A. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi dunia khususnya di bidang perdagangan internasional telah memasuki fase perkembangan perdagangan bebas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah Free Trade Agreement (FTA) baik secara multilateral, regional, maupun bilateral. Secara kumulatif sampai dengan akhir tahun 2009 telah terdapat 450 FTA yang telah dinotifikasi, sebagai contoh: i) Di benua Amerika terdapat sebuah kerja sama NAFTA yaitu bentuk kerja sama regional antara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko; ii) Di benua Eropa terdapat kerja sama ekonomi yang lebih luas dengan terbentuknya sebuah kawasan ekonomi yaitu European Union (EU); iii) Association of South East Asian Nation (ASEAN) di kawasan Asia Tenggara. ASEAN yang merupakan bentuk kerja sama regional merupakan sebuah bentuk kekuatan baru di benua Asia, karena menjadi salah satu kawasan dengan jumlah potensi pasar terbesar di dunia. Hal ini tentunya menarik minat negara-negara lain yang ingin mengembangkan potensi kerja sama mereka di wilayah Asia. Dengan terwujudnya bentuk kerja sama ASEAN+1, ASEAN+3, atau ASEAN+6, ditambah dengan rencana besar dengan terbentuknya ASEAN Economic Community (AEC) yang membawa kerja sama ekonomi ke arah yang lebih luas yaitu dalam satu kerangka komunitas ASEAN. Salah satu negara besar yang menunjukan komitmen kerjasamanya sebagai mitra ASEAN adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang secara konkrit diimplementasikan dalam perjanjian kerja sama perdagangan bebas antara ASEAN dengan RRT.
B. Latar Belakang ACFTA
Pada tahun 1991 para pemimpin negara anggota ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN. Kemudian pada tahun 1996, RRT secara resmi menjadi salah satu dialog partner serta mitra strategis bagi ASEAN, dan pada bulan November tahun 2000 bertepatan dengan diadakan KTT ASEAN-RRT, seluruh kepala negara menyepakati gagasan pembentukan ACFTA yang dilanjutkan dengan pembentukan ASEAN-RRT Economic Expert Group pada bulan Maret 2001. Kerja sama dengan RRT tidak dipungkiri merupakan potensi pengembangan pasar yang sangat besar bagi kurang lebih 1,3 milyar penduduk RRT yang merupakan potensi market di negara dengan populasi terpadat di dunia. Potensi sebagai FTA terbesar di dunia secara populasi dan terbesar ketiga di dunia secara ekonomi tersebut membuat kepala negara sepakat untuk menandatangani ”Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and the PRC” pada bulan November tahun 2002, dalam hal ini Republik Indonesia diwakili oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Selama 2 (dua) tahun perundingan berjalan, akhirnya kesepakatan ACFTA pun disepakati dan ditandai dengan adanya penandatanganan Agreement on Trade in Goods pada bulan November tahun 2004, Indonesia pada saat itu diwakili oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Di dalam perjanjian barang yang disepakati terdapat beberapa tahapan skema penurunan tarif yang meliputi :
1. Tahap I
· Early Harvest Program (EHP) Chapter 01 sampai dengan Chapter 08, yaitu: binatang hidup, ikan, dairy product, tumbuhan, sayuran, dan buah-buahan; Kesepakatan Bilateral (produk spesifik), antara lain: kopi, minyak kelapa/CPO, coklat, barang dari karet, dan perabotan;
· Tarif akan menjadi 0% pada tahun 2006.
2. Tahap II
· Diberlakukannya skema Normal Track I dan II (2006-2010) dimana Bea masuk sebanyak 2.528 pos tarif dari 17 sektor industri akan diturunkan menjadi maksimum 5% sampai dengan 0% (Normal Track I), dan Tarif akan menjadi 0% pada tahun 2012 (Normal Track II) untuk barang industri diluar sensitive products (SP).
3. Tahap III
a. Sensitive List
· Tahun 2012 = maksimum 20%;
· Pengurangan menjadi 0-5% pada tahun 2018. Dengan 304 produk antara lain : barang jadi kulit (tas, dan dompet); alas kaki (sepatu, casual, kulit); kacamata; alat musik (tiup, petik, gesek); mainan (boneka); alat olah raga; alat tulis; Besi dan baja; sparepart; alat angkut; glokasida dan alkaloid nabati; senyawa organik; Antibiotik; kaca; barang-barang plastik.
b. Highly Sensitive List
Tahun 2015 tarifnya maksimum 50%. Dengan 47 produk yang terdiri dari: produk pertanian (beras, gula, jagung, dan kedelai); produk industri tekstil dan produk tekstil (ITPT); produk otomotif; produk ceramic tableware.
C. Implementasi Penuh ACFTA
Pada 1 Januari 2010, perjanjian ACFTA secara penuh diimplementasikan, Dasar kemitraan strategis RI-RRT terselenggara karena dilatarbelakangi oleh adanya kesamaan budaya dan kepentingan antara kedua negara. RRT merupakan Negara Asia yang besar pengaruhnya secara global baik dari segi politik maupun ekonomi, terlebih lagi Indonesia bagi RRT adalah mitra strategis yang patut diperhitungkan mengingat menjadi salah satu negara Asia yang mampu tumbuh secara positif di tengah-tengah krisis ekonomi global. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk memupuk dan memperkuat kemitraan dengan RRT yang didasarkan pada prinsip-prinsip saling menghargai dan memahami. Hal ini tercermin dalam sebuah implementasi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2010.
Berbagai pendapat pro dan kontra mengenai ASEAN-China FTA telah sering bermunculan di publik beberapa bulan terakhir ini. Sebagian pihak berpendapat bahwa sejumlah sektor di Tanah Air belum siap menghadapi pemberlakuan penuh ASEAN-China FTA mulai 1 Januari 2010, sebagian lainnya mengatakan perdagangan bebas merupakan tahapan dalam era globalisasi yang mau tidak mau kita pasti harus menghadapinya. Pihak Industri dalam negeri mengajukan keberatan dan menuntut pemerintah agar menunda pemberlakuan ACFTA, dikarenakan apabila kerja sama ini tetap dilaksanakan, maka mereka akan kalah bersaing dengan produk asal Tiongkok dari segi harga yang lebih murah dibandingkan produk dalam negeri, dan hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada tutupnya sejumlah pabrik, sehingga secara langsung terjadi pemutusan hubungan kerja serta meningkatkan jumlah pengangguran, selain itu dampak yang lebih buruknya adalah krisis sosial yang berkepanjangan. Namun, beberapa pihak yang pro terhadap pemberlakuan ACFTA melihat hal ini dari sudut pandang yang berbeda. Factor lemahnya daya saing dan kurangnya supporting infrastruktur seperti energi, transportasi maupun logistik, adalah faktor utama industri tersebut kalah bersaing dengan produk-produk asal RRT.
D. Peluang dan Tantangan
Ditinjau dari neraca perdagangan antara Indonesia dan RRT selama periode 1999-2007, Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan nilai 1,1 milyar pada akhir tahun 2007. Namun dua tahun berturut-turut terjadi defisit perdagangan masing-masing sebesar 3,6 milyar dan 2,5 milyar pada tahun 2008 dan 2009. Dengan nilai defisit perdagangan pada tahun 2009 yang menurun dibanding tahun 2008. Defisit yang muncul pada kedua tahun tersebut apabila ditinjau dari komposisi impor Indonesia dari RRT jumlah impor barang modal dan bahan baku penolong dari RRT meningkat pesat dengan pertumbuhan rata-rata tahunan masing-masing sebesar 51,4% dan 26,0%. Hal ini merupakan indikasi bahwa terjadi added value atau proses produksi terhadap kebutuhan industri domestik, yang tentunya menghasilkan hasil produk yang lebih murah dan efisien.
Selain itu ditinjau dari struktur ekspor non-migas menurut negara tujuan peranan RRT sebagai negara tujuan ekspor semakin meningkat dibandingkan dengan dominasi pangsa ekspor ke Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Hal ini menggambarkan diversifikasi pasar tujuan ekspor ketika krisis ekonomi global melanda Amerika Serikat dan wilayah Uni Eropa, yang dapat menopang keadaan ekonomi Indonesia di teritori pertumbuhan positif. Dengan terbuka luasnya pasar RRT, dimana hampir 80% lebih tarif yang menggunakan skema ACFTA telah mencapai 0%, hal ini membuka peluang baik dari segi penetrasi pasar produk Indonesia ke RRT, maupun terbuka lebarnya sumber bahan baku (material) yang dibutuhkan sektor industri dalam negeri sehingga dapat bersaing secara kompetitif, mengingat Indonesia bukanlah negara tujuan ekspor ataupun impor utama bagi RRT. Dari segi investasi ataupun penanaman modal hal ini membawa pengaruh yang cukup baik, mengingat kebijakan pemerintah RRT yang berencana merestrukturisasi perekonomian mereka dengan melakukan ekspansi dan investasi di luar negeri. Hal ini membawa Indonesia sebagai pasar potensial yang dapat menarik investor RRT untuk membuka perusahaan sebagai basis produksi dan menanamkan modal mereka di Indonesia. Tantangan terberat Indonesia sebenarnya lebih kepada faktor di dalam negeri yaitu, pembenahan sektor pendukung industri dan pertanian seperti kesiapan energi, kualitas tenaga kerja, sistem perbankan baik dari segi suku bunga pinjaman, pembiayaan dan lain-lain, agar dapat mendorong pertumbuhan industri. Berikutnya perlu memperbaiki sistem logistik nasional yang memungkinkan pergerakan barang, modal dan tenaga kerja agar semakin efisien di berbagai sektor. Kemudian peningkatan pengawasan di batas perdagangan Indonesia, hal ini untuk menghalau serbuan produk ilegal. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah peningkatan pengamanan pasar, antara lain dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang didukung kesiapan baik secara infrastruktur, laboratorium, maupun sumber daya manusia yang kompeten. Serta bantuan atau program pembinaan dan peningkatan mutu produk, yang diharap-kan dapat mengungguli kualitas produk luar negeri.
E. Daftar Pustaka
· Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China; 2004.
· Pemaparan Menteri Perdagangan terkait kerja sama ASEAN-China FTA; 2007.
· Pemaparan Dirjen Kerja sama Perdagangan Internasional (KPI) terkait kerja sama ASEAN-China FTA; 2008.
· www.Depdag.go.id
Dari ulasan diatas diketahui bahwa ada tahun 2012 ini Indonesia menghadapi tantangan yang luar biasa terutama untuk sektor UMKM khususnya pengrajin kulit dan alas kaki (kategori sensitive list), maka daripada itu :
1. Berikan 3 argumentasi saudara, langkah-langkah apa yang harus ditempuh dan diambil oleh pemerintah untuk melindungi sektor UMKM-nya.
2. Berikan 3 argumentasi saudara, langkah-langkah apa yang harus ditempuh dan dilakukan oleh UMKM itu sendiri agar bertahan dari serbuan barang asing.
0 komentar:
Posting Komentar