BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring perkembangan dunia yang pesat, perkembangan kondisi pasar sekarang ini telah membawa pengaruh terhadap strategi yang harus diterapkan oleh perusahaan dalam menawarkan dan memasarkan produk mereka. Bergulirnya waktu ke waktu konsumen semakin menseleksi segala produk yang diinginkan dengan melalui informasi yang tersedia. Oleh sebab itu, setiap perusahaan harus pintar dalam memilih cara yang tepat untuk menginformasikan produk perusahaannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk meraih sukses dalam mencapai pasar sasaran suatu perusahaan, diperlukan strategi yang tepat sasaran. Oleh sebab itu diperlukan seorang pemasar yang mampu membaca situasi dan kondisi pasar secara tepat.
Untuk mencapai sasaran dalam suatu usaha pemasaran selalu membutuhkan alat dalam penyampaian informasi kepada konsumennya, salah satunya adalah dengan cara mengeluarkan iklan tentang produk suatu perusahaan yang menarik bagi konsumen, yang pada akhirnya konsumen juga akan tertarik untuk menggunakan produk yang diiklankan. Penyampaian iklan akan membantu dalam mengenalkan produk kepada konsumen, iklan mempunyai peranan penting dalam menancapkan merek suatu produk ke pikiran konsumen. Menurut sejarahnya, kegiatan promosi atau iklan suatu produk barang atau jasa dilakukan secara langsung (orasi). Lalu ketika ditemukannya aksara untuk baca dan tulis, manusia melakukan kegiatan ekonominya dengan ditulis pada wadah untuk menulis baik itu dari batu, kain, tulang atau kertas. Wadah yang terakhir ini melahirkan iklan yang muncul dalam bentuk poster dan pamflet.
Lalu dengan adanya printer yang mempengaruhi perkembangan media cetak, iklan dimuat di halaman-halaman surat kabar, koran, majalah, tabloid, baliho ataupun papan-papan besar yang biasa terlihat di pinggir jalan kota. Ketika media penyiaran mulai berkembang lagi, maka iklan dimunculkan dalam bentuk suara dengan media radio. Televisi merupakan media iklan selanjutnya. Adanya televisi, konsumen jadi lebih menarik untuk membeli karena produk tersebut langsung di demokrasikan dan dengan adanya efek dari cahaya, suara, gerakan juga. Periklanan sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bisnis modern saat ini.
Dalam pekembangannya, periklanan menimbulkan bebagai masalah bebeda, teutama dalam konteks sosio kultural, yaitu iklan-iklan yang setiap hari secara massal dan intensif dicurahkan diatas masyarakat melalui berbagai media komunikasi yang pada umumnya tidak mendidik, tetapi sebaliknya justru menyebarluaskan selera rendah. Tak lepas dari masalah di atas persaingan akan produk dana jasa dasawarsa ini telah memunculkan perang iklan untuk produk-produk sejenis. Banyak dari iklan produk serupa cenderung untuk menjatuhkan lawan produk melalui iklannya daripada mengiklankan keunggulan produknya. Perang iklan ytang semakin agresif dan berbala-balasan,ini menyebabkan keetisan dan aturan main yang baik dilupakan seolah itu adalah hal kuno dan tak kompeten untuk di lakukan dewasa ini.
Latar belakang diatas menjelaskan betapa pentingnya adanya iklan di perkembangan zaman sekarang ini. Serta iklan mulai berkembang, dari bentuk orasi menjadi bentuk ke media televisi yang saat ini bisa kita lihat produk tiap perusahaan berlomba-lomba untuk menarik konsumen. Untuk itu maka kami ingin meneliti lebih jauh tentang iklan. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.
Fokus Pembahasan
1. Pengertian dan fungsi iklan
2. Peraturan-peraturan mengenai iklan
3. Etika periklanan secara umum
4. Etika periklanan secara Islam
5. Studi kasus : Fenomena perang iklan
6.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Fungsi Iklan
Iklan atau dalam bahasa Indonesia formal disebut pariwara adalah promosi benda seperti meja baru, jasa seperti kantor pos, tempat usaha dan ide yang harus dibayar oleh sebuah sponsor. Pemasaran melihat iklan sebagai bagian dari strategi promosi secara keseluruhan. Komponen lainnya dari promosi termasuk publisitas, hubungan masyarakat, penjualan, dan promosi penjualan.
Iklan digambarkan sebagai komunikasi satu arah dari penjual ke pembeli yang mengandung pesan tertentu sesuai kehendak penjual, entah itu untuk membeli, menyewa, atau melakukan hal yang lain sesuai kehendak penjual. Yang pada intinya, iklan berfungsi untuk memperkenalkan sesuatu kepada khalayak ramai.
Periklanan mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai informasi yang kuat. Misalnya tentang tempat pariwisata dan iklan tentang harga makanan di toko swalayan. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsur persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah.[1]
Iklan, seperti dijelaskan diatas, merupakan salah satu strategi pemasaran yang bermaksud untuk mendekatkan barang yang hendak dijual dengan konsumen. Dalam hal ini berarti bahwa dalam iklan kita dituntut untuk selalu mengatakan hal yang benar kepada konsumen tentang produk sambil membiarkan konsumen bebas menentukan untuk membeli atau tidak membeli produk itu.[2]
Media yang digunakan untuk iklan pun sudah banyak macamnya. Mulai dari pamflet, selebaran, siaran radio, tayang televisi, baliho reklame, bahkan sticker yang biasa muncul di situs internet. Tergantung dari strategi mana dan konsumen mana yang dituju, isi dari iklan biasanya disusun sedemikian rupa sehingga menarik untuk dibaca. Bahkan banyak sekali iklan yang dibuat, justru tidak menampakkan informasi yang jelas sama sekali (ambigu) sehingga membuat pembaca merasa bingung dan heran. Sehingga pada akhirnya mereka para pembaca akan penasaran dan mencoba mencari informasi terkait prosuk yang diiklankan.
Akan tetapi, tidak semua iklan menampilkan pencitraan bagus dari produknya. Justru malah menjelek-jelekan prosuk lain atau membanding-bandingkan produknya dengan produk lain secara tidak obyektif. Bahkan ada pula iklan yang isinya berupa peyakinan yang dilebih-lebihkan, dengan maksud pembaca lebih mantap dan percaya terhadap produk tersebut. Padahal belum tentu juga produk tersebut “seampuh” yang diiklankan. Tentunya hal ini sudah termasuk pembohongan publik apabila terus dibiarkan.
B. Peraturan-peraturan Mengenai Iklan
Melihat fakta-fakta keseharian diatas, tentunya harus ada peraturan yang mengatur masalah periklanan. Seharusnya dengan peraturan tersebut, periklanan di Indonesia menjadi rapi, bersih, dan bebas dari pembohongan dan penjelek-jelekan. Diantara peraturan periklanan di Indonesia adalah:[3]
v Etika Pariwara Indonesia
v Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
v Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS;
v Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
v Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
v Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;
v Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
v Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 368/Men.Kes/ SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan-Minuman;
C. Etika Periklanan Secara Umum
Pada tahun 2006, organisasi periklanan dan media massa seluruh Indonesia menyepakati bersama tentang Etika Pariwara Indonesia (EPI). Berikut ini kutipan beberapa etika periklanan yang terdapat dalam kitab EPI:[4]
1. Hak Cipta: Penggunaan materi yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah.
2. Bahasa:
a. Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut.
b. Tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“.
c. Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
d. Penggunaan kata ”halal” dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang.
3. Tanda Asteris (*):
a. Tanda asteris tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk.
b. Tanda asteris hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.
4. Penggunaan Kata ”Satu-satunya”: Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satu-satunya” atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
5. Pemakaian Kata “Gratis”: Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
6. Pencantum Harga: Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.
7. Garansi: Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggung- jawabkan.
8. Janji Pengembalian Uang (warranty):
a. Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang.
b. Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
9. Rasa Takut dan Takhayul: Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10. Kekerasan: Iklan tidak boleh – langsung maupun tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
11. Keselamatan: Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
12. Perlindungan Hak-hak Pribadi: Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan.
13. Hiperbolisasi: Boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.
14. Waktu Tenggang (elapse time): Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut.
15. Penampilan Pangan: Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.
16. Penampilan Uang:
a. Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan.
b. Iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang orang untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah.
c. Iklan pada media cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna ataupun hitam-putih.
d. Penampilan uang pada media visual harus disertai dengan tanda “specimen” yang dapat terlihat Jelas.
17. Kesaksian Konsumen (testimony):
a. Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
b. Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya.
c. Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen tersebut.
d. Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika, harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi pada hari dan jam kantor biasa.
18. Anjuran (endorsement):
a. Pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur.
b. Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
19. Perbandingan:
a. Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama.
b. Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut.
c. Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak.
20. Perbandingan Harga: Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diserta dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.
21. Merendahkan: Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.
22. Peniruan:
a. Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti.
b. Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.
23. Istilah Ilmiah dan Statistik: Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.
24. Ketiadaan Produk: Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut.
25. Ketaktersediaan Hadiah: Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain yang bermakna sama.
26. Pornografi dan Pornoaksi: Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun.
27. Khalayak Anak-anak:
a. Iklan yang ditujukan kepada khalayak anakanak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka.
b. Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anakanak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “Bimbingan Orangtua” atau simbol yang bermakna sama.
D. Etika Periklanan Secara Islam
Adanya kaidah fiqih muamalah berupa “Segala sesuatu pada asalnya bersifat boleh (halal), hingga ada dalil yang mengharamkannya”, membuat bentuk aktifitas beriklan pada dasarnya boleh. Akan tetapi, jika sudah melanggar batas “diharamkan”, maka kegiatan itu sudah harus dihentikan. Berikut ini kaidah-kaidah yang seharusnya tidak boleh dilanggar oleh para pelaku bisnis:
---- Ghibah / Ngerasani[5]
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtä†r& óOà2߉tnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷dÌs3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§‘ ÇÊËÈ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
---- Namimah / Adu Domba[6]
Ÿwur ôìÏÜè? ¨@ä. 7$žxym AûüÎg¨B ÇÊÉÈ :—$£Jyd ¥ä!$¤±¨B 5O‹ÏJoYÎ/ ÇÊÊÈ
“Dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah”
Salah satu kebiasaan iklan , terutama di Indonesia adalah saling menjatuhkan antara iklan produk satu terhadap produ yang lain. Hal ini bisa masuk kategori menyebar fiutnah meskipun kecil, bahkan dalam kitab Etika Periklanan Indonesia juga dicantumkan larangan untuk saling menjatuhkan.
---- Kibru / Sombong[7]
Ÿwur Ä·ôJs? ’Îû ÇÚö‘F{$# $·mttB ( y7¨RÎ) `s9 s-ÌøƒrB uÚö‘F{$# Æs9ur x÷è=ö6s? tA$t6Ågø:$# ZwqèÛ ÇÌÐÈ
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”
Saling klaim dalam iklan, saling membanggakan produk secara berlebih-lebihan dapat menjadi sebuah bentuk kesombongan yang tidak nampak. Justru dari ketidaknampakan tersebut, masyarakat secara tidak langsung juga diajari untuk berlaku sombong, dengan klaim menggunakan sebuah produk dan menjelekkan yang lain.
---- Hifdzul Lisan / Menjaga Lisan[8]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah.”
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan makna hadits di atas adalah, “Jika engkau hendak berkata maka berfikirlah terlebih dahulu, jika yang nampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan tersebut, namun jika yang nampak adalah keburukan atau bahkan engkau ragu-ragu maka tahanlah dirimu (dari mengucapkan perkataan tersebut).” Begitu pula dalam konten sebuah iklan, kita dituntut untuk menyampaikan yang baik-baik dan tidak melakukan kebohongan publik.
---- ‘Ujub[9]
Syaikh Ahmad Rifa’I menukil dari pendapat Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Diin, Jilid III halaman 390-391, yaitu:
وَحَقِيْقَةُ الْعُجْبِ تَكَبُّرٌ يَحْصُلُ فِى الْبَاطِنِ بِتَحَيُّلِ كَمَالٍ مِنْ عِلْمٍ وَعَمَلٍ , فَإِنْ كَانَ خَائِفًا عَلَى زَوَالِهِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْجِبٍ . وَإِنْ كَانَ يَفْرَحُ بِكَوْنِهِ نِعْمَةً مِنَ اللهِ فَهُوَ لَيْسَ مُعْجِبًا بَلْ هُوَ مَسْرُوْرٌ بِفَضْلِ اللهِ, وَإِنْ كَانَ نَاظِرًا إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ هُوَ صِفَةٌ غَيْرَ مُلْتَفِتٍ إِلَى إِمْكَانِ الزَّوَالِ وَلَا إِلَى الْمُنْعِمِ بِهِ إِلَى صِفَةِ نَفْسِهِ فَهَذَا الْعُجْبُ وَهُوَ مِنَ الْمُهْلِكَاتِ وَعِلاَجُهُ أَنْ يَتَأَمَّلَ فِى الْعَاقِبَةِ, وَأَنَّ بَلْعَامَ كَيْفَ خُتِمَ بِالْكُفْرِ وَكَذَلِكَ إِبْلِيْسَ, فَمَنْ تَأَمَّلَ فِى إِمْكَانِ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ وَإِنَّهُ مُمْكِنٌ فَلاَ يَعْجُبُ بِشَيْئٍ مِنْ صِفَاتِهِ .
Bahwa hakikat ‘ujub adalah kesombongan yang terjadi dalam diri seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan amal dan ilmunya. Apabila seseorang merasa takut kesempurnaan (ilmu dan amalnya), itu akan dicabut oleh Allah, maka berarti ia tidak bersifat ‘ujub. Demikian juga apabila ia merasa gembira karena menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan merupakan suatu nikmat dan karunia Allah, maka ia juga bukan masuk ke dalam jenis ‘ujub.
Akan tetapi sebaliknya, apabila ia menganggap bahwa kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang kemungkinan kesempurnaan itu lenyap, serta tidak pernah memikirkan siapa Sang pemberi kesempurnaan tersebut, maka inilah yang dinamakan ‘ujub. Sifat ini sangat membahayakan bagi setiap manusia, karena ia mengajak kepada lupa dosa-dosa yang telah dibuatnya dan mengesampingkan (acuh) terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya.
Hal ini juga berlaku dalam dunia periklanan dengan dihindarkannya sifat overpersuasif
---- Janji[10]
Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ¼çn£‰ä©r& 4 (#qèù÷rr&ur ωôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) y‰ôgyèø9$# šc%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
Ya, aspek pemenuhann janji, maksudnya disini adalah samanya produk atau pelayanan yang diterima oleh pelanggan dengan informasi yang disampaikan dalam iklan. Bila tidak sama., hal ini bisa dituntut ke ranah hukum sebagai penipuan dan pembohongan publik.
E. Studi Kasus : Fenomena Perang Iklan[11]
Iklan XL versus Telkomsel “Tetangga Sebelah”
Perang iklan memang bukanlah hal baru di dunia marketing dan promosi. Tidak terkecuali industri telekomunikasi selular yang kini telah melampaui penetrasi lebih dari 50 persen di tanah air. Dunia telekomunikasi seluler masih disibukkan dengan perang tarif. Namun sejak kemunculannya pertama kali di tahun 90-an, saat ini jumlah operator yang beroperasi semakin banyak, dengan posisi pasar yang ditempati oleh pemain ‘yang itu-itu saja’.
Telkomsel masih tercatat sebagai operator incumbent dengan penguasaan pasar lebih dari 50 persen, disusul oleh Indosat, XL, lalu operator-operator kecil yang baru muncul beberapa tahun belakangan. 15 tahun lebih industri seluler telah melayani komunikasi masyarakat di tanah air, sepertinya posisi operator penguasa tidak akan terus menerus ditempati oleh pemain yang sama. Operator boleh saja mengklaim terjadi peningkatan jumlah pelanggan setiap waktu tapi belakangan mulai terlihat ‘siapa yang takut dengan perkembangan siapa’. Saling klaim banyaknya jumlah pelanggan merupakan hal yang masih sulit dibuktikan kebenarannya.
Iklan XL versus Telkomsel “Sule versus Baim”
Pasalnya tidak ada lembaga independen yang bisa memberikan data transparan mengenai statistik jumlah pelanggan yang sebenarnya. Kebanyakan operator menghitung penambahan jumlah pelanggan berdasarkan jumlah kartu yang terjual. Padahal tingkat churn rate (kartu hangus) dikabarkan lebih tinggi ketimbang kartu yang terjual.
Sampai saat ini Indosat masih mengklaim sebagai operator telekomunikasi terbesar nomor dua di Indonesia, yang seharusnya memberikan ancaman serius bagi operator incumbent Telkomsel, meski potensi untuk melakukan ‘pengejaran’ masih jauh dari jangkauan. Namun dalam setiap iklannya belakangan ini, operator tersebut malah berupaya untuk ‘menohok’ iklan yang dilancarkan oleh operator nomor tiga (XL), bukan nomor dua.
Yang paling kentara adalah iklan yang menghadirkan pelawak Sule Sutisna dengan produk Kartu As yang sangat menohok selebritis cilik Baim di iklan XL. Perhatikan kata-katanya di akhir iklan “Saya kapok dibohongi anak kecil mulu” atau di iklan Kartu As lainnya (yang tanpa Sule) dengan kalimat “Makanya, jangan mau dibohongi anak kecil” (beberapa orang pemuda dengan background lapangan futsal) atau “engga ada sulap-sulapan deh di sini mah” (iklan Kartu As di dalam ruangan).
Yang paling menohok mungkin iklan yang baru-baru ini ditayangkan. Masih menampilkan Sule yang didampingi oleh kelompok musik pemenang Indonesia Mencari Bakat (IMB), Klantink, tampilan awal langsung menggunakan kalimat “Ngapain sih pake cek-cek 123? kelamaan”, lalu di sesi akhir iklan tersebut langsung menghadirkan seorang anak kecil berbaju biru, yang merepresentasikan Baim di iklan XL, dengan mengucapkan kalimat “Ternyata Kartu As paling murah ya, Om Sule”.
Dari ‘sahut-sahutan’ iklan di televisi yang sekarang marak, sangat terlihat jika Telkomsel merasa bahwa Indosat bukanlah ancaman lagi. Meski XL pun sepertinya masih harus berjuang keras untuk mengejar ketertinggalan yang cukup jauh dengan Telkomsel. Pasalnya, jika data yang diklaim operator-operator tersebut benar, pelanggan XL masih sekira 40-an persen dari total pelanggan Telkomsel yang saat ini telah mencapai 96 juta. Sedangkan jumlah pelanggan Indosat hanya beda tipis dibanding pelanggan XL. XL baru saja mengumumkan pelanggannya telah mencapai 40 juta, sedangkan Indosat telah tiga bulan lalu mengumumkan raihan sebesar itu.
Produk dan layanan seluler yang ditawarkan Indosat saat ini, belakangan dianggap kurang produktif dan inovatif, khususnya dalam strategi promosi dan marketing. Terbukti dengan turunnya laba bersih mereka di kuartal ketiga tahun ini hingga lebih dari 63,4 persen atau hanya sekira Rp530,9 miliar. Hebatnya, meski pendapatan turun drastis mereka masih mengklaim mendapatkan peningkatan pelanggan yang cukup signifikan. Sedangkan laba bersih XL mencapai Rp2,1 triliun atau naik 73 persen dibanding kuartal yang sama tahun sebelumnya.
Intinya dengan jumlah pelanggan Indosat yang lebih banyak ketimbang XL, pendapatan seluler Indosat ‘hanya’ mencapai Rp11,914 triliun. Sementara XL memperoleh pendapatan Rp13 triliun.
Tidak hanya memiliki hasil yang lebih baik ketimbang Indosat. Laba bersih XL juga lebih baik ketimbang Telkomsel. Berdasarkan laporan keuangan, anak usaha Telkom yang bergerak di bidang seluler ini hanya tumbuh 2,6 persen.
Tidak hanya itu, nilai perusahaan Indosat pun berada di bawah XL. Menurut data, nilai kapitalisasi perusahaan XL masih sekira Rp48,5 triliun, sedangkan Indosat hanya Rp32,6 triliun saja. Menurunnya performa Indosat dan langkah agresif XL bisa jadi merupakan alasan mengapa kemudian Telkomsel mengalihkan fokus ‘serangan’ ke XL. Dengan kata lain, Telkomsel menyadari jika XL akan menjadi ‘ancaman serius’ di industri ini. Dan Indosat?
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara keseluruhan, dari pembahasan yang cukup panjang diatas, nilai-nilai etis yang patut diperhatikan oleh para pelaku bisnis, antara lain dapat disimpulkan kedalam nilai-nilai berikut:
1. Aspek Isi (konten), “pesan” hendaknya disampaikan secara jujur, jelas, transparan, dan tidak mengintimidasi.
2. Aspek Legalistik, tidak melanggar aturan-aturan yang ada, dan memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh policy maker.
3. Aspek Kompetisi, hendaknya iklan tidak saling menjatuhkan dan menjelekkan. Kompetisi yang sehat harus dihadapi dengan elegan dan sportif.
4. Tidak Manipulatif, tidak overpersuasif dan mengintimidasi calon konsumen untuk mengarahkan kepada perilaku konsumtif.
5. Waktu Tayang, perlu diperhatikan waktu-waktu dari pemirsa media radio atau elektronik, sehingga “pesan” akan tersampaikan pada orang yang tepat. Tidak akan tepat apabila iklan produk dewasa ditayangkan pada jam menonton anak-anak.
6. Aspek Tampilan, hal ini dimaksudkan agar setiap iklan selain memperhatikan nilai-nilai universal, juga harus memperhatikan nilai-nilai lokal. Bisa jadi sebuah iklan akan dianggap menarik di Amerika Serikat, justru dianggap vulgar di Timur Tengah, karena factor tampilan aurat.
7. Tidak berlebihan. Iklan yang terlihat berlebihan, tidak efektif dan efisien, justru menjadi boomerang bagi yang mengeluarkan iklan, terutama dari segi biaya.
8. Penempatan. Penempatan yang tidak tepat justru membuat iklan terlihat tampak tidak menarik dan mengganggu pemandangan. Semisal saja, kita tidak akan pernah melihat iklan rokok di sekolah-sekolah atau iklan mukena di lokalisasi.
Itulah kiranya beberapa aspek yang perlu dicermati oleh setiap pebisnis yang seringkali perlu menampilkan iklan dalam berbagai bentuk. Semua aspek tersebut agaknya telah sesuai dengan ajarn etika dalam agama dan nilai kearifan lokal.[12]
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius
Departemen Agama Republik Indonesia. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 1-30. Surabaya : Mekar Surabaya
Dewan Periklanan Indonesia. 2007. Etika Pariwara Indonesia Cetakan ke-3. Jakarta : Dewan Periklanan Indonesia
Djakfar, Muhammad. 2012. Etika Bisnis. Jakarta : Penebar Plus
Ibnu Dahlan El-Madary, Hakikat 'Ujub (Berbangga Diri) & Penyebabnya | Tanbihun Online:
http://tanbihun.com/tasawwuf/tasawuf/hakikat-ujub-berbangga-diri-penyebabnya/#.UzGeg879AbN
Keraf, A. Sony. 1993. Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur. Yogyakarta : Kanisius
Software Kitab Hadits Digital Online, http://www.lidwa.com/app/
Subroto, Setyowati. 2011. Etika Periklanan. E-Journal UPS Tegal. No. 049. Diakses dari http://e-journal.upstegal.ac.id/index.php/Cermin/article/view/213/216 pada tanggal 25 Maret 2014
Sule Vs Baim Cilik :: Okezone Techno:
http://techno.okezone.com/read/2010/12/27/327/407520/sule-vs-baim-cilik
Wijayanti, Indah . Etika Bisnis (Periklanan), diakses dari:
http://indah-widjaya.mhs.narotama.ac.id/2013/11/18/etika-bisnis-periklanan/
[1] K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (2000), halaman 265
[2] Sony Keraf, Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur (1993), halaman 142
[3] Indah Wijayanti, Etika Bisnis (Periklanan), diakses dari http://indah-widjaya.mhs.narotama.ac.id/2013/11/18/etika-bisnis-periklanan/ pada tanggal 24 Maret 2014
[4] Etika Pariwara Indonesia cetakan ke-3 (2007), halaman 20-25
[5] QS. Al-Hujuraat (49) : 12
[6] QS. Al-Qalam (68) : 10-11
[7] QS. Al-Isra’ (17) : 37
[8] Shahih Muslim no. 67 beserta penjelasan, diakses melalu Software Kitab Hadits Digital Online, http://www.lidwa.com/app/ pada 23 Maret 2014
[9] Hakikat 'Ujub (Berbangga Diri)& Penyebabnya | Tanbihun Online : http://tanbihun.com/tasawwuf/tasawuf/hakikat-ujub-berbangga-diri-penyebabnya/#.UzGeg879AbN diakses pada 24 Maret 2014
[10] QS Al-Isra’ (17) : 34
[11] Sule Vs Baim Cilik :: Okezone Techno:
http://techno.okezone.com/read/2010/12/27/327/407520/sule-vs-baim-cilik (diakses pada 24 Maret 2014)
[12] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis, (2012), halaman 169-172
0 komentar:
Posting Komentar