Selasa, 28 Mei 2013

Teori Integrasi Agama dan Sains

clip_image002

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sudah sejak dua Abad silam perkembangan dunia sains berikut turunannya tekhnologi cenderung berwatak ateistik-materialistik, hasilnya pun kerap kali mengancam eksistensi agama. Dengan berlandaskan pada metafisika yang bertentangan dengan agama, teori-teori ilmiah sains cenderung menyudutkan agama, seperti teori penciptaan alam semesta, asal-usul manusia, hubungan alam dengan Tuhan dan sebagainya.

Keradikalan sains modern dengan coraknya yang ateistik-materialistik itu dianggap oleh kaum agamawan sebagai sesuatu yang membahayakan. Dari kaum agamawan, paling tidak ada tiga corak dalam merespon atau menanggapi keradikalan paradigma sains modern yang ateistik-materialistik ini. Pertama, kelompok agamawan yang berusaha mempertahankan doktrin dan kepercayaannya dengan tidak memperdulikan penemuan sains modern (mereka mengisolasi diri dari dunia sains modern), kedua, meninggalkan tradisi dan mencoba mencari titik temunya dengan sains modern, dan ketiga berusaha merumuskan kembali konsep keagamaan secara ilmiah dan kontemporer.

Selanjutnya isu tentang perdebatan atau perjumpaan antara sains dan agama adalah turunan dari permasalahan ini, dan menjadi genre tersendiri di dunia keilmuan. Di tangan para teolog/agamawan dari Barat, perdebatan antara sains dan agama menghasilkan gagasan “sains teistik”, yaitu: sains yang sensitive terhadap keyakinan dan ajaran agama. Sementara dalam konteks Kristen kontemporer, Ian Barbour mendasarkan pendekatan “integrasi” (integrasi teologis) dalam upayanya mempertemukan sains dan agama dengan empat tipologinya yaitu; konflik, independensi, dialog dan integrasi. Juga John F. Haught yang menggunakan pendekatan konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.

Sementara dalam Islam hubungan antara sains dan agama telah menjadi topik menarik selama lima puluh tahun terakhir ini. Gagasan mengenai “sains Islami” atau “Islamisasi sains” merupakan reaksi atas sains modern yang ateistik-materialistik tersebut. “Sains Islami” ini pada mulanya dipopulerkan oleh para pemikir muslim seperti Sayyed Hossein Nasr, Ziauddun Sardar, Ismail al-Faruqi, al-Attas dan akhir-akhir ini Mehdi Golshani. Di mana pemikiran mereka kerap kali dilabeli dengan “islamisasi ilmu”. Meskipun gagasan mereka berebeda, semuanya bergerak pada lapangan dan tingkat yang sama yaitu tingkat epistemologi dan sedikit menyentuh aspek metafisika.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana pandangan islam terhadap sains?

2) Bagaimana konsep hubungan ilmu dan agama ini dibicarakan secara akademik?

1.3 Tujuan

1) Untuk mengetahui pandangan islam terhadap sains

2) Untuk mengetahui konsep hubungan ilmu dan agama yang dibicarakan secara akademik


BAB II

PEMBAHASAN

Sains dan agama pada dasarnya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Menurut Bambang Sugiharto, perbedaan pertama adalah dalam hal tatanan pemikiran. Ilmu bersandar pada etos otonomi pemahaman dan sikap ilmiah yang bermula dari keberanian berpikir dan mengamati sendiri tanpa bersandar pada pendapat orang lain. Sikap skeptis dan tak mudah percaya adalah kodrat seorang ilmuwan. Sebaliknya agama, sikap dasarnya adalah percaya dan kepasarahan pada kehendak otoritas lain, yaitu Tuhan. Kedua, ilmu relatif terbuka terhadap pandangan-pandangan baru asalkan masuk akal dan ditunjang bukti faktual yang memadai. Sebaliknya agama, meski diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami wahyu atau kitab suci, pada kenyataannya agama-agama cenderung defensif terhadap pemahaman-pemahaman baru. Ketiga, ranah utama wacana agama-agama adalah ranah misteri-misteri dalam kehidupan dan makna-makna pengalaman, yang sesungguhnya di luar wilayah atau di luar batas jangkauan ilmu-ilmu empirik.

Ragam Hubungan Agama dengan Sains

Agama secara etimologis berasal dari bahasa Arab “aqoma” yang berarti ‘menegakkan’. Sementara kebanyakan ahli mengatakan bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu a (tidak) dan gama (berantakan), sehingga agama berarti tidak berantakan. Namun ada pula yang mengartikan a adalah cara dan gama berarti jalan. Agama berarti cara-cara berjalan untuk samapai kepada keridhaan Tuhan. Selain dua pandangan tersebut, kata ‘agama’ sering disejajarkan dengan kata majemuk “negara kertagama” yang berarti peraturan tentang kemakmuran agama, atau juga dengan kata majemuk “asmaragama” yang berarti peraturan tentang asmara, dengan kata lain agama dalam hal ini dapat diartikan peraturan atau tata cara.

Pengertian sains, menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa berarti keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji.

Sedangkan dalam bahasa arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu beda dengan science yang berasal dari kata scire. Jadi sains atau pengetahuan adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari hari melalui pengalaman ( empiris), kesadaran (intuisi), informasi dan sebagainya. Jadi sains mempunyai cakupan lebih luas dan umum daripada ilmu. Karena ilmu adalah pengetahuan yang pasti, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi. Namun keberadaan ilmu dan sains sama sama pentingnya bagi hidup dan kehidupan, dan tidak boleh dipisahkan. Ilmu membentuk daya intelegasi yang melahirkan keterampilan. Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang melahirkan tingkah laku kehidupan.

Agama dan Sains Berada pada Wilayah yang Sama dalam Pencarian Makna

Ditemukannya rumusan fisika quantum oleh Einstein di awal abad 20 mengawali kebangkitan sains modern pasca konflik sains dan agama. Einstein dengan teori relativitasnya mengatakan bahwa tidak mungkin alam diciptakan dengan aturan yang tidak bisa diketahui.

Thomas S. Kuhn menunjukkan bahwa perkembangan sains tidak berlangsung linier, homogen, dan rasional (dalam arti akumulatif dan progresif) seperti yang dikira orang sampai saat ini. Sains berkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma lama dan menggantikannya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar dalam paradigma lama akan mengalami krisis sampai ditegakkan suatu paradigma baru dengan kebenaran-kebenaran baru di dalamnya. Hal yang paling sentral di sini adalah padangan bahwa perubahan paradigma dalam sejarah sains tidak termasuk wilayah logis hukum-hukum alam, melainkan terjadi seperti proses “metanoia” (pertobatan) dalam agama. Hal ini mengakibatkan teori-teori dalam paradigma yang satu tidak dapat dibandingkan dengan teori-teori dalam paradigma yang lain.

Selanjutnya dijelaskan, Kuhn berhasil menunjukkan bahwa sains tidak memiliki “mata Allah” untuk keluar dari konteks spasial-temporal dan mengeluarkan klaim-klaim makna absolute. Sains juga kontingen terhadap sejarah dan komunitas ilmuwan sehingga kebenaran makna ilmiah pun beruabah-ubah secara revolusioner. Dengan demikian pencarian makna dalam sains (kebenaran ilmiah) tidak memiliki prioritas atas pencarian makna dalam agama. Bahkan pandangan Kuhn tentang sejarah sains ikut menggugat setiap pandangan yang yakin akan adanya kebenaran absolute yang bersifat suprahistoris, seperti misalnya dalam agama.

Berdasarkan argumentasi perbedaan ontologism (spasio-temporal) antara Allah sebagai pencipta dan alam semesta sebagai ciptaan, Leahy menunjukkan bahwa sains tidak mungkin dan tidak perlu konflik dengan agama. Sains justru dapat mendukung orang-orang beriman bahwa rasionalitas alam semesta seperti yang ditemukan lewat sains dapat terjadi karena alam semesta ini memang diciptakan secara rasional. Mentalitas rasional orang-orang beriman tidak akan membuat orang menjadikan Tuhan sebagai sekedar “penutup lubang”, karena belum terjelaskannya fenomena alam semesta ini oleh sains. Dengan kata lain sains tidak dapat menggantikan iman.

Perspektif penyatuan dalam islam tidak pernah mengizinkan berbagai pengetahuan dikembangkan secara bebas satu dengan yang lain. Sains masuk ke dalam lingkungan para ilmuwan Muslim dari perkawinan antara spirit yang berasal dari pewahyuan Al Qur’an dan sains yang hidup dari berbagai peradaban yang diwarisi umat Islam. Rekonsiliasi dan reintegrasi antara dua kelompok keilmuan (al-quraniyyah dan al-kauniyyah) berarti kembali pada kesatuan transenden semua ilmu pengetahuan.

Agama dan Sains adalah Dua Perspektif Berbeda yang Ingin Menjelaskan Dunia dan Kehidupan

Agama dan sains sama-sama merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Keduanya dibutuhkan manusia dalam menjalani hidup di dunia. Oleh karena itu, tidak perlu mempertentangkan keduanya, namun juga tidak harus menyatukannya, karena yang satu melengkapi yang lainnya.

Sebenarnya baik sains maupun agama memiliki dua sisi, intelektual dan sosial. Agama bisa didekati dengan rasional dan empiris. Sementara sains pun bisa berwajah sosial, tidak melulu urusan rasional dan empiris.

John F Haught menyatakan baik agama maupun sains merupakan dua bidang yang sama-sama memiliki ruang dan wilayah kerja sendiri-sendiri. Meskipun tidak perlu diselaraskan, keduanya harus saling menghormati otoritas masing-masing.

Modernisasi, dicapai melalui peningkatan teknologi karena adanya ilmu pengetahuan. Hasilnya, hidup semakin nyaman karena teknologi dikembangkan untuk membuat hidup semakin mudah. Namun kemudahan tersebut tidak jarang menjadikan manusia lupa akan kodratnya sebagai makhluk. Hal ini seringkali membawa dampak dikesampingkannnya agama. Apabila masyarakat hanya mementingkan ilmu, dan meninggalkan agama maka agama akan tidak lagi memiliki peran strategis dalam kehidupan. Akibatnya akan terjadi krisis spriritual, yang mengakibatkan hidup menjadi kering. Akibat selanjutnya, manusia kehilangan fungsi sebagai makhluk social dan makhluk ciptaanNya.

Konsep hubungan ilmu dan agama yang dibicarakan secara akademik

Ian Barbour berusaha memetakan hubungan ilmu dan agama dalam empat tipologi yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi. John F Haught juga melakukan hal yang sama dengan menggunakan istilah yang berbeda yaitu konflik, kontras, kontak dan konfirmasi.

Konflik

Hubungan ini ditandai dengan adanya dua pandangan yang saling berlawanan antara ilmu dan agama dalam melihat satu persoalan. Keduanya sama-sama memiliki argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi saling bertentangan bahkan menafikan satu dengan yang lain. Ian Barbour, seorang fisikawan sekaligus teolog, mencatat bahwa momentum kuat munculnya konflik antara ilmu dan agama terjadi pada masa abad pertengahan, manakala otoritas gereja menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun 1633. Karena mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar mengelilingi matahari (heliosentris) dan menolak teori Ptolemaeus yang didukung oleh otoritas ilmiah Aristoteles dan otoritas kitab suci yang menyakini bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris).

Seseorang tidak dapat menerima pandangan heliosentris dan geosentris sekaligus atau dengan kata lain harus memilih salah satu apakah akan menerima kebenaran agama atau kebenaran ilmu. Jika menerima kebenaran agama akan berimplikasi pada penolakan objektifitas kebenaran ilmu, dan jika menerima kebenaran ilmu akan berimplikasi pada pengingkaran kebenaran agama dan dituduh sebagai kafir.

Persoalan lain yang menggambarkan hubungan konflik antara ilmu dan agama adalah masalah teori evolusi Darwin yang muncul pada abad ke-19. Sejumlah ilmuwan dan agamawan menganggap bahwa teori evolusi Darwin dan kebenaran kitab suci tidak dapat di pertemukan. Kaum Literalis Biblikal memahami bahwa alam semesta di ciptakan Tuhan secara langsung (kreasionisme), adapun kaum evolusionis berpandangan bahwa alam semesta terjadi secara alamiah melalui proses yang sangat panjang (evolusionisme).

Ada sementara agamawan menyatakan bahwa teori evolusi bertentangan dengan keyakinan agama, sedangkan ilmuwan ateis mengklaim bahwa berbagai bukti ilmiah atas teori evolusi tidak sejalan dengan keimanan. Dua kelompok ini sepakat bahwa seseorang dapat mempercayai Tuhan dan teori evolusi sekaligus. Dengan demikian maka ilmu dan agama berada dalam posisi bertentangan.

Independensi

Pandangan idependensi menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi konflik. Kebenaran ilmu dan agama sama-sama abasah selama berada pada batas ruang lingkup penyelidikan masing-masing. Ilmu dan agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan yang lain karena memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar terlepas satu sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan keduanya.

Menurut pandangan ini upaya peleburan merupakan upaya yang tidak memuaskan untuk menghindari konflik. Kalangan Kristen Konservatif berusaha meleburkan ilmu dan agama dengan mengatakan bahwa Kitab Suci memberikan informasi ’ilmiah’ yang paling dapat di percaya tentang awal mula alam semesta dan kehidupan yang kehidupan yang tidak mengandung kesalahan. Mereka menolak teori evolusi Darwin, dan membangun konsep baru tentang penciptaan yang dinamakan “ilmu penciptaan” (creation science) berdasarkan atas penafsiran harfiah terhadap kisah-kisah Biblikal. Hal serupa juga di lakukan oleh penganut konkordisme yang memaksakan agar Kitab Suci bisa disamakan dengan alur-alur kisah kosmologi modern. Bagi penganut aliran ini, agama harus dibuat sedemikian rupa sehingga tampak ilmiah kalau agama ingin dihargai secara intelektual..

Gambaran yang sering digunakan untuk menjelaskan tipologi ini adalah seperti halnya permainan, missal, catur dan bisol. Peraturan dalam catur tidak dapat diterapkan dalam bisbol demikian pula sebaliknya. Tidak ada gunanya untuk mengatakan yang satu lebih baik dari yang lain. Demikian halnya dengan ilmu dan agama, tidak ada yang dapat diperbandingkan satu dengan yang lain dan keduanya tidak dapat ditempatkan pada posisi bersaing atau konflik.

Pendekatan independensi ini di nilai cukup aman karena dapat menghindari konflik dengan cara memisahkan hubungan di antara keduanya. Pendekatan ini menggambarkan ilmu dan agama sebagaimana jalur kereta yang berel ganda, masing-masing memiliki jalan yang independen dan otonom.

Dialog

Pendekatan independensi meskipun merupakan pilihan yang cukup aman, namun dapat menjadikan realitas kehidupan menjadi terbelah. Penerimaan kebenaran antara ilmu dan agama menjadi satu pilihan dikotomis yang membingungkan karena tidak dapat mengambil keduanya sekaligus. Adapun bagi seseorang yang berusaha menerima keduanya akan mengalami split personality, berkepribadian ganda, karena menerima dua macam kebenaran yang saling berseberangan. Menurut Barbour, pendekatan ini membantu tetapi membiarkan segala sesuatu berada pada jalan buntu yang bisa membuat orang putus asa.

Pendekatan dialog memandang bahwa ilmu dan agama tidak dapat disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik, maupun normatif. Bagaimanapun juga, di Barat, agama telah memberikan banyak inspirasi bagi perkembangan ilmu, demikian pula penemuan-penemuan ilmiah juga mempengaruhi teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin benar-benar dipisahkan.

Pendekatan dialog ini dapat membangun hubungan yang mutualis. Dengan belajar dari ilmu, agama dapat membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka sehingga tidak terlalu over sensitive terhadap hal-hal yang baru. Sebaliknya, ilmu perlu mempertimbangkan perhatian agama pada masalah harkat kemanusiaan. Dalam dunia manusia, ada realitas batin yang membentuk makna dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebanaran, dan ilmu bukan hanya untuk ilmu tetapi ilmu juga untuk kemanusiaan. Agama dapat membantu memahami batas-batas rasio, yaitu pada wilayah adikodrati atau supranatural ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya.

Hubungan dialogis berusaha membandingkan metode kedua bidang yang dapat menunjukan kemiripan dan perbedaan. Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan diluar wilayahnya sendiri.

Integrasi

Ada dua makna dalam tipologi ini. Pertama, bahwa integrasi mengandung makna implisit reintegrasi, yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah keduanya terpisah. Kedua, integrasi mengandung makna unity, yaitu bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial. Makna yang pertama populer di Barat karena kenyataan sejarah menunjukan keterpisahan itu. Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia Islam karena secara ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembacaan Al-Qur’an, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling mendukung dan tidak saling bertentangan.

Apakah hubungan ilmu dan agama berada pada posisi konflik, independensi, dialog atau integrasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Di tengah kebimbangan untuk memahami pada posisi mana sesungguhnya ilmu dan agama berada, salah satu filosof Mulla Shadra mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontologi dan epistemologi yang menunjukan karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan antara imu dan agama. Beberapa prinsip penting yang mendasari integrasi tersebut adalah:

1. Tauhid (Keesaan Allah)

Keesaan Allah adalah prinsip yang paling mendasar dalam Islam konsep ini berimplikasi pada kesatuan ciptaan yakni keterhubungan bagian-bagian alam, dan selanjutnya berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tapi bukan saja menjadi kerangka keimanan yang menjadi dasar keyakinan umat Islam kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran yang membangun integritas kebenaran. Pandangan tauhid ini didasarkan atas beberapa firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqoroh 163, yaitu:

ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) Ó‰Ïnºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ß`»yJôm§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÏÌÈ

“Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia”.

2.    Keyakinan pada realitas adikodrati dan keterbatasan pengetahuan manusia.
Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut:

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«ø‹x© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noy‰Ï«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ

“Dan Tuhan mengeluarkan kalian dari rahim ibu kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan Kami berikan kepada kalian pendengaran dan pengelihatan dan hati agar kalan dapat bersyukur”.(Q.S. An-Nahl ayat 78).

Ayat ini menunjukan bahwa manusia berawal dari tidak tahu dan melalui sarana yang diberikan Allah berupa panca indera dan hati, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan pembedaan dua alam yaitu alam tak tampak dan alam tampak. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia dapat mengembakan penyelidikan pada alam tampak, sedangkan terhadap alam yang tak tampak harus melalui bimbingan wahyu agar tidak  mengalami pemahaman yang salah. Ayat tersebut menegaskan keyakinan bahwa ada realitas yang adikodrati yang menguasai, memberikan sarana dan mengajarkan ilmu kepada manusia. Namun demikian tidak semua ilmu dapat dikuasai manusia karena keterbatasan yang dimilkinya.

3.    Keyakinan pada alam yang memiliki tujuan

Dalam pandangan Al-Qur’an , Allah menciptakan segala sesuatu dalam satu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan.

$tBur $uZø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur $tBur $yJåks]÷t/ WxÏÜ»t/ 4

“Dan tidak Kami ciptakan langit dan bumi, dan apapun yang ada diantara keduanya untuk kesia-siaan”. (Q.S. Shaad ayat 27).

Pandangan Al-Qur’an tentang tujuan alam berjalan seiring dengan konsep kehidupan akhirat. Perjalanan dunia akan berakhir dan digantikan dengan kehidupan akhirat. Pemahama Islam ini sekaligus menepis pandangan kaum naturalis bahwa alam terjadi secara kebetulan, yaitu melalui proses alamiah berdasarkan hukum alam yang ada dalam dirinya. Oleh karena kebetulan, tentu alam tidak memiliki tujuan kecuali hanya berjalan sesuai dengan hukum-hukum tersebut.

4.    Komitmen pada nilai-nilai moral

Komitmen moral adalah salah satu dari risalah kenabian. Sebagaimana dalam satu hadist dijelaskan  bahwa Nabi Muhammad saw., diutus untuk menyempurnakan ahlak manusia. Hal ini juga diperkuat dalam Al-Qur’an:

uqèd “Ï%©!$# y]yèt/ ’Îû z`¿Íh‹ÏiBW{$# Zwqß™u‘ öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.t“ãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% ’Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7•B ÇËÈ

“Dialah yang mengutus seorang dari kalangan orang-orang yang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan kebijaksanaan, meski sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. Al-Jumu’ah ayat 2).

Islam menganjurkan umatnya untuk menjalankan agama secara kaffah (sempurna). Diantara komponen kesempurnaan itu adalah bahwa umat Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu yang mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus dilandasi oleh nilai-nilai moral.

Integrasi antara Ilmu dan Agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang terpisah dan bukan sesuatu yang satu berada diatas yang lain. Pandangan bahwa agama lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran relatif yang oleh karenanya memiliki posisi lebih rendah dibandingkan agama sebagai ciptaan tuhan yang memiliki kebenaran absolut.

Kesempurnaan ilmu Tuhan dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam ini,yaitu tidak ada satupun ciptaan yang sia-sia, segala sesuatu bermanfaat dan mendukung kelestarin alam ini dan bersifat non-residu. Satu contoh dapat ditunjukkan bahwa kotoran hewan, sekalipun seakan-akan merupakan benda yang terbuang dan tidak berguna, namun keberadaannya tetap memberikan manfaat, misalnya untuk menyuburkan tanaman dan dapat menghasilkan gas untuk keprluan rumah tangga. Hal ini bisa dibandingkan dengan buatan manusia berupa kendaraan bermotor yang mengeluarkan asap yang dapat merugikan kesehatan. Akan tetapi manusia selalu berusaha memperbaiki kelemahan teorinya dari kesalahan yang mereka perbuat. Kesalahan manusia ketika membaca ilmu Tuhan di alam ini, sesungguhnya merupakan bagian dari proses pencarian kebenaran dan bukan pula karena ada kesalahan ilmu Tuhan tetapi karena ke-belum-mampu-an manusia menemukan kebenaran ilmu Tuhan yang sesungguhnya.

Jelaslah kiranya bahwa konsep integrasi ilmu dan agama sesungguhnya berpusat pada Tuhan (tauhid) karena dari-Nya semua berasal dan kepada-Nya semua kembali, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (segala sesuatu berasal dari Allah dan kepada-Nya semua akan kembali). Integrasi holistik ilmu dan agama hendaknya menjadi dasar bagi perkembangannya seluruh keilmuan yang ada. Upaya mengintegrasikan ilmu dan agama belum cukup hanya dengan membangun suatu institusi yang didalamnya keseluruhan ilmu, baik ilmu umum maupun ilmu agama diajarkan, sedangkan antara ilmu tersebut sebenarnya tidak pernah berdialog. Pada dasarnya institusi semacam ini belum mengintegrasikan keduanya, karena hubungan ilmu dan agama masih ‘independen’, berjalan sendiri-sendiri, hanya berada dalam wadah yang sama.

Hubungan Agama dan Sains dalam Perspektif Islam

Di dalam konsepsi Islam, menurut Qardhawi, agama adalah sains (ilmu) begitu juga sebaliknya, sains adalah agama. Hal ini disebabkan karena hukum menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Melihat fakta tersebut agama dan sains adalah sejajar. Menuntut ilmu bisa dikategorikan fardhu kifayah ataupun fardhu ain.

Hubungan sains dan agama akan lebih menyerupai pandangan imam Al-Ghazali, bahwa mendalami ilmu agama bagi semua orang adalah kewajiban pribadi atau fardhu ain, sedangkan mendalami ilmu umum (sains) adalah fardhu kifayah. Seseorang yang mendalami sumber-sumber ajaran agama Islam akan memperoleh inspirasi yang bersifat deduktif untuk mengembangkan bidang ilmu yang ditekuni. Sebaliknya, penguasaan ilmu yang ditekuni dapat memberi sumbangan pada upaya pemaknaan Kitab Suci (Al-Qur’an) dan hadits. Dengan kata lain sains dan agama berdiri sendiri dan keduanya saling mendukung serta saling membantu dalam kemaslahatan umat manusia.

Selanjutnya disebutkan pula, sains identik dengan pemenuhan kebutuhan duniawi, seperti teknologi, intelektual, kesehatan, dan kemakmuran. Sementara agama lebih focus terhadap pemenuhan kebutuhan rohani dan tata cara pergaulan hidup. Dengan demikian agama memerlukan sains, dan begitu pula sebaliknya. Jika agama mempersenjatai diri dengan sains maka kepentingan keduniaan seperti pengentasan kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan bisa dicarikan penyelesaiannya. Sebaliknya sains harus memberikan kesempatan pada agama untuk mengisi dan menyempurnakan kekosongan jiwa manusia dengan esensi nilai-nilai spiritual.

Selanjutnya dijelaskan bahwa Al Qur’an menghargai orang-orang yang berilmu, yang dapat menunjukkan keagungan dan kehebatan ciptaan Allah dan yang memiliki kerendahan hati bahwa apa yang dihasilkan oleh ilmu mereka menunjukkan kekuatan Ilahi dan kebesaran-Nya. Hal-hal tersebut ditekankan oleh ayat-ayat dalam Al-Qur’an dibawah ini :

ö@t/ uqèd 7M»tƒ#uä ×M»oYÉit/ ’Îû Í‘r߉߹ šúïÏ%©!$# (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# 4 $tBur ߉ysøgs† !$uZÏF»tƒ$t«Î/ žwÎ) šcqßJÎ=»©à9$# ÇÍÒÈ

”Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim” (QS Al-’ankabut ayat 49)

Sebagaimana disebutkan oleh ayat di atas, memahami tanda-tanda Pencipta, hanya mungkin bagi orang terdidik dan bijak yang berjuang menggali rahasia-rahasia alam dan yang telah mendapatkan ilmu di bidang-bidang studi masing-masing. Oleh karena itu, penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan seharusnya bisa menjadikan manusia lebih sadar akan hakikat kebenaran agama dan segala aturannya.

Menurut Bucaille, Quran memang bukan buku yang menerangkan hukum-hukum alam. Quran mengandung tujuan keagamaan yag pokok. Ajakan untuk memikirkan tentang penciptaan alam ditujukan kepada manusia dalam rangka penerangan tentang kekuasaan Tuhan. Ajakan tersebut disertai dengan menunjukkan fakta-fakta yang dapat dilihat manusia dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mengatur alam, baik dalam bidang sains maupun dalam bidang masyarakat kemanusiaan. Sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nahl ayat 12 :

t¤‚y™ur ãNà6s9 Ÿ@ø‹©9$# u‘$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàf‘Z9$#ur 7Nºt¤‚|¡ãB ÿ¾Ín̍øBr'Î/ 3 žcÎ) ’Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqè=É)÷ètƒ ÇÊËÈ

“ dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaaan Allah) bagi kamu yang memahaminya.”

Manusia dapat membandingkan berita dalam Quran yang dikuatkan oleh sains modern dengan contoh-contoh dari para ahli zaman kuno yang tanpa ragu-ragu memprediksi fakta-fakta yang telah diakui kebenarannya oleh sains. Namun demikian para ahli tersebut tidak dapat sampai kepada fakta-fakta itu dengan cara deduksi ilmiah, mereka mencapainya dengan memakai cara berpikir filsafat. Pemikiran para ahli (di antaranya Copernicus) mengenai matahari dan tata surya juga telah diberitakan dalam Quran. Sebagaimana disebutkan dalam Surat Nuh ayat 15-16 :

óOs9r& (#÷rts? y#ø‹x. t,n=y{ ª!$# yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ $]%$t7ÏÛ ÇÊÎÈ Ÿ@yèy_ur tyJs)ø9$# £`ÍkŽÏù #Y‘qçR Ÿ@yèy_ur }§ôJ¤±9$# %[`#uŽÅ ÇÊÏÈ

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah menciptakan tujuh ruang angkasa bertingkat-tingkat? Dan diciptakan-Nya dalam ruang angkasa itu bulan bercahaya (karena dapat cahaya dari matahari) dan matahari bersinar (memancarkan cahaya).”

Di samping ayat-ayat yang khusus menggambarkan penciptaan langit dan bumi, ada lebih dari 40 ayat Quran yang memberikan keterangan-keterangan tambahan mengenai astronomi. Kata “Orbit” pun adalah terjemahan kata bahasa Arab : “falak”.

Mehdi Golshani menjelaskan konsepsi Islam tentang ilmu pengetahuan yang menganjurkan bahwa dalam pencarian ilmu tidak hanya terbatas pada ajaran khas syariah, namun juga berlaku untuk setiap pengetahuan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT terlepas apakah itu ilmu teologi, teknologi, ataupun yang lainnya. Allah SWT menganjurkan kepada manusia untuk melihat dan memikirkan akan keteraturan dan system koordinasi di dalam setiap penciptaan dan kejadian alam semesta raya ini. Memahami ilmu-ilmu kealaman akan menggiring manusia dalam mengenal Tuhannya. Elemen ilmu pengetahuan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al Fusilat 153 :

ô‰s)s9ur $uZù=y™ö‘r& 4Óy›qãB !$uZÏF»tƒ$t«Î/ 4’n<Î) šcöqtãöÏù ¾Ïm'ƒZ~tBur tA$s)sù ’ÎoTÎ) ãAqß™u‘ Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÍÏÈ

“ Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri”.

Belajar sains pada dasarnya adalah belajar rendah hati. Betapa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan sebagai makhluk ciptaanNya. Dengan belajar sains manusia belajar ‘membaca’ ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam semesta.

Ilmu bersifat tidak terbatas karena obyek ilmu tidak ada batasnya. Di sisi lain, ada suatu batas kebenaran dalam setiap obyek ilmu, sehingga pencarian ilmu yang benar adalah suatu pencarian yang tanpa akhir. Ilmu mengenai kebenaran-kebenaran dunia lahiriah dapat dicapai dan bertambah melalui penelitian yang dilakukan para ahli.

Kebenaran adalah dirinya sendiri, yang tidak lebih dan tidak kurang. Bagi setiap kebenaran, ada batas yang sepadan dengannya. Ilmu tentang batas tersebut adalah kearifan atau hikmah. Dengan hikmah setiap kebenaran mendapatkan makna yang tepat.

BAB III

KESIMPULAN

Sudah saatnya dikotomi agama dan sains tidak lagi dipermasalahkan. Kini saatnya agama dan sains menghadirkan kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebih harmonis, holistic, serta jauh dari sistem oposisi biner sebagaimana dipertahankan oleh kaum positivisme.

Kemajuan sains terutama yang berhubungan dengan ekonomi dan teknologi, harus diakui sangat berperan dalam menata dan meningkatkan kualitas hidup dan peradaban manusia. Sains modern sebagai salah satu bagian dari kehidupan juga merupakan salah satu bentuk aktivitas yang bernilai ibadah.

Agama yang dulu sering tidak menerima penemuan-penemuan sains karena dianggap bertentangan dengan wahyu, kini perlu bersikap lebih inklusif. Sementara sains yang sering dianggap bebas nilai sehingga melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama juga harus membuat ruang yang lebih lebar untuk menerima masukan para agamawan.

Dalam pandangan Islam, Mehdi Golshani menjelaskan bahwa sains dan agama memiliki tugas masing-masing namun saling melengkapi dan saling menjelaskan. Sains yang baik adalah sains yang dapat mendorong kepada ibadah. Bila suatu ilmu menyebabkan perpisahan hati dengan Tuhan-nya, itu merupakan penyimpangan. Sebaliknya, kekuatan agama terletak pada kemampuannya mengorganisasikan energi batin menuju dimensi yang melebihi keterbatasan manusia. Agama akan tetap bernilai dan inspiratif bila tetap mampu berperan sebagai benteng hati nurani paling bening dan paling maju setiap kali menarik teknologi, ekonomi, serta sains ke persoalan-persoalan terdalam kehidupan dan manusia.

Selanjutnya, hal yang membedakan sains dan agama adalah, pertama pada prinsip dasar bahwa dalam sains tidak mengenal haram dan halal, tidak mengenal batasan-batasan, sehingga jika segala sesuatu dapat bisa dibuktikan secara logika (rasio) dan didasarkan pada kajian metode empiris serta ilmiah, hukumnya menjadi sah. Sementara dalam agama, manusia dibatasi oleh halal dan haram, pantas dan tidak pantas, boleh dan tidak boleh, serta baik dan buruk. Nampaknya pepatah yang mengatakan bahwa agama tanpa sains adalah buta, dan sains tanpa agama adalah pincang memang relevan.

DAFTAR PUSTAKA

Add-ins Al-quran digital versi 1.3 oleh Mohamad Taufiq

Abdul Azhim, Ali. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu: Perspektif al-Quran. Bandung:Rosida

Achmadi, Asmoro.2005. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Azra, Azyumardi. 2005. “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam” dalam Integrasi Ilmu dan Agama : Interpretasi dan Aksi. Mizan. Bandung.

Bakhtiar, Amsal. 2011. Filsafat Ilmu. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta

Bucaille, Maurice. 2005. Bibel, Qur’an, dan Sains Modern. Bulan Bintang. Jakarta

Golshani, Mehdi. 2003. Filsafat-Sains Menurut Al-Quran. Mizan. Bandung.

Kurniasih, Agustina. 2012. Hubungan Sains dan Agama. http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/HUBUNGAN-SAINS-DAN-AGAMA.doc (diakses tanggal 31 Maret 2012)

Osman Bakar.1991. Tawhid and science. Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy and Science & Nurin Enterprise.

Sugiharto, Bambang. 2005. “Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi” dalam Integrasi Ilmu dan Agama : Interpretasi dan Aksi. Mizan: Yogyakarta.

Suprayogo, Imam. 2005. “ Membangun Integrasi Ilmu dan Agama : Pengalaman UIN Malang” dalam Integrasi lmu dan Agama : Interpretasi dan Aksi. Mizan: Yogyakarta.

Suriasumantri, Jujun. 2005. Filasafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Pustakan Sinar Harapan: Jakarta.

Ravertz, Jerome R. 1982. The Philosophy of Science, Terjemah oleh Pasaribu, Saut. 2009. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami