Selasa, 17 Desember 2013

Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pemilik sesungguhnya dari sumber daya yang ada adalah Allah SWT, manusia dalam hal ini hanya penerima titipan untuk sementara saja. Sehingga sewaktu-waktu dapat di ambil kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta tidak di akui dalam islam. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 284:

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hati mu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmun itu. Maka Allah mengampuni siapa yang di kehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”

Manusia adalah khalifah atas harta miliknya, hal ini dijelasakan dalam QS. Al-Hadiid ayat 7: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamun menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”

FOKUS PEMBAHASAN

1. Konsep Harta dalam Islam

2. Konsep Kepemilikan dalam Islam

3. Sebab-sebab Kepemilikan dalam Islam

4. Perubahan Status Kepemelikan Harta

5. Perbandingan Konsep Hak Milik Menurut Islam, Kapitalis, dan Sosialis


BAB II

PEMBAHASAN

KONSEP HARTA DALAM ISLAM

Secara etimologis, harta (Arab: Maal jamak: Amwaal) berarti condong atau mengarah dari tengah ke salah satu. Secara terminologis, harta adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia, dan menjadikannya condong untuk menguasai dan memelihara, baik dalam bentuk materi maupun manfaat.[1]

Menurut Jumhur Ulama, harta tidak hanya bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di dalamnya. Sesuatu dikatakan harta jika mempunyai kedua hal tersebut. Hal ini berakibat bahwa seseorang dapat dituntut ganti rugi apabila ia memanfaatkan harta orang lain secara ghasab (menggunakan tanpa izin). Pelaku ghasab dipandang telah mengambil manfaat dan manfaat dianggap sebagai harta. Begitu juga apabila sebuah benda yang menurut umum itu tidak mengandung manfaat, maka benda tersebut bukanlah kategori harta, kecuali jika pada selanjutnya ditemukan manfaat dari benda tersebut.[2]

Dalam pandangan syara’, keberadaan harta yang ada tidak serta merta dapat dimanfaatkan. Akan tetapi harus dilihat dahulu dari berbagai aspek, karena itu akan berdampak dari status kehalalan harta tersebut. Maka dari itu, harta menurut syara’ dibagi kedalam banyak kategori dengan tujuan agar bisa dipilah dan dipilih, sehingga kita bias berhati-hati dalam memanfaatkannya dan terhindar dari status haram. Pembagiannya sebagai berikut;[3]

Menurut kebolehan penggunaannya, dibagi menjadi 2, yaitu Mutaqowwim yaitu harta yang mempunyai manfaat secara ekonomis dan oleh syara’ diperbolehkan (halal). Yang kedua, Ghoiru Mutqowwim, yaitu harta yang tidak dihalalkan oleh syara’ meskipun mempunyai manfaat secara ekonomi. Hal ini berimplikasi kepada kehalalan penggunaan harta.

Menurut jenisnya, dibagi menjadi 2, Manqul (Bergerak), yang bias dipindahtempatkan dan yang kedua, Ghoiru Manqul (Tidak Bergerak). Hal ini berimplikasi pada adanya hak Syuf’ah, Wakaf, dan nilai manfaat secara ekonomis.

Menurut manfaatnya, dibagi menjadi 2, Isti’mali, yang pemanfaatannya tidak menghilangkan wujudnya, dan Istihlaki, yang pemanfaatannya menghilangkan wujudnya. Hal ini berimplikasi pada perkara wakaf, dan akad pemanfaatannya, semisal sewa.

Menurut ketersediannya di pasaran, dibagi menjadi 2, Mistli, yang banyak jenisnya dan penggantinya di pasaran dan bisa dihitung, ditimbang, atau ditakar semisal beras. Yang kedua, Qimi, harta yang tidak ada jenis-jenisnya atau berjenis-jenis, tetapi berbeda dalam kulaitas semisal logam mulia. Implikasinya yaitu pada penyelewengan riba, penggantian yang tidak ada, dan kelangkaan.

Menurut status kepemilikan, dibagi menjadi 4, Mamluk ul-munfaridy, milik pribadi, kemudian Mamluk ul-jam’i, kepemilikan umum / bersama, kemudian Maal ul-Mubah, tidak dimiliki siapapun seperti hewan buruan, kayu di hutan belantara, dan ikan di sungai. Dan yang terkahir, Maal ul-Mahjur, harta yang oleh syara’ dilarang untuk dikuasai individu, seperti harta wakaf.

Menurut segi perkembangan harta, dibagi menjadi 2, Al-Ashl, harta yang menjadi pokok kemungkinan munculnya harta lain, seperti pohon berbuah. Yang kedua, Ats-Tsamr, yaitu harta hasil dari harta al-Ashl. Impilkasi hukumnya yaitu, tentang status harta yang dihasilkan dari sewa, kepemilikan hasil panen dari sawah yang disewakan, dll.

KONSEP KEPEMILIKAN DALAM ISLAM

Kepemilikan (Arab: “malaka” yang artinya memiliki). Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.

Konsep dasar kepemilikan dalam  Islam adalah firman Allah swt ;

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ  

“Milik Allah-lah  segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 284)[4]

Para fuqoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.

Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.

Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).[5]

SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN DALAM ISLAM

1. Ikhrajul Mubahat

Ikhrojul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang menurut syara’ boleh dimiliki. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di tanah lapang, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut. Istilah lainnya adalah Ihya’ul Mawat (Menghidupkan tanah mati).

2. Al-Milku bil-Aqad / Akad

Akad berasal dari bahasa arab yang artinya perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Kepemilikan jenis ini harus melalui beberapa tahapan yaitu adanya syarat-syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Maka dari itu, kepemilikan jenis ini yang paling banyak dibahas dalam ilmu fiqih. Dan ketentuan yang paling umum dari Akad adalah harus adanya rukun, yaitu:

Ø Aqid (Orang yang melakukan Akad)

Ø Ma'qud ‘Alaih (benda yang menjadi objek transaksi)

Ø Shighat, yaitu Ijab dan Qobul (Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan akad)

3. Khalafiyah

Khalafiyah adalah kepemilikan yang terjadi dengan cara penggantian dari seseorang kepada oranf lain (ambil alih, seperti waris), maupun penggantian sesuatu dari suatu benda (seperti ganti rugi). Sifatnya otomatis setelah sebab-sebabnya terpenuhi.

4. Tawallud minal-Mamluk

Bentuk kepemilikan hasil atau buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, baik hasil itu dating secara alami (Panen) maupun melalui usaha pemiliknya (seperti hasil dagang).

Kepemilikan yang tidak disebabkan oleh alasan-alasan di atas, dipandang sebagai kepemilikan yang tidak sah. Syara’ tidak mengizinkan kepemilikan dengan cara selain diatas. Misalnnya kepemilikan hasil merampok, ghasab, maupun kepemilikan yang tidak memikirkan aspek kerelaan masing-masing pihhak. Kepemilikan yang diperoleh dengan cara dengan cara demikian menjadikan yang dimiliki menjadi haram, dan dosa bagi yang melakukannya.[6]

PERUBAHAN STATUS KEPEMILIKAN HARTA

Di samping ada beberapa sebab yang melatarbelakangi kepemilikan sesuatu –sehingga manusia dapat melakukaan tindakan hokum terhadapnya- juga dimungkinkan munculnya hal-hal yang menyebabkan berubahnya status kepemilikan. Harta dapat berubah status dari milik pribadi ke milik umum, ke milik orang lain, maupun sebaliknya. Penyebabnya yaitu:

1. Adanya kehendak sendiri dari pemilik untuk menjadikan itu milik orang lain maupun milik umum dengan cara yang dibenarkan syara’, semisal dijual, disedekahkan, diwakafkan, dan yang semisal. Jika kehendak pemilik sudah diikrarkan, secara otomatis, status kepemilikannya berubah.

2. Adanya kehendak syara’, artinya berubahnya status dikehendaki syara’ demi kemaslahatan yang lebih besar. Semisal berubahnya status tanah seseorang yang mau tak mau harus dijual ke pemerintah karena akan dijadikan jalan. Wallahu A’lam.

PERBANDINGAN KONSEP HAK MILIK MENURUT ISLAM, KAPITALIS, DAN SOSIALIS

Konsep Hak Milik Menurut Kapitalis[7]

Secara historis perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan liberalisme yang mulai muncul pada tahun 1648 setelah tercapainya perjanjian Westphalia, perjanjian yang mengakhiri perang tiga puluh tahun antara Katolik dan Protestan di Eropa yang selanjutnya  menetapkan bahwa sistem negara mereka adalah merdeka yang didasarkan pada kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katolik Roma. Sejak itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja, dengan anggapan bahwa negaralah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya, sementara agama diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja.

Liberalisme semakin berkembang dengan sokongan rasionalisme yang menyatakan bahwa rasio manusia dapat menerangkan segala sesuatu secara komprehensif yang kemudian melahirkan pendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya dan mempertahankan kebebasan manusia dalam hal kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan individu dan kebebasan hak milik. Dari kebebasan hak milik inilah dihasilkan sistem ekonomi kapitalisme, dimana kapitalisasi menjadi corak yang paling menonjol dalam sistem ekonomi ini.

Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berasakan kepentingan pribadi, dimana nilai produksi dan konsumsi semata-mata untuk menggaet profit. Sistem kapitalisme sama sekali tidak mengindahkan kesejahteraan sosial, kepentingan bersama, kepemilikan bersama ataupun yang semacamnya. Asas kapitalisme adalah kepuasan sepihak, alias setiap keuntungan adalah milik pribadi.

Contoh paling mudah dari sistem kapitalisme ini bisa digambarkan dari aktualitas Amerika Serikat yang meyakini bahwa mereka adalah penganut sistem ekonomi campuran (kapitalisme dan sosialisme), pada dasarnya mereka tetap tidak bisa lepas dari unsur kapitalis dalam prakteknya.

Hal ini diungkapkan oleh seorang ekonom Joseph A. Schumpeter sebagai ‘sistem destruksi kreatif’. Dimana menurutnya, setiap perusahaan dalam pasar kecil maupun pasar kompetitif, akan selalu dapat berjalan ke arah yang lebih baik setelah restrukturisasi, yaitu dengan selalu mengadakan pergantian pekerja dan pergantian modal, karena mereka akan selalu digantikan dengan yang lebih baik. Tiap individu juga diyakini mampu menghasilkan modal sendiri, tanpa perlu mencemaskan campur tangan pemerintah.

Sekilas cara pandang ini terlihat normal, dimana komponen-komponen pasar tersusun rapi dalam mekanisme yang jelas. Namun hasilnya akan muncul ketimpangan dan menimbulkan suatu masyarakat yang tidak egalitarian, dimana beberapa individu akan menjadi lebih kaya dari individu lain, dan yang miskin akan semakin miskin. Begitu juga dengan semakin meningkatnya angka pengangguran dan kriminalitas serta aksi anarki dimana-mana.

Menurut James Paulsen, kepala strategi investigasi di Wells Capital Management, Amerika Serikat sedang mengalami kebangkrutan kasat mata karena deficit keuangan negara adidaya tersebut. Tercatat defisit Amerika Serikat naik 22 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi USD 120 miliar atau Rp. 1.150 triliun, akibatnya Obama dan pihak legislative akan menaikkan pajak dan menurunkan belanja negara secara besar-besaran yang mulai diluncurkan per 1 Januari tahun ini.

Dalam kapitalisme, meskipun keuntungan yang didapat sangatlah besar, kemudian tercipta kompetisi sehat antar pasar tanpa risau terhadap campur tangan pemerintah, dan setiap pemilik modal bebas menentukan pekerjaan atau usaha apa yang akan mereka jalankan, tetap saja menciptakan beberapa nilai negative dan juga anomali. Kasus yang terjadi seperti perbedaan kelas ekonomi yang semakin nyata lantaran keuntungan sepihak yang hanya diperoleh kaum minoritas atau elitis saja, tanpa mengindahkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Adam Smith juga sempat mencetuskan sebuah istilah dalam kerangkan teori ekonomi yang dibangunnya, Invisible Hand. Yang dimaksud ‘tangan ghaib’ disini adalah semacam kekuatan kasat mata yang menjalankan roda ekonomi dengan sewajarnya sehingga tidak terjadi kekacauan dalam pasar. Mekanisme pasar yang terdiri dari supply and demand akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya dan Invisible hand dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara paling rasional, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat.

Meskipun Adam Smith tidak menyebutkan istilah ‘kapitalisme’ di dua bukunya; The Theory of Moral Sentiments dan The Wealth of Nations, tetapi metafora Invisible Hand jelas merujuk kepada kompetisi sehat pada sebuah transaksi antara produsen dan konsumen, yang mengarah kepada keuntungan untuk kedua belah pihak dengan frekuensi tetap sehingga mampu menimbulkan barang produksi yang semakin berkualitas tetapi harga semakin rendah. Dari sini, tentu pola yang dimaksud terdapat pada sistem ekonomi kapitalis.

Lebih lanjut, ada beberapa ciri kapitalisme yang perlu kita perhatikan dan kerap muncul di sekitar kita tanpa disadari. Beberapa ciri tersebut bisa diringkas menjadi:

1. Sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu.

2. Barang dan jasa diperdagangkan bebas yang bersifat kompetitif.

3. Pemilik modal bebas untuk menggunakan cara apa saja untuk meningkatkan keuntungan maksimal, dengan mendayagunakan sumber produksi dan pekerjanya. Sehingga modal kapitalis seringkali diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba.

4. Aktivitas ekonomi secara bebas hanya ditentukan oleh penjualan dan pembelian.

5. Pengawasan atau campur tangan pemerintah diupayakan seminimal mungkin. Tetapi jika dianggap riskan, negara sewaktu-waktu dapat mengeluarkan kebijakan yang melindungi lancarnya pelaksanaan sistem kapitalisme.

6. Riset menduduki posisi yang penting dan menentukan dalam mendorong persaingan.

Tujuan kapitalisme yang hanya berasas pada biaya produksi yang murah dan keuntungan yang tinggi realitanya berkebalikan dengan Islam, yang menganjurkan agar seorang muslim tidak sekedar menimbun uang dan menghimbau agar menyedekahkannya untuk kemaslahatan sosial, kapitalisme justru akan membentuk tatanan masyarakat yang egois, materialis dan konsumeris.

Konsep Hak Milik Menurut Sosialis[8]

Lawan (teori berseberangan) kapitalisme, adalah sosialisme. Dua pokok penting teori Ekonomi Sosialisme adalah : 1) Distribusi kekayaan secara merata. 2) Menghapus pemilikan pribadi.

Sosialisme, Berasal dari kata Sosial, sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat, Sosialis “Penganut Faham”. Sosialisme adalah Sebuah doktrin politik yang menekankan pemilikan kolektif dari alat-alat produksi, memberikan suatu peran yang besar pada negara dalam menjalankan perekonomian dengan kepemilikan masyarakat luas (Nationalization) atas industri. Berdasarkan pengertian ini, para ahli ekonomi menafsirkan gagasan ini sebagai dasar atau sebagai sumber-sumber yang tersedia untuk masyarakat manapun pada suatu waktu, yang kemudian dikenal dengan teori ekonomi sosialis.

Tujuan utama dalam teori ekonomi sosialis adalah mendistribusikan harta kekayaan secara merata didalam rangka menghapuskan bermacam-macam kelas didalam tubuh masyarakat. Akan tetapi, fenomena praktik tidak membenarkannya. Sosialisme mepunyai visi adalah “Kemaslahatan besama diatas kemaslahatan individu”.

Tujuan kedua teori ekonomi sosialis, menghapus hak milik pribadi. Ajaran ini mendahulukan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan individu. Mengakui hak milik pribadi bagi kaum sosialis merupakan kezaliman dan penyimpangan sehingga harus dihapus. Segala usaha yang mengarah kepada pengakuan hak milik pribadi harus dimusnahkan, walaupun dengan jalan kekerasan dan membangkitkan dengki. Satu prinsi penting yang harus diwujudkan adalah “Sama rata sama rasa”.

Sebenarnya tujuan teori ekonomi sosialis adalah ingin menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam ekonomi. Akan tetapi untuk mencapai tujuan ini ia telah memilih satu jalan yang pada hakekatnya berlawanan dengan fitrah manusia. yakni menghapus hak individu untuk menghayati hak milik perseorangan dan menjadikan mereka sebagai pelayan-pelayan yang bekerja untuk masyarakat.

Dalam sistem ekonomi sosialis, negara sangat berperan penting, disini negara berbuat sewenang-wenang. Negara tidak lebih dari suatu tempat yang dikelola oleh segelintir manusia. Pada akhirnya, faham sosialisme tidak jauh berbeda dengan faham kapitalis. Dalam faham sosialis kita menemukan beberapa orang yakni pejabat negara bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat sebagaimana para konglomerat dalam sistem kapitalis berlaku sewenang-wenang.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.

Sebab sebab adanya kepemilikan yang ditetapkan syara’ ada empat yaitu :

1.      Ikhrojul mubahat, Yaitu memiliki sesuatu yang boleh dimiliki.

2.      Akad

3.      Al-Kholafiyah

4.      Tawallud Minal-Mamluk

Dan status kepemilikan seseorang bias berubah dikarenakan adanya ikrar dari pemilik untuk mengalihkan kepemilikan dengan cara yang dibenarkan syara’ dan / atau adanya kehendak syara’ untuk menjadikannya berubah status demi kemaslahatan.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, M. Yazid, 2009, Fiqih Muamalah, Yogyakarta : Logung Pustaka

Hasan, Ahmad, 2005, Mata Uang Islami Telaah Komrehensif Sistem Keuangan Islami, Bandamg : Raja Grafindo Persada

Karim, Adiwarman A., 2001, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press

Suprayitno, Eko, 2005,  Ekonomi Islam Pendekatan Ekonom Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta : Graha Ilmu


[1] Afandi, M. Yazid, 2009, Fiqih Muamalah, Yogyakarta : Logung Pustaka Halaman 18

[2] Ibid halaman 19

[3] Ibid halaman 20 - 27

[4] Karim, Adiwarman A., 2001, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press Halaman 30

[5] Ibid halaman 31-33

[6] Ibid halaman 35-40

[7] Suprayitno, Eko, 2005,  Ekonomi Islam Pendekatan Ekonom Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta : Graha Ilmu Halaman 56-63

[8] Hasan, Ahmad, 2005, Mata Uang Islami Telaah Komrehensif Sistem Keuangan Islami, Bandamg : Raja Grafindo Persada Halaman 45-48

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami