Selasa, 17 Desember 2013

Definisi Hukum Syariah

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia, pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia, karena hukum diciptakan oleh Allah tentu bukan untuk Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) karena Allah tidak membutuhkan suatu hukum untuk diri-Nya, dan tentu bukan pula diciptakan untuk hukum itu sendiri karena kalau demikian maka keberadaan hukum itu akan sia-sia, akan tetapi hukum diciptakan untuk kehidupan manusia di dunia.[1] Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ajaran agama Islam memiliki dinamika yang tinggi. Dan dapat dikatakan bahwa hukum Islam berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau keadaan yang sangat luas, dapat menampung perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan ummat manusia yang terus berkembang mengikuti perubahan tanpa bertentangan dengan nilai-nilai yang digariskan oleh Allah SWT.

Kita sebagai seorang ekonom muslim, tentunya sedikit banyak harus memahami dasar-dasar tentang hukum syari’ah. Terlebih yang berkaitan dengan hukum-hukum yang mengatur tentang bisnis. Karena yang demikian itu akan menjadi dasar dan pegangan kita, agar apa yang kita lakukan dalam berbisnis tidak menyalahi aturan, dan tentunya selalu diridhoi Allah SWT.

Fokus Pembahasan

1. Definisi hukum syar’iah

2. Tujuan dari hukum syari’ah

3. Sumber hukum syari’ah

4. Ciri-ciri dan watak hukum syari’ah

5. Perbedaan hukum syar’ah dengan bentuk hukum lainnya

6.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum Syari’ah

Hukum adalah segala peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi dalam pelaksanaannya[2]. Pandangan tiap-tiap orang ataupun tiap ahli hukum tentang pengertian hukum itu berbeda-beda. Berikut pendapat para tokoh mengenai definisi hukum[3]:

1. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyari’ahat.

2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyari’ahat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.

3. Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyari’ahat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.

Dalam istilah Islam, dikenal dengan nama Syari’ah. Menurut etimologi, kata Syari’ah berakar pada kata ش ر ع yang berarti مورد الماء الذي يقصد للشرب yang artinya “Sumber air yang dituju untuk minum”. Sedangkan menurut terminologi adalah kumpulan perintah dan hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang bersifat i’tiqadiyah maupun ‘amaliyah yang diwajibkan oleh Islam untuk diterapkan guna merealisasikan tujuannya yakni kebaikan dalam masyari’ahat.”[4]

Jadi, pembahasan syari’ah meliputi segala hukum, baik yang berhubungan dengan aqidah, akhlak, dan yang berhubungan dengan perilaku manusia yang berupa perkataan, perbuatan, dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak termasuk dalam masalah aqidah dan akhlaq.

Hukum syari’ah menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir).Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.

Dari definisi tersebut, syariat meliputi:

1. Ilmu Aqoid (keimanan)

2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah)

3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan)

B. Tujuan dari Hukum Syari’ah

Dalam setiap bahasan usul fiqih, topik hukum selalu dikaitkan dengan Hakim (musyari’), hukum itu sendiri (mahkum fih), dan obyek hukum (mahkum bih) yang berkaitan dengan taklif (perbuatan dan nilainya) dan mahkum alaih (mukallaf). Dalam leksiologi usuliyah, term musyari’ pada lazimnya disebut sebagai “hakim” yakni yang membuat hukum. Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa jumhur ulama Islam sepakat bahwasannya Allah SWT adalah satu-satunya Hakim dalam Islam, dan tiada syari’ah tanpa Allah SWT.

Oleh karena Allah SWT sebagai Dzat yang membuat syari’ah, maka dengan demikian yang dimaksud dengan musyari’ adalah Allah SWT itu sendiri. Sedangkan fungsi Nabi SAW hanyalah sebagai penyampai hukum-hukum-Nya yang telah diciptakan. Dengan demiukian, ia bukanlah sebagai pencipta hukum, sebagaimana seringkali disalah artikan oleh kalangan tertentu. Hnya saja tugas nubuwah itu tidak lepas dari control Allah SWT, apalagi apa yang disampaikan oleh Rosul SAW itu pada hakikatnya adalah wahyu juga.[5]

Yang jelas, bahwa Allah SWT dalam memberikan taklif (beban tanggung jawab) kepada mukallaf sudah barang tentu mengandung makna kemaslahatan yang akan mendatangkan kebaikan (khoir) dan menolak kerusakan bagi manusia. Suatu pembebanan diciptakan bukan untuk kepentingan Allah sendiri, melainkan untuk mukallaf semata. Karena itu Allah menetapkan hukum akan memperoleh pahala bagi yang berbuat kebajikan, di samping menetapkan hukum kan memikul dosa bagi yang berbuat keburukan (kejahatan).

Justru karena itu, jelas sekali tujuan-tujuan yang akan diraih dengan diberlakukannya hukum Islam, yakni untuk kemaslahatan, kerahmatan dan keadilan serta kebahagiaan dan terpeliharanya individu dan masyari’ahat dalamkehidupan peradaban dunianya. Untuk mencapai tujuan tersebut menurut Ar-Rokhili-Islam meletakkan undang-undang atas dasar prinsip menghilangkan kesulitan dan kemadharatan, terwujudnya keadilan dan musyawarah, pemeliharaan hak-hak individu dan masyari’ahat, melaksanakan amanah, dan kreatifitas ulama dalam memecahkan masalah fiqhiyah di mana prinsip-prinsip tersebut diikuti dengan akhlak yang mulia. Selain itu hikum yang ditetapkan Islam yang berpijak pada kemaslahatan itu diharapkan terjadi sepanjang hayat manusia.

Seperti yang telah banyak dibahas sebelumnya bahwa bentuk maslahah yang dijadikan sebagai dasar dalam menakar Maqashid Syari’ah terdiri dari dua bentuk, yaitu:   

1. Mewujudkan manfaat, kebaikan, dan kesenangan untuk manusia, yang disebut dengan ”jalb al-manafi’/ al-mashalih”;

2. Menghindarkan manusia dari kerusakan dan keburukan, yang disebut dengan ”daf’u al-mafasid”. Untuk menentukan baik-buruknya (manfaat atau mafasadah) suatu perbuatan dan guna mewujudkan tujuan pokok pembentukan dan pembinaan hukum, maka tolak ukurnya adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.[6]

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[7] Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).[8] Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.[9]

Lebih jauh pabila diklasifikasikan, tujuan hukum Islam dibagi menjadi tiga, yakni tujuan syari’ah mensyariatkan hukum Islam, tujuan pembebanan hukum Islam bagi mukallaf dan tujuan mukallaf dalam menerima hukum Islam.

a. Tujuan syari’ah mensyariatkan hukum Islam

Tujuan macam ini terbagi atas tiga tingkatan, yaitu tingkatan al-Dlaruriyah, al-Hijaiyah, dan al-Tahsiniyah. Tingkatan al-Dlaruriyah, yaitu tingkatan esensi dalam kehidupan manusia, baik kehisupan diniyah (agama) maupun dunyawiyah (keduniaan). Adapun yang dimaksud dengan tingkatan Hajiyah adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak masyaqat.[10] Sedangkan yang dimaksud tingkatan al-tashiniyah, dalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kewibawaan dan keutamaan akhlak sekadar untuk memenuhi keindahan tradisi, baik dalam bidang ibadah, muamalah, kebiasaan maupun uqubat.[11]

  1. Tujuan pewmbenaan hukum Islam bagi mukallaf

Setiap taklif yang diberikan pada manusia selalu selaras dengan kemampuannya. Allah swt membuat hukum adalah untuk kepentingan manusia, karena itu semua yang dibebankan dapat dilakukan. Adapun tujuan syari’ah dalam pembebanan hukum terhadap mukallaf, antara lain adalah:

· Agar mukallaf tidak menuruti hawa nafsunya dan selalu menjadi hamba Allah swt yang baik (‘abd)

· Menjadikan mukallaf sebagai orang yang subtantif falam beramal, seperti bersifat ikhlas dalam beramal agar hasilnya berkualitas

· Dan menjadikan mukallaf sebagai orang yang menjaga tabi’iyah atau keotentikan syari’ah agar menghasilkan ibadah yang sesuai tuntunan dan menghasilkan tujuan ditaklifkannya syari’ah, seperti perolehan maslahah dan trerhindar dari mafsadah.

  1. Tujuan mukallaf dalam menerima hukum Islam

Tidak semua perbuatan mukallaf mempunyai nilai ibadah, karena hal itu ditentukan oleh niatnya. Bisa jadi perbuatan mujkallaf sebagian ada yang dikategorikan hanya sebagai adat atau tradisi sehari-hari yang sudah lama dipraktikkan dan ada pula yang dikataegorikan sebagai perbuatan ibadah.

Adapun tujuan-tujuan mukallaf dalam penerimaan hgukum antara lain:

· Pelaksanaan taklif merupakan daya ikhtiar dan kemauan mukallaf, artinya bukan karena paksaan agar mendapat pahala

· Pelaksanaan syari’ah harus sesuai dengan yang disyariatkan, karena jika tidak maka amalan itu bukan merupakan amalan syari’ah dan tidak mendapat pahala

· Pelaksanaan syari’ah harus sesuai dengan tujuan diciptakannya syari’ah, jika tidak maka akan batal

· Pelaksanaan syari’ah harus mendatangkan manfaat dan menolak madlarat (mara bahaya)

· Pelaksanaan syari’ah merupakan manifestasi dari pemenuhan hak Allah

· Pelaksanaan syari’ah bagi mukallaf tidak boleh direkayasa

Hukum Islam pada prinsipnya merupakan ajaran Ilahi (Rabb) yang harus dipatuhi oleh manusia tanpa kecuali, sebagai rasa ketundukan hanya kepada-Nya. Dalam hal ini manusia berfungsi sebagai objek, sekaligus sebagai subjek pelaku hukum itu sendiri. Hal ini bias terjadi, karena dengan akalnya manusia mampu membedakan antara hak dan kewajiban, antara halal dan haram, mana wilayah yang boleh dikerjakan dan mana wilayah yang dilarang. Bagi selain manusia, semua ini mustahil bias dikerjakan. Justru karena itu istilah mukallaf yakni orang yang dikanai aturan hukum hanyalah manusia, setelah ia menjadi mumayyiz, yakni cukup akal yang mampu membedakan mana yang wajib dikerjakan dan mana yang haram dierjakan, mana yang benar dan mana yang batil.

Orang yang mumayyiz dalam Islam dipakai sebagai standar kedewasaan yang cakap hukum dan mampu membedakan mana hak dan mana kewajiban. Dengan demikian, didalam Islampun, sama halnya dengan didalam ketentuan hukum positif, di mana anak-anak yang belum dewasa atau yang masih di dalam pengampuan dianggap belum cakap hukum sehingga dianggap tidak sah dalam melakukan tindakan (hubungan) hukum.

Dalam sistematika ajaran Islam, hubungan manusia dengan Tuhan (verrtikal) dikenal dengan istilah ibadah. Sedangkan dalam kaitan hubungan antara manusia dengan sesamanya, tau makhluk lain dan lingkungannya (horizontal) dikenal dan diatur dalam ketentuan muamalah. Dalam ketentuan-ketentuan muamalah inilah segala aktifitas bisnis (ekonomi) yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diatur secara rinci.

C. Sumber Hukum Syari’ah

Dengan pengertian hukum seperti dijelaskan pada poin A, maka tidaklah berarti bahwa hukum syari’ah hanyalah berupa firman (wahyu/nas) yang datang dari pembuat syari’ah semata-mata, tanpa memasukkan dalil-dalil syari’ah lain yang tidak berupa nas, seperti ijma’, qiyas dan lain-lain. Dalil syari’ah ini kendati tidak berupa nas, namun apabila kita teliti adalah berasal dari nas juga. Dengan demikian dalil-dalil tersebut termasuk firman dari pembuat syari’ah, sekalipun tidak secara langsung. Dan berikut sumber-sumber yang dijadikan oleh para ulama dalam mengkaji hukum-hukum syar’iat.[12]

1. Al Qur’an

Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

  1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
  2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
  3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
  4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyari’ahat

2. Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.[13] Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Hasyr ayat 7:

!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4’n?tã ¾Ï&Î!qß™u‘ ô`ÏB È@÷dr& 3“tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqß™§=Ï9ur “Ï%Î!ur 4’n1öà)ø9$# 4’yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# ö’s1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”

Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:

Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.

  • Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama.
  • Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum.
  • Menjadi rujukan dasar suatu masalah, apabila masalah tersebut penyelesaiaannya tidak dalam Al-Quran

3. Ijtihad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. [14]

Hasil ini berdasarkan dialog Nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, Muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menjadikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.[15]

Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:

  1. Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
  2. Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
  3. Mengetahui soal-soal ijma
  4. Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.

Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda :

اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم (

“Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس(

”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)

Dalam berijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan.[16] Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 59 :

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulama dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijma ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.

Sedangkan Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.[17]

Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

  1. Dasar (dalil)
  2. Masalah yang akan diqiyaskan
  3. Hukum yang terdapat pada dalil
  4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan

Dan Bentuk Ijtihad yang lain, diantaranya :[18]

  • Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
  • Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
  • Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyari’ahat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
  • Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syari’ah yang tidak diperoleh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.[19]
  • Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
  • Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.

D. Ciri-Ciri dan Watak Hukum Syari’ah

Hal lain yang perlu dikeepankan dalam ruang ini adalah ciri-ciri khas huku Islam itu sendiri. Fathi Ridhwan, dalam bukunya “Min Falsafah al-Tasyri al-Islam” menyatakan bahwa ciri-ciri khas hukum Islam ada tiga macam yakni:

  • Manusiawi (insani). Islam disyariatkan bukanlah sekedar membawa kemaslahatan, tetapi juga untuk memenuhi tabiat manusia, baik yang berlahiriyah maupun batiniah.
  • Bermoral (akhlaqi). Maksudnya adalah bahwa hukum Islam itu berpijak pada kode etik yakni suatu ciri yang mendudukkan kehormatan Tuhan dan sesame manusia secara roposional sehingga masing-masing kelompok merasa dihargai dan diakui eksistensinya.
  • Universal, yang maksudnya adalah hukum Islam mencakup totalitas masyarakat yang ada tanpa mendiskriminasikan bangsa dan suku.

Lebih jauh lagi yang perlu dikedepankan adalah tentang watak-watak yang dimiliki oleh hukum Islam. Antara lain, yaitu takamul (kesempurnaan), wasatiyah (keharmonisan), dan harakah (dinamis).

Islam disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya merupakan penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, karena Islam yang saat ini telah dipelajari oleh seluruh manusia yang mengakuinya adalah agama wahyu terakhir dan tidak akan berubah sampai akhir nanti.

Hukum Islam mampu menghimpun segala studi dan aspek yang berbeda-beda didalam suatu kesatuan, sehingga hukum Islam itu bersifat syumul (universal) yang dapat melayani semua golongan (bangsa) di planet bumi. Betapa banyak indikasi yang mengisyaratkan kesempurnaan ajaran Islam yang bersumber pokok dari Yang Maha Segala-galanya yang meliputi berbagai ranah kehidupan. Misalnya, akidah, politik-ketatanegaraan, sosial-kemasyarakatan, budaya, pertahanan-keamanan, kependudukan, kesehatan, kehakiman, perekonomian, dan lain sebagainya. Khusus yang berkaitan dengan ranah perekonomian (bisnis), disyariatkan hukum jual-beli, diharamkannya praktik riba.

Lebih dari itu Islam mewajibkan zakat dari hasil usaha (corporate), hasil pertambangan, hasil pertanian, dan lain sebagainya yangh kesemuanya itu mempunyai nilai bisnis guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Semua ini merupakan indikasi disyariatkannya kerja yang berbasis ekonomi yang diajarkan dalam Islam.

Apabila dicermati, banyak didapati didalam hukum Islam yang selalu mengambil jalan tengah, jalan seimbang yang tidak memberatkan salah satunya, menyelaraskan antara yang ideal dan factual, yang empiric dan metaempirik, jasmani dan rohani, dan sebagainya. Indikasi karakter wastiyah ini antara lain, hukum Islam tidak memihak hukum nasrani dan hukum Yahudi, tetapi mengambil jalan tengah.

Selain itu, hukum Islam menempatkan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya secara proporsional. Hanya saja Islam Mengajarkan agar manusia sebelum menuntut haknya, terlebih [20]dahulu harus menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Dalam membelanjakan harta, umat Islam tidak boleh berlebih-lebihab dan tidak tidak boleh juga terlalu sedikit.

Selain itu yang tidak kalah pentingnya, bahwa Allah swt memberikan taklif kepada umat Muhammad SAW seimbang dengan balasan yang diterimanya. Inilah kiranya gambaran yang mencerminkan aspek keharmonisan atau keseimbangan yang sangat ditekankan di dalam ajaran Islam.

Hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya tahan hidup yang tak terbatas karena sumber pokoknya adalah Allah swt. Bahkan hukum Islam dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zman dimanapun dan kapanpun saja.

Dengan dibukanya pintu ijtihad yang bias dilakukan oleh orang yang kompeten, maka hukum Islam mampu menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap memelihara kepribadian dan nilai-nilai asasinya. Sekalipun dikatakan bahwa hukum Islam memiliki nilai samawi yang bersifat absolut dan universal tetapi ia juga mengakui adanya perbeaan konfigurasi hukum. Semangat keabsolutan dan keuniversalan hukum Islam tetap dipertahankan, sedangkan konfigurasi dari hukum itu dapat didinamisir, guna menghindarkandari kebekuan dan kelambanan yang dapat menghambat kreativitas individu, sehingga penekanannya ditujukan pada penyesuaian tuntunan perubahan, agar esensi dari hukum Islam dapat dikembangkan dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada intinya hukum islam, dalam hal-hal tertentu dapat disesuaikan dengan keadaan yang berubah, sekalipun perlu diakui ada wilayah permanen yang mustahil secara syar’I untuk dirubah. Wilayah yang tidak mungkin berubah itu menyangkut ranah tauhid dan ibadah murni yang telah jelas hukumnya. Seangkan untuk ranah diluar kedua wilayah itu Islam masih memberi ruang ijtihad sesuai dengan ketentuan, misalnya masalah ekonomi yang selalu berkembanhg yang seringkali tidak ditemukan hukumnya secara langsung dan jelas di dalam sumbet-sumber hukum yang ada khususnya Al-Quran dan sunnah.

Karena itu dengan melihat watak kedinamisan hukum Islam itu akhirnya dikenal kaidah usuliah yang menyatakan ‘perubahan huku menurut perubahan zaman, tempat, dan keadaan. Dengan tidak ada motif untuk melebih-lebihkan kevenaran hukum Islam disbanding dengan hukum yang lain, akan tetapi karena hukum Islam itu bersumber dari Allah swt maka kualitas kebenarannya jelas tidak perlu diragukan lagi. Sehingga akhirnya muncul istilah qathi’ (absolut) dan dzanni (relatif). Di dalam studi hikmatus syar’i biasanya diajarkan rahasia-rahasia hukum itu. Oleh karena itu untuk memudahkan para pelaku bisnis muslim agar terdorong mengikuti ajaran syariat, bagaimana mereka harus yakin bahwa segala ketentuan-ketentuan syar’iyang berkaitan dengan bisnis akan banyak mengandung niali dan hikmah yang tidak bahkan sulit dipahami. Mereka harus yakin bahwa nilai dan hikmah itu bukanlah untuk siapa, tetapi untuk diri mereka sendiri, tridak saja di dunia, namun kelak di akhirat. Hal ini sebagai refleksi sifat rahman Allah st yang siap diberikan kepada siapapun yang mau berusaha dan mengikuti ajaran-Nya. [21]

E. Perbedaan Hukum Syari’ah dengan Bentuk Hukum Lainnya

Hukum Islam tidak sama dengan hukum konvensional. Menurut Abdul Qadir Audah dalam “At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy”,  sejatinya hukum Islam tidak dapat dianalogikan dengan hukum konvensional. Betapa tidak. Hukum Islam merupakan produk Sang Pencipta, sedangkan hukum konvensional hasil pemikiran manusia.

“Ketika keduanya dianalogikan, ibarat membandingkan bumi dan langit dan manusia dengan Tuhan,” katau Audah. Berikut ini perbedaan dasar antara hukum Islam dan hukum konvensional :[22]

--- Sumber hukum ---

Pada prinsipnya, perbedaan yang paling mendasar antara hukum Islam dan hukum konvensional  adalah sumber hukumnya. Kedua hukum tersebut dengan jelas merepresentasikan sifat pembuat masing-masingnya. Hukum konvensional bersumber dari hasil pemikiran manusia yang ditetapkan untuk memenuhi segala kebutuhan mereka yang bersifat temporal. Hukum ini juga dibuat dengan kemampuan akal manusia yang memiliki keterbatasan dan kekurangan untuk memahami perkara gaib dan menghukumi perkara yang belum terjadi.

Sedangkan hukum Islam bersumber dari Allah SWT. Sejak diturunkan, hukum Islam mempunyai teori hukum yang terbaru yang baru dicapai oleh hukum konvensional akhir-akhir ini, padahal hukum konvensional lebih tua dari hukum Islam. Lebih dari itu, hukum Islam lebih banyak mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh hukum konvensional.

Sebagai hukum hasil ciptaan manusia, hukum konvensional merepresentasikan kekurangan, kelemahan, dan ketidakmampuan manusia serta sedikitnya kecerdasan mereka. Hukum konvensional tentunya sarat dengan perubahan dan pergantian atau yang dinamakan dengan perkembangan (evolusi) seiring dengan perkembangan masyari’ahat, tingkatan, kedudukan, dan situasi mereka.

Adapun hukum Islam yang merupakan ciptaan Allah SWT merepresentasikan sifat kekuasaan, kesempurnaan, keagungan, dan pengetahuan-Nya yang mengetahui hal-hal yang telah terjadi dan akan terjadi di masa mendatang.

--- Kaidah hukum ---

Hukum konvensional adalah kaidah-kaidah yang terbaru untuk masyari’ahat pada saat itu, tetapi terbelakang untuk masyari’ahat masa depan. Ini karena hukum konvensional tidak berubah secepat perkembangan masyari’ahat dan tidak lain merupakan kaidah-kaidah yang temporal yang sejalan dengan kondisi masyari’ahat yang juga temporal. Jika kondisi masyari’ahatnya berubah, secara otomatis hukum-hukum mereka juga turut mengalami perubahan. Adapun hukum Islam merupakan kaidah-kaidah yang dibuat oleh Allah SWT yang bersifat selalu kekal (permanen) untuk mengatur urusan-urusan masyari’ahat.

Berbeda dengan hukum konvensional, kaidah-kaidah dan nas-nas hukum Islam harus bersifat umum dan fleksibel sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan umat meskipun sampai akhir zaman dan kondisi masyari’ahat telah berkembang. Di samping kaidah dan nas hukum Islam harus juga bersifat mulia dan luhur sehingga tidak mungkin terlambat atau ketinggalan zaman.

--- Dasar hukum ---

Dasar dalam hukum konvensional disusun untuk mengatur urusan dan kehidupan masyari’ahat, bukan mengarahkan mereka. Karena itu, hukum yang disusun akan berubah dan mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya masyari’ahat tersebut. Artinya, masyari’ahatlah yang membentuk hukum, bukannya hukum yang membentuk masyari’ahat.

Dasar hukum konvensional yang demikian sejak kelahirannya telah berubah setelah Perang Dunia I, di mana banyak negara yang mulai menyerukan untuk menggunakan sistem baru yang dapat digunakan oleh hukum untuk mengarahkan masyari’ahat pada arah tertentu sebagaimana juga dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Negara yang pertama mengadopsi teori ini adalah negara Komunis Soviet lalu diikuti oleh Turki dengan ajaran sekuler Kemal Attaturk, Italia dengan ajaran fasisnya, Jerman dengan Nazinya, kemudian diikuti juga oleh negara-negara lainnya. Pada akhirnya, tujuan hukum konvensional saat ini adalah untuk menjadi sebuah aturan yang mengatur dan mengarahkan masyari’ahat menurut pandangan para pemimpinnya.

Sementara dasar hukum Islam tidak hanya mengatur urusan dan kehidupan masyari’ahat sebagaimana halnya pada hukum konvensional. Tetapi, lebih dari itu, hukum Islam juga berperan sebagai pembentuk individu-individu yang saleh, masyari’ahat yang saleh, membentuk format negara, dan tatanan dunia yang ideal. Atas dasar inilah, hukum Islam lebih tinggi daripada seluruh tingkatan hukum dunia pada saat diturunkannya dan hal tersebut masih tetap seperti itu hingga sekarang. Prinsip-prinsip dasar dan teori-teori hukum Islam ini baru dapat disadari dan dipahami oleh bangsa-bangsa non-Muslim setelah berabad-abad lamanya dan bahkan hingga masa kini.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sebagai seorang ekonom muslim, paham akan hukum syariat merupakan suatu keharusan. Mulai dari status boleh tidaknya suatu tindakan dilakukan, hingga proses pengambilan hukum itu sendiri. dalam tulisan ini, sudah dijelaskan secara ringkas mulai dari pengertian hukum itu sendiri, lalu tujuan - tujuan dari hukum syariat. Kemudian dijelaskan pula sumber – sumber dalil hukum dan ruang lingkupnya yang luas. Ditambah lagi penjelasan perbedaanya dengan bentuk hukum yang lain, semakin membuat mantap pemahaman kita akan pentingya mempelajari ilmu hukum bisnis.

Tujuan sebenarnya dari belajar hukum syariat itu, kembali pada tujuan adanya hukum syariat itu sendiri. yaitu, untuk mewujudkan manfaat, kebaikan, dan kesenangan untuk manusia dan Menghindarkan manusia dari kerusakan dan keburukan. Selain itu, juga untuk adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan terjaganya hal – hal tersebut, untuk memajukan ekonomi yang sedang terpuruk, bukanlah menjadi satu mimpi yang menjadi penghias tidur. Akan tetapi menjadi suatu batu loncatan kea rah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Djakfar, Muhammad. 2009. Hukum Bisnis. Malang : UIN-Malang Press

Ali, Mohammad Daud. 2000. Asas-asas Hukum Islam,Cet. Ke-5 Jakarta: CV. Rajawali

-----------------------------. 2000. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Dewi, Gemala dkk. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Musbikin, Imam. 2001. Qawa’id al-Fiqhiyah Cet.1. Jakarta : Raja Grafindo Persada


[1] Imam Musbikin. Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), lihat Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam islam….,hal. 12.

[2] Prof.H.Mohammad Daud Ali.S.H. Hukum Islam pengantar ilmu hukum dan tata hukum islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000). Hal. 5

[3] Ibid

[4] Ibid hal. 11

[5] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis (Malang: UIN Press, 2009) hal. 7-8

[6] Op.Cit., Prof. H. Mohammad Daud Ali…….. hal. 15

[7] Gemala Dewi dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.33

[8] Ibid

[9] Ibid hal. 37

[10] Op Cit., Muhammad Djakfar…...,hal. 8-10

[11] Op Cit., Muhammad Djakfar…...,hal. 10-11

[12] Loc. Cit., Mohammad Daud Ali. Asas-asas Hukum Islam. hal. 20.

[13] Ibid., hal. 22

[14] Ibid., hal. 26

[15] Ibid., hal. 26

[16] Ibid., hal. 28

[17] Ibid., hal., 30

[18] Ibid., hal., 32

[19] Ibid., hal. 34.

Catatan pengarang dalam buku tersebut : Dalam beberapa tulisan para wahabi/ salafi, mereka memasukkan “Masalihul-mursalah” sebagai landasan dalil ketika membolehkan hal-hal baru. Ini terlihat dalam berbagai tulisan dan diskusi mereka tentang Bid’ah. “Masalihul-mursalah” adalah satu metode yang dipakai oleh Imam Maliki dalam madzabnya (madzab maliki) untuk menentukan hukum. Rupanya mereka berpegang pada imam Syatibi tentang definisi bid’ah itu, dan as Syatibi adalah seorang ulama bermadzab maliki.

[20] Op Cit., Muhammad Djakfar., hal. 17-21

[21] Op Cit., Muhammad Djakfar.,21

[22] Op Cit Imam Musbikin……………….. h 67

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami