Kamis, 18 April 2013

KONSEP MANUSIA DAN HARAPAN



KONSEP MANUSIA DAN HARAPAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar
Hambali, M.Ag


Subhan murtado
Ahmad fuad aufaz
Phaoshe hemboe

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
I.            Latar Belakang
            Harapan berasal dari kata harap yaitu keinginan supaya sesuatu terjadi atau suatu yang belum terwujud. Kata orang manusia tanpa harapan adalah manusia yang mati sebelum waktu-nya. Bisa jadi, karena harapan adalah sesuatu yang hendak kita raih dan terpampang dimuka. Hampir sama dengan visi walau dalam spektrum sederhana, harapan merupakan cita-cita yang kita buat sebagai sesuatu yang hendak kita raih. Jadi hidup tanpa harapan adalah hidup tanpa visi dan tujuan.
            Maka bila manusia yang hidup tanpa harapan pada hakekatnya dia sudah mati. Harapan bukanlah sesuatu yang terucap dimulut saja tetapi juga berangkat dari usaha. Dia adalah ke-cenderungan batin untuk membuat sebuah rencana aksi, peristiwa, atau sesuatu menjadi lebih bagus. Sederhananya, harapan membuat kita berpikir untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan untuk meraih sesuatu yang lebih baik.
            Harapan dan rasa optimis juga memberikan kita kekuatan untuk melawan setiap hambatan. Seolah kita selalu mendapatkan jalam keluar untuk setiap masalah. Seolah kita punya kekuatan yang lebih untuk siap menghadapi resiko. Ini kita sebut sebagai perlawanan. Orang yang hidup tanpa optimisme dan cenderung pasrah pada realita maka dia cenderung untuk bersikap pasif, Oleh karena itu dalam makalah ini kita dapat mengetahui lebih dalam tentang manusia dan harapan
II.            Rumusan Masalah
a.       Pangertian harapan
b.      Harapan sebuah fenomena nasional
c.       Kepercayaan
d.      Manusia dan harapan

III.            Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui dan memahami makna harapan
b.      Menetahui harapan merupakan fenomena nasional
c.       Mengetahui dan memahami makna kepercayaan
d.      Mengetahui hubungan manusia dan harapan





BAB II
PEMBAHASAN

1.       Pengertian harapan
Menurut arti katanya “harapan” artinya keinginan supaya sesuatu itu menjadi kenyataan atau sersuatu itu menjadi kenyataan atau tercapai. Kata “keinginan” menunjuk pada cita-cita manusia yang realistis agar sesuatu itu menjadi kenyataan. Dalam kata keinginan itu terdapat doa untuk sesuatu yang masih akan datang agar terkabul ,atau tercapai, atau menjadi kenyataan. Kata “sesuatu” menunjuk pada kebutuhan hidup yang terdiri dari kebutuhan ekonomi, kebutuhan biologis, dan kebutuhan rohani. Agar keinginan itu tercapai atau menjadi kenyataan, perlu ada usaha yang diukur dengan kemampuan yang  meyakinkan. Usaha itu sudah dirintis atau dijalankan, tetapi belum tentu berhasil karena masih ada kekuasaan yang menentukan, yaitu tuhan yang mahakuasa[1].
Dalam konsep harapan dapat diinventarisasi beberapa unsur, yaitu:
a)      Keinginan, yaitu cita-cita manusia yang realistis.
b)      Kebutuhan hidup, yaitu segala keperluan manusia untuk dapat bertahan hidup.
c)      Dapat menjadi kenyataan, yaitu mungkin tecapai, terkabul, atau terpenuhi atas karunia tuhan yang mahakuasa.
d)     Usaha, yaitu kegiatan mewujudkan kebutuhan hidup, sudah dirintis atau dijalankan.
e)      Kemamapuan, yaitu kesanggupan fisik dan intelektual.
f)       Meyakinkan, yitu rasa percaya diri karena didukung oleh usaha dan kemampuan[2].
Apabila dirumuskan kembali berdasarkan unsur-unsur tersebut akan diperoleh konsep harapan yang lebih jelas terarah dan ralistis berupa cita-cita yang bukan angan-angan belaka.
Tentu setiap manusia memiliki harapan didalam menjalani kehidupan, karena saya seorang mahasiswa, maka saya mengambil contoh: saya berharap mendapatkan nilai yang bagus di dalam senua mata kuliah yang saya ambil, itu harapan saya dalam jangka pendek. Tetapi jika di runtut lebih dalam lagi pastinya saya akan berharap menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara, kelak harapan jangka panjang[3].
Menurut kodratnya dalam diri manusia terdapat 2 dorongan,yaitu dorongan kodrat serta dorongan kebutuhan hidup. Terkait dengan kebutuhan manusia tersebut , abraham maslow mengkategorikan kebutuhan manusia menjadi 5 macam atau disebut juga 5 harapan manusia, yaitu;
1.      Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup.
2.      Harapan untuk memperoleh keaamanan.
3.      Hak untuk mencintai dan di cintai.
4.      Harapan diterima lingkungan.
5.      Harapan memperoleh cita-cita[4].
Contoh;
Budi seorang mahasiswa universitas terbuka,ia belajar dengan rajin dengan harapan agar nantinya sewaktu ujian semester ia memperoleh nilai A.


2.     Harapan sebagai fenomena nasional
            Harapan adalah suatu keinginan yang mungkin tercapai dengan usaha yang sudah dimulai (sudah dirintis) karena telah didukung oleh kemampuan. Keinginan disini sudah lebih realistis dari cita-cita. Apabila cita-cita masih dalam pikiran, harapan sudah diwujudkan /dimulai dengan usaha yang dirintis. Usaha ini didukung oleh kemampuan, sehingga kemungkinan berhasil lebih realitas dan mendekati kenyataan.
            Artinya harapan ialah sesuatu yang wajar berkembang pada diri manusia dimana pun berada. Mengutip pandangan A.F.C. Wallace dalam bukunya culture and personality, mas abhoe dhari menegaskan bahwa kebutuhan merupakan salah satu isi pokok dari unsur kepribadian yang merupakan sasaran dari kehendak, harapan, keinginan, serta emosi seseorang. Kebutuhan individu dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi:
a)      Kebutuhan organik individu.
·         Kebutuhan individu bernilai positif.
·         Kebutuhan individu bernilai negatif.
b)      Kebutuhan psikologi individu.
·         Kebutuhan psikologi individu bersifat positif[5].
3.       Kepercayaan
Kepercayaan berasal dari kata percaya,artinya mengakui atau meyakini akan sesuatu kebenaran. Kepercayaan ialah hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran. Kebenaran menurut Peodjawiyatna adalah merupakan cita – cita orang yang tahu, dalam hal ini kebenaran merupakan kebenaran logis, sehingga manusia selalu memilih sebelum melakukan tindakan apakah tindakan ini salah atau benar menurut keyakinannya.
Dalam bidang logika kebenaran ialah persesuaian antara tahu dan objek yang diketahui (kebenaran logis). kebenaran logis disebut juga kebenaran objektif dan kebenaran etis juga disebut kebenaran subjektif. Jika tidak ada persesuaian antara putusan dan objeknya yang diketahui, maka terdapat dua kemungkinan, yaitu:
1.      orang yang mengutarakan putusan keliru
2.      orang yang mengutarakan putusan sengaja mengutarakan tidak sesuai dengan realita yang diketahuinya[6].
Dasar kepercayaan ialah kebenaran dan sumber kebenaran adalah manusia, oleh karena itu keepercayaan dibedakan atas:
1.      kepercayaan pada diri sendiri, yaitu kepercayaan yang harus ditanamkan pada setiap pribadi manusia. hakikatnya kepercayaan kepada tuhan Yang Maha Esa.
2.      Kepercayaan pada orang lain, yaitu percaya pada kata hatinya yang berbentuk pada perbuatan kebenaran kepada orang lain. Misalnya pada saudara, teman, orang tua atau siapa saja.
3.      Kepercayaan pada pemerintah.
4.      kepercayaan kepada tuhan, yaitu meyakini bahwa manusia diciptakan oleh tuhan dan manusia harus bertakwa pada tuhannya. Salah satu cara bertakwa adalah mengukuhkan imannya bahwa tuhan merupakan zat yang merupakan kebenaran mutlak[7].
Kepercayaan bukan hanya wujud rasa takut, namun kepercayaan adalah juga ketidak-tahuan. Bila orang terjerat dalam kepercayaan, maka dia terjerat dalam ketakutan dan sekaligus terjerat oleh KETIDAK-TAHUAN (avidya). Bila kita menghayati SANATANA DHARMA (eternal cosmic law), kitapun melihat hidup ini seperti matematika. Seumpama kita masuk ruang ujian matematika; kita akan merasa takut apabila tak paham 2×2=2+2. Dan kita akan mempercayai siapapun yang memberi kita jawaban; apakah jawaban itu benar ataupun salah. Hanya orang-orang dungulah yang terjerat dalam percaya dan tidak percaya.
Apabila orang sungguh paham 2×2=2+2, diapun telah melihat jawabannya, maka tiadalah berguna untuk mempercayai apapun, siapapun. Perlukah orang percaya bahwa dirinya hidup? Hanya orang yang tidak memahami dirinya, merasa perlu percaya bahwa dia hidup dan akhirnya TERJERAT dalam KEPERCAYAAN. Bila orang sungguh-sungguh paham, termasuk segala masalah yang terjadi dalam DIRINYA, dalam kehidupan ini; maka dia berhenti mempercayai apapun; termasuk omongan para pakar, para pemimpin, para kiyai, para guru dan tuhan sekalipun. Karena dia melihat apa adanya/senyatanya. Ini bagaikan melihat sekuntum bunga dihalaman rumah kita. demikianlah adanya, kita tak perlu berdebat, mempercayai bahwa itu adalah bunga atau itu adalah buah. Dan kita tidak mesti takut bahwa bunga itu akan murka bila kita tidak mempercayainya, bila kita tidak memuja dan, bersujud kepadanya.
Bagaimana kepercayaan ini bermula dalam diri manusia? Cobalah kita amati; kenapa ada kepercayaan dalam diri kita, kenapa kita percaya? Kenapa kita percaya TUHAN, atau apapun kita menyebutnya? Tanyakan pertanyaan ini dengan sungguh kepada diri kita. Ketika pertama kali kita hadir di Bumi ini, diri kita dalam keadaan kosong, murni, tak ada kepercayaan apapun. Secara bertahap, ketika kita bertumbuh, otak kita mulai diisi, dicekoki oleh segala macam pengaruh dari lingkungan dimana kita hidup. Bila kita tumbuh dalam keluarga muslim, maka otak kita dibeban-pengaruhi oleh segala doktrin dan tradisi islam. Demikianlah keterkondisian otak kita berbeda-beda sesuai dengan beban-pengaruh lingkungan dimana kita dilahirkan. Inilah awal terbentuknya kepercayaan kita, yang merupakan bagian melekat dari si Ego. Semakin kuat kita mempercayai, semakin terjerat kita disana, dan batin kita semakin tertutup, dengan demikian kita tak’an dapat terbuka bagi ruang kehidupan yang maha luas yang tak terbatas ini. Dapatkah kita melihat hal ini? Bukankah ini adalah fakta kehidupan, yang terjadi pada diri kita.
Dalam proses penerimaan kepercayaan ini, tanpa disadari terbentuklah jaring-jaring rasa tersamar yang halus, rumit dan alot yang menjadikan permasalahan hidup bertambah komplek. Maka hal ini menjadi bertambah sulit dipahami, dan kebanyakan dari kita semakin terjerat dan berakhir disini. Permasalahan hidup yang komplek ini bagaikan benang kusut, manusia berkubang, terjerat dan berputar-putar terus didalam kepercayaan, harapan, dan ketakutannya.
Marilah kita amati secara perlahan dan seksama. Ambilah suatu contoh; aku hidup dalam kepercayaanku Hindu. Dalam perjalanan hidupku, aku terjerat dalam banyak bentuk kesenangan. Untuk memuaskan diri dalam kesenangan-kesenangan ini, aku mestilah banyak uang. Karena dengan uang aku akan dapat membeli banyak sekali kenikmatan. Semakin aku memuaskan keinginanku, semakin bergeloralah nafsuku, demikianlah aku menjadi sangat serakah. Dan untuk memperoleh banyak uang, aku mau tak mau akan berbuat apapun, termasuk mencuri, korupsi dan sebagainya. Untuk dapat mempertahankan dan meraih lebih banyak kenikmatan yang telah kulekati, maka akupun berdoa, memohon kepada dewa-dewaku, agar aku diberi lebih banyak rejeki dan lebih banyak kesehatan. Karena hanya dengan kesehatan dan uang yang banyaklah aku akan dapat meraup dan merengguk lebih banyak kenikmatan.
Bila suatu saat aku gagal dalam meraih apapun; atau ada berita bahwa akan terjadi musibah, bencana tsunami; atau kesehatan diriku terganggu, maka aku merasa cemas dan takut. Dari ketakutan diriku, aku pun lebih banyak berdoa dan memohon kepada dewa-dewaku dengan penuh harap dan juga rasa cemas kalau harapanku tak menjadi kenyataan. Demikianlah kepercayaanKu semakin kuat, atas dorongan dari harapanku yang selalu merasa takut kehilangan kenikmatan, kesehatan dan rejeki. Semua proses ini terjadi dalam ruang batinku yang dipicu oleh diri atau pikiranku yang menginginkan, yang penuh ambisi, penuh harapan, dan sekaligus ketakutan.
Hal inilah yang terus-menerus beroperasi dalam diriku. Aku akan puas dan bangga bila aku berhasil, dan merasa kecewa bila aku gagal. Diantara rasa puas dan kecewa ini selalu ada harapan dan ketakutan. Dari harapan dan ketakutan ini aku berdoa dan memohon kepada tuhan, dewa khayalanku, dan ini memperkuat kepercayaanKu. Inilah hal yang mesti aku pahami. Untuk melihat hal ini lebih jelas, aku mestilah diam dan mengamati secara seksama. Bila aku dapat melihat dengan detail, keseluruhan dari keterkondisian diriku, maka aku pastilah paham dengan sumber penderitaanKu yaitu ketakutan dalam diriku. Namun pada umumnya orang merasa takut melihat atau menghadapi rasa takut itu; dan berpaling sehingga dia tak dapat memahami rasa takutnya.
Bila kita berpaling, untuk sementara rasa takut itu sepertinya menghilang. Kita berpaling dengan bermacam-macam cara; lewat doa, lewat kepercayaan, lewat hiburan, lewat konsep, lewat suatu metode, lewat suatu latihan, lewat tradisi, lewat buku-buku, lewat guru-guru dan lain sebagainya. Demikianlah kita dapat melupakan atau berpaling untuk sementara dari ketakutan ataupun masalah-masalah diri kita yang lainnya. Dapatkah kita melihat dengan jujur, bahwa inilah kondisi diri kita umumnya. Inilah trik-trik yang selama ini kita lakukan untuk menanggulangan segala permasalahan hidup kita. Dan cara-cara ini sama sekali tak dapat menyelesaikan masalah-masalah hidup kita.
Cobalah renungkan dan amati..! Dapatkah kita menghadapi masalah diri kita secara langsung? Menghadapi ketakutan dan segala ikhwal yang terkait, tanpa berpaling lewat trik-trik pikiran kita yang cerdik dan licik ini? Hadapilah diri ini seutuhnya, senyatanya, sejujurnya. Maka kita akan melihatnya. Disitu ada harapan, ketakutan dan kepercayaan yang mencakup keseluruhan permasalahan hidup kita. Bila kita tak menghindar, tak berpaling, barangkali rasa takut yang menggiris itu semakin mencekik. Hadapilah.! Jangan menghindar.! Jangan sekali-kali berpaling.! Jangan menolak ataupun menerima.! Jangan berkomentar apapun.! Hadapilah, tataplah, dan pandanglah, itulah adanya diri kita. Ketika kita menghadapi diri kita dengan seluruh diri kita, yaitu dengan seluruh pikiran, kemauan, semangat, rasa, dan hati-nurani kita, disitu ada akumulasi energi yang membakar habis semua rasa takut. Disini hadir PEMAHAMAN total. Dalam pemahaman total ada kebebasan. Dan orang tidak akan pernah terjerat dalam kepercayaan maupun ketidakpercayaan. Bebas dari rasa takut maupun berani. Dalam batin seperti ini ada keheningan dari kejernihan pemahaman[8].

4. Manusia dan harapan
            Manusia merupakan makhluk tuhan yang paling sempurna, karena tuhan menciptakan manusia disertai dengan akal. Beda dengan makhluk yang lainnya, misalnya hewan, tuhan menciptakan hewan tidak menyertakan akal baginya. Hewan hanya mempunyai insting, insting yaitu pola tingkah laku yang bersifat turun-temurun yang dibawakan sejak lahir, naluri, garizah. Hal ini sangat berbeda dengan manusia yang memiliki akal, dengan akal manusia bisa merubah pola pikirnya. Karena pola akal manusia bisa berubah sesuai dengan keadaan, sehingga pemikiran manusia sangat luas dan bermacam-macam. Sedangkan hewan hanya memiliki insting yang sudah terkonsep sejak dia dilahirkan[9].
            Dengan insting itu hewan bisa melakukan beberapa tindakan yang sudah di wariskan atau dicontohkan oleh induknya misalnya pembuatan tempat tinggal yang khas, mendapatkan dan menyimpan serta mencernakan makanannya yang mungkin dapat dimanfaatkan pada musim hujan. Hewan hanya memiliki insting yang terbatas, sehingga hanya memiliki keterampilan yang terbatas juga. Beda dengan akal manusia yang dapat berkembang, sehingga dapat melakukan apapun yang pernah dilihatnya.
            Dengan akal itu juga dalam pikiran manusia terjadi banyak pemikiran-pemikiran dalam kehidupannya. Diantaranya  pemikiran tentang rencana-rencana yang akan datang, yang belum diketahuinya. Setiap manusia pasti mempunyai rencana yang baik untuk dirinya untuk mencapai rencana yang diharapkan pasti manusia mempunyai usaha / kiat-kiat kusus untuk mencapainya.
            Harapan itu bersifat manusiawi dan dimiliki semua orang. Dalam hubungannya dengan pendidikan moral, untuk mewujudkan harapan perlu di wujudkan hal – hal sebagai berikut:
a. harapan apa yang baik
b. bagaimana mencapai harapan itu
c. bagaimana bila harapan itu tidak tercapai.
            Jika manusia mengingat bahwa kehidupan tidak hanya di dunia saja namun di akhirat juga, maka sudah selayaknya “harapan” manusia untuk hidup di kedua tempat tersebut bahagia. Dengan begitu manusia dapat menyelaraskan kehidupan antara dunia dan akhirat dan selalu berharap bahwa hari esok lebih baik dari pada hari ini, namun kita harus sadar bahwa harapan tidak selamanya menjadi kenyataan[10].




BAB III
KESIMPULAN
            Harapan berasal dari kata harap yaitu keinginan supaya sesuatu terjadi atau suatu yang belum terwujud. Manusia tanpa harapan adalah manusia yang mati sebelum waktunya. Bisa jadi, karena harapan adalah sesuatu yang hendak kita raih dan terpampang dimuka. Hampir sama dengan visi walau dalam spektrum sederhana, harapan merupakan cita-cita yang kita buat sebagai sesuatu yang hendak kita raih. Jadi hidup tanpa harapan adalah hidup tanpa visi dan tujuan.
            Apabila cita-cita masih dalam pikiran, harapan sudah diwujudkan /dimulai dengan usaha yang dirintis. Usaha ini didukung oleh kemampuan, sehingga kemungkinan berhasil lebih realitas dan mendekati kenyataan.
            Kepercayaan ialah hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran. Kebenaran menurut Peodjawiyatna adalah merupakan cita – cita orang yang tahu, dalam hal ini kebenaran merupakan kebenaran logis, sehingga manusia selalu memilih sebelum melakukan tindakan apakah tindakan ini salah atau benar menurut keyakinannya.




[1] http://theviq.blogspot.com/2009/04/ibd-manusia-dan-harapan.html
[2] Ridwan efendi,ilmu sosial budaya dasar,rajawali pers,jakarta,2002,hlm.67.
[3] http://theviq.blogspot.com/2009/04/ibd-manusia-dan-harapan.html
[4] Arifin noor,ilmu alamiah dasar,pustaka setia,bandung,1997
[5] Kama abdul hakam,manusia dan lingkungan sosial budayanya,Dikti Depdiknas,batam
[6] http://theviq.blogspot.com/2009/04/ibd-kepercayaan.html
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Puspoprodjo,filsafat manusia,pustaka grafika,bandung.
[10] http://theviq.blogspot.com/2009/04/ibd-manusia-dan-harapan.html




0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami