Kamis, 18 April 2013

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU MISKAWAIH




MAKALAH
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU MISKAWAIH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Pendidikan Islam

Dosen Pembimbing


Mukhlis Fahruddin
Disusun Oleh:
1.       M.Khoirul Fadeli           (11110044)
2.       Maslihatul Habibah       (11110098)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2012


BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan. Karena itu pendidikan berperan menyosialisasikan kemampuan baru kepada mereka agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat dinamis.
Dalam dunia filsafat islam banyak nama tokoh-tokoh yang terkenal salah satu diantaranya adalah Ibnu Miskawaih. Membahas pemikiran seorang Ibnu Miskawaih merupakan hal yang menarik dalam disepanjang khazanah intelektual.
Dalam makalah ini akan membahas tentang pemikiran pendidikan seorang Ibnu Miskawaih. Yang salah satu diantaranya dari pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan lebih mengarah ke aspek etika dalam pendidikan.
Diharapkan dengan adanya makalah ini kita dapat memahami lebih tentang pendidikan etika islam menurut pemikiran Ibnu Miskawaih. Selain dari itu kita juga dapat lebih memahami tentang biografi ataupun karya-karya dari Ibnu Miskawaih.








1.2   RumusanMasalah
1.      SepertiapabiografiIbnuMiskawaih?
2.      BagaimanaPendidikan Etika Islam Perspektif  Ibnu Miskawaih?
3.      Dan BagaimanakurikulumPendidikan Etika Islam Perspektif  Ibnu Miskawaih ?
1.3   Tujuan
1.      MemaparkanbiografiIbnuMiskawaih
2.      MenjelaskanmengenaipemikiranpendidikanIbnuMiskawaih
3.      MenjelaskantentangkurikulumpendidikanetikaislamIbnuMiskawaih

1.4   BatasanMasalah
1.      KarenabanyaknyaPokok-pokokpemikiranIbnuMiskawaih mengenaifilsafatetika,yangdipaparkan secara rincidalamkaryamonumentalnyaTahdzib al-al-AkhlaqwaTathhir al-A`raq. MakadalammakalahiniakanmembahasmenganaipemikiranIbnuMaskawaih  “ PendidikanEtikaIbnuMiskawaih ”











BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 AspekHistorisIbnuMiskawaih
A.    RiwayatHidup
IbnuMiskawaihadalah seorang filsuf muslimyang memusatkan perhatiannya pada etika islam. Meskipun sebenarnya beliaupun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan, dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India sangat luas, begitu juga tentang filsafatYunani.[1]
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-khazin Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub. Sebutan namanya yang lebih Masyhuradalah Miskawaih, IbnuMiskawaih atau IbnuMaskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama majuzi (Persi) kemudian masuk Islam.
Ibnu Maskawaih dilahirkan di Ray (sekarang Taheran). Para penulis menyebut tahun kelehirannya berbeda-beda. M. M Syarif menyebutkan tahun320 H/932 M, sedangkan Margoliout menyebutkan kelahirannya pada tahun 330 H begitu pula M.Yusuf Musa dan Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325H. Tetapi nampaknya yang pertamalah yang lebih kuat, sebab beliau biasa al-Mahallabi yang menjabat sebagai wazir pada tahun 339 H, yang pada masa itu paling tidak beliau telah berusia 19 tahun.
Ibnu Miskawaih tinggal selama tujuh tahun bersama Abu Fadhalibn al-‘Amid (360 H/970 M) sebagai pustakawannya. Setelah Abu Fadh wafat, beliau mengabdi kepada putranya yakni Abu Fath Ali ibn Muhammad ibn al-‘Amid, dengan nama keluarga Dzu al-Kifayatai. Beliaujuga mengabdi kepada Adhud Daulah dan kemudian kepada beberapa pangeran dari keluarga terkenal itu.[2]
IbnuMiskawaihwafat pada tahun 421 H/1030 M. Dengan memperhatikan tahun kelahiran dan wafatnya itu berarti Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan persi.
B.     RiwayatPendidikan
Tidak banyak yang mengetahui dengan pasti riwayat pendidikan Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayat nya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun, dugaan kuat ialah bahwa Ibnu Miskawaih juga tidak banyak berbeda dengan anak-anak sezamannya pada saat mudanya.
Karya akademisnyadiawali dengan menimba ilmupengetahuan di Bagdad dalam bidang sastra. Setelah menjelajahi banyak cabang ilmu pengetahuan dan filsafat, akhirnya Ibnu Miskawaih lebih memusatkan perhatiannya pada bidang sejarah dan etika. Ibnu Miskawaih belajar sejarah, terutama Tarikh al-Tabari(sejarah yang ditulis at-Tabari), pada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadi pada tahun  350 H/960 M. Sementara filsafat, ibnu Miskawaih mempelajarinya dari Ibnu al-Khammar, yaitu seorang mufassirkenamaan dan salah seorang pensyarah karangan-karangan Aristoteles.[3]

C.    Karya-Karya Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih dikenal sebagai seorang pemikir yang produktif. Ia telah menghasilkan banyak karya tulis, tetapi hanya sebagian kecil yang sekarang masih ada. Jumlahbuku dan artikelyang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41buah. Tulisan-tulisan dan karya-karya Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, Plato, Aristoteles, Forforius, Enbladgess, dan filsufYunani lainnnyaserta kaum Neo-Platonis. Dari 41 karyanya itu, 15 buah sudah dicetak, 8 buah masih berupa manuskrip, dan 18 buah dinyatakan hilang.
a.       15 naskah yang sudah dicetak, antara lain:
Ø  Kitab Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq (tentang kesempurnaan etika)
Ø  Kitab Tartib al-Sa’adat (membahas tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani ‘Abbas dan Bani Buwaih)
Ø  Al-Hikmat al-Khalidat
Ø  Kitab al-Fauz al-Ashghar fi Ushul al-Diyanat (membahas tentang metafisika, yaitu ketuhanan, jiwa, dan kenabian)
Ø  Maqalat fi al-Nafs wa al-Aql
Ø  Risalat fi al-Ladzdzut wa al-A’lam (membahas tentang masalah yang berhubungan dengan perasaan yang dapat membahagiakan dan menyengsarakan jiwa manusia)
Ø  Risalat fi Mahiyyat al-‘Adl
Ø  Kitab al-Aql wa al-Ma’qul
Ø  Washiyyat Ibn Miskawaih
Ø  Kitab Tajarib al-Umam (membahas tentang pengalaman bangsa-bangsa mengenai sejarah, diantara isinya sejarah tentang banjir besar, yang ditulis tahun 369H/979M)
Ø  Risalah al-Ajwibah wa al-As’ilah fi an-Nafs al-‘Aql (membahas tentang etika dan aturan hidup)
Ø  Kitab Jawidzan Khirad (menbahas tentang masalah yang berhubungan dengan pemerintah dan hokum terutama menyangkut empat negara, yaitu Persia, Arab, India, dan Roma)
Ø  Kitab Laghz Qabis
Ø  Risalah Yaruddu biha ‘ala Risalat Badi’ al-Zaman al-Hamadzani
Ø  Washiyyat li Thalib al-Hikmah

b.      8 buah karya masih berupa manuskrip, antara lain:
Ø  Risalah fi al-Thabi’iyyah (membahas tentang ilmu yang berhubungan dengan alam semesta)
Ø  Risalah fi al-Jauhar al-Nafs (membahas tentang masalah yang berhubungan dengan ilmu jiwa)
Ø  Fi Itsbat al-Shuwar al-Ruhaniyah al-Lati La Hayula Laha
Ø  Ta’rif al-Dahr wa al-Zaman
Ø  Al-Jawab fi al-Masail al-Tsalats (membahas tentang jawaban tiga masalah)
Ø  Kitab Thaharat al-Nafs (membahas tentang etika dan peraturan hidup)
Ø  Majmu’at Rasail Tantawi ‘ala Hukm Falasufat al-Syarqi wa al-Yunani
Ø  Al-Washaya al-Dzahabiyah li Phitagoras

c.       18 buah karya yang dinyatakan hilang, antara lain:
Ø  Al-Mushtofa (berisi tentang syair-syair pilihan)
Ø  Uns al-Farid (berisi tentang antologi cerpen, koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah)
Ø  Al-Adawiyah al-Mufridah (membahas tentang kimia, obat-obatan)
Ø  Kitab Tarkib al-Bijah min al-Ath’imah (membahas tentang kaidah dan seni memasak)
Ø  Al-Fauz al-Akbar (membahas tentang etika dan peraturan hidup)
Ø  Al-Jami’ (membahas tentang ketabiban)
Ø  Al-Siyar (membahas tentang tingkah laku dan kehidupan)
Ø  Maqalay fi al-Hikmah wa al-Riyadlah
Ø  ‘Ala al-Daulat al-Dailani
Ø  Kitab al-Siyasat
Ø  Kitab al-‘Asyribah (tentang minuman)
Ø  Adab al-Dunya wa al-Din
Ø  Al ‘Udain fi ‘Ilmi al-‘Awamil
Ø  Ta’aliq Hawasyi Mantiq
Ø  Faqr Ahl al-Kutub
Ø  Al-Mukhtashar fi Shina’at al-Adab
Ø  Haqaiq al-Nufus
Ø  Ahwa al-Salaf wa Shifat Ba’dl al-Anbiya al-Sabiqin[4]

1.2 Pendidikan Etika Islam Perspektif  Ibnu Miskawaih
Cita-cita pendidikan sebagaimana yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih diisyaratkannya dalam awal kalimat kitab. Tandzibul Akhlaq wa Tathhir al-A'raq ialah terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir daripadanya perilaku-perilaku luhur, atau berbudi pekerti mulia. Budi (jiwa atau watak), lahir pekerti (perilaku) yang mulia. Untuk mencapai cita-cita ini haruslah melalui pendidikan dan untuk melaksanakan pendidikan perlu mengetahui watak manusia atau budi pekerti manusia.
Di sini terlihat dengan jelas, bahwa karena dasar pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang etika Islam, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun, adalah pendidikan etika Islam. Konsep pendidikan etika Islam dari Ibnu Miskawaih tersebut dikemukakan sebagai berikut:
A.    Fungsi Pendidikan
a.      Memanusiakan manusia
Setiap makhluk di dunia ini mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesifik baginya yang tidak ada makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu. Maka manusia diantara segala makhluk yang ada mempunyai perilaku khusus yaitu, segala perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal pikirannya. Karena itu, barang siapa yang pertimbangannya paling jernih penalarannya paling benar, keputusannya paling tepat, adalah orang yang paling sempurna martabat kemanusiaannya. Manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang khas padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Maka, kewajibannya ialah berbuat kebajikan yang merupakan kesempurnaan manusia dan atas dasar untuk itulah mereka diciptakan dan agar mereka berupaya sungguh-sungguh untuk sampai pada kebajikan (al-khairat), dan agar manusia menghindari kejahatan-kejahatan (as-syarru) yang menghambat mereka sampai kepada kebaikan.
Oleh karena itu, tugas pendidikan adalah mendudukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia dari makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas bagi manusia yang tak mungkin dilakukan oleh makhluk yang lain.
b.      Sosialisasi individu manusia
Pendidikan harus merupakan proses sosialisasi, hingga tiap individu merupakan bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajikan untuk kebahagiaan bersama. Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa kebajikan itu sangat banyak dan tak mungkin mewujudkan seluruh kebajikan dari kemampuan satu orang manusia. Oleh karena itu menurut Ibnu Miskawaih, untuk mewujudkan seluruh kebajikan itu harus dilakukan dengan bersama-sama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Jadi, seluruh individu berhimpun pada suatu waktu untuk mencapai kebahagiaan bersama. Kebahagiaan tiap individu sempurna berkat pertolongan lainnya, kebajikan menjadi milik bersama. Kebahagiaan dibagi-bagikan kepada individu, hingga masing-masing bertanggung jawab atas bagian dan kebahagiaan. Kamalul insani(human perfection) tercapai berkat gotong royong tersebut. Untuk hal demikian, manusia wajib saling mencintai antara satu sama lain, karena masing-masing individu melihat kesempurnaannya berada pada individu yang lain. Kalau tidak saling mencintai, maka tidak sempurna kebahagiaannya. Jadi, tiap orang merupakan anggota dari anggota badan. Rangka manusia sempurna dengan utuhya anggota-anggota badan.
Ibnu Miskawaih menegaskan lagi bahwa manusia di antara segala makhluk, binatang tidak dapat mandiri dalam menyempurnakan esensinya sebagai insan, tetapi pasti dengan pertolongan dari golongan manusia lain. Dia dapat mencapai kehidupan yang baik dan melaksanakan kewajibannya dengan tepat. Manusia pada dasarnya adalah anggota masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat terwujud kebahagiaan insaniahnya. Setiap orang memerlukan orang lain. Dia sewajarnya bergaul dengan masyarakat sebaik-baiknya, mencintai mereka setulus-tulusnya.
c.       Menanamkan rasa malu
Manusia diciptakan dengan kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu tumbuh secara alamiyah. Kekuatan yang mula-mula muncul ialah tuntutan biologis, yakni kecenderungan syahwaniyahseperti makan untuk mengembangkan fisik. Tuntutan biologis ini terus berkembang ke berbagai kecenderungan-kecenderungan keinginan. Kemudian menyusul timbul kekuatan imajinasi yang timbul dari pengindraan. Sesudah itu muncul kekuatan ghadlabiyah(kekuatan kemauan) untuk bertindak mengatasi hambatan atau untuk memenuhi kecenderungan. Bila gagal mengatasi sendiri, maka anak itu menangis, atau ia minta bantuan kepada orang tuanya. Setelah itu, lahir kekuatan tamyiz/pertimbangan nalar (perkembangan intelektualitas) terhadap perilaku-perilaku khas manusiawi sedikit demi sedikit hingga sempurna. Pada tingkat perkembangan ini, anak dinamai aqil. Kekuatan-kekuatan ini banyak, sebagiannya secara fundamental mendorong terwujudnya sebagian kekuatan yang lain sehingga tercapai tujuan perkembangan terakhir (tingkat akhir perkembangan akal insany), Tujuan yang tak ada lagi tujuan lainnya, yaitu al-khair al-mutlaq. Kebajikan mutlak yang diinginkan manusia sebab dia manusia. Pertama-tama yang muncul dari kekuatan-kekuatan ini pada manusia adalah rasa malu (al-hayaa'u), yaitu rasa takut lahirnya sesuatu yang jelek dari dirinya. Karena itu menurut Ibnu Miskawaih, pertama-tama yang harus diamati benar-benar pada anak-anak dan dipandang tanda awal perkembangan akalnya adalah timbulnya rasa malu, karena hal itu menunjukkan bahwa anak sudah menginsafi tentang keburukan. Di samping keinsyafan tentang keburukan anak juga berupaya memelihara dirinya dan menjauhi keburukan itu. Ibnu Miskawaih menandai gejala ini dengan perilaku anak seperti bila anak-anak diamati dan ia tersipu-sipu, matanya menunduk ke bawah, wajahnya sayu, maka itu merupakan tanda awal dari kebagusan bawaannya dan menjadi bukti bahwa jiwanya sudah mengerti kebaikan dan keburukan. Jiwa yang demikian berbakat untuk dididik, pantas diberi perhatian, wajib tidak ditelantarkan dan jangan dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang dapat merusaknya.
Dari pikiran Ibnu Miskawaih tersebut, demikian jelas bahwa penanaman rasa malu adalah fungsi pendidikan yang penting dan penanaman ini dimulai sedini mungkin yakni pada awal munculnya gejala jiwa tamyiz, yakni perkembangan anak mulai berpikir kritis dan logis pada waktu mereka duduk di Sekolah Dasar, pada umur antara 10-12 tahun. Anak telah dapat mengenal aturan kesusilaan serta tahu bagaimana dia harus bertingkah laku.
B.     Tujuan Pendidikan Etika
Tujuan pendidikan etika yang dirumuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alasan seperti ini, as-Sya'ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibnu Miskawaih sebagai filsuf yang bermadzhab as-sa'adah di bidang etika Islam. As-sa'adahmemang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan etika Islam. Makna as-sa'adah sebagaimana dinyatakan M. Abdul Haq Ansari, tidak mungkin dapat dicari padan katanya dalam Bahasa Inggris walaupun secara umum diartikan sebagai happiness. Menurutnya, as-sa'adahmerupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kecantikan (beautitude).
Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan pendidikan etika Islam yang ingin dicapai Ibnu Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencari kebahagiaan hidup manusia dalam arti, seluas-luasnya.

C.    Materi Pendidikan Etika
Untuk mencapai tujuan etika Islam yang telah dirumuskan, Ibnu Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan, dan dipraktikkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi pendidikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud oleh Ibnu Miskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah swt.
Sejalan dengan uraian tersebut, Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok tersebut, yaitu:
a. Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia.
b. Hal-hal yang bagi jiwa.
c. Hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama.
Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibnu Miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran atau biasa disebut dengan al-'ulum al-fikriyah. Kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indra atau biasa disebut dengan al-'ulum al-hissiyat.
Ibnu Miskawaih tidak merinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia. Secara sepintas tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan etika Islam yang wajib bagi Ibnu Miskawaih antara lain, salat, puasa, dan sa'i. Ibnu Miskawaih tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap contoh yang diajukannya ini. Hal ini barangkali didasarkannya pada perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperinci pun orang sudah menangkap maksudnya. Gerakan-gerakan salat secara teratur yang paling sedikit lima kali sehari seperti mengangkat tangan, berdiri, ruku', dan sujud memang memiliki unsur olah tubuh. Salat sebagai jenis olah tubuh akan dapat lebih dirasakan dan disadari sebagai olah tubuh (gerak badan), jika dilakukan dalam berdiri, ruku', dan sujud dalam waktu yang agak lama.
Selanjutnya materi pendidikan etika Islam yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa, dicontohkan oleh Ibnu Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan, dan lain-lain.
Selanjuthya karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka apa pun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Ibnu Miskawaih tampak akan menyetujuinya. Ia menyebut misalnya ilmu nahwu (tata bahasa bahasa Arab). Dalam rangka pendidikan etika Islam, Ibnu Miskawaih sangat mementingkan materi yang ada dalam ilmu ini, karena materi yang ada dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus dalam berbicara. Demikian pula materi yang ada dalam ilmu manthiq (logika) akan membantu manusia untuk lurus dalam berpikir. Adapun materi yang terdapat dalam ilmu pasti seperti ilmu hitung (al-hisab), dan geometri (al-handasat) akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan. Sementara itu sejarah dan sastra, akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Materi yang ada dalam syariat sangat ditekankan oleh Ibnu Miskawaih. Menurutnya, dengan mendalami syariat, manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhai Tuhan, dan jiwa siap menerima hikmah hingga mencapai kebahagiaan (al-sa'adat).
Dari uraian tersebut terkesan bahwa tujuan pendidikan etika Islam yang dirumuskan Ibnu Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar menjadi filsuf. Karena itu, ia memberi jalan agar seseorang memahami materi yang terdapat dalam beberapa ilmu tertentu. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dipelajari agar seseorang menjadi filsuf. Ilmu tersebut, ialah:

a. Matematika (ar-riyadiyat).
b. Logika (al-manthiq), sebagai alat filsafat.
c. Ilmu kealaman (natural science).
Menurutnya, seseorang baru dapat dikatakan filsuf, apabila sebelumnya telah mencapai predikat muhandis (engineer/insinyur), munajjim (astroger), thabib (pyisician), manthiqi(logician), atau nahwi (philologist/grammarian), atau lainnya.
Selain materi yang terdapat dalam ilmu-ilmu tersebut, Ibnu Miskawaih juga menganjurkan seseorang agar mempelajari buku-buku yang khusus berbicara tentang etika Islam agar dengan itu manusia akan mendapat motivasi yang kuat untuk beradab.
Pendapat Ibnu Miskawaih tersebut lebih jauh mempunyai maksud agar setiap guru (pendidik), apa pun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya etika yang mulia bagi diri sendiri dan murid-muridnya. Ibnu Miskawaih memandang guru (pendidik) mempunyai kesempatan baik untuk memberi nilai lebih pada setiap ilmu bagi pembentukan pribadi mulia.
Sebagaimana telah diuraikan, Ibnu Miskawaih memberi makna kejasmanian terhadap sesuatu yang sudah pasti bernilai kerohanian. Untuk perintah salat dan puasa, dikaitkan dengan kesehatan tubuh. Kegiatan ritual lainnya seperti haji, salat jumat, dan salat berjamaah, diterjemahkan sebagai upaya untuk membantu manusia mengembangkan cinta kepada sesama dan rasa persahabatan yang fitrahwi agar manusia tidak saling berselisih. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Ghazali tentang manfaat salat yang dinilainya semata-mata untuk keuntungan jiwa individual.
Jika dianalisis secara saksama, bahwa berbagai ilmu yang diajarkan dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri, atau tujuan akademik semata-mata, tetapi karena tujuan lain yang lebih substansial, pokok, dan hakiki, yaitu etika yang mulia. Dengan kata lain, setiap ilmu membawa misi etika.
Namun untuk melihat sisi etika Islam yang terdapat dalam setiap ilmu yang diajarkan diperlukan adanya kemampuan metodologi dan pendekatan dalam penyampaian setiap ilmu. Misalnya, seseorang yang mengajarkan ilmu matematika atau fisika, selain menggunakan pendekatan keilmuan, juga dapat menggunakan pendekatan secara integrated, yaitu dengan melihat ilmu tersebut dari suatu sudut atau lainnya, misalnya dari aspek etika atau akhlak. Dengan demikian, orang yang mempelajari ilmu tersebut, selain memiliki keahlian dalam bidang matematika dan fisika, misalnya untuk keperluan hitungan bagi kepentingan pembangunan, ia juga dapat memiliki etika yang mulia.
D.    Ilmu yang Dipelajari
Ibnu Miskawaih menempatkan ilmu ke dalam suatu kedudukan berdasarkan objek ilmu tersebut. Ilmu yang paling mulia menurut Ibnu Miskawaih adalah ilmu pendidikan, karena obyeknya adalah budi pekerti manusia, yang menyangkut substansi manusia. Ilmu kedokteran, adalah objeknya manusia, juga merupakan ilmu pengetahuan yang mulia. Segala ilmu pengetahuan yang mengembangkan quwwatun natiqah (daya pikir) adalah ilmu yang paling mulia. Sebab jiwa natiqah selalu condong kepada ilmu pengetahuan, lambang kesempurnaan dan kemuliaan manusia. Sebaliknya, pengetahuan tentang menyamak kulit dipandang hina karena obyeknya adalah kulit bangkai hewan.
Dengan dasar pemikiran tersebut, Ibnu Miskawaih membagi ilmu kepada dua golongan: al-ulumul syarifah(ilmu-ilmu yang mulia) dan al-ulumul radli'ah (ilmu-ilmu yang hina). Martabat suatu ilmu sesuai dengan urutan martabat hakikat objek ilmu itu dalam alam ini, misalnya ilmu tentang manusia lebih mulia dari objek binatang, ilmu binatang lebih mulia dari tumbuh-tumbuhan. Dari pemikiran Ibnu Miskawaih, dapat dipahami bahwa kecenderungan Ibnu Miskawaih kepada ulumul 'aqliyah, sebagai ilmu yang utama dipelajari karena menunjang tercapainya kualitas manusia yang sempurna.
E.     Pendidik dan Anak Didik
Arti pendidik dalam hal ini adalah guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik adalah murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang saksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan, dan lain sebagainya.
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan peserta didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibnu Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidikannya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik disamakan kedudukannya dengan cinta hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi karena kecintaan terhadap Tuhan ini jarang ada yang melakukannya, maka Ibnu Miskawaih mendudukkan cinta murid terhadap guru berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Alasan yang diajukannya adalah karena seorang guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Guru berperan sebagai orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi. Selain itu, karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada mereka kehidupan abadi dalam kenikmatan yang abadi pula.
Namun, sepertinya Ibnu Miskawaih tidak menempatkan guru secara keseluruhan pada posisi dan derajat tersebut. Guru yang menempati posisi yang demikian tinggi adalah guru yang berderajat mu'allim al-mitsal, hakim, atau mu'allim al-hakim.
Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas, karena ia menyejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati posisi kedua setelah cinta kasih terhadap Allah.
Dari pandangan demikian, dapat diambil suatu pemahaman bahwa guru yang tidak mencapai derajat seperti yang dimaksudkan di atas dinilai sama oleh Ibnu Miskawaih dengan seorang teman atau seorang saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab. Menurutnya yang tergolong sebagai teman atau saudara adalah orang yang satu keturunan atau lainnya, baik anak-anak maupun orang tua.
Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Macam-macam cinta ini, menurutnya sekadar cinta manusiawi. Ibnu Miskawaih sangat mengharapkan adanya cinta selain itu semua. Cinta yang diharapkan adalah cinta yang didasarkan atas semua jenis kebaikan itu, tetapi kualitasnya lebih lama, sehingga menjadi cinta yang murni dan sempurna. Cinta demikian disebutnya dengan cinta Ilahi. Cinta ini tidak memiliki cacat sedikitpun, karena ia muncul dari manusia yang suci terlepas dari pengaruh kematerian. Pemikiran demikian sejalan dengan tujuan pendidikan etika Islam di atas.
Adapun posisi teman atau saudara, menurut Ibnu Miskawaih, paling tinggi hanya mungkin diletakkan di atas berbagai hubungan cinta kasih tersebut, tetapi masih berada di bawah cinta murni. Dengan demikian, maka cinta murid terhadap guru biasa, masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak kepada orang tua, hanya saja tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Seperti halnya masalah yang lain, Ibnu Miskawaih selalu berusaha mencari yang terbaik, dan yang terbaik sebagaimana telah diuraikan adalah posisi pertengahan. Karena itu, posisi guru biasa, diletakkan di antara posisi guru yang ideal dan posisi orang tua. 
Adapun yang dimaksud dengan guru biasa oleh Ibnu Miskawaih bukan dalam arti guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan, antara lain:
a. Bisa dipercaya.
b. Pandai.
c. Dicintai.
d. Sejarah hidupnya jelas, dan tidak tercemar di masyarakat.
Di samping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlunya hubungan yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan murid tersebut dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan dalam kegiatan belajar-mengajar. Kegiatan belajar-mengajar yang didasarkan atas dasar cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan.
F.     Lingkungan Pendidikan
Dalam usaha mencapai kebahagiaan (as-sa'adat), menurut Ibnu Miskawaih tidak dapat dilakukan sendirian, tetapi harus bersama-sama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta, apabila sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat diraih dengan sempurna. Asas dasar itu, maka setiap individu mendapat posisi sebagai salah satu anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-anggota badannya.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih berpendapat, bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara, anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan, atau kekasih.
Selanjutnya, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri. Karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Di antara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil dari pertemuan di antaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syariat. Salat Jumat, salat berjamaah, salat hari raya, dan haji, menurut Ibnu Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya untuk saling bertemu, sekurang-kurangnya satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat, tetapi sampai pada tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian, menurut Ibnu Miskawaih terkait dengan politik pemerintah. Kepala negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya. Karena itu, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi, satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, begitu juga sebaliknya yang harus dilakukan rakyatnya, yaitu wajib mencintai pemimpinnya semisal cinta anak kepada orang tuanya.
Selanjutnya mengenai lingkungan pendidikan, yang selama ini dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan yaitu, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Secara eksplisit Ibnu Miskawaih tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. lbnu Miskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah yang menyangkut hubungan rakyat dan pemimpinnya, sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota lingkungan lainnya. Keseluruhan lingkungan ini, antara satu dan lainnya secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
G.    Metodologi Pendidikan
Metodologi pendidikan dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, metode ini terkait dengan perubahan dan perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan etika, maka metode pendidikan di sini berkaitan dengan metode pendidikan etika. Dalam kaitan ini Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa etika seseorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Metodologi perbaikan etika diartikan sebagai metode mencapai etika yang baik, dan metode memperbaiki etika yang buruk. Walaupun demikian, pembahasannya disatukan karena antara satu dengan lainnya saling melengkapi dan tidak dipisahkan secara ketat.
Terdapat beberapa metode yang telah diajukan Ibnu Miskawaih dalam mencapai suatu etika yang baik, yaitu antara lain:
a.         Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-'adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyah dan al-ghadlabiyah. Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah bekerja yang di dalamnya mengandung unsur yang berat, seperti mengerjakan salat yang lima, atau melakukan sebagian pekerjaan baik yang di dalamnya mengandung unsur yang melelahkan. Latihan yang sungguh-sungguh seperti hal ini, oleh Ibnu Miskawaih diumpamakan seperti persiapan raja yang akan menghadapi musuh. Persiapan yang dimaksud mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus-menerus dan tidak menunggu waktu. Metode seperti ini ditemui pula dalam karya etika filsuf lain, seperti halnya yang dilakukan Imam al-Ghazali, Ibnu 'Arabi, dan Ibnu Sina. Metode semacam ini, termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa.
b.         Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud adalah pengetahuan dan pengalaman yang berkenaan dengan hukum-hukum etika yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut dalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya, sehingga tidak satu pun perbuatannya terhindar dari pengamatannya.[5]



BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
IbnuMaskawaihadalahseorangfilsufmuslim yang memusatkanperhatiannyapadaetikaislam. Namalengkapnyaadalah Abu Ali al-khazin Ahmad ibn Muhammad ibnYa’qub.Sebutannamanya yang lebihMasyhuradalahMiskawaih,IbnuMiskawaihatauIbnuMaskawaih. Parapenulismenyebuttahunkelehirannyaberbeda-beda.Salah satudiantaranyaM.M Syarifmenyebutkantahun 320 H/932 M.
Karia akademisnyadiawalidenganmenimbailmupengetahuan di Bagdad dalambidangsastra.Setelahmenjelajahibanyakcabangilmupengetahuandanfilsafat, akhirnyaIbnuMaskawaihlebihmemusatkanperhatiannyapadabidangsejarahdanetika.IbnuMaskawaihbelajarsejarah, terutamaTarikh al-Tabari(sejarah yang ditulis at-Tabari), pada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadipadatahun 350 H/960 M.
Konseppendidikanetika Islam dariIbnuMiskawaih yang telah di kemukakanmemilikifungsipendidikanuntukmemenusiakanmanusia, menenemkan rasa malu, danhidupbersosial.Adapuntujuanpendidikanetika yang di rumuskanolehIbnuMiskawaihadalahterwujudnyasikapbatin yang mampumendorongsecaraspontanuntukmelahirkansemuaperbuatan yang bernilaibaik, sehinggamencapaikesempurnaandanmemperolehkebahagiaansejatidansempurna.
Secara global Ibnu miskawaih membagi materi pendidikan etika sebagai berikut: a. hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, b. hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan c. hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia.
SedangkanIlmu yang dipelajariibnuMiskawaihmembagiIlmumenjadiduagolonganyaitu :PertamaIlmu-ilmu yang mulia ( al-ulumulsyarifah ), KeduaIlmu-ilmu yang hina ( al-ulumulradli’ah )

Metode yang diajukan ibnu Miskawaih dalam mencapai etika yang baik.Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya, adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dalam pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman yang berkenaan dengan hukum-hukum akhlaq yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia.















DAFTAR PUSTAKA
Istighfarotur Rahmaniyah, 2010,Pendidikan Etika, Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di Bidang Pendidikan. Malang : UIN-MALIKI PRESS.
Muhaimin, JusufMudzakkir, Abdul Mujib, 2007, KawasandanWawasanStudi Islam, Jakarta: Prenada Media


[1]Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika, Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di Bidang Pendidikan (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 105
[2]Muhaimin, JusufMudzakkir, Abdul Mujib, KawasandanWawasanStudi Islam (Jakarta: Prenada Media), hlm. 327
[3]IstighfaroturRahmaniyah, Op.Cit, hlm.107-108
[4]IstighfaroturRahmaniyah, Op.Cit, hlm. 111-114
[5]stighfaroturRahmaniyah, Op.Cit, hlm. 147-168
 

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami