Kamis, 18 April 2013

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM



MAKALAH
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh I
Dosen Pembimbing:
H. Aris Yuana Yusuf, Lc. Ma
 




Oleh:
Kelompok 1
Ahmad Ali Azim                               11110038
M. Ikhwan                                         11110145
M. Agung Wicaksono H.B               11110161

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012


 



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka yang dimaksudkan  pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum. Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.
B.  Rumusan masalah
Mengingat luasnya dimensi pembahasan yang akan kita bahas dalam makalah ini, maka, penulis merasa perlu untuk memberikan batasan yang akan kita bahas dalam makalah ini, adapun masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini mengenai : Pengertian hukum Islam dan Sumber-sumber Hukum Islam, Hukum Islam yang Disepakati dan yang diperdebatkan, Keunggulan dan Keistimewaan Hukum Islam, serta Ciri Khusus Dan Karakteristik Hukum Islam.

1.3  Tujuan
Dalam makalah ini penulis membahas tentang Pengertian hukum Islam dan Sumber-sumber Hukum Islam, Hukum Islam yang Disepakati dan yang diperdebatkan, Keunggulan dan Keistimewaan Hukum Islam, serta Ciri Khusus Dan Karakteristik Hukum Islam, dengan tujuan agar kita dapat mengetahui sumber-sumber hukum islam beserta beberapa hukum yang disepakati dan yang diperdebatkan, untuk mengetahui keunggulan dan keistimewan beserta karakteristi khusus hukum Islam. Terlebih agar mampu memahami dan mampu memahamkan kepada orang lain (mengajarkan) serta mengimplementasikan hukum-hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.





























BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM
Hukum menurut bahasa berarti menetapkan sesuatu atau tidak menetapkannya. Sedangkan menurut istilah ahli usul fikih, hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT yang menuntut mukalaf untuk memilih atau mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal rukhsah, dan azimah.
Maksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan atau pedoman syari’at islam.
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah al Qur’an dan Hadis. Rasulullah SAW bersabda:
“aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (al Qur’an) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Baihaqi).[1]
B. SUMBER HUKUM YANG DISEPAKATI
Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber hukum (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijtihad, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai hukum yang disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas).
1.    AL-QUR’AN
a)   Definisi Al-Qur’an
Secara harfiah, al Qur’an berasal dari bahasa Arab yang artinya bacaan atau himpunan. Al Qur’an berarti bacaan, karena merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, dan berati himpunan karena merupakan himpunan firman-firman Allah SWT (wahyu).[2]
Para ulama tafsir al Qur’an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa (lughowi atau etimologis) bahwa kata al Qur’an merupakan bentuk mashdar dari kata qoro’a-yaqro’uu-qiroo’atan-wa qor’an-wa qur’aanan. Kata qoro’a berarti menghimpun dan menyatukan; al Qur’an pada hakikatnya merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat menjadi surat, himpunan surat menjadi mushaf al Qur’an. Di samping itu, mayoritas ulama mengatakan bahwa al Qur’an dengan akar kata qoro’a, bermakna tilawah: membaca. Kedua makna ini bisa dipadukan menjadi satu, menjadi “al Qur’an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”
Makna al Qur’an secara ishtilaahi, al Qur’an itu adalah “Firman Allah SWT yang menjadi mu’jizat abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar”.[3]
b)   Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.[4]
c)    Hukum-hukum dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1)      Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2)      Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
Alasan mengapa Al-Quran menjadi sumber hukum islam menurut Hadits yaitu :
Ali bin Abi Thalib berkata: Aku dengar Rasulullah SAW bersabda: “Nanti akan terjadi fitnah  (kekacauan, bencana)”  Bagaimana jalan keluar dari fitnah dan kekacauan itu Hai Rasulullah? Rasul menjawab: “Kitab Allah, di dalamnya terdapat berita tentang orang-orang sebelum kamu, dan berita umat sesudah kamu (yang akan datang), merupakan hukum diantaramu, demikian tegas, barang siapa yang meninggalkan al-Qur’an dengan sengaja Allah akan membinasakannya, dan barang siapa yang mencari petunjuk pada selainnya Allah akan menyesatkannya, Al-Qur’an adalah tali Allah yang sangat kuat, cahaya Allah yang sangat jelas, peringatan yang sangat bijak, jalan yang lurus, dengan al-Qur’an hawa nafsu tidak akan melenceng, dengannya lidah tidak akan bercampur dengan yang salah, pendapat manusia tidak akan bercabang, dan ulama tidak akan merasa puas dan kenyang dengan al-Qur’an, orang-orang bertaqwa tidak akan bosan dengannya, al-Qur’an tidak akan usang sekalipun banyak diulang, keajaibannya tidak akan habis, ketika jin mendengarnya mereke berkomentar ‘Sungguh kami mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, barang siapa yang mengetahui ilmunya dia akan sampai dengan cepat ke tempat tujuan, barang siapa berbicara dengan landasannya selalu benar, barang siapa berhukum dengannya hukumnya adil, barang siapa yang mengamalkan al-Qur’an dia akan mendapatkan pahala, barang siapa yang mengajak kepada al-Qur’an dia diberikan petunjuk ke jalan yang lurus” (HR Tirmidzi dari Ali r.a.).[5]
2. AS-SUNNAH
a)   Definisi As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)      Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3) Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
b)   Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
c)    Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
d)   Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1)      As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2)      As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
3)      takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
Alasan mengapa Hadits di jadikan sumber hukum islam menurut:Hidayatullah.Com–As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama  pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa  kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih.
As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’.
Hadis Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam.[6]
3. IJTIHAD
a) Definisi Ijtihad
Pengertian ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya, bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya.[7]
Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung du dalam al Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.[8]
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat saat itu melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.[9]
4. IJMA’
a.    Definisi Ijma’
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.
b)   Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara masa-masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.
Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
c)    Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
1)      Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
2)      Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
1)   Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
2)   Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.[10]
5. QIYAS
a) Pengertian Qiyas
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram. Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
b) Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut
1)   Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
2)   Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur).
3)   Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.[11]
C.  SUMBER HUKUM YANG DIPERDEBATKAN
Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga dalil hukum yangmana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati dan dalil yang tidak disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, danSyaru Man Qablana.
1.    ISTHISAN
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
a)   Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
b)   Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.[12]
2.    ISTHISAB
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
a)   Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1)      Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
2)      Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
3)      Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
b)   Kehujjahan Isthisab
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.[13]
3.    MASLAHAH MURSALAH (KEMASLAHATAN UMUM)
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.
1)      Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlahat mursalah.
2)      Sinergi dengan maqhasid syari’ah
3)      Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
a)   Kehujjahan Maslahah Mursalah
Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’”.
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.[14]
4.    ‘URF
a)   Pengertian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
b)  Pembagian ‘urf
1)   Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a)   Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b)   Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2)   Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a)    Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
b)   Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3)   Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a)    Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b)   Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
4)   Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
a)    Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b)   Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c)    Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
d)   Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas.[15]
5.    DZARI’AH
Dzari’ah merupakan salah satu sumber hukum pokok (ashl) yang secara seksplasit diturunkan dalam kitab-kitab dari madzhab maliki dan hanbali, adapun kitab-kitab madzhab yang lain tidak menuturkannya dengan judul itu. Tetapi secara implasit bab ini dibahas dalam fiqh Madzhab Syafi’i dan Hanafy, mesk terdapat perbedaan pada bagian-bagian tertentu dan ada pula kesamaan pada bagian-bagian yang lain.
Dari segi etimologi, Dzari’ah berarti wasilah (perantaran). Sedangkan dzari’ah menurut istilah ahli hukum islam, ialah sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dienakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Jelasnya: perbuatan yang membawa ke arah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa ke arah haram adalah haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas terlaksananya perbuatan wajib adalah wajib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, melihat aurat wanita haram juga. Sholat jum’at adalah (fardhu) wajib. Maka, meninggalkan jual beli guna memenuhi kewajiban menjalankan ibadah sholat jum’at adalah wajib, karena hal itu merupakan dzari’ah.[16]
6.    SYARI’AT UMAT SEBELUM ISLAM
Sesunguhnya syari’at-syari’at (agama) samawi secara prinsipil adalah satu.[17] Sesungguhnya yang menurunkan syari’at-syari’at samawi adalah satu, yakni Allah SWT, maka berarti esensinya juga satu. Nash di atas jelas menerangkan hal itu, diperkuat dengan ijma’ ulama. Hanya saja memang Allah SWT mengharamkan sebagian perkara atau perbuatan atas sebagian kaum tertentu. Pengharaman ini dimaksudkan untuk mencegah mereka dari tenggelam dalam kehidupan yang diliputi nafsu syahwat, sebagaimana firman Allah SWT.[18]
Selain itu, bentuk maupun cara ibadah masing-masing syari’at samawi juga berbeda-beda, meski esensinya tetap sama, yaitu menyembah Allah yang maha Esa yang tidak ada sekutu bagi_Nya. Begitu pula mengenai perincian sebaian masalah-masalah juziyyat, seperti pengaturan zakat dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, terdapat beberapa hukum syari’at umat terdahulu yang dinashkh dengan syari’at Muhammad SAW, disamping sebagian diantaranya masih tetap dilestarikan. Syari’at tentang Qishahs dan sebagian hukum had (dera) misalnya masih tetap berlaku dalam Islam sebagaimana tercantum dalam Taurat.[19]
D.  KEUNGGULAN DAN KEISTIMEWAAN HUKUM ISLAM
Hukum islam mempunyai beberapa keistimewaan dan keunggulan yang menyebkan hukum islam menjadi hukum yang paling kaya, dan paling dapat memenuhi hajat masyarakat, serta menjamin ketenangan dan kebahasgiaan masyarakat.
Maziah dan mahsanah itu apabila dapat dipraktekkan bersama-sama dengan ajaran-ajaran islam yang lain, niscaya benar-benar dapat membentuk suatu umat yang ideal, yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.
Diantara keunggulan hukum islam, ialah:
1.      Hukum yang mudah, jauh dari sulit dan sempit. Mudah diamalkan, jauh dari kepicikan, segala hukumnya selalu dapat berjalan seiring dengan fitrah manusia.
Hukum islam mempunyai kaidah:
Ù…َا ضَاقَا Ø´َÙŠْØ¡ٌ اِÙ„َّا اتَّسَعَ
“Tidaklah sempit, melainkan dia menjadi luas”
2.      Hukum islam sesuai dengan ketetapan akal dan logika yang benar dan dengan fitrah manusia sebelum fitrah itu dirusak hawa nafsu.
3.      Tujuan hukum hanyalah mewujudkan kemaslahatan masyarakat, baik di dunia maupun diakhirat, menolak kemudharatan dan kemafsadatan, serta mewujudkan keadilan yang mutlak.
4.       Hukum-hukumnya bersifat azimah dan rukhsah.
5.      Memperbolehkan kita memakan yang baik dan bersolek asal tidak berlebih-lebihan dan tidak untuk membanggakan diri.
6.      Mengimbangai hak jiwa dengan hak anggota tubuh dalam batas-batas yang imbang
7.       Menyamaratakan taklif (beban hukum) antara segala mukallaf
8.      Amal ibadah pada lahirnya berkisar sekitar apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan As-Sunnah.
9.      Segala amal usaha manusia dipautkan dengan motivasi yang menggerakkan.
10.  Diantara khususiyyah dan maziyah islam, bersendinya atas akhlak-akhlak yang luhur dan keutamaan-keutamaan yang tinggi dan didasari perhitungan mendalam terhadap segala sesuatu yang dilakukan manusia.
11.  Pintu hukuman siksa dan hukuman-hukuman takzir terbuka luas dalam hukum islam.
12.  Hukum-hukum kenegaraan, ketentaraan, pengadilan diserahkan kepada ijtihad ulul amri, para penguasa, pimpinan-pimpinan peperangan dengan ketentuan memlihara prinsip-prinsip syara’ dan kaidah-kaidah hukum.
13.   Hukum-hukum yang diperincikan, diterangkan secara tafsil, hanyalah hukum-hukum yang berlaku untk sepanjang masa dan untuk seluruh umat
14.  Alat pembuktian yang dapat dipergunakan hakim dan cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan hukum untuk mewujudkan keadilan
15.  Menghargai kemerdekaan berfikir, kecerdasan akan para mujtahid dalam bidang-bidang yang boleh berlaku ijtihad.
16.  Peningkatan derajat dan martabat wanita.
17.  Memberi kedudukan yang baik kepada budak sahaya.
Islam tidak membatalkan jenis perbudakan, walaupun mungkin dilakukan, adalah karena di waktu islam mulai berkembang, perbudakan itu merupakan suatu adat yang merata disegenap masyarakat.
18.  Membeli jaminan yang baik kepada ahludz dzimma.
Kemerdekaan mereka dalam beragama harus dijamin.Keagamaan mereka harus dipelihara.Mereka harus diperlakukan sebagai memperlakukan kaum muslimin sendiri.Mereka dinamakan ahludz dzimmah adalah karena mereka memperoleh hak berdasar kepada dzimmah Allah dan dzimmah Rasul-Nya (berdasar perjanjian yang sudah dibuat dengan Negara).Jizyah yang dikenakan atas mereka bukanlah merupakan suatu beban yang berat.Jizyah hanya dikenakan atas lelakia yang merdeka dan sanggup berusaha.
19.  Da’wah ilal khairi,amrun bil ma’ruf, nahyun anil munkar
Diantara keunggulan islam ialah menunjuki kita cara memperbaiki masyarakat, melalui jalan dakwah ilal khair, amrun bil ma’ruf dan nahyun anil munkar.
Tugas dakwah ini hanyalah dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai keahlian, mengetahui hukum-hukum syara’, martabat-martabat hisbat, jalan-jlan melaksanakan kewajiban ini, mengetahui keadaan-keadaan masyarakat dan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan itu.
20.  Jihad disyariatkan untuk kepentingan membela kehormatan
21.  Membina dua kaidah pokok bagi pemerintahan dan kekuasaan
22.  Kewajiban kepada Negara ialah memenuhi kemaslahatan rakyat
23.  Ketaatan rakyat kepada kepala Negara, bersumber kepada ketaatan kepada Allah dan Rasulnya.
24.  Rakyat meminta pertanggungan jawab terhadap harta kekayaan yang diperoleh di masa berkuasa untuk kepentingan pribadinya
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.
Ditinjau dari segi penetapannya, hukum Islam dibagi kepada dua macam. Pertama, hukum syariat yang diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah SWT yang dijelaskan oleh Rasul-Nya tentang tindak-tanduk manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang sejahtera di dunia dan di akhirat.
Kedua, hukum fikih, yaitu ketentuan yang ditetapkan oleh mujtahid berdasarkan nalar sebagai refleksi perkembangan kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan.
Berdasarkan pengertian di atas dan yang terdapat dalam Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Hukum Islam mempunyai banyak keistimewaan dibanding dengan hukum-hukum yang berlaku pada agama lainnya.

1.    CIRI KHUSUS HUKUM ISLAM
Hukum islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama islam. Sebagai system hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab kadangkala membingungkan, kalau tidak diketahui persis maknanya. Yang dimaksud adalah istilah-istilah.[20]
1.      Hukum
2.      hukm dan ahkam
3.      sari’ah atau syariat
4.      fiqih atau fiqh dan beberapa kata lain yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut.
Jika kita berbicara hukum secara sederhana segera terlintas dalam piiran kita peraturan-peraturan seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berkenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Disamping itu, ada konsepsi hukum lain diantaranya adalah konsepsi hukum islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah terulang disinggung dimuka, adalah hubungan manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia yang lain, dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa arab ,disebut hukmun jama’nya ahkam.
         Dari uraian di atas  dapat di tandai ciri-ciri (utama)hukum Islam,[21] yakni:
1.      merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam.
2.      mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat di pisahkan dari iman atau aqkidah dan kesusilaan atau akhlak Islam.
3.      mempunyai dua istilah kunci yakni: syari’at dan fiqih.Syariat terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhamad, fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari’ah.
4.      terdiri dari dua bidang utama yakni: ibadah dan muammalah dalam arti yang luas.Ibadah bersifat tertutup karna telah sempurna dan muammalah dalam arti kusus dan lua bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memahami syari’at dari masa ke masa.
5.      stukturnya berlapis,terdiri dari:
a.       nas atau teks Alqur’an.
b.      Sunah Nabi Muhamad (untuk syari’at).
c.       hasil ijtihad manusia  yang mempunyai syarat tentang wahyu dan sunnah,
d.      pelaksanaan dalam praktik baik.
e.       berupa keputusan hakim,maupun berupa amalan- amalan  umat islam dalam masyarakat (untik fiqih).
6.      mendahulukan kewajiban dari hak,amal dari pahala.
7.      dapat dibagi menjadi: hukum taklifi atau hukum taklif  yakni al-ahkam al-khamsah yang terdiri dari lima kaidah,lima jenis hukum, lima kategori hukum, yakni ja’iz, sunnat, makruh, wajib, dan haram, dan hukum wadh’I yang mengandung  sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.
8.      berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam  di suatu tempat atau Negara pada sutu masa saja.
9.      menghormati martabat manusia sebagai kersatuan jiwa dan rag, rohani dan jasmani saerta memelihara kemulian manusia  dan kemanusiaan secara keseluruhan.
10.  plaksanaanya dalam praktik digerakkan oleh iman (akidah) dan akhlak umat Islam.
Tujuan Hukum Islam melarang  perbuatan yang pada dasarnya merusak kehidupan manusia. Sekalipun perbuatan itu disenangi oleh manusia atau sekalipun umpanya perbuatanya itu dilakukan hanya oleh seseorang tanpa merugikan orang lain, Sperti seseorang minum minuman yang memabukkan (khamr).Dalam pandangan Islam perbuatan orang itu tetep dularang, Karna dapat merusak akalnya yang seharusnya ia pelihara, Walaupun ia membeli minuman tersebut dengan uangnya sendiri dan di minum di rumahmya sendiri tanpa mengganggu orang lain.[22]Demikian juga hubungan seksual-di luar nikah (zina), perbuatan tersebut mutlak di larang siapapun yang melakukanya, Walaupun mereka melakukunya dengan sama suka, tanpa paksaan dan tidak merugikan orang lain.
Islam mengajarkan agar dalam hidup bermasyarakat ditegakkan keadilan dan ikhsan. Keadilan yang harus ditegakkan mencakup keadilan terhadap diri pribadi, Keadilan Hukum keadilan sosial,-dan keadilan dunia.[23]
2.    HUKUM ISLAM DAN KEMANUSIAAN
A.  Pengertian Hukum Islam (syari’ah)
Makna syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air, dahulu (di arab) orang mempergunakan kata syari;ah untuk sebutan jalan setapak menuju ke sumber (mata) air yang diperlukan manusia untuk minum dan membersihkan diri.[24]
Kata syari’ah ini juga berarti jalan yang lurus, jalan yang lempang tidak berkelok-kelok,juga berarti jalan raya. Kemudian penggunaan kata syari’ah ini bermakna peraturan, adat kebiasaan, undang-undang dan hukum.
Syariah islam berarti segala peraturan agama yang ditetapkan Allah untuk ummat islam, baik dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah saw. yang berupa perkataan,perbuatan ataupun takrir (penetapan atau pengakuan).
Pengertian tersebut meliputi ushuluddin (pokok-pokok agama), yang menerangkan tentang keyakinan kepada allah berserta sifat-sifatnya, hari akhirat dan sebagainya, yang semuanya dalam pembahasan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Ia juga mencakup kegiatan-kegiatan manusia yang mengarah kepada pendidikan jiwa dan keluarga serta masyarakat. Demikian pula tentang jalan yang akan membawanya kepada kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Ini semuanya termasuk dalam pembahasan ilmu akhlak.
Menurut pengertian-pengertian tersebut, syariah itu meliputi hukum-hukum Allah bagi seluruh perbuatan manusia, tentang halal,haram makruh,sunnah dan mubah pengertian inilah yang kita kenal  ilmu fiqih, yang sinonim dengan istilah “undang-undang”.
Para pakar hukum islam selalu berusaha memberikan batasan pengertian “Syariah” yang lebih tegas, untuk memudahkan kita mebedakan dengan fiqih,yang dia antaranya sebagai berikut:
1.      Imam Abu Ishak As-syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat ushulil ahkam mengatakan :
Artinya “ bahwasannya arti syariat itu sesungguhnya menetapkan batas tegas bagi orang-orang mukallaf dalam segala perbuatan,perkataan dan akidah mereka.
2.      Syikh Muhammad Ali ath-thawi dalam bukunya kassyful istilahil funun mengatakan
Artinya “Syariah yang telah diisyaratkan Allah untuk para hambanya, dari hokum-hukum yang telah dibawa oleh seseorang nabi dan para nabi Allah as. Baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaanya, dan disebut dengan far’iyah amaliyah, lalu dihimpun oleh ilmu kalam dan syari’ah ini dapat disebut juga pokok akidah dan dapat disebut juga dengan diin(agama) dan millah.
Definisi tersebut menegaskan bahwa syariah itu muradif(sinonim) dengan diin dan milah(agama). Berbeda dengan ilmu fiqih, karena ia hanya membahas tentang amaliyah hukum(ibadah), sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid.
3.      Prof.DR. Mahmud Salthut mengatakan bahwa :
“sayariah ialah segala peraturan yang telah diisyaratkan allah,atau ia telah mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya sendiri dalam berkomunikasi dengan tuhannya dengan sesama muslim dengan sesama manusia denga alam semesta dan berkomunikasi dengan kehidupan.”
B.  Ruang Lingkup Hukum Islam
Jika kita bandingkan hukum islam bidang muamalah ini dengan hukum barat yang membedakan antara hukum privat (hokum perdata) dengan hukum public,maka sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum perdata dengan hukum publik disebabkan karena menurut system hukum islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik ada segi-segi perdatanya.
Itulah sebabnya maka dalam hukum islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagian nya saja seperti misalnya,
1.      Munakahat
2.      Wirasah
3.      muamalat dalam arti khusus
4.      jinayat atau ukubat
5.      al – ahkam as sulthaniyah (khilifah)
6.      siyar dan
7.      mukhasamat.[25]
Kalau bagian – bagian hukum islam itu disusun menurut sistematik hukum barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hokum publik seperti yang di ajarkan dalam pengantar ilmu hokum di tanah air kita, yang telah pula di singung di muka, susunan hokum muamalah dalam arti luas itu adalah sebagai berikut:
Hukum perdata ( islam ) adalah:
1.      munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya.
2.      wirasah mengatur segala masalh yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan  Islam ini disebut juga hukum fara’id.
3.      muamalat  dalam arti khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
Hukum publik(islam) adalah:
4.      jinayat  yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarinah hudud  maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumanya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak dari hadd = batas ). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumanya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir = ajaran atau pengajaran)
5.      al-ahkam as-sulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala Negara, pemerintahan, baik pemerintahan pusat maupun daerah , tentara, pajak dan sebagainya.
6.      siyar mengatur segala urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan Negara lain.
 mukhasamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hokum acara.
E.   Karakteristik Hukum Islam
Hukum islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik sistem hukum lain yang berlaku di dunia. Berbedanya karakteristik ini disebabkan karena hukum islam berasal dari Allah SWT, bukan buatan manusia yang tidak luput dari kepentingan individu dan hawa mafsu. Salah satu karakteristik hukum islam adalah menyedikitkan beban agar hukum yang ditetapkan oleh Allah ini dapat dilaksanakan oleh manusia agar dapat tercapai kebahagiaan dalam hidupnya.[26]
Hasbi Ashiddieqy mengemukakan bahwa hukum islam mempunyai tiga karakter yang merupakan ketentuan yang tidak berubah, yakni : pertamatakamulyaitu sempurna, bulat dan tuntas. Maksudnya bahwa hukum islam membentuk umat dalam suatu ketentuan yang bulat, walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan berlainan suku, tetapi mereka satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, wasathiyat (harmonis), yakni hokum islam menempuh jalan tengah, jalan yang seimbang dan tidak berat sebelah, tidak berat kekanan dengan mementingkan kejiwaan dan tidak berat kekiri dengan mementingkan perbedaan. Hukum islam selalu mnyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dari cita-cita. Ketiga, Harakah (dinamis), yakni hokum islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dan dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum islam terpencar dari sumber yang luas dan dalam, yang memeberikan kepada manusia sejumlah hukum yang positif dan dapat dipergunakan pada setiap tempat dan waktu.[27]
Menurut Yusuf Al-Qadhrawi, berpendapat bahwa karakteristik hokum islam ada sepuluh, yaitu :[28]
1)     Hukum islam itu memudahkan dan menghilangkan kesulitan.
2)     Memerhatikan tahapan masa atau berangsur-angsur.
3)     Turun dari nilai ideal menuju realita dalam situasi darurat.
4)     Segala hal yang merugikan atau kesengsaraan umat harus dilenyapkan dan dihilangkan.
5)     Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan.
6)     Kemudharatan yang bersifat khusus digunakan untuk kemudharatan yang bersifat umum.
7)     Kemudharatan yang ringan digunakan untuk menolak kemudhartan yang berat.
8)     Keadaan terpaksa memudahkan perbuatan atau tindakan yang terlarang.
9)     Apa yang dibolehkan karena terpaksa, diukur menurut ukuran yang diperlukan.
10)  Menutup sumber kerusakan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

Menurut Muhammad Ali Al-Sayih, mengemukakan bahwa karakteristik hukum islam yang paling menonjol ada tiga, yaitu tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya, menjaga kemaslahatan manusia dan selalu melaksanakan keadilan dalam penerapannya.[29]
Semua karakteristik yang dikemukakan pakar ilmu hukum diatas maksudnya sama dan berpedoman pada ayat al-Qur’sn Surat Al-A’raf : 157, yang intinya yaitu tidak menyusahkan, sedikit beban, berangsur-angsur, ada kelonggaran, dan sesuai dengan kemaslahatan umum.[30]

1.      Hukum Islam Bersifat Sempurna dan Universal
Allah adalah Tuhan yang Mahasempurna, maka hukum yang Dia buat harus sempurna pula. Karena apabila tidak, tentu berdampak pada persepsi manusia. Mereka akan meragukan kepercayaannya mengenai adanya Tuhan di alam ini. Dalam asma’ul husna disebutkan bahwa Ia memiliki sifat اول, أخر, ظاهر, باطن, yang pertama, dan terakhir, yang dhohir dan batin. Jadi Ia juga memiliki hukum yang berlaku sepanjang zaman. Bukan hanya mengatur pada aspek legal kemasyarakatan tetapi juga mengatur kepentingan-kepentingan ukhrawi.[31] Hal ini bisa dipahami melalui kata ظاهر, kita bisa memaknai bahwasanya hukum yang bersifat dhohir adalah hukum yang mengikat/mengatur tentang keduniaan. Dan bisa dikatakan cakupan hukum yang dhohir sama dengan hukum positif yang biasa diberlakukan bagi warga negara. Yang kedua kata باطن, kita bisa memaknai bahwasanya hukum yang bersifat batin adalah hukum yang mengatur pada aspek ukhrawi. Dan inilah yang tidak dimiliki oleh hukum positif lainnya.
Hukum Islam menemukan sumber utamanya pada kehendak Allah sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ia menciptakan sebuah masyarakat mukmin, walaupun mereka mungkin terdiri atas berbagai suku dan berada di wilayah-wilayah yang amat jauh terpisah. Agama, tidak seperti nasionalisme atau geografi, merupakan suatu kekuatan kohesif utama. Negara itu sendiri berada di bawah (subordinate) Al-Qur’an, yang memberikan ruang gerak sempit bagi pengundangan tambahan, tidak untuk dikritik maupun perbedaan pendapat. Dunia ini dipandang hanya sebagai ruang depan bagi orang lain dan sesuatu yang lebih baik bagi orang yang beriman. Al-Qur’an juga menentukan aturan-aturan bagi tingkah laku menghadapi orang-orang lain maupun masyarakat untuk menjamin sebuah transisi yang aman. Tidak mungkin memisahkan teori-teori politik atau keadilan dari ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan aturan-aturan tingkah laku, mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan politik. Ini menimbulkan hukum tentang kewajiban-kewajiban daripada hak-hak, kewajiban moral yang mengikat individu, dari mana tidak (ada otoritas bumi yang) bisa membebastugaskannya, dan orang-orang yang tidak mentaatinya akan merugikan kehidupan masa mendatangnya.
Dari ungkapan Jackson di atas, telah jelas bahwa Islam menentukan aturan-aturan tingkah laku mengenai hal-hal yang bersifat legal kemasyarakatan/publik, yang diungkapkan pada kalimat : “ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan aturan-aturan tingkah laku, mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan politik”. Dan yang kedua, mengenai aspek moral/individu, yang diungkapkan pada kalimat terakhir. Inilah ciri utama yang dimiliki hukum Islam yang tidak ada bandingannya.
Yang kedua hukum Islam itu bersifat universal. Mencakup seluruh manusia ini tanpa ada batasnya. Tidak dibatasi pada negara tertentu, benua, daratan, atau lautan. Seperti halnya pada ajaran-ajaran nabi sebelumnya.[32] Misalkan, Nabi Musa hanya mencakup pada kawasan Mesir dan sekitarnya, Nabi Isa mencakup pada kawasan Israel, dan lain sebagainya. Ini didasarkan pada Al-Qur’an yang memberikan bukti bahwa hukum Islam tersebut ditujukan kepada seluruh manusia di muka bumi. Allah berfirman :
Artinya : “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (As-Saba’ : 28)
Artinya : “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Al-Anbiyya’ : 107)
2.      Dinamis dan Elastis
Hukum Islam bersifat dinamis yang berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.[33] Atau bisa dikatakan sangat cocok untuk diterapkan pada setiap zaman. Mungkin ada beberapa orang yang berasumsi bahwa kedinamisan suatu hukum itu tidak mungkin terjadi. Pada dasarnya sesuatu di alam ini akan berubah, begitu juga sebuah hukum yang sudah pasti bisa berubah sewaktu-waktu. Untuk itu, sifat dinamis ini harus dikaitkan dengan sifat elastis (luwes). Lalu bagaimana sifat elastis pada hukum Islam ini dapat kita lihat? Dalam Islam, kita kenal dengan sebutan ijtihad yang mana menurut Iqbal di sebut dengan “prinsip gerak dalam Islam”.[34] Ijtihad ini memungkinkan bagi orang Islam untuk menyesuaikan hukum yang ada pada masa Rasul (saat hukum Islam diciptakan) dengan keadaan sekarang yang terjadi di lingkungannya. Inilah yang disebut dengan keelastisan hukum Islam.
Sifat dinamis dan elastis ini dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya adalah jual beli yang sesuai dengan syariat Islam. Pada masa Rasulullah, jual beli dilakukan dengan saling tatap muka, artinya antara si penjual dan si pembeli saling bertemu untuk melakukan akad. Tetapi pada zaman sekarang ini, jual beli bahkan tanpa hadirnya salah satu orang tersebut bisa dilakukan seperti di Swalayan, Plaza, Mall, dan sebagainya. Nah, dari persoalan ini bagaimana kedudukan hukum Islam menanggapi sistem seperti ini agar jual beli itu sesuai dengan syari’at Islam. Untuk itu, perlu adanya hukum asal/nash yang menerangkan jual beli. Diantaranya Q.S. Al-Baqarah : 275 dan 282, An-Nisa’ : 29, Al-Jum’ah : 9.
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Prinsip dihalalkannya jual beli dari ayat-ayat tersebut adalah adanya kerelaan antara kedua belah pihak, bukan termasuk riba, tidak dilakukan pada waktu Jum’at, dan sebagainya. Fathurrahman Djamil mengatakan bahwa “Ijab dan Qabul dalam jual beli adalah untuk menunjukkan prinsip an taradhin. Ketika prinsip tersebut terpenuhi, meski tanpa lafal ijab dan qabul seperti ketika masuk plaza, maka hukumnya sah.”
3.      Sistematis
Hukum Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Beberapa diantaranya saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contohnya saja wajibnya hukum shalat tidak terpisahkan dengan wajibnya hukum zakat. Itu menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan aspek kebatinan saja yang mengutamakan hal-hal ukhrawi tetapi juga diperintahkan untuk mencapai aspek keduniaan.[35] Al-Qur’an menyebutkan :
اعمل لدنياك كانك تعيش ابدا واعمل لاخرتك كأنك تموت غدا
Artinya : “Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniawimu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah kamu untuk kepentingan ukhrawimu seakan-akan kamu akan mati besok.”
Fathurrahman Djamil mengungkapkan bahwa “hukum Islam senantiasa berhubungan satu dengan yang lainnya. Hukum Islam tidak bisa dilaksanakan apabila diterapkan hanya sebagian dan ditinggalkan sebagian yang lain.” Seperti halnya ayat di atas, kita dapat menganalisa bahwa apabila kita hanya selalu beribadah untuk mencapai akhirat dengan mengabaikan hal-hal keduniaan, pasti pencapaian tersebut tidak akan terwujud. Karena untuk menuju kehidupan akhirat itu tentu kita harus menjalani kehidupan dunia ini.
4.      Memperhatikan Aspek Kemanusiaan dan Moral
Manusia merupakan mahluk sosial di mana ia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan orang lain. Untuk itu sifat tolong menolong merupakan hal yang wajib bagi setiap insan. Dalam hukum Islam dikenal dengan istilah ta’awun, zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang kesemuanya itu merupakan wujud kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi oleh nilai-nilai hukum Islam.[36] Ayat-ayat hukum yang menunjukkan bahwa kewajiban manusia untuk saling tolong-menolong di jelaskan pada ayat berikut :
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان
Artinya : “Bertolonglah-tolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong atas (perbuatan) dosa dan permusuhan.
Sedangkan mengenai hukum diwajibkannya zakat, dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 60, berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya shodaqoh (zakat) itu diberikan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf, hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, untuk memperjuangkan agama Allah (sabilillah), dan Ibnu sabil. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Yang kedua adalah aspek moral, untuk membentuk suatu interaksi sosial kemanusiaan tentu manusia harus memiliki aspek moral (akhlaq) yang baik. Karena untuk mewujudkan pergaulan yang sehat, akhlaqlah yang menjadi pondasi utama. Bila akhlaq itu sudah terkontaminasi dengan keburukan dan kemaksiatan, maka tidak akan mewujudkan suatu pergaulan sosial yang baik dan nantinya juga dapat berimbas pada pelanggaran aturan-aturan hukum positif. Dalam Al-Qur’an disebutkan :
Artinya :”Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta banyak mengingat kepada Allah.” (Q.S. Al-Ahzab : 21).




















BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
a.    Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu :ijtihad, ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahat mursalah, dan ‘uruf.
b)   Hukum Islam mempunyai keunggulan dan keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan hukum yang lain dan hal tersebut nampak pada beberapa hal diantaranya:
a.       Syariat Islam akan selalu terjaga dari penyimpangan dan penyelewengan karena Allah swt. sendiri yang akan menjaganya  hal ini seperti yang di firmankan Allah swt. dalam Al-Qur’an, surat Al-Hijr ayat:9.
b.      Berlaku sepanjang masa.
c.       Mempunyai sanksi balasan di dunia dan akhirat.
d.      Penyucian jiwa (Tahzibu al Fardi)  
e.       Menegakkan keadilan (Tahqiq al ‘Adalah) dalam masyarakat Islam
f.       Menjaga/ memperhatikan  kemaslahatan manusia secara keseluruhan (Ria’yat Mashalih an Nas Jami’a).
g.      Tidak adanya kesempitan dalam menjalankan ajaran agama dan sedikitnya beban (‘Adamu al Haraj wa Qillah at Takalif)
h.      Pembebanan yang bertahap (Attadarruj fi at Tasyri’)      
c)      Dilihat dari berbagai karakteristik hukum Islam yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek moral (privat) pada hukum Islam yang mengikat pada setiap diri insan itu bertujuan untuk kepentingan akhirat mereka. Berbeda dengan hukum positif yang hanya mengedepankan aspek legal. Ini disebabkan, hukum positif hanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang aman dan tenteram dalam berkehidupan. Namun, hukum Islam mengatur kedua hal tersebut.
Hukum islam yang sebenarnya tidak lain adalah fiqh islam dan syariat islam, yaitu daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang ini. Dimana hukum islam mempunyai karakteristik yang berbeda dengan karakteristik sistem hukum yang lain yang ada di dunia. Karakteristiknya yaitu takamul (sempurna), wasathiyah (harmonis), dan harakah (dinamis). Mazhab hukum islam Indonesia banyak berkembang kepada tradisi mazhab Syafi’I. Karena sangat fanatiknya terhadap mazhab-mazhab terdahulu mengakibatkan terjadinya taqlid karena taqlid ini salah satu penyebab terhambatnya proses pembaruan hukum islam agar sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang.














DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah. Muhammad, Ushul Fiqh. Jakarata. PT. Pustaka Firdaus, 2011
Abdul Barr. Muhammad Zaki, Taqnin Usul Fiqh, Maktabah Dar at Turats, Cairo, th 2004 M/ 1425 H.
Abdullah, sulaiman. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika, 1995
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1999
Ash-Shiddiqy. Habsyi, 2001, Filsafat Hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Bakry Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2003
Djamil, Fathurrahman, 1997, Filsafat Hukum Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu.
Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987.
Manan. Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 2006, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Muslehuddin, Muhammad, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam,Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999
Rasjidi, H.M.: Hukum Islam dan Pelaksanaanya dalamSejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Syamsuri.Pendidikan Agama Islam kls X. Jakarta: Erlangga, 2006
Usman, Suparman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama).


[1] Syamsuri. 2006. Pendidikan Agama Islam kls X. Jakarta: Erlangga. Hlm 58.
[2] Ibid. Hlm 58.
[3] http://www.geocities.com/abdullahhome99/pengertianquran.htm.sabtu.17 Oktober.2009
[4] Nasrun Rusli, 1999, Konsep Ijtihad Al-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan.
[5] http://www.geocities.com/abdullahhome99/pengertianquran.htm.17 Oktober 2009.
[6]http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8937:kedudukan-as-sunah-dalam-syariat-islam-&catid=87:kajian&Itemid=7117 Oktober 2009.
[7] MahpuddinNoor.http://www.Radartasikmalaya.com/opini/282-ijtihad-dan-perkembangan-hukum-islam. Sabtu.17 Oktober 2009.
[8] Syamsuri. Hlm 62.
[9] Syamsuri. Hlm 63.
[10] Nasrun Rusli, 1999, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999,
[11] Abdul Wahab Kallaf, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama.
[12] Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
[13] Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..
[14] Nasrun Rusli, 1999, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999,
[15] Abdul Wahab Kallaf, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama,
[16] Muhammad Abu Zahrah. 2011. Ushul Fiqh. Jakarata. PT PUSTAKA FIRDAUS. Hlm 438-439.
[17] Lihat QS. Asy-syura: 13.
[18] Lihat QS. Al-An’am: 146.
[19] Ibid Muhammad abu Zahrah. Hlm 464-465.
[20] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, hal :58
[21]  Ibid, hal:60
[22]  Suparman Usman, Huku, Islam, hal :65
[23]  Ibid, hal: 66
6. Dr. Muhammad Zaki Abdul Barr, Taqnin Usul Fiqh, Maktabah Dar at Turats, Cairo, th 2004 M/ 1425 H.
[25] Rasjidi, H.M.: Hukum Islam dan Pelaksanaanya dalamSejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal 25.
[26] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 2006, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 94.
[27] Hasbi Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, 2001, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, hlm.105-108.
[28] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm 64.
[29] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm .95
[30] Ibid.
[31] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal 47
[32] Fathurrahman Djamil, M.A., Filsafat Hukum Islam, (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 49
[33] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), .hal 64
[34] Fathurrahman Djamil, M.A., Op. Cit., hal 48
[35] Ibid., hal 51
[36] Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987, hal 98
 






0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami