Kamis, 11 April 2013

FIQH AKAD



Fiqih Akad
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas  Mata Kuliah
Studi Fiqih
Dosen Pengampu :
H. Misbahul Munir, Lc., M.Ei







Disusun Oleh :
Dzaqila Zuardi                     (10510117)
Sulastri                                 (11510003)
Ahmad Za’imuddin Faruq    (11510009)
Eliyana Sinta Bawafi            (11510015)
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
Tahun 2013/2014
KATA PENGANTAR
            Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya, sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan. Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai tugas matakuliah Studi Fiqih dengan judul “Fiqih Akad”tepat pada waktuya.
Dengan segala kerendahan hati dan sejujurnya penulis akui bahwa tanpa bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak, sudah tentu makalah ini tidak akan pernah selesai sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
  1. H. Misbahul Munir, Lc., M.Ei selaku dosen pengampu pada mata kuliah Studi Fiqih.
  2. Teman-teman seperjuangan di jurusan Manajemen yang telah mendukung dengan sepenuh hati.
  3. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu, namun jasa mereka akan senantiasa penulis ingat.

Seperti juga tidak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan tugas ini, masih banyak kesalahan yang terjadi. Oleh karena itu, penulis memohon kesediaan pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran yang positif demi perbaikan dimasa yang akan datang.

                                                                                                      Penyusun

Malang, Maret 2012



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam konteks masalah muamalah berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Cakupan hukum muamalat sangat luas dan bervariasi, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat umum, seperti perkawinan, kontrak atau perikatan, hukum pidana, peradilan dan sebagainya. Pembahasan muamalah terutama dalam masalah ekonomi tentunya akan sering kali ditemui sebuah perjanjian atau akad.
Akad merupakan peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan kabul, secara sah menurut syara dan menimbulkan akibat hukum. Akad  menjadi hal yang terpenting hal ini terkait dengan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan di dalam islam.
Fiqih akad serta ruang lingkup di dalamnya yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari terlebih berkembanganya ekonomi islam. Tentunya ini adalah hal yang berbeda dan pastilah dalam akad itu ada beberapa penjabaran dan penjelasan bagaiman akad itu seharusnya bisa dilakukan. Dalam makalah ini akan dibahas pengklasifikasian dari berbagai akad  yang digunakan dalam kegiatan ekonomi atau muamalah.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian akad ?
2.      Apa saja pembentukan Akad ?
3.      Bagaimana pengertian Tasharruf ?
4.      Bagaimana pengertian Ilzam  ?
5.      Bagaimana Pengertian Wa’ad (janji) ?
6.      Bagaimana perbedaan akad, tasharruf, Ilzam, dan wa’ad (janji) ?



1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan Pengertian Akad
2.      Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan Pembentukan Akad
3.      Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan Pengertian Tasharruf
4.      Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan Pengertian Ilzam
5.      Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan Pengertian Wa’ad (janji)
6.      Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan perbedaan akad, tasharruf, Ilzam, dan wa’ad (janji)
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akad
            Perikatan dan perjajanjian dalam konteks fiqh mu’amalah dapat disebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa Arab al-‘aqad bentuk jamaknya al-‘uqud yang mempunyai arti antara lain:
1.      Mengikat (al-rabith), yaitu:
“mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda.”                                
2.      Sambungan (al-‘aqd), yaitu:
“sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
3.      Janji (al-‘ahd), sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur’an dalam surat Ali Imran 76:
“(bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan bertaqwa. Maka sesungguhnya Allah menyukai oarang-orang yang bertaqwa.”
1.2    Pembentukan Akad
1.      Rukun Akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama selain Hanafiyah, berpendapat bahwa akad memilki tiga rukun, yaitu :
a.       Orang yang akad (’aqid), contoh : penjual dan pembeli
b.      Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh : harga atau yang dihargakan
c.       Sighat, yaitu ijab dan qabul.
Menurut, pendapat Ulama selain Hanafiyah berpendapat behwa Ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua. Sedangkan qabul adalah pernyataan dari orang yang menerima barang . pendapat ini merupakan pengertian umudipahami orang bahwa ijab adalah ucapan dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual-beli), sedangkan qabul adalah pernyataan dari penerima barang.

2.      Unsur-unsur Akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu :

a.    Sighad akad
Sighad akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui dengan ucapan perbuatan, isyarat, dan tulsan. Sighat tersebut biasa disebut Ijab dan Qabul.

1.    Metode (uslub) Sighat Ijab dan Qabul
Uslub-uslub sighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara, yaitu  berikut ini :
a.       Akad dengan Lafzh (Ucapan)
            Sighat dengan ucapan adalah sighat akad yang paling banyak digunakan orang sebab palng mudah digunakan dan cepat dipahami. Tentu saja, kedua belah pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta menunjukkan keridaannya.
1)   Isi Lafazh
Sighat akad dengan ucapan tidak diisyaratkan untuk menyebutkan barang yang dijadikan objek-objek akad, baik dalam jual-beli, hibah, sewa-menyewa, dan lain-lain. Hal itu disepakati oleh jmhur ulama, kecuali dalam pernikahan.
2)   Lafazh shighat dan tata kerja dalam sighat
Para ulama sepakat bahwa fi’il madi (kata kerja yang menujukkan  waktu lewat) boleh digunakan dalam akad karena merupakan kata kerja yang paling mendekati makhsud akal.
Mereka pun sepakat memperbolehkan penggunaan fi’il mudhari (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang atau akan datang). Tenu saja, dalam hati harus diiringi niat bahwa akad tersebut dilakukan ketika itu. Oleh karena itu, akan dianggap tidak sah jika menggunakan fi’il mudhari yang ditujukan untuk masa yang akan datang.
Selain itu, mereka juga memperbolehkan penggunaan jumlah ismiyah (kalimat yang di dalamnya terdiri atas isim atau kata benda, seperti mub’tada dan khabar) dalam sighat akad.
Mengenai sighat akad dengan mengunakan fi’il amar (kata kerja yang menunjukkan perintah) di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat.
Ulama Hanafiyah, tidak membolehkan akad dengan fi’il amr, kecuali dalam pernikahan. Adapun jumhur ulama membolehkannya, baik dalam jual bel atau hal-hal lainnya, sebab yang terpenting menurut mereka adalah landasan pengucapannya, yaitu keridaan.
Adapun mengenai shighat akad dengan kalimat tanya, semula ulama sepakat untuk tidak mrmbolehkannya.
b.      Akad dengan Perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup dengan perbuatan yang menunjukkan saling meridai, misalnya penjual memberikan barang dan pembeli memberikan uang. Hal ini sangat umum terjadi di zaman sekarang.
c.       Akad dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenarkan dengan isyarat, melainkan harus menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha untuk tidak mengunakan isyarat.
d.      Akad dengan Tulisan
Dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu berbicara atau tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak, dan dapat dipahami oleh keduanya. Sebab tulisan sebagaimana dalam qaidah fiqhiyah: (Tulisan bagaikan perintah).
Namun demikian, dalam akad nikah tidak boleh menggunakan tulisan jika kedua orang yang akad itu hadir. Hal ini karena akad harus dihadiri oleh saksi, yang harus mendengar ucapan orang yang akad, kecuali bagi orang yang tidak dapat berbicara.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabillah berpendapat bahwa akad dengan tulisan adalah jika dua orang yang akad tidak hadir. Akan tetapi, jika yang akad itu hadir, tidak dibolehkan memakai tulisan sebab tulisan tidak dibuthkan.


2.    Syarat-syarat Ijab dan Qabul
a.       Syarat terjadinya ijab dan qabul
             Para ulama menetapkan tiga syarat dalam ijab dan qabul, yaitu :
·      Ijab dan qabul harus jelas makhsudnya sehingga dipahami oleh pihak yang melangsungkan akad. Namun demikian, tidak diisyaratkan menggunakan bentuk tertentu.
·      Antara ijab dan qabul harus sesuai
·      Antara ijab dan wabul harus bersambung dan berada di tempat yang sama jika kedua pihak yang melangsungkan akad, seperti kehadiran keduanya di tempat yang sama atau berada di tempat berbeda, tetapi dimaklumi oleh keduanya.
b.      Tempat akad
             Tempat akad adalah tempat bertransaksi antara dua pihak yang sedang akad. Dengan kata lain, bersatunya ucapan di tempat yang sama.
             Untuk meyakinkan bahwa ijab dan qabul bersambung harus dipenuhi tiga syarat :
1.                     Harus ditempat yang sama. Namun demikian diperbolehkan, dibolehkan di tempat yang berbeda, tetapi sudah dimaklumi oleh keduanya sehingga keduanya saling memahami. Oleh karena itu, dibolehkan ijab jika qabul dengan telepon, surat, dan lain-lain. Qabul tidak diisyaratkan harus belangsung dengan tujuan untuk memberikan kesempatan berfikir kepada yang akad. Begitu pula diperbolehkan mengucapkan ijab dan qabul sambil berjalan.
2.                     tidak boleh tampak adanya penolakan dari salah seorang yang akad dan juga tidka boleh ada ucapan lain ynag memisahkan di antara perkataan akad.
3.                     Ijab tidak boleh diulangi atau dibatalkan sebelum ada jawaban qabul. Begitu pula dianggap tidak sah jika ijab dan qabul diucapkan dalam waktu bersamaan.

c.       Akad yang tidak memerlukan persambungan tempat
Telah dijelaskan bahwa semua ijab dan qabul harus berada dalam satu tempat, baik kedua pihak hadir dalam tempat yang sma atau berada pada tempat yang berbeda tetap dimaklumi kedua belah pihak. Akan tetapi, ada tiga alasan akad yang tidak memerlukan persyaratan tersebut, yaitu :
·      Wasiat yang harus dilakukan setelah orang yang berwasiat meninggal
·      Penitipan keturunan keluarga dengan cara berwasiat kepada orang lain untuk memelihara keturunannya setelah ia meninggal
·      Perwakilan, seperti mewakilkan kepada orang yang tidak ada di tempat yang mewakilkan
d.      Pembatalan Ijab
Ijab dianggap batal dalam hal-hal berikut :
·      Pengucapan ijab menarik pernyataannya sebelum qabul
·      Adanya penolakan dari salah satu yang akad
·      Berakhirnya tempat akad, yakni kedua belah pihak yang akad berpisah
·      Pengucapan ijab tidak menguasai lagi hidupnya, seperti meninggal, gila, dan lain-lain sebelum adanya qabul
·      Rusaknya sesuatu yang sedang dijadikan akad, sepertim butanya hewan yang akan dijual atau terkelupasnya kulit anggur, dan lain-lain.

b.   Al-aqad (Orang yang Akad)
            Al-Aqid adalah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sanga penting sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada aqid. Begitu pula jika tidak akan terjadi ijab dan qabul tanpa adanya aqid.
            Secara umum, aqid diisyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukam untuk ,elakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjdai wakil
            Ulama malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus berakal, yakni sudah mumayyiz, anak yang agak besar yang pembicaraannnya dan jawaban yang di lontarkannya dapat dipahami, serta berumur minimal 7 tahun. Oleh karena itu, dipandang tidak sah suatu akad yang dilakukam oleh anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila, dan lain-lain.
            Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabillah mensyaratkan aqidharus baligh (terkena perintah syara’), berakal, telah mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian ulama Hanabillah, membolehkan seorang anak kecil membeli barang yang sederhana dan tasharruf atau seizin walinya.
            Di antara akad yang dipandang sah dilakukan oleh mumayyiz menurut pandang ulam ahanafiyah dan malikiyyah adalah :
·      Tasharruf (aktivitas atas benda) yang bermanfaat bagi dirinya secara murni, yakni suatu akad tentangkepemilikin sesuatu yang tidak memerlukan qabul, seperti berburu, menerima hibah, dan lain-lain.
·      Tasharruf yang mengandung kemadaratan secara murni yakni pengeluaran barang miliknya tanpa  memerlukan qabul seperti hibah, memberikan pinjaman, dan lain-lain.
·      Tasharruf yang berada antara manfaat dan madarat, yang akad berdampak kepada untung dan rugi. Tasharruf ini tidak dapat dilakukan oleh anak-anak mumayyiz , tanpa seizin walinya.
            Untuk lebih jelas tentang persyaratan aqid, berikut ini akan dijelaskan secara rinci.
1.    Ahli akad
       Secara bahasa, ahli adalah suatu kepantasan atau kelayakan. Sedangkan ahli menurut istilah adalah kepantasan seseorang untuk menetapkan hak yang telah ditetapkan baginya dan pantas untuk beraktifitas atas barang tersebut.
Ahli akad terbagi dua, yaitu ahli wujud dan ahli ‘ada (pemenuhan atau pelaksanaan kewajiban).
a.       Ahli wajib
                        Yaitu kepantasan atau kelayakan seseorang untuk menetapkan suatu kemestian yang yang harus menjadi haknya, seperyi pantas menetapkan harga yang harus diganti oleh orang yang telah nerusak barangnya atau menetapkan harga. Bagian ini memiliki 2 unsur :
·      Unsur  Ijabi, yakni kepuasan untuk mengambil haknya, seperti menagih utang, dan lain-lain.
·      Unsur salabi, yakni kepantasan untuk memenuhi kewajiban, seperti membayar utang dan lain-lain.


Ahli wajib terbagi dua, yaitu :
1.    Ahli wajib kurang
Ahli wajib kurang yaitu keoantasan untuk menerima hak bagi dirinya saja. Golongan ini adalah anak yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ia dipandang kurang dari dua segi, termasuk yang terbebas dari ibunya sebab akan terpisah dari ibunya sesudah tepat waktunya. Oleh karena itu, ia hanya berhak atas sesuatu yang tidak memerlukan qaul. Antara lain :
a)    Nasab dari bapaknya
b)                 Menerima waris dan keluarganya
c)    Menerima wasiat
d)   Menerima bagian wakaf
            Hanya saja untuk a) dan b) diisyaratkan waktu lahir harus dalam keadaan hidup, jika meniggal, kadua hak itu, maka diberikan kepada saudara-saudara yang lain.
2.    Ahli wajib sempurna
                   Ahli wajib sempurna, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima hak dan memenuhi kewajibannya, yakni sejak bayi lahir. Hak yang dapat dikerjakan oleh anak dalam tsharruf adalah berbagai hak yang memungkinkan untuk diwakili oleh para walinya, seperti menerima hibah atau sesuatu yang dibeli untuk dirinya. Adapun kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang anak, baik yang berhubungan dengan haknya sebagai hamba maupun hak yang berhubungan dengan Allah adalah :
1.    Mengganti harta yang rusak
2.    Membayar hasil bumi untuk negara
3.    Memenuhi berbagai hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan, seperti membayar zakat fitrah.
b.      Ahli ‘ada
Ahli ‘ada adalah kelayakan seseorang untuk memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan syarat seperti shalat, puasa, dan haji. Landasan dalam pemenuhan kewajiban ini adalah mumayyiz, berakal, dan mengetahui. Dengan demikian, tidak termasuk kepada ahli ‘ada, seperti orang gila, anak dalam kandungan, anak yang belum mumayyiz, dan lain-lain.
Ahli ‘ada terbagi dua, yaitu :
1.           Ahli ‘ada kurang, yaitu kepantasan seseorang untuk memenuhi sebagian kewajiban dan tidak pantas untuk memenuhi kewajiban lainnya. Ahli yang termasuk dalam golongan ini adalah anak yang berusia 7 tahun-sampai usia baligh. Anak seperti ini hanya disebut mumayyiz. Sedikit pun, dikategorikan sah ibadahnya, belum terkena kewajiban, melainkan hanya diwajibkan untuk berlatih saja.
2.      Ahli ada sempurna, yakni orang yang telah mencapai usai baligh
Hal-hal yang menghalangi ahli terbagi atas dua, yaitu :
a)      Halangan yang bersifat samawi, yakni halangan yang ada di luar kemampuan manusia, seperti gila, ketiduran, dan lain-lain.
b)      Halangan yang diusahakan oleh manusia, seperti mabuk, utang, dan lain-lain.
2.Al-wilayah (kekuasaan)
          Wilayah menurut bahasa adalah penggunaan terhadap suatu urusan dan kemampuan menegakkannya. Menurut istilah wilayah adalah kekuasaan seseorang berdasarkan syara’ yang menjadikannya mampu untuk melakukan akad dan tasharruf.
          Perbedaan antara ahli dan wilayah, antara lain ahli adalah kepantasan seseorang untuk berhubungan dengan akad, sedangkan al-wilayah adalah kepantasan seseorang untuk melaksanakan akad.
          Berdasarkan keberadaan ahli dan al-wilayah, akad memliki tiga keadaan :
·      Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna dan memilki al-wilayah akad tersebut sahih
·      Jika yang berakad tidak termasuk ahli yang sempurna dan tidak memiliki wilayah, akad tersebut dipandang batal, seperti akad orang gila.
·      Jika yang berakad termasuk ahli yang semurna, tetapi tidak memiliki al-wilayah, akad tersebut dipandang al-fadhul (didiamkan dan tidak memiliki hak). Contohnya seseorang yang akan malakukan akad atas kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya, atau orang yng menikah tanpa seizin orang yang berhak menikahinya.
a.       Pembagian al-wilayah terbagi atas dua macam, yaitu :
1.      Asli (as-aliyah) orang yang akad memiliki kekuasaan berakad untuk dirinya. Orang ini diisyaratkan harus baligh, berakal, dan normal
2.      Pengganti (an-niyabah) seseorang diberikan kekuasaan oleh orang lain atau menguruskan urusan orang lain. Pengganti terbagi menjadi 2 :
a)    Pilihan
b)   Paksaan, penyerahan kekuasaan berdasarkan ketentuan syarat tujuan untuk kemaslahtan seperti kekuasaan bapak, kakaek, atau orang yang diberi wasiat untuk mengurus anak kecil.
c.       Mahal aqad (Al-ma’qud Alaih)
      Mahal akad (Al-ma’qud Alaih) adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad dan bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan, benda bukan harta, seperti akad pernikahan dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan, seperti dalam upah-megupah dan lain-lain.
      Fuqha menetapkan 5 syarat dalam objek akad ini :
1.      Mahad aqad ‘alaih (barang) harus ada ketika akad
                        Berdasarkan syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan objek akad, seperti jual-beli sesuatu yang masih dalam tanah atau menjual anak kambing yang masih dalam kandungaan.
2.      Masqud ‘alaih harus masyru’ (sesuia ketentuan syara’)
Ulama fiqih sepakat bahwa barnag yang dijadikan akad harus sesuai dengan ketentuan syara’. Oleh karena itu dipandang tidak sah, akad atas barang yang diharamkan syara’ seperti bangkai, minuman keras, dll.
3.      Dapat diberikan waktu akad
Disepakati oleh ulama fiqih bahwa barang yang dijadikan akad harus dapat diserahkan ketika akad. Dengan demikian. Ma’qud ‘alaih yang tidak diserahkan ketika ada akad, seperti jual-beli  burung di udara, harta yang diwakafkan, dan lain-lain, tidak dipandang terjadi akal.
            Akan tetapi dalam akad tabarru (derma) menurut Imam Malik dibolehkan, seperti hibah atas barang yang kabur, sebab pemberi telah berbuat kebaikan, sedangkan yang diberi tidak mengharuskan untuk menggantinya, dengan sesuatu sehingga tidak terjadi percocokan.


4.      Ma’qud alaih harus diketahui oleh kedua belah pihak akad
Ulama fiqih menetapkan bahwa ma’qud ‘alaih harus jelas diketahui oleh kedua belah pihak akad. Larangan As-Sunnah sangat jelas dalam jual beli gharar (barang yang samar yang mengandung penipuan), dan barang yang tidak diketahui oleh pihak yang akad.
5.      Ma’qud ‘alaih harus suci
Ulama selain hanafiyah menerangkan bahwa ma’qud ‘alaih harus suci,tidak najis dan mutanajis (terkena najis). Dengan kata lain, ma’qud ‘alaih yang dapat dijadikan akad adala segala sesuatu yang suci yakni yang dapat dimanfaatkan menurut syara’. Oleh karena itu anjng, bangkai, darah, dan lain-lain tidak boleh diperjual-belikan.
d.   Maudhu (tujuan) akad
Maudhu akad adalah makhsud utama disyariatkan akad. Dalam syariat Islam, maudhu akad ini harus benar dan sesuai dengan ketetuan syara’. Sebenarnya maudu’ akad adalah sama meskipun berbeda-beda barang dan jenisnya. Pada akad jul-beli misalnya, maudhu akal adalah perpindahan kepemilikan barang dari penjual dan pembeli, sedangkan dalam sewa-menyewa adalah perpindahan dalam mengambil manfaat disertai penggnti, dan lain-lain.
                 Maudhu akad apda hakikatnya satu arti dengan makhsud asli akad dan hukum akad. Hanya saja makhsud asli akad dipandang sebelum terwujudnya akad, hukum dipandang dari segi stelah terjadinya akad atau akibat terjadinya akad, sedangkan maudhu akad berada di anatra keduanya.

3.      Syarat-syarat Akad
Berdasarkan unsur akad yang telah dibahas diatas, ada beberapa macam syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah, syarat memberikan, dan syarat keharusan (lujum).
1.      Syarat terjadinya Akad
Syarat tertjadinya akad adalah segala sesuatu yang diisyaratkan untuk terjadinya akal secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini terbagi atas dua bagian :
a)      Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad
b)      Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebgaian akad, dan tidak menisyaratkan pada bagian lainnya.
2.      Syarat sah akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang diisyaratkan syara’ untk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi akad tersebut rusak.
Ada kekhususan sayarat sah akad ada setiap akad. Ulama hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan, oaksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemudaratan, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid).
3.      Syarat pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarta, yaitu kepemilikand an kekuasaan. kepemilikan adalah segala sesuatu yang dilmiki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam bertasharruf sesuai dengan jketeapan syara; baik secara asli yakni dilakukan oleh doirinya sendiri, maupun sebagai penggantian (mejadi wakill seseorang).
Dalam hal ini, diisyaratkan antara lain :
1.    Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, bisa dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli
2.    Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.
4.         Syarat kepastian Hukum (Luzum)
       Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan.
5.      Dampak Akad
Setiap akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu :
1.      Dampak khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau mkahsud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain.
2.      Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari segi hukum maupun hasil.

6.      Pembagian dan Sifat Akad
Akad dibagimenjadi beberapa macam, ayng setiap macam sangat bergantung pada sudut pandangnya. Di antara bagian akad yang terpenting adalah sebagai berikut :
1.      Berdasarkan ketentuan Syara’
a.    Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan yang telah ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah Ulama Hanafiyah akad Shai adalaha akad yang emenuhi syariah asal dan sifatnya.
b.    Akad tidak Sahih
Akad tidak shahi adalah akad yang tidak memenuhi unusur dan syarat. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyah menetapkan bahwa akad yang batil atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan Ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dan batal
Menurut Ulam Hanafiyah, akad batal adlah tidak memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh slah seorang yang bukan golongna ahli akad, seperti gila, dan lain-lain. Adapun akad afasid adalah akad yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara’ seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulakan percekcokan.
2.      Berdasarkan Penamaannya
a.       Akad yang telah dinamai syara’, seperti jual beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b.      Akad yang belum dinamai syara; tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.

3.      Berdasarkan Makhsud dan Tujuan Akad
a.       Kepemilikan
b.      Menghilangkan kepemilikan
c.       Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya
d.      Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas, seperti orang gila
e.       Penjagaan
4.      Berdasarkan Zatnya
a.       Benda yang berwujud (al-ain)
b.      Benda yang tidak berwujud (ghair al-ain)
Sedangkan sifat-sifat akad memiliki keadaan dua umum
1.      Akad Tanpa syarat (Akad Munjiz)
Akad munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan denga suatu kaidah atau tanapa menetapkan suatu syarat. Akad seperti ini dihargai syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh, seseorang berkata, “saya membeli rumah kepadamu lalu dikabulkan oleh seorang lagi. Maka berwujudlah akad, serta berakibat pada hukum waktu itu juga, yakni pembeli memilki rumah dan penjual memiliki uang.”

2.      Akad bersyarat (akad ghair Munjiz)
Akad ghair munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada akad pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaanya.
Contohnya seorang berkata “saja jual mobil ini dengan harga Rp. 40.000.000,- jika disetujui oleh atasan saya.” Atau berkata, “saya jual mobil ini dengan syarat saya boleh memakainya selam sebulan, sesudah itu saya serahkan kepadamu.”
Akad ghair munjiz ada tiga macam :
a.         Ta’liq syarat
Ta’liq syarat adalah lawan dari tanjiz, yaitu :
ربط حصول امر بحصول امر اخر.
Artinya:
“menautkan hasil sesuatu urusan dengan urusan yang lain”
            Yakni terjadinya suatu akad bergantung pada urusan lain. Jika urusan lain tidka terjadi atau tidaka da, akad pun tidak ada, seeperti perkataan seorang, “jika orang yang berutang kepada Anda sya pergi, saya menajmin utangnya”.
Orang yang akan menanggung utang (kalfi) meyangkutkan kesanggupannyanua untuk melunasi utang pada perginya orang yang berutang tersebut.
Ta’liq syarat ini memerlukan dua ungkapan. Ungkapan pertama mengharuskan adanya syarat, seperti dengan kata jika dan kalu, yang dinamkan dengan ungkapan syarat. Adapun ungkapan kedua dinamakan ungkapan jaza (balazan).
Dua ungkapan ini boleh didahulukan yang mana saja.
b.    Taqyid syarat
Pengertian taqyid syarat adalah:
             “pemenuhan hukum dalam tasharruf ucapan yang sebenarnya tidak menjadi lazim (wajib) tasharruf dalam keadaan mutlak.” Yaitu syarat pada suatu akad dan tasharruf yang hanya berupa ucapan saja sebab pada hakiktnya tidak ada atau tdiak mesri dilakukan.
Contoh taqyid syara’ seperti orang  yang menjuual barang dengan syarat ongkos pengangkutannya ditanggung pejual. Penjual mengaku atau berjanji memenuhi persyaratan etrsebut, yaitu memiliki ongkos. Sebenarnya iltijam tersebut tidak bersyarat karena akad yang mutlak tidak mengharuskan ongkos angkutan itu dipikul oleh si penjual.
c.         Syaraf Idhafah
Maknanya menyandarkan kepada suatu masa yang akad datang.”
Seperti dikatakan, “saya menjadikan Anda sebagai wakil saya mulai awal tahun depan.” Ini contoh syarat yang di-idhafahkan ke masa yang akan datang.”
Zaman mutaqbal ini ada kalanya madhudh dapat dirasakan sendiri dari akad, seperti pada wasiat. Wasiat memberi pengertian bahwa wasiat itu berlaku sesudah yang berwasiat wafat.
Adapun tabarru’ (derma) munjiz yang berlangsung berlaku ialah seperti hibah dan sedekah.

2.3    Pengertian Tasharruf
Tasaharruf menurut fiqih, ialah :
“segala sesuatu yang dilakukan dari seorang dengan iradatnya (kehendaknya), dan syara’ menetapkan kepada orang tersebut beberapa natijah hak”.
Tasharruf terbagi dua, yaitu:
a.      Tasharruf fi’li ialah usaha yang dilakukan mausia dengan tenaga dan badannya, selain lidah.
b.      Tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia.
Tasharruf qauli ada dua macam :
1.    ‘Aqdy
“sesuatu yang berdasar persetujuan dua pihak yang mengikat keduanya ”
Seperti jual beli, ijarah (sewa-menyewa) syirkah (perkongsian).
2.    Ghairu ‘Aqdy
Ada 2 macam pula :
a)      “merupakan pernyataan mengadakan suatu hak atau menggugurkan suatu hak, seperti wakaf, talak, ‘itq (memerdekan budak)”. Macam ini, kadang dinamakan juga akad oleh segolonganm fuqaha.
b)      “tidak menyatakan sesuatu kehendak, tetapi dia menibulkan tuntutan-tuntutan hak”.
Umpamanya : gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan. Ini semuanya merupakan pernyataan-pernyataan yang ada efeknya.

2.4    Pengertian Ilzam
Ilzam dalam istilah ahli fiqih (istilah nadhzariyatul aqli) dipakai untuk dua arti :
Pertama : akad yang menimbulkan iltizam bagi aqid (aqad mulzim)
Kedua               : tidak mungkin lagi si aqid mencabut akadnya dengan kehendak sendiri.
Dikatakan akad mulzim adalah karena salah satu pihak membatalkan akad yang telah dilakukan itu, kecuali dengan persetujuan pihak lain. Sebagaimana tidak terjadi suatu akad perikatan melainkan dengan persetujuan kedua belah pihak, begitu juga tidak boleh dipaksakan sesuatu, mealinkan dengan persetujuan kedua belah pihak pula.
Ilzam sendiri adalah pengaruh yang umum bagi segala akad, tanpa kecuali. Setiap akad yang shahih menimbulkan iltizam (ewajiban tertentu atas salah seorang aqid atau salah satu pihak ataupun objek masing-masing dan syarat-syarat yang disepakati untuk berakad dalam batas bekasan (atsar) dari akad yang ilzam (tak dapat dibatalkan oleh pihak-pihak).

2.5    Pengertian Wa’ad (Janji)
Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya atau Keinginan yang dibahasakan seseorang untuk bertanggung jawab akan sesuatu dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak lain Dalam Wa’ad bentuk dan kondisinya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik. Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Hal ini berbeda dengan akad yang mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat yaitu pihak-pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam wa’ad, terms and condition nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Dilain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam akad, terms and condition sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak itu sudah tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang disepakati dalam akad.
2.6    Perbedaan akad, tasharruf, Ilzam, dan wa’ad (janji)
No
Nama
Pengertian
Persamaan
Perbedaan
Sumber
1.
Akad
Suatu hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Menyebabkan timbulnya hak untuk tuntut menuntuk antara kedua belah pihak. 
Sebagai sebab timbulnya Iltizam. Berbentuk pernyataan- pernyataan.
Ijab dan Kabul
2.
Tasharruf
Semua bentuk hubungan interpersonal yang mengandung unsure ijab dan Kabul.


Ittifaaq
3.
Ilzam 
pengaruh yang umum bagi segala akad, tanpa kecuali. Setiap akad yang shahih menimbulkan iltizam (kewajiban tertentu atas salah seorang aqid atau salah satu pihak ataupun objek masing-masing dan syarat-syarat yang disepakati untuk berakad dalam batas bekasan (atsar) dari akad yang ilzam (tak dapat dibatlkan oleh pihak-pihak).

Setiap akad yang shahih menimbulkan iltizam (kewajiban)

4.
Wa’ad (janji)
Keinginan yang dibahasakan seseorang untuk bertanggung jawab akan sesuatu dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak lain


  1. Janji (Promise) antara satu pihak dengan pihak lainnya (hanya mengikat satu pihak)
  2. Pihak yg diberi janji tidak memikul kewajiban apapun kepada pihak pemberi janji
  3. Terms and conditionnya tidak well defined atau
  4. Belum ada kewajiban yang ditunaikan oleh pihak manapun, walaupun terms dan conditionsnya sudah well defined
  5. Bila janji tidak terpenuhi  maka sanksi yang diterima adalah sanksi moral





































BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
       Dalam pembahasan fiqih muamalah ada istilah akad yaitu Segala sesuatu yang dikerjaka oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.
       Akad dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan pembentukan akad yaitu rukun dan syarat akad.
Diantara akad, tasharruf, ilzan dan wa’ad terdapat perbedaan yaitu:
Akad: Sebagai sebab timbulnya Iltizam. Berbentuk pernyataan- pernyataan
Tasharruf: Semua bentuk hubungan interpersonal yang mengandung unsure ijab dan Kabul. Sedangkan Ilzam : Setiap akad yang shahih menimbulkan iltizam (kewajiban). Sedangkan Wa’ad :
1.    Janji (Promise) antara satu pihak dengan pihak lainnya (hanya mengikat satu pihak)
2.    Pihak yg diberi janji tidak memikul kewajiban apapun kepada pihak pemberi janji
3.    Terms and conditionnya tidak well defined atau
4.    Belum ada kewajiban yang ditunaikan oleh pihak manapun, walaupun terms dan conditionsnya sudah well defined
5.    Bila janji tidak terpenuhi  maka sanksi yang diterima adalah sanksi moral








DAFTAR PUSTAKA

Syafei. Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ash Shiddieqi. 2001. Pengantar Fikih Muamalah. Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra.
Azhar Basyir Ahmad. 2000. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). Yogyakarta: UII Press.


0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami