Dalam satu hadits disebutkan ”kaadaal faqru an yakuuna kufron”, yang penertiannya kurang lebih “kemiskinan dapat menjerumuskan (masyarakat) dalam kekufuran”.
Bagaimana opini saudara tentang hadits tersebut dan sebagai calon ekonom islam apa solusi terbaik untuk mengantisipasi fenomena kemiskinan dewasa ini ?
Berkata al-‘Iroqi (3/163): “Diriwayatkan Abu Muslim al-Kisyi dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari riwayat Yazid ar-Roqqosyi dari Anas. Sedangkan Yazid ini, seorang rowi yang lemah.”
كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا (الجامع الصغير : 9633)
Kefaqiran itu mendekatkan kepada kekufuran (Al Jami’ush Shaghir : 9633)
Ibnul Jauzi rahimahulloh berkata dalam ‘Ilal Mutanahiyah: 3/163: “Hadits ini tidak shohih dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Yazid ar-Roqqosyi tidak diterima riwayatnya. Syu’bah berkata: “Saya zina lebih saya sukai dari pada meriwayatkan hadits dari Yazid ar-Roqqosyi.”
Dan diriwayatkan juga dari hadits Ibnu Abbas, sebagaimana riwayat Abu Bakr ath-Thoritsi dalam Musalsalat-nya: 127-131 dan haditsnya adalah maudhu’ (palsu). Dan diriwayatkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam Majalis min Amalihi: 2/195 dari jalur Ali bin Muhammad bin Hatim dari Husain bin Muhammad bin Yahya al-Alawi dari ayahnya dari kakeknya dari Ali bin Abi Tholib secara marfu’ (sampai kepada Nabi). Sanad ini gelap, semua rowi setelah Ali tidak ada yang dikenal. Kesimpulannya, hadits ini lemah, semua penguatnya tidak berguna dan tidak bisa mengangkat derajatnya karena semua jalurnya terlalu parah keadaannya.
“Kemiskinan penyebab terjadinya kekufuran?!”
Kalimat ini Patut di sanggah.. Lihatlah para shahabat, mereka ditawarkan islam ketika mereka miskin; tapi mereka mau masuk Islam dan berpindah dari jurang kekufuran. Setelah masuk Islam kebanyakan dari mereka tetap dalam kemiskinannya; tapi mereka tetap kokoh diatas ad diinul haq. berapa banyak pula kita melihat kaum muhajirin yang KAYA di mekkah, MENINGGALKAN seluruh kekayaannya untuk berhijrah bersama Råsullullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam dalam rangka mencari WajahNya!
Sebaliknya orang-orang kaya; pembesar-pembesar di mekkah kebanyakan dari mereka tetap pada kekafirannya ketika Islam datang.
Hal ini SUDAH JELAS TERBANTAH dengan hadits shahiyh berikut:
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
فَوَاللهِ لاَ الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ
fa WALLAHI, LAA AL-FAQRU akhsya ‘alaykum
(artinya) “Demi Allah, BUKANLAH KEFAKIRAN yang aku khawatirkan atas diri kalian”
وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
wa lakin, akhsya ‘alaykum an tubsatha ‘alaykumud-dunyaa kamaa busithat ‘ala min kamaa qablakum
(artinya:) Akan tetapi, (yang aku) khawatirkan (kepada kalian adalah) kalau dibukakan dunia bagi kalian sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang (kafir) sebelum kalian
فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
fatanaa fasuuhaa kamaa tanaa fasuuhaa, wa tuhlikakum kamaa ahlakat-hum
(artinya) Lalu kalian pun berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba meraihnya; (aku juga khawatirkan) kalau dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dunia telah membinasakan mereka”.
[HR. Al-Buhkoriy dalam Shohih-nya (3158, 4015 & 6425), dan Muslim (2961)]
Lihatlah perkataan para shahabat yang sejalan dengan hadits diatas!
(Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2464)
‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu hendak mengatakan bahwa mereka diuji dengan kefakiran, kesulitan, dan siksaan (musuh) maka mereka mampu bersabar. Namun tatkala (kesenangan) dunia, kekuasaan, dan ketenangan datang kepada mereka, maka mereka bersikap sombong.
Sesungguhnya kekuatan Islam tidaklah disyaratkan kuatnya perekonomian, tetapi yang terpenting dari itu adalah kuatnya Aqidah (Tauhid) dan Keyakinan. Hal ini sebagaimana dibuktikan dalam sejarah Nabi shollallohu alaihi wasallam dan para sahabatnya, pemerintahan Abu Bakar, Umar dan lain sebagainya yang dapat mengembalikan dan menyebarkan kejayaan Islam dengan modal penggerak paling inti, yaitu kekuatan aqidah, bukan kekuatan ekonomi semata.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, semoga Alloh subhanu wa ta’ala menjagamu bahwa keterpurukan ekonomi atas kefakiran. Kemiskinan yang menimpa kita sekarang ini bukanlah sesuatu hal yang baru muncul akhir-akhir ini. Hal itu merupakan perkara yang sangat jelas bagi orang yang mau meneliti sejarah. Bukankah kefakiran sudah ada sejak zaman Nabi shollallohu alaihi wasallam dan para sahabat?!
Namun, sekalipun demikian Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda:“Tidaklah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi yang aku khawatirkan pada kalian kalau dibentangkan dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka lakukan lalu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. al-Bukhori: 3791 dan Muslim: 2961)
Mengantisipasi dan mengurangi fenomena kemiskinan
Alangkah bagusnya ucapan Syaikh al-’Allamah Abdur Rohman bin Nashir as-Sa’di rahimahulloh tatkala mengatakan di awal risalahnya yang berjudul ad-Din ash-Shohih Yahullu Jami’a al-Masyakil (Agama Yang Benar Merupakan Solusi Segala Problematika):
Inilah sebuah risalah berkaitan dengan agama Islam yang menunjukkan ajaran terbaik dan membimbing hamba dalam aqidah dan akhlak serta mengarahkan mereka menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Serta penjelasan yang gamblang bahwa tidak ada cara untuk memperbaiki umat sepenuhnya kecuali dengan Islam.
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa termasuk kebijakan Alloh subhanahu wata’ala tatkala menjadikan sebagian hamba-Nya ada yang kaya dan ada yang miskin agar mereka saling membantu dan bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan untuk kedua belah pihak, baik ibadah badan, jihad melawan musuh, program kebajikan dan lain sebagainya dengan badan, harta dan pangkat masing-masing.
Alloh memerintahkan kepada yang kaya untuk mengeluarkan zakat, shodaqoh, dan membantu kebutuhan orang miskin setiap waktu. Demikian juga Alloh memerintahkan kepada yang fakir untuk sabar, bekerja yang halal, bersyukur kepada Alloh, qona’ah (merasa cukup dengan pemberian Alloh) dan pintar-pintar dalam membelanjakan harta. Inilah petunjuk Islam kepada kaum kaya dan kaum miskin. Seandainya masing-masing mau melakukannya, maka niscaya akan terwujud kebaikan di dunia dan akhirat.
Kesaksian dalam mu'amalah
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3u‹ø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6u‹ù=sù È@Î=ôJãŠø9ur “Ï%©!$# Ïmø‹n=tã ‘,ysø9$# È,Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm/u‘ Ÿwur ó§y‚ö7tƒ çm÷ZÏB $\«ø‹x© 4 bÎ*sù tb%x. “Ï%©!$# Ïmø‹n=tã ‘,ysø9$# $·gŠÏÿy™ ÷rr& $¸ÿ‹Ïè|Ê ÷rr& Ÿw ßì‹ÏÜtGó¡o„ br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çm•‹Ï9ur ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 (#r߉Îhô±tFó™$#ur Èûøïy‰‹Íky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh‘ ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u‘ ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#y‰pk’¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y‰÷nÎ) tÅe2x‹çFsù $yJßg1y‰÷nÎ) 3“t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#y‰pk’¶9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #’n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& y‰ZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy‰»pk¤¶=Ï9 #’oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRrãƒÏ‰è? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3ø‹n=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿr߉Îgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §‘!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur Ó‰‹Îgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Berdasarkan pemaahaman ayat diatas, terdapat beberapa prinsip kebaikan yang mampu menjalankan suatu misi utama ajaran islam yang hendak ditanamkan kepada seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali aspek ekonom, khususnya perniagaan. Nilai-nilai tersebut adalah :
1. Kebaikan : kebaikan atau ma’ruf pada dasarnya adalah ciri utama yang harus ada pada setiap aktifitas umat islam karena setiap muslim diwajibkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
2. Kebenaran : Nilai kebenaran dalam konteks administrasi adalah konsistensi pada mekanisme yang telah disepakati atau ditetapkan dengan merujuk pada keberanian Ilahiyah.
3. Kejujuran : salah satu sikap dan akhlak Nabi sebagai pemegang kebijakan dan pimpinan umat yang berhasil mengelola kepemimpinan yang efektif.
4. Keadilan : bertindak dan mengambil keputusan secara proporsional.
Beberapa prinsip berupa sikap dan etos kerja yang harus ditampilkan oleh para ekonom :
1. Keteraturan : salah satu bentuk keteraturan adalah adanya pencatatan segala aktivitas yang dalam tata ekonomi disebut transaksi.
2. Kedisiplinan : ketaaatan pada aturan dan ketentuan, baik terhadap ketentuan kerja, tempat maupun waktu.
3. Konsep ketaatan kepada asas dan kepatuhan : sikap taat pada asa dan kepatuhan dalam administrasi akan menjelma hasil usaha yang baik dan sempurna yang menjadi tujuan ajaran islam.
4. Konsep profesinalisme : indikator kesempurnaan hasil kerja.
5. Konsep keterbukaan : implementasi dari prinsip amanah dan kejujuran yang menjadi nilai utama dalam ajaran islam serta penjelmaan dari sikap Rasul yang menjadi acuan bagi perilaku setiap muslim.
6. Konsep efektifitas dan efisiensi : upaya pencapaian aktifitas dengan secara tepat dengan menggunakan waktu dan sarana yang efektif.
Yusuf,Anwar,Ali,DR,MSi.2006.Islam dan Sains Modern.Bandung.CV PUSTAKA SETIA
Pendapat Saya :
Kemiskinan bukanlah suatu alasan yang dapat dipergunakan untuk berlindung dari kata-kata keterpaksaan. Salah besar jika hanya karena kemiskinan kita menjadi jauh dari agama hingga kufur dan kafir dari agama Nya. Untuk mengantisipasi dan mengurangi prosentase kemiskinan, dapat ditanggulangi dari dini yaitu penerapan sika-sikap dan prinsip yang telah disebutkan diatas dengan tepat dan benar. Jika semua lapisan mampu menerapkan prinsip dan konsep tersebut dapat dipastikan pemimpin dan bawahan dapat bekerja secara berkesinambungan tanpa adanya penyimpangan sosial, begitu juga di pemerintahan negara kita. Dan juga dibenarkan hanya memburu urusan akhirat tanpa memerdulikan dunianya, serta sebaliknya jangan lah memburu urusan dunia tanpa memerdulikan akhiratnya.
0 komentar:
Posting Komentar