harga,
  5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,
  6. Dampak terhadap kepemilikan dan control
  7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
  8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Hampir semua literature dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, bahwa peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Pariwisata diharapkan mampu menghasilkan angka pengganda (multiplier effect) yang tinggi, melebihi angka pengganda pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Meskipun sulit melakukan penghitungan secara pasti terhadap angka pengganda ini, dari beberapa daerah/negara telah dilaporkan besarnya angka pengganda yang bervarisasi.

Peranan pariwisata juga sangat besar di Indonesia. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dollar AS (Santosa, 2001). Pada tahun 2002 dan 2003, meskipun mengalami tragedi Kuta (Bom Bali), nilai devisa juga masih tetap tinggi, yaitu US$ 4.496 Milyard tahun 2002 dan US$ 4.307 Milyard tahun 2003 (Nirwandar, 2004).

Perananan pariwisata dalam pembangunan ekonomi DTW seperti Bali, yang memang sudah terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan tidak tersedianya sumber daya alam seperti migas, hasil hutan, ataupun industri manufaktur yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sektor andalan dalam pembangunan. Kontribusi pariwisata menunjukkan trend yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1985 penukaran valuta asing senilai 95,105 juta dollar AS. Angka ini mengalami kenaikan, menjadi 456,105 juta dollar AS pada tahun 1990, dan pada tahun1997 (sesaat sebelum krismon) menjadi 1.380,454 juta dollar AS. Selanjutnya, karena nilai tukar dollar yang melonjak, penukaran valuta asing hanya mencapai nilai 865,078 juta dollar AS pada tahun 2000.

Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun1998, dampak pengeluaran wisatawan terhadap pendapatan masyarakat mencapai 45,3%, sedangkan dampak dari investasi di sektor pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara keseluruhan, industri pariwisata menyumbang sebesar 51,6% terhadap pendapatan masyarakat Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun 1998 sebesar 38,0% dari seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan untuk pariwisata. Ini terjadi dari kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh pengeluaran wisatawan sebesar 36,1% dan akibat investasi di sektor pariwisata sebesar 1,9%. Angka 38% ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka tahun1995 (yaitu sebesar 34,14%), dan nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke tahun. Erawan lebih lanjut mengatakan bahwa dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian di Bali terdistribusikan ke berbagai sektor, bukan saja hotel dan restoran. Distribusi juga terserap ke sektor pertanian (17,93%), sektor industri dan kerajinan (22,73%), sektor pengangkutan dan komunikasi (12,62%), sektor jasa-jasa (12,59%), dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan data mengenai distribusi pengeluaran wisatawan. Data menunjukkan bahwa selama di Bali, pengeluaran wisatawan yang terserap ke dalam 'perekonomian rakyat' cukup tinggi.

Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, hampir semua penelitian juga menunjukkan adanya berbagai dampak yang tidak diharapkan (dampak negatif), seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi, munculnya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya. Banyak peneliti menyebutkan bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi dari negara-negara maju (negara asal wisatawan) terhadap negara-negara berkembang (daerah tujuan wisata). Berbagai fasilitas wisata yang di DTW, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan. Sebuah lukisan secara karikaturis menggambarkan bahwa muatan lokal dari kegiatan pariwisata sangat kecil, karena segala kebutuhan wisatawan maupaun aktivitas pendukungnya didatangkan dari berbagai negara maju. Berbagai fasilitas dimaksud antara lain:

"Mobil didatangkan dari Jerman, computer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Perancis, tas dari Itali, karpet dari Irlandia, fire equipment dari USA, furniture dari Swedia…" (Fennel, 1999: 164).

1.2.2 Dampak Sosial Budaya

Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul 'dampak sosial budaya' (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).

Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):

1. perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;

2. perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;

3. perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.

Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan 'bola-bilyard', di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.

Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah 'pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat', dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses 'turistifikasi' (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).

Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:

1) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;

2) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;

3) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;

4) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;

5) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;

6) dampak terhadap pola pembagian kerja;

7) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;

8) dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;

9) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan

10) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial budaya tersebut adalah sebagai berikut:

1) Jumlah wisatawan, baik absolute maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal;

2) Objek dominan yang menjadi sajian wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut;

3) Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan, apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya;

4) Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;

5) Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal;

6) Perbedaan kebudayaan atau wisatawan dengan masyarakat lokal;

7) Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW;

8) Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;

9) Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh);

10) Tingkat pembangunan ekonomi DTW;

11) Struktur sosial masyarakat lokal;

12) Tipe resort yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts)

13) Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.

Lebih jauh Douglass mengetengahkan bahwa ada hubungan paralel antara tinggi dan makna dampak sosial-budaya pariwisata dengan variabel-variabel di bawah:

1) Besarnya perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya antara wisatawan dengan masyarakat lokal.

2) Perbandingan antara jumlah wisatawan dengan masyarakat lokal.

3) Distribusi dan kenampakan dari pembangunan pariwisata.

4) Laju dan intensitas perkembangan pariwisata.

5) Tingkat kepemilikan investasi asing dan tenaga kerja asing di DTW.

2.2.3 Kesenian, Adat Istiadat, dan Agama

Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.

Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau 'menghancurkan' kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung 'memaksa' ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat 'dijual' kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):

'Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism' (Britton, 1977: 272).

Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali.

Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan:

"Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata".

Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.

Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah "mendorong kreativitas dalam berbagai bidang" (1989: 17).

Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.

»»  Baca Lebih Lanjut...

PERECANAAN KAWASAN WISATA NEGERI IMPIAN


"Negeri Khayal" memiliki potensi pariwisata yang beragam, dari keindahan alam, adat istiadat dan keramah tamahan penduduknya hingga kesiapan sarana dan prasarana pendukungnya. Melihat potensi tersebut pemerintah setempat mengundang konsultan terkondang dari "Negeri Impian" untuk merencanakan pariwisata di kawasan tersebut. Singkat kata konsultan menyelesaikan tugas perencanaan dengan baik. Seiring perjalanan waktu, dalam pelaksanaannya penguasa setempat sering kali mengintervensi perencanaan yang sudah dibuat. Kawasan yang mestinya dikonservasi dirubahnya menjadi kawasan villa mewah. Permukiman tradisional digusurnya menjadi "amenity core" dengan argumentasi antara lain bahwa hal ini dapat mendongkrak pemasukan "fulus" ke kas daerah.

Suatu saat anda diundang oleh "Universitas Halusinasi" untuk menjadi nara sumber dalam seminar akademis untuk membahas fenomena tersebut diatas dari sudut pandang "Perencanaan Pariwisata"

Coba paparkan materi apa yang anda akan paparkan menyikapi fenomena tersebut di atas (tentunya menggunakan pendekatan ilmiah utamanya teori-teori perencanaan yang telah didapatkan)

Penyelesaian :

Menyikapi fenomena tersebut, pendekatan ilmiah, khususnya teori-teri perencanaan yang digunakan antara lain :

1. Proses Perencanaan Pembangunan Kawasan Wisata

Perencanaan (planning) adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan dari suatu destinasi atau atraksi. Planning adalah proses yang bersifat dinamis untuk menentukan tujuan, bersifat sistematis dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai, merupakan implementasi dari berbagai alternatif pilihan dan evaluasi apakah pilihan tersebut berhasil. Proses perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik, fisik, sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling berhubungan dan saling tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan (Paturusi, 2001).

Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan tindakan-tindakan yang mana tindakan tersebut digambarkan dalam suatu tujuan (jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang) yang didasarkan kemampuan-kemampuan fisik, ekonomi, social budaya,dan tenaga yang terbatas.

Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga) kemampuan (the three brains) yaitu:

1. Kemampuan melihat ke depan.

2. Kemampuan menganalisis.

3. Kemampuan melihat interaksi-interaksi, antara permasalahan.

Bila kita rinci pengertian perencanaan tersebut maka dalam batasan perencanaan terdapat unsur: suatu pandangan jauh ke depan, merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai dengan menggunakan alat – alat secara efektif dan ekonomis dan menggunakan koordinasi dalam pelaksanaan.

2. Pendekatan Perencanaan Pariwisata

A. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Metode Keterkaitan), yang meliputi;

1. Metode Makro-Meso-Mikro

2.Metode Partisipatif (participatory)

3.Metode Morfologi

B. Pendekatan Pengembangan Kawasan

1. Pendekatan Tipologi

2. Pendekatan Pembangunan Masyarakat

3. Pendekatan Ekowisata

4.Pendekatan Konservasi


3. Tahapan/Tingkatan Pembangunan Pariwisata

Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau resort akan menuju suatu siklus evolusi yang sama dengan siklus hidup sebuah produk. Secara sederhana jumlah pengunjung menggantikan penjualan sebuah produk. Beberapa penulis menyatakan terdapat tiga tingkatan siklus hidup daerah pariwisata yaitu; penemuan (discovery), inisiatif dan respon masyarakat lokal dan kelembagaan. Konsep tingkatan atau tahapan siklus hidup terjadi dalam pembangunan pariwisata merupakan salah satu permasalahan penting yang harus diantisipasi.

4. Multiplier Efek Kawasan Wisata

Sifat kepariwisataan yang multi bidang (multifacet) dari kepariwisataan ini membawa konsekuensi bahwa kepariwisataan akan menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu, setiap satuan moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan menciptakan dampak pengganda ini antara lain berupa:
1. Sales Multiplier

Peningkatan dalam pengeluaran wisatawan akan menciptakan tambahan pendapatan bagi dunia usaha

2. Output Multiplier

Peningkatan pengeluaran wisatawan akan berdampak pada barang dan jasa yang diproduksi masyarakat

3. Income Multiplier

Peningkatan pengeluaran wisatawan akan menciptakan tambahan pendapatan masyarakat

4. Government Revenue Multiplier

Tambahan pengeluaran wisatawan akan meningkatkan pendapatan pemerintah

5. Employment Multiplier

Kenaikan dalam pengeluaran wisatawan akan meningkatkan jumlah kesempatan kerja

5. Perencanaan Kawasan Wisata yang Berkelanjutan

Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan (P3B) dilakukan dengan mengelola sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar diseluruh wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008:253), perlu dilakukan penjelasan dengan melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk setempat . Verseci dalam A.Yoeti (2008 : 253) perencanaan strategis pembangunan pariwisata berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut :


Keterangan :

1. Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang

2. Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan memperhatikan keempat factor lainnya : future generation, equity, partnership, dan carrying capacity

3. Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.

4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.

5. Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang.

6. Ecotourism sebagai Alat dalam Perencanaan Kawasan Wisata berkelanjutan

Ecotourism atau eko-wisata atau pariwisata ekologi di sub-kategorikan dari pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) atau salah satu segmen pasar dari pariwisata berbasis lingkungan alam (Daud, 2009). Pariwisata berbasis lingkungan alam (pariwisata hutan/pariwisata bahari) hanya merupakan aktivitas kunjungan ke tempat alamiah seperti melihat burung di hutan atau biota unik lainnya pada ekosistem pesisir (seperti rekreasi SCUBA diving). Sedangkan `ecotourism' memberi keuntungan bagi lingkungan, budaya, dan ekonomi komunitas lokal seperti mengamati burung atau biota unik lainnya dengan `guide' orang lokal, tinggal bersama penduduk lokal atau pondokan alami (eco-lodge) yang disediakan penduduk masyarakat dan memberi kontribusi ekonomi bagi penduduk local (eco-charge). Haruslah dibedakan antara konsep dari `ecotourism' (wisata ekologi) dan `sustainable tourism' (pariwisata berkelanjutan), dimana pengertian `ecotourism' merujuk pada segmen dari sektor pariwisata, sedangkan prinsip `sustainability' diterapkan pada segala tipe aktivitas, operasi, pembuatan/pendirian dan proyek pariwisata termasuk bentuk yang konvensional maupun alternatif.

`Ecotourism' mutlak memperhatikan pemeliharaan lingkungan alam (conservation), bukan sebaliknya mengubah keaslian alam sehingga menganggu keseimbangan alam. Pemahaman pariwisata ekologi adalah untuk menyokong atau menopang keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya. Kualifikasi aktivitas dalam ecotourism senantiasa berorientasi terhadap cara-cara pengembangan dan pemeliharaan keutuhan alam yang berkelanjutan.

United Nations of Environment Programme (UNEP) telah merangkum karakteristik umum mengenai `ecotoursim' yaitu :

1. Berdasar atas bentuk pariwisata alam dengan motivasi utama turis adalah untuk pengamatan dan mengapresiasi serta menghargai alam sama seperti budaya tradisional dalam kesatuan daerah alami, seperti kesatuan ekosistem pulau.

2. Berisi pendidikan dan interpretasi mengenai obyek alam yang dijadikan target (misalnya pada objek alam ekosistem hutan, gunung, pulau atau ekosistem pesisir dan laut).

3. Secara umum memiliki kelompok kecil turis yang diorganisasi oleh sekelompok kecil specialist dan bisnisnya dimiliki dan dijalankan orang lokal. Operator dari luar negeri dengan berbagai ukuran juga diatur, dioperasikan dan/atau dipasarkan dalam kelompok-kelompok kecil yang tentunya bekerjasama dengan penduduk setempat

4. Seminim mungkin mengurangi dampak negatif pada lingkungan alam dan sosial-budaya lokal.

5. Mendukung perlindungan daerah alam.

Sebagai sarana pengembangan, `ecotourism' dapat memajukan 3 tujuan utama dari konvensi keanekaragaman biologi (Convention on Biological Diversity), yaitu:

1. Melestarikan keanekaragaman biologi (dan budaya), dengan penguatan sistem pengelolaan daerah yang dilindungi (public/private) dan meningkatkan nilai suatu ekosistem

2. Mempromosikan pemanfaatan keanekaragaman berkelanjutan, dengan pemerataan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam bidang `ecotourism' dan jaringan usahanya ; dan

3. Membagi keuntungan yang sama dari pengembangan `ecotourism' dengan komunitas dan penduduk lokal/asli, seperti dengan cara menerima persetujuan penduduk lokal dan partisipasi penuh dalam perencanaan dan pengelolaan usaha/bisnis `ecotourism'.

Dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik, `ecotourism' telah terbukti menjadi alat yang efektif bagi konservasi jangka panjang bagi keanekaragaman hayati di samping usaha-usaha lainnya. Bagaimanapun `ecotourism' telah bergerak maju bagi industri pariwisata di negara pesisir seperti di Malaysia, Australia, beberapa Negara Afrika, Meksiko, Jepang, Maldive dan Negara-negara di Karibia.

Bagi keberlangsungan aktivitas `ecotourism' diperlukan pengaturan yang pantas dan penanganan khusus seperti pengaturan pada ekosistem yang asli dan dilindungi (Taman Nasional atau Cagar Alam). Karena dampak dari `ecotourism' itu sendiri akan lebih parah dari batasan pariwisata pada umumnya . Hal ini termasuk pengalaman belajar/interpretasi operator `ecotourism', pengaturan jumlah kelompok turis dalam skala kecil, dan sensitivitas terhadap ketegangan dengan pemilik dan penghuni komunitas setempat khususnya masyarakat lokal.

Beberapa penyimpangan dari tujuan `sustainable way' dan 'ecotourism' itu sendiri sering terjadi hanya karena mengejar keuntungan ekonomi semata. Banyak praktisi pariwisata mengklaim dan membesar-besarkan kerjasamanya dalam perencanaan dengan menjamin dan mendukung keberlanjutan kelestarian lingkungan, namun pada kenyataanya mengancam budaya, perekonomian dan sumberdaya masyarakat lokal.

Beberapa kritik untuk eco-tourism seperti ini dikenal sebagai `eco-façade' dalam praktek eksploitasi sumberdaya. Eco-tourism juga kedengarannya `ramah', namun yang sering menerima dampak serius adalah pengambilalihan teritorial `alami' dari Taman Nasional, Cagar Alam atau daerah perlindungan lainnya yang dipaketkan bagi `ecotourist' sebagai pilihan utama tanpa alternatif produk sendiri. Seperti halnya aktifitas wisata pesisir dan laut ; skin/SCUBA diving yang mengantungkan obyek wisata alamnya hanya pada `diving-diving point' yang memang secara alamiah telah ada. Ironisnya, banyak operator-operator diving menggunakan daerah konservasi seperti di Taman Nasional Bunaken sebagai ajang pelatihan selam. Di mana, penyelam-penyelam rekreasi ini menggunakan sumberdaya alam yang telah ada tersebut untuk aktivitas latihan atau `pre-dive' bagi penyelam pemula.

Berbagai aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat lokalpun telah diganti dengan aktivitas pariwisata. Pekerjaan yang ada hubungannya dengan pariwista memonopoli komunitas lokal dan masyarakat lokal sering hanya dibayar dengan gaji rendah sebagai `guide', buruh, penjaja makanan dan souvenir, dan hal inipun tidak berlangsung sepanjang tahun. Yang diuntungkan sama seperti pariwisata konvensional lainnya yaitu jasa penerbangan luar negeri, operator wisata dan pengembang yang terkait yang umumnya datang dari negara maju. Mega-resorts, termasuk hotel yang `lux', condominium (daerah yg dikuasai dan diperlakukan sebagai milik sendiri), dan shopping centres (Mall) meningkat pembangunannya dalam daerah perlindungan dengan mengatasnamakan `ecotourism'. Hal ini merupakan `eco-terrorism', dan mengancam ekosistem dan lingkungan seperti pembangunan daratan buatan atau marina (reklamasi) yang jelas memusnahkan kehidupan tumbuhan dan organisme di dalamnya. Demikian pula pengrusakan budaya lokal yang sering terjadi seiring dengan kerusakan ekosistem lingkungan.

Memang, industri pariwisata dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan perekonomian negara, sekaligus berpotensi memproteksi lingkungan. Namun lebih dari itu, pariwisata dan aktivitas pembangunan lainnya dapat menjadi kekuatan besar yang merusak sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk manusia di dalamnya

Pariwisata sangat tergantung pada lingkungan, maka tidak mengherankan berbagai macam usaha dari organisasi pariwisata dunia dan juga organisasi lingkungan mendengung-dengungkan mengenai pembangunan yang berkelanjutan. Badan dunia pun seperti PBB di tahun 2002 telah menerima usulan dan menjadikan tahun tersebut sebagai tahun bagi `Ecotourism' (International Year of Ecotourism), hal ini juga sebagai wujud usaha perlindungan lingkungan.

Memang, pemanfaatan ekosistem yang berkelanjutan tidak hanya berhenti dan bergantung dari usaha-usaha yang telah dilakukan tersebut. Kesadaran secara menyeluruh dari masyarakat, `yang berkepentingan' dan teristimewa pemerintah untuk lebih menghargai lingkungannya akan memberi nilai bagi keberlangsungan pembangunan itu sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980, bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan dalam pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :

1. Eksplorasi (pertumbuhan spontan dan penjajakan)
Pada tahapan ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka cenderung dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah tujuan wisata. Di samping jumlah wisatawan yang kecil, juga ditambah dengan fasilitas dan kemudahan yang kurang baik. Pada tahapan ini atraksi di daerah wisata belum berubah oleh pariwisata dan kontak dengan masyarakat lokal akan tinggi.

2. Keterlibatan, Pada tahapan ini, inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas wisatawan, kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah wisatawan. Musim wisatawan dan mungkin tekanan pada publik untuk menyediakan infrastruktur.

3. Pengembangan dan Pembangunan,Pada tahapan ini jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara Nasional dan Regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk pemasaran internasional.

4. Konsolidasi dan InterelasiPada tahapan ini, tingkat pertumbuhan sudah mulau menurun walaupun total jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.

5. Kestabilan, Pada tahapan ini, ulah wisatawan yang datang pada musim puncak wisatawan sudah tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan pariwisata. Ini disadari bahwa kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen lain pendukungnya adalah dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan, sosial dan ekonomi.

6. Penurunan kualitas (Decline) atau Kelahiran Baru (Rejuvenation).
Pada tahapan ini, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula dan menjadi "resort" baru. "Resort" menjadi tergantung pada sebuah daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah, dan fasilitas-fasilitas pariwisata seperti akomodasi akan berubah pemanfaatannya. Akhirnya pengambil kebijakan mengakui tingkatan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai "kelahiran baru". Selanjutnya terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang seperti pemanfaatan, pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata tersebut.
Relevansi tahapan tersebut di atas dalam konsep pembangunan pariwisata adalah bahwa setiap tahapan/tingkatan pembangunan mempunyai karakter yang berlainan, yang memerlukan perlakuan perencanaan yang berbeda pula. Bali misalnya yang telah berada pada tahapan "stagnation" oleh karenanya masalah-masalah evaluasi daya dukung (carrying capacity) memerlukan pencermatan kembali, di samping masalah manajerial lainnya yang secara keseluruhan perlu dituangkan dalam re-evaluasi tata ruangnya. Konsekuensi dari adanya perbedaan karakteristik dalam pembangunan atau perkembangan pariwisata menuntut seorang perencana pariwisata untuk selalu mencermati bentuk keterkaitan antara komponen kepariwisataan dengan karakteristik komponen lingkungan untuk menentukan lingkup pekerjaan.

Daftar Pustaka

Daud,Pahlano,JR. (2009). Pariwisata dan Perubahan Lingkungan. http://mukhtar-api.blogspot.com/2009/06/pariwisata-dan-perubahan-lingkungan.html

Paturusi, Samsul A. (2001). Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.

Yoeti,Oka.A.(2008) Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Pradnya Paramita : Jakarta

»»  Baca Lebih Lanjut...

PARIWISATA: Berbagai konsep dan definisi terkait dengan penyajian data-data seperti Wisatawan, Hotel, dan Akomodasi

PARIWISATA

Konsep dan Definisi
Berbagai konsep dan definisi terkait dengan penyajian data-data seperti Wisatawan, Hotel, dan Akomodasi.

Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Juni 2010.
(download PDF)

Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Mei 2010.
(download PDF)

Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan April 2010.
(download PDF)

Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Maret 2010.
(download PDF)

Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Februari 2010. (revisi)
(download PDF)

Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Januari 2010. (revisi)
(download PDF)

Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara (WISMAN) Tahun 2004 - 2010
Meliputi rekapitulasi perkembangan pengunjung mancanegara, perkembangan wisatawan mancanegara menurut pintu masuk, kebangsaan, negara tempat tinggal, dan negara penerima VKSK (visa Kunjungan Saat Kedatangan) dan BVKS (Bebas Visa Kunjungan Singkat)

Perkembangan Wisatawan Nasional (WISNAS) Tahun 2004 - 2010
Perkembangan Jumlah Wisatawan Nusantara, Rata-rata lama tinggal dan pengeluaran devisa.

Perkembangan Wisatawan Nusantara (WISNUS) Tahun 2004 - 2009. (baru)
Perkembangan Jumlah Wisatawan Nusantara, Rata-rata Perjalanan dan Total Pengeluaran.

Dampak Ekonomi Mikro Berdasarkan Neraca Satelit Pariwisata Nasional 2000 - 2008
(download PDF)

Statistik Usaha Akomodasi Tahun 2004 - 2009
Meliputi perkembangan usaha akomodasi, rata-rata pekerja usaha akomodasi, tingkat penghunian kamar, rata-rata lama menginap tamu asing dan tamu Indonesia pada hotel bintang dan non bintang

Statistik Jasa Perjalanan Wisata Berskala Menengah dan Besar Tahun 2007 - 2008
Meliputi Perkembangan Biro Perjalanan Wisata (BPW), Agen Perjalanan Wisata (APW) Tahun 2007 - 2008 menurut provinsi

Statistik Usaha Restoran / Rumah Makan Berskala Menengah dan Besar Tahun 2007 - 2008
Meliputi perkembangan Usaha Restoran / Rumah Makan Berskala Menengah dan Besar serta dirinci menurut provinsi.

Ranking Devisa Pariwisata Terhadap Komoditi Ekspor Lainnya Tahun 2004 - 2009
(download PDF)
»»  Baca Lebih Lanjut...

Sekilas Tentang Dinamika Seni Pertunjukan Tradisional Bali dalam Konteks Pariwisata Budaya

Sekilas Tentang Dinamika Seni Pertunjukan Tradisional Bali dalam Konteks Pariwisata Budaya

Bali dalam Dua Dunia

Bali kini adalah Bali yang hidup dalam dua dunia. Dua dunia yang sangat berbeda, saling tarik-menarik, memperebutkan ruang-ruang nyata alam Bali maupun ruang-ruang kejiwaan manusia Bali . Dunia yang satu adalah dunia tradisional agraris yang telah berakar paling tidak sejak 4000 tahun lalu, berjiwa Hindu, dengan beraneka ragam ekspresi budayanya; dan dunia yang lain adalah dunia modern peradaban Barat yang datang ke Bali sebagai konsekuensi dari eksplorasi dan eksploitasi (penjajahan) Dunia Barat (Belanda) di pengawal abad ke 17 yang memperkenalkan Bali kepada perdagangan dunia, kapitalisme berikut konsumerismenya yang kian mengglobal.

Ekspresi yang paling nyata dari dunia tradisional agraris Bali adalah ratusan jenis ritual adat-agama yang masih dilakoni orang Bali , hampir di setiap waktu, dan kerap melibatkan seni pertunjukan baik sakral maupun sekuler (profan, hiburan). Sedang kehadiran dunia modern dapat dilihat dari berubahnya desa-desa agraris menjadi kota-kota dan kawasan-kawasan wisata seperti Denpasar, Sanur, Kuta, Nusa Dua, Ubud dan terus merambah ke daerah-daerah lain; serta penduduk Bali yang kian gandrung dengan produk-produk modern seperti mobil, sepeda motor, barang-barang elektronik dan lainnya. Dunia tradisional agraris berusaha bertahan agar tidak tergerus sementara dunia modern berusaha merebut karena memang itulah sifat kapitalisme dan konsumerisme. Orang Bali hidup, bergulat di antara dua dunia ini dan berusaha mengkompromikan kedua dunia yang saling bertentangan ini.

Dunia tradisi Bali yang berjiwa Hindu dengan elemen pemujaan alam dan para leluhur adalah hasil evolusi dan akulturasi dari beberapa budaya yang datang ke pulau ini: nenek moyang dari Cina Selatan sekitar 4000 tahun lalu dan budaya Hindu-Buda baik langsung dari India maupun melalui Jawa melewat skenario perluasan wilayah kerajaan Hindu-Buda di Jawa ke Bali sejak awal abad ke 9. Sistim dan tatanan kehidupan inti seperti desa adat dengan banjar-nya yang direkat oleh konsep Tiga Pura, Khayangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem) dan Pura Keluarga (Sanggah/Merajan) serta organisasi pertanian bernama subak yang diperkirakan mulai diterapkan di Bali sejak awal abad ke 11 hingga kini tetap kuat keberadaannya di kota sekalianpun. Lembaga tradisional sosial religius seperti desa adat, banjar dan subak ini dianggap sebagai pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali (Lihat Pitana 2002). Dunia tradisi ini mengajarkan filsafat keseimbangan antara kebutuhan jasmani-rohani sebagai sumber kebahagiaan yang tercapai bila terjadi keseimbangan antara kebutuhan badan, kebutuhan sosial dan spiritual. Konsepsi ini secara umum dikenal dengan Tri Hita Karana.

Dunia modern (Barat) masuk ke Bali sejak awal abad ke 17 dengan berkunjungnya penjelajah-penjelajah Eropa (baca Belanda) ke daerah Nusantara dengan motif komersial, mencari dan memperdagangkan rempah-rempah. Para pelaut dan saudagar itu juga menginjakkan kaki di Bali , kemudian melakukan perdagangan dengan raja-raja di Bali . Perburuan rempah-rempah yang berlanjut menjadi penjajahan Nusantara oleh Belanda. Di pengawal tahun 1990-an Bali dengan keunikan kebudayaannya mulai dikemas oleh Belanda untuk dijual sebagai produk wisata. Pariwisata budaya yang awalnya hanya dilakoni segelintir elite Barat (Eropa, Amerika) untuk tujuan melihat dan menikmati pulau tropis nan indah dengan budayanya yang kaya dan unik (eksotis) kini menjadi pariwisata yang mendatangkan orang dari berbagai belahan bumi dalam jumlah melebihi satu juta setiap tahunnya. Mereka dipercaya datang ke Bali untuk tujuan yang sama, menikamati kebudayaan Bali , walau tidak sedikit juga yang datang sekedar untuk melepas kejenuhan rutinitas kehidupan mereka yang intens dan untuk kepentingan usaha meraup keuntungan dan malah menetap di Bali . Hasil beberapa penelitian dan survey memang menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan yang datang ke Bali termotivasi oleh keunikan budaya Bali (Lihat Ardika 2004: 23).

Perkembangan Pariwisata Budaya Bali Usaha-usaha Belanda untuk menguasai Bali memang selalu mendapat perlawanan sengit. Belanda hanya mampu menguasai Bali secara keseluruhan pada tahun 1908 melalui penaklukan kejam yang dikecam luas di Eropa. Untuk memperbaiki citra, Belanda bergegas membuat kebijakan–kebijakan untuk melindungi dan menjaga Bali agar tetap "tradisional". Bali dipelajari dan dituliskan secara rinci dan sistematik oleh sarjana-sarjana Belanda. Sebuah kebijakan yang menurut Adrian Vickers, sarjana Australia , dalam bukunya Bali: A Paradise Created hanya bermaksud untuk bisa menjual Bali sebagai produk pariwisata.

Tidak lama berselang, tahun 1914, Maskapai Pelayaran Belanda (KPM) sudah menerbitkan brosur wisata tentang Bali sebagai "pualu yang mempesona", "pulau pura dan puri", "pualu dewata" dan "tempat wanita bertelanjang dada". Mulai tahun-tahun itu KPM secara kontinyu membawa segelintir turis elite ke Bali . Pada tahun 1925 KPM membangun Bali Hotel di Denpasar—hotel pertama di Bali . Di antara turis-turis elite tersebut ada seniman, antropolog maupun penulis yang dengan tulisan dan interpretasi mereka mulai tahun 1930-an mengentalkan citra Bali di mata dunia sebagai pulau surga. Citra yang tetap melekat hingga sekarang.

Beberapa sarjana berpendapat bahwa orang Bali mulai mendefinisikan kebudayaan mereka berdasarkan definisi yang digariskan oleh orang-orang luar tersebut. Orang Bali mematut-matut diri (melakukan apropriasi) mengukuhkan diri untuk senantiasa tampil tradisional; melakukan simulacra atau sandiwara tradisionalisasi (Lihat Kurnianingsih 2002; Ruastiti 2005). Dalam usaha menjaga agar tetap tradisional Pemerintah Daerah Bali pun, melalui Perda Nomor 3 tahun 1974 (di revisi menjadi Nomor 3 tahun 1991) mencanangkan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di Bali adalah Pariwisata Budaya. Pariwisata yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai agama Hindu yang merupakan bagian dari Kebudayaan Nasional sebagai potensi dasar yang dominan (Ardika 2004:21).

Setelah jaman kemerdekaan Indonesia , usaha untuk secara maksimal mengembangkan Bali sebagai daerah tujuan wisata menjadi agenda penting pemerintahan Presiden Soekarno; terlebih-lebih pemerintahan Presiden Soeharto, dan berlanjut hingga sekarang. Pembangunan hotel mewah Bali Beach Hotel oleh Soekarno dan pengembangan kompleks pariwisata mewah Nusa Dua oleh Soeharto dengan Master Plan tahun 1971 oleh sebuah perusahaan perancis, SCETO, yang ditindak lanjuti dengan pembangunan 12 hotel mewah beserta sarana pendukung lainnya adalah contoh-contoh awal usaha-usaha tersebut (Rai, 2003). Pemodal besar terus menanamkan modalnya menciptakan boom pariwisata tahun 1980-an; pariwsata budaya yang massal terus berlanjut hingga sekarang. Bom Bali 2002 sempat membuat pariwisata Bali kelimpungan namun perlahan-lahan pulih.

Dilema Pariwisata Bali

Dilema pariwisata terhadap kelangsungan hidup alam dan budaya Bali sudah dikhawatirkan oleh para sarjana sejak tahun 1930-an.

Selama ini Pariwisata Bali berkonotasi dengan intervensi pihak luar: di jaman kolonial pihak Belanda dan segelintir orang asing lainnya, dan di jaman kemerdekaan pihak Pemerintah Pusat (dibantu para birokrat lokal) bersama para pemodal besar luar Bali. Penduduk lokal beserta budayanya dipandang sebagai obyek atau komoditas semata: penyedia atraksi budaya—menjadi tontonan—dan penyedia pelayanan. Perencanaan dan pengelolaan tidak menjadi porsi keterlibatan lokal. Sampai sekarang pun pola-pola ini tetap berjalan. Contoh termutakhir adalah pembabatan daerah kawasan hutan lindung di daerah Bedugul untuk hotel yang mengantongi ijin dari Jakarta tanpa sepengetahuan orang lokal; juga rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang dicurigai sebagai bagian dari skenario penguasaan lahan luas untuk pengembangan resort walau jelas-jelas mendapat penolakan luas dari masyarakat.

Tidak dipungkiri bahwa hingga saat ini pariwisata membawa berkah ekonomi kepada Bali, walau tidak merata karena ada sekelompok kecil orang lokal yang mendapat porsi yang besar. Namun secara umum, karena efek multiplier, terjadi peningkatan pendapatan perkapita atau daya beli masyarakat. Masuknya pemodal besar berpengaruh pada meningkatnya jumlah dan kualitas sarana pariwisata serta sarana pendukung termasuk perbaikan jalan-jalan di Bali yang memperlancar kegiatan ekonomi secara umum. Demikian juga industri pendukung atau ikutan berkembang pesat.

Peningkatan pendapatan perkapita oleh masyarakat Bali dialokasikan pada pemenuhan kebutuhan penunjang kehidupan modern, seperti biaya pendidikan, sarana transportasi, dan produk-produk modern lainnya. Sebagaimana manusia umumnya orang Bali juga tergiur godaan barang-barang konsumerisme. Dan tentu saja sebagian dialokasikan pada kegiatan ritual adat dan keagamaan, termasuk juga di dalamnya seni pertunjukan. Pola kehidupan dalam dua dunia ini menekan orang Bali untuk senantiasa memiliki uang. Ketergantungan Bali pada pariwisata untuk kelangsungan hidup Bali modern sudah sedemikian besar. Pariwsata sudah menjadi andalan utama, menggantikan pertanian dan industri kecil.

Sementara itu orang Bali juga menyaksikan dan merasakan perubahan-perubahan drastis yang terjadi di sekitar mereka terutama sejak boom pariwisata tahun 1980-an. Dampak-dampak yang mereka lihat adalah berubahnya lahan-lahan pertanian menjadi kawasan wisata dan pemukiman; laut, danau dan sungai yang terpolusi; volume sampah terutama yang anorganik meningkat tajam; energi dan air bersih terhambur-hamburkan; meningkatnya kepadatan penduduk sebagian oleh masuknya migran dari luar Pulau Bali, domestik maupun asing; serta meningkatnya kriminalitas, penyalah-gunaan alkohol dan narkoba, dan penyebaran HIV/AIDS. Belum lagi permasalahan-permasalahan lain, dan yang masih terpendam di bawah permukaan. Jumlah orang Bali yang mulai terjerumus ke dalam perilaku yang membahayakan dan melanggar hukum juga bertambah banyak.

Belakangan ini, sejak tahun 2003 menyusul Bom Bali 2002, muncul wacana yang sekarang tersebar luas yang disebut Ajeg Bali. Wacana yang pada intinya muncul dari kekhawatiran atau kebingungan orang Bali melihat berbagai situasi negatif yang terjadi di Bali, termasuk kekhawatiran orang Bali menjadi minoritas di pulaunya akibat serbuan pendatang dari pulau-pulau lain, terutama Jawa dan Lombok. UU No. 22/ 1999 dan PP No. 25/ 2000 tentang otonomi daerah yang berfokus pada daerah Tingkat II juga dikhawatirkan bisa menggoyahkan Bali sebagai satu kesatuan alam dan budaya karena interpretasi dan kepentingan yang berbeda dari kabupaten-kabupaten yang ada di Bali. Sehingga masih ada wacana-wacana agar Bali mendapat otonomi khusus yaitu otonomi di tingkat provinsi (Lihat Tim Perumus Bali Post 2004).

Dampak atau pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali oleh para peneliti dikatakan sebagai negatif dan positif. Dampak negatif adalah terjadinya komersialisasi, komodifikasi dan profanisasi yang mengarah pada penggerusan; sedang dampak postif adalah terpacunya kreativitas seni budaya penduduk lokal untuk memenuhi kepentingan pariwisata (Lihat Ruastiti 2005; Ardika 2004). Dalam konteks seni pertunjukan tradisional pengaruh positif dan negatif juga terjadi. Munculnya kreativitas nyata sekali terlihat pada berkembang pesatnya berbagai jenis seni pertunjukan di Bali termasuk meningkatnya jumlah penggiat kesenian, namun pada saat yang sama beberapa tarian sakral termasuk elemen prosesi ritual mengalami profanisasi karena mulai dipertunjukkan kepada wisatawan.

Dinamika Seni Pertunjukan Bali dalam Konteks Pariwisata

Budaya Seni Pertunjukan Tradisional adalah elemen budaya yang paling konkret yang bisa segera ditawarkan kepada wisatawank karena sifat universal seni tari dan musik sebagai pengiringnya lebih mudah untuk dinikmati (diapresiasi) wisatawan tanpa perlu keterlibatan yang mendalam; dan mudah dipaket/dikemas untuk didatangkan ke hotel-hotel, termasuk dipertontonkan ke luar negeri dalam wujud misi kesenian untuk promosi pariwisata. Reputasi seni pertunjukan tradisional Bali sudah diakui secara luas baik oleh para spesialis maupun wisatawan kebanyakan. Seni pertunjukan adalah salah satu aset terpenting bagi citra pariwisata budaya.

Secara umum seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: wali (seni pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali pertunjukan yang diperuntukkan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum. Pengkatagorian ini ditegaskan pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Bali sebagai respon dari semakin merambahnya pertunjukan untuk pariwisata ke seni-seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini merekomendasikan agar kesenian yang sifatnya wali dan bebali tidak dikomersialkan. Bandem dan deBoer dalam bukunya Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition secara rinci mengklasifikasi berbagai seni pertunjukan yang ada di Bali hingga awal tahun 1980-an. Tergolong ke dalam wali misalnya: Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede; bebali seperti: Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong; dan balih-balihan diantaranya: Legong, Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.

Penulisan secara seksama tentang Seni Pertunjukan Drama dan Tari Bali pertama diipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, bahwa buku ini ditulis oleh orang asing bernama Walter Spies dan Beryl de Zoete. Bukankah intervensi orang asing sudah merupakan bagian dari sejarah Bali pada umumnya? Walter Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat dikenal di Bali. Ia datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga jaman pendudukan Jepang di awal tahun 1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada seni pertunjukan di Bali. Peranannya dalam awal-awal perkembangan pariwisata budaya Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke Bali pada waktu itu untuk memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di Bali. Pertunjukan seni tradisional menjadi menu rutin bagi pengunjung di Jaman itu. Pementasan dilakukan dilakukan di berbagai jaba pura (bagian luar pura) di berbagai desa di daerah sekitar ubud dan juga pementasan ke Bali Hotel milik maskapai pelayaran Belanda, KPM.

Bisa dibayangkan bahwa pertunjukan drama dan tari sering tidak sepenuhnya bisa difahami oleh para wisatawan terutama karena faktor bahasa; disamping pada umumnya jadwal tour wisatawan yang padat. Karena itu intervensi dilakukan oleh agen perjalanan wisata agar pertunjukan bisa dipersingkat ke format yang lebih bisa dimengerti dan dinikmati oleh wisatawan. Genre-genre campuran mulai bermunculan yang mengkombinasikan genre satu dengan yang lain, misalnya Cak sebagai perpaduan cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari yang dilakukan oleh Spies dan seorang penari bernama Limbak; atau tari Barong dan Kris dengan cuplikan dari Mahabarata. Pertunjukan yang biasanya berdurasi satu jam. Disamping itu juga bermunculan tari-tari lepas (tari yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari drama); dan paket pementasan yang menggabungkan berbagai tari lepas dari genre topeng, baris, legong dan lainnya. Seni pertunjukan Bali yang sifatnya sakral biasanya memiliki nilai eksotisme dan magis sehingga dicari-cari oleh wisatawan. Ada ketergiuran para penyedia jasa pariwisata pun kemudian menawarkan paket-paket tiruan seni sakral tersebut. Pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris) adalah salah satu contoh klasik profanisasi yang terjadi (Lihat Bandem dan deBoer 1981: 145-150).

Kiranya idealisme untuk tidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa dijalankan sepenuhnya. Sekarang pertunjukan-pertunjukan untuk pariwisata sudah mulai mepertontonkan imitasi tari Sang Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan sebagainya. Dan yang terakhir berkembang adalah istilah pertunjukan kemasan baru sebagai gabungan aspek prosesi ritual dengan pagelaran berbagai jenis pertunjukan secara simultan seperti wayang, tari cak api, joged bungbung, dan pertunjukan selama makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama tari barong. Pertunjukan seperti ini kerap dilakukan dalam paket wisata puri (keraton) berupa royal dinner seperti yang dilakukan di puri Mengwi, Kerambitan dan ditiru oleh puri-puri lain. Hotel-hotel besar ketika menyelengarakan konvensi atau gala dinner juga kerap memakai pertunjukan kemasan baru. Tekanan pasar untuk senantiasa menawarkan sesuatu yang baru akhirnya berpengaruh pada penciptaan jenis-jenis pertunjukan baru.

Dampak Pariwisata Budaya pada Seni Pertunjukan Tradisional

Disamping permasalahan komodifikasi dan penggerusan, masalah yang sering menjadi pembicaraan adalah kurangnya penghormatan atau apresiasi para pengusaha pariwisata terhadap para seniman tradisional. Disamping pembayaran yang diberi tergolong masih rendah seni pertunjukan sering diposisikan sebagai suatu pelengkap acara, biasanya makan malam di hotel/restoran. Seniman diberi fasilitas sekedarnya dan sering tidak diperkenalkan dengan semestinya. Bagaimana apresiasi mendalam bisa terjadi ketika perhatian penonton harus terbagi antara menyantap makanan dan menonton pertunjukan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat-tempat pertunjukan pariwisata guide atau supir yang mengantar wisatawan mendapat komisi 25-50% dari harga tiket masuk. Demikian pula para makelar kesenian (perantara antara seniman dan pemesan) mengambil persentase yang tinggi dari harga yang ditawarkan sehingga upah yang diterima oleh seniman sangat minim. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya jumlah seniman /kelompok keseniann di Bali (supply yang tinggi), ditambah dengan rendahnya pengetahuan dan kemampuan manajerial kebanyakan seniman/kelompok seniman, dan karena faktor tradisi budaya ngayah (pertunjukan sebagai sebuah persembahan dan kepuasan batin) yang masih kental di kalangan penggiat seni. Posisi tawar para seniman di hadapan pengusaha pariwisata menjadi rendah, tercermin dengan adanya persaingan dalam menurunkan harga antara kelompok satu dengan yang lain.

Memang ada segelintir hotel dan tempat tontonan pariwisata yang berusaha memposisikan seni pertunjukan tradisioanl sebagai suatu yang istimewa kepada tamunya. Seniman yang ditampilkan adalah seniman yang berkualitas atau seniman-seniman ternama; pementasan dilakukan tidak pada saat makan; ada usaha-usaha untuk memberi informasi yang baik (pendidikan) kepada tamu; dan mereka bersedia memberi harga yang disodorkan seniman. Seniman-seniman yang sudah yakin dengan kualitasnya biasanya berani mematok harga; mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi. Semua ini bisa terjadi tidak lepas dari adanya keberagaman jenis wisatawan yang datang. Ada wisatawan yang puas dengan sekedar melihat pertunjukan, ada juga yang mau melihat yang terbaik.

Ada usaha-usaha Pemda Bali melalui LISTIBIYA-nya untuk melindungi seniman dari eksploitasi dan sebaliknya memberi dukungan dan bimbingan kepada mereka agar menjaga atau malah meningkatkan kualitas. LISTIBIYA mengeluarkan semacam lisensi layak pentas untuk umum/pariwisata yang bernama Pramana Patram Budaya kepada kelompok-kelompok kesenian. Pemerintah terus menghimbau agar para pelaku usaha pariwisata memberi penghargaan yang lebih baik kepada seniman, baik secara finansial maupun perlakuan. SK Gubernur No. 394 dan 395 tahun 1997 misalnya membuat patokan-patokan upah bagi berbagai jenis kelompok kesenian yang ada. Seberapa jauh implementasi dari upaya ini memang masih perlu ditelusuri. Penulis masih mengamati banyak pementasan yang dilakukan di hotel-hotel/restoran yang terkesan seadanya, dan membaca di media massa tentang keluhan kurangnya penghargaan pariwisata kepada para seniman. Barangkali pementasan yang rutin bisa jadi membuat sang penari mengalami kejenuhan, disamping ada anggapan bahwa wisatawan toh tidak bisa membedakan antara pertunjukan yang berkualitas dengan yang tidak.

Dampak positif pariwisata bisa dihubungkan dengan peningkatan kuantitas jenis kesenian dan jumlah seniman, dan umumnya peningkatan penghasilan. Para seniman berharap untuk dapat kesempatan pentas di hotel karena lebih sering atau rutin ketimbang pertunjukan untuk adat/upacara. Perlu diketahui bahwa seni pertunjukan tidak pernah lepas dari ritual-ritual yang dipercaya harus dilanjutkan. Ritual-ritual melibatkan beberapa bentuk pertunjukan seperti Sang Hyang, wayang lemah, topeng pajegan, pendet, berbagai jenis tari baris sakral; dan masih dalam konteks ritual tetapi juga untuk hiburan seperti wayang kulit pada malam hari, calon arang, atau gambuh. Meningkatnya daya beli masyarakat secara umum memungkinkan desa adat atau banjar untuk membeli perangkat gamelan yang biasanya juga merangsang terbentuknya kelompok drama/tari.

Seorang seniman muda ternama di Bali (I Nyoman Budiarta dari Batuan-Gianyar) yang penulis sempat wawancarai memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang dikhawatirkan oleh para sarjana bahwa pariwisata menggerus kualitas kesenian tradisional. Ia berpendapat bahwa pariwisata memberi lebih banyak dampak positif dari negatif. Pertunjukan yang rutin memberi kesempatan lebih banyak untuk berlatih sehingga menjadikan kesenian lebih kreatif dan bervariasi. Dia tidak mempermasalahkan misalnya pertunjukan yang dilakukan saat dinner karena percaya bahwa wisatawan otomatis akan lebih memperhatikan pementasan dari makanan bila pertunjukannya berkualitas. Letak permasalahan utama ada pada si seniman—apakah dia memang seniman yang berkualitas sehingga berani mematok harga atau seniman rata-rata yang mau dihargai rendah. Ia menyarankan memang perlu adanya fasilitator yang mempertemukan pengusaha pariwisata dengan seniman untuk berdialog: bahwa mereka saling membutuhkan. Pemerintah juga bisa memfasilitasi dengan membuat batasan-batasan atau rambu-rambu. Perihal tudingan bahwa telah terjadi profanisasi pertunjukan sakral dia menyarankan agar definisi sakral itu dipertegas. Menurutnya yang membuat sebuah kesenian sakral adalah ketika dilakukan untuk ritual lengkap dengan sarana upacara, banten. Dia tidak mempersalahkan kalau ada kesenian ritual yang dikemas menjadi tontonan pariwisata sejauh tidak melibatkan banten. Dia malah berpendapat bahwa seni-seni ritual atau klasik perlu dibuatkan tiruan agar tidak punah dan kalau perlu dikembangkan.

Seorang tokoh kesenian Bali generasi tua (I Gusti Agung Ngurah Supartha dari Tabanan) melihat memang terjadi penurunan kualitas atau nilai-nilai. Ini tidak terlepas dari perkembangan jaman yang semakin modern dimana banyak hal yang menyita perhatian baik si seniman maupun masyarakat (penonton), ditambah lagi dengan berkembangnya sindrom cepat jadi, instan, tercermin pada keinginan murid-murid (termasuk orang tuanya) agar cepat bisa menari dan dipentaskan.Tantangan untuk seniman-seniman sekarang tidak seberat yang dulu. Jarang ada guru-guru yang mengajar sekeras dan seintensif dulu. Perubahan pada dinamika penonton juga berpengaruh pada penurunan kualitas. Di era sebelum tahun 1970-an seniman tertantang untuk mencapai potensi terbaiknya karena ada penonton-penonton yang datang untuk menguji. Kedekatan jarak antara penonton dan penari karena panggung yang kecil menciptakan kondisi untuk komunikasi saling apresiasi, komunikasi rasa mecingak. Sistim panggung sekarang yang memisahkan penari dengan penonton (terlebih lagi penayangan tari melalui TV) meniadakan proses mecingak tersebut.

Penulis berpendapat bahwa seni pertunjukan tradisional Bali mengalami penurunan dari segi kualitas karena berkurangnya intensitas pelatihan, perenungan dan pendalaman. Taksu atau daya pikat yang terpancar dari para penari generasi sekarang tidak sekuat para penari generasi tua.

Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) di Bali Sejalan dengan berkembangnya wacana Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) maka berkembang pula wacana pariwisata berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi penerus untuk memenuhi kebutuhan mereka (lihat WCED, Our Common Future 1987) mengandung tiga prinsip yaitu keberlajutan secara ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi (Lihat Pitana 2002:53-54). Pariwisata yang diyakini dapat mengakomodasi konsep-konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) atau bersinonim dengan Ekowisata; bukan pariwisata massal seperti sekarang ini. Konsepsi dasar dari PBM adalah pariwisata yang menitikberatkan pada pemeliharaan mutu dan kelanjutan sumberdaya alam dan budaya; pariwisata yang mengemban misi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dengan tetap menjaga keseimbangan antara sumber daya alam dan budaya dengan kepuasan wisatawan (Lihat Ardika 2004: 22). Kesejahteraan masyarakat lokal dimungkinkan tercapai bila mereka dilibatkan mulai dari perencanaan hingga ke pelaksanaan dan evaluasi.

Pariwisata yang berkembang selama ini di Bali memang kurang sekali melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Usaha-usaha yang mengarah pada pariwisata berbasis masyarakat masih minim. Sepengetahuan penulis hanya Yayasan Wisnu dengan program Jaringan Ekowisata Desa-nya bekerjasama dengan empat desa yaitu Tenganan, Nusa Ceningan, Pelaga dan Sibetan yang secara serius menggarap PBM. Walau usaha yang dirintis lima tahun belakangan diakui oleh Yayasan Wisnu belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang berarti karena para pelaku masih gamang akan tugas dan peran masing-masing; salah menafsirkan keinginan turis; alasan klise permasalahan SDM; dan kurang totalnya para pelaku didalam melaksanakan program. Kurang keberhasilan ini tentunya tidak lepas dari kurangnya perhatian pemerintah, pelaku pariwisata dan masyarakat sendiri terhadap ekowisata atau PBM, karena rumit, memerlukan proses panjang sehingga dianggap tidak menguntungkan dalam jangka pendek. Namun Yayasan Wisnu tetap bertekad untuk melanjutkan proses yang sudah dijalani.

Terkait dengan konsep PBM maka pemberdayaan seni pertunjukan atau budaya secara umum perlu dilakukan. Perlu ada kajian-kajian tentang sejauh dampak pariwisata terhadap seni pertunjukan. Perlu adanya dialog antara pemerintah melalui instansi terkait seperti dinas kebudayaan, LISTIBIYA, dinas pariwisata dengan para pelaku kesenian, para penyedia pertunjukan pariwisata, serta institusi atau insan-insan yang peduli terhadap kualitas seni pertunjukan termasuk kesejahteraan para senimannya.

Kajian-kajian tentang kepariwisataan Bali yang sudah berjalan hampir satu abad pada umumnya masih tergolong terbatas tidak sebanding dengan keberadaan pariwisata yang sudah begitu dominan di Bali . Hal yang sama terjadi pada seni pertunjukan tradisional dalam hubungannya dengan pariwisata. Pariwisata yang berkonsekwensi sangat besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat Bali perlu mendapat kajian-kajian yang serius terutama dampak-dampak jangka pendek dan panjangnya terhadap kesinambungan alam dan kebudyaan Bali .

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan (2004) Pariwisata Bali: Membangun Pariwisata-Budaya dan Mengendalikan Budaya-Pariwisata, di I Nyoman Darma Putra (ed.), Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, Pustaka Bali Post, Denpasar-Bali , Indonesia , hal. 20-33.

Tim Perumus Bali Post (2004) Ajeg Bali: Sebuah Cita-Cita, Pustaka Bali Post, Denpasar-Bali , Indonesia .

Bandem, I Made dan deBoer, F.E. (1981) Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition, Oxford University Press, Kuala Lumpur, New York, Melbourne.

Kurnianingsih, A. (2002) Jaringan Ekowisata Desa: Tradisionalisasi Diri Orang Bali di Tengah Modernisasi, Tesis S2 Program Studi Antropologi Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Pitana, I Gde (2002) Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali , Print Works, Denpasar-Bali , Indonesia .

Rai, A.A. Gde (2003) Sustaining Culture Through Tourism: Fact or Fluff (from heritage to legacy), Presentasi pada PATA Annual Conference, Bali .

Ruastiti, Ni Made (2005) Seni Pertunjukan Bali dalam Kemasan Pariwisata, Bali Mangsi Press, Denpasar-Bali, Indonesia.

Vickers, A. (1990) Bali : A Paradise Created , Periplus Editions (HK) Ltd., Hong Kong .

WCED (1987) Our Common Future, Oxford University Press, Oxford .

Biodata I Gusti Raka Panji Tisna (Panji) lahir di Bali 29 September 1965. BA (Biologi) tahun 1990 di Colorado College, Colorado, USA dan M.Env.Ed. (Master Pendidikan Lingkungan) tahun 1998 di Griffith University, Queensland, Australia. Pernah bekerja sebagai penceramah dan asisten Cruise Director pada P&O Spice Island Cruise di Jakarta & Bali tahun 1990-92; peneliti pada Yayasan Bambu Lingkungan Lestari di Bali 1992-95. Setelah itu lebih banyak bekerja independen di berbagai bidang yang ia minati: menulis, menerjemahkan; mempromosikan program Seni-Budaya; mengajar mahasiswa asing yang datang ke Bali; sebagai fasilitator dalam berbagai seminar dan kegiatan lingkungan; serta tetap melakukan eksplorasi potensi di bidang seni. Pernah belajar dan menekuni tari Bali termasuk pentas di berbagai kesempatan di Bali maupun di Luar Negeri dan menjadi Direktur perlawatan seni Master Dancers of Bali selama enam minggu di USA tahun 2002; terkadang diminta bantuan oleh perupa kontemporer Bali untuk membantu dan mendampingi pameran di Luar Negeri. Menjadi penulis, penerjemah dan editor buku: "Bali Dalam Dua Dunia: Potret diri yang kritis (terbit dalam edisi Inggris, Indonesia dan Jerman; tahun 2001) bersama Museum Kebudayaan Basel, Swiss; buku 4+1=Venezia (terbit dalam edisi dua bahasa oleh Wianta Foundation, Bali, tahun 2003) Catatan perjalanan ke Bienalle Venezia 2003. Singkatnya, Panji melakukan apa saja yang ia minati, semasih tidak merugikan orang atau makhluk lain, syukur-syukur kalau berguna untuk kepentingan umum.

Sumber: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

»»  Baca Lebih Lanjut...

Posting Kami