Sabtu, 25 Mei 2013

Sejarah dan Periodisasi Penghimpunan Hadis

image

A.    Sejarah dan Periodisasi Penghimpunan Hadis

Sejarah dan periodisasi penghimpunan hadis mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dialami oleh Al-Qur’an, yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Yang dimaksud dengan periodisasi penghimpunan hadis disisni adalah: “Fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan pengembangan hadis, sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.”

Mohamad Mustafa Azami, berkonsentrasi pada pengumpulan dan penulisan hadis pada abad pertama dan kedua hijriyah, yang dinamainya dengan Pra-Classical “Hadiith Literature”,membagi periodisasi penghimpunan hadis menjadi 4 Fase yaitu:

  1. Fase penghimpunan dan penulisan hadis oleh para sahabat
  2. Fase penghimpunan dan penulisan hadis oleh para Tabi’in di abad pertama Hijriyah.
  3. Fase penghimpunan dan penulisan hadis pada akhir abad pertama Hijriyah dan awal abad kedua Hijriyah.
  4. Fase pengumpulan dan penulisan hadis pada awal kedua Hijriyah.

Berbeda dengan Azami, Hasbi Ash-Shiddieqy cenderung mengikuti periodisasi perkembangan hadis sebagai mana yang dianut ole sebagian besar para ahli sejarah hadis.

B.     Hadis Pada Abad Pertama Hijriyah

Periode ini dapat dibagi menjadi dua fase yaitu:

1.      Hadis Pada Masa Rasulullah SAW

a.       Cara sahabat menerima hadis pada masa Rasulullah SAW

Hadis-hadis Nabi yang terhimpun didalam kitab-kitab hadis yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara hadis dimasa Nabi SAW dahulu.

Ada empat cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadis Nabi SAW yaitu:

·         Mendatangi majelis-majelis taklim yang diadakan Rasul SAW.

·         Kadang-kadang Rasulul SAW sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu, kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada para sahabat.

·         Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW memberi fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut.

·         Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah SAW melakukan sesuatu perbuatan dan sering kali yang berkaitan dengan tatacara pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa zakat, haji dan lainnya.

b.      Penulisan hadis pada masa Rasululah SAW

Setelah Islam trun, kegiatan membaca dan menulis ini semakin lebih digiatkan dan digalakan, hal ini terutama adalah karena diantara tuntutan yang pertama diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyunya adalah perintah membaca dan belajar menulis ( QS. AL-Alaq [96]:1-5)

1)      Larangan menulis Hadis

Terdapat sejumlah hadis Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan hadis. Hadis yang mereka dengar atau peroleh dari Nabi SAW. Hadis-hadis tersebut adalah: Dari Abi Sa’id al-Kurdi, bahwasanya Rasul SAW bersabda, “ Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menulisan sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya”. (HR. Muslim)

2)      Perintah (kebolehan) menuliskan Hadis

Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan atau membolehkan menuliskan hadis adalah: Hadis Annas Ibn Malik

Dari Anas Ibn Malik bahwa dia berkata, Rasullullah SAW bersabda: “ Ikatlah ilmu itu dengan tulisan (menuliskannya).

3)      Sikap para ulama dalam menghadapi kontroversi Hadis-hadis mengenai penulisan hadis.

c.       Faktor-faktor yang menjamin kesinambungan hadis sejak masa Nabi SAW, yaitu:

v  Quwwat al-dzakirah

v  Kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW.

v  Pemahaman terhadap ayat

2.      Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in

a.       Pengertian Sahabat dan Tabi’in

Kata sahabat (arabnya: sahabat ) menurut bahasa adalah Musytaq (pecahan) dari kata shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain, tanpa ada balasan waktu dan jumlah. Sedangkan pengertian Tabi’in adalah orang yang pernah berjumpa dengan sahabat dan dalam keadaan beriman, serta meninggal dalam keadaan beriman juga.

b.      Pemeliharaan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in

Dalam periode Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar Ibn al-Khatab, periwayatan hadis dilakukan dengan cara yang ketat dan sangat hati-hati. Hal ini terlihat dari cara mereka menerima hadis.

c.       Masa Penyebarluasan Periwayatan Hadis

Wilayah kekuasaan Islam pada periode Utsman telah meliputi seluruh jazirah Arabia, wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Sanarkand. Dengan tersebarnya para sahabat kedaerah-daerah disertai dengan semangat menyebarkan agama Islam, maka tersebar pulalah hadis-hadis Nabi SAW yang baik dalam hafalan maupun tulisan.

d.      Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in

Kegiatan penulisan hadis pada masa Rasul SAW bagi mereka yang diberi kelonggaran oleh Rasul SAW  untuk melakukannya, namun para sahabat, pada umumnya menahan diri dari melakukan penulisan hadis dimasa pemerintahan Khulafa al-Rasidin. Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur’an Al- Karim dan sekaligus Sunah (Hadis), dari pernyataan Umar, terlihat bahwa penolakannya terhadap penulisan hadis adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam untuk menuliskan suatu yang lain selain Al-Qur’an dan melontarkan kitab Allah (Al-Qur’an). Justru itu dia melarang umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang lain dari Al-Qur’an, termasuk hadis.

Akan halnya Tabi’in, sikap mereka dalam hal penulisan hadis adalah mengikuti jejak para sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabi’in memperoleh ilmu, termasuk didalamnya hadis-hadis Nabi SAW adalah dari para sahabat.

C.    Hadis Pada Abad Ke-2 Hijriyah (masa penulisan dan pembukuan hadis secara resmi)

Pada periode ini hadis-hadis Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Umayah yang mulai memerintah dipenghujung abad pertama Hijriyah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan hadis Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan didalam catatan dan hafalan para sahabat dan Tabi’in.

1.      Faktor-faktor yang mendorong pengumpulan dan pengkondifikasian hadis

2.      Pemrakarsa pengkondifikasian hadis secara resmi dari pemerintah

3.      Pelaksanaan kondifikasi hadis atas perintah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz

4.      Kitab-kitab Hadis pada abad Ke-2 Hijriyah

5.      Ciri dan sistem pembukuan hadis pada abad Ke-2 Hijriyah

6.      Perkembangan hadis palsu dan gerakan ingkar sunnah.

D.    Hadis Pada Abad Ke-3 Hijriyah (masa pemurnian dan penyempurnaannya)

Pada periode ini para ulama hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadis-hadis Nabi SAW, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak.

1.      Kegiatan Pemalsuan Hadis

Penciptaan hadis-hadis palsu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang panatik mazhab, tetapi momentum pertentangan mazhab, tersebut juga dimanfaatkan oleh kaum zindik yang sangat memusuhi Islam, untuk menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka merusak ajaran Islam dan menyesatkan kaum muslimin.

2.      Upaya melestarikan Hadis

Diantara kegiatan dalam rangka memelihara kemurnian Hadis Nabi SAW  adalah:

Ø  Perlawanan kedaerah-daerah

Ø  Mengklasifikasi hadis kepada: Marfu, Maukuf, Maqthu.

Ø  Menyeleksi kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada: Shahih, Hasan, dan Dha’if

3.      Bentuk penyusunan hadis pada abad Ke-3 Hijriyah.

Ada tiga bentuk penyusunan hadis pada periode ini yaitu: Kitab Shahih, kitab Sunan, dan kitab Musnad

E.     Hadis Pada Abad Ke-4 Sampai Ke-7 Hijriyah (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunannya)

1.      Kegiatan periwayatan hadis pada periode ini

2.      Bentuk penyususnan kitab hadis pada periode ini

F.     Keadaan Hadis Pada Pertengahan Abad Ke-7 Hijriyah Sampai Sekarang (masa pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrijan, dan pembahasannya)

1.      Kegiatan periwayatan hadis pada periode ini

Kegiatan periwayatan hadis pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazah dan mukatabah.

2.      Bentuk penyususnan kitab hadis pada periode ini

Jenis karya kitab-kitab hadis, sebagai berikut:

Kitab Syarah, Mukhtasor, Zawa’id, penunjuk Hadis, Takhrij, Jami’, dan kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum.

SEBAB-SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT

Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih sangat banyak, sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih. Dalam makalah ini penulis mencoba menggabung argumentasi-argumentasi para ulama tersebut.

Di antara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:

1. Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash.

Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis) kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai hujjah karena perawinya ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis tersebut ditolak, karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya.

2. Perbedaan dalam memahami nash.

Dalam suatu nash, baik Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarak), dan kata majazi (kiasan), sehingga arti yang terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang demikian ini, para ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata قُرُوْءٍ (qur­’) dalam surah al-Baqarah (2): 228 mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”, sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut para mujtahid berbeda pendapat. Di samping itu, perbedaan pemahaman ini juga disebabkan perbedaan kemampuan mereka satu sama lain.

3. Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan.

Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua atau lebih nash yang bertentangan, sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit diputuskan. Untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih mana nash yang lebih kuat (arja¥) di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di antara nash-nash tersebut. Dalam mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya para ulama berbeda pendapat.

4. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber intinbath.

Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil, mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadis, yang oleh seorang mujtahid dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin saja ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan sudut pandang mereka terhadap Hadis itu tidak sama. Ada mujtahid yang mengambil perkataan atau fatwa seorang sahabat Nabi dalam memecahkan suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak mau mengambil fatwa sahabat tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang menjadikan amaliah penduduk Medinah sebagai hujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya ditolak. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan suatu hukum.

5. Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis

Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi Hadisnya tidak sama dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka selalu bersama-sama berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja pada saat sahabat yang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak hadir, sehingga pada saat Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu. Oleh karena di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama, maka sudah barang tentu di antara para mujtahid pun akan terjadi hal yang sama. Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada gilirannya akan menyebabkan mereka berbeda pendapat.

6. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum

Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Sebagai contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah. Para mujtahid berbeda pendapat tentang siapa jenazah itu, orang Islam, orang Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-duanya, jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat Islam diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah, baik jenazah orang Islam maupun orang Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah saw. bertemu dengan jenazah orang Yahudi, lalu beliau berhenti dan berdiri

Fenomena Inkar Sunnah

· Pengertian inkar sunnah.

Inkar sunnah adalah gerakan yang ada di kalangan umat Islam yang tidak atau enggan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, mereka hanya berpegang kepada al-Quran saja, ada juga menyebut inkar sunnah dengan munkir sunnah, jadi inkar sunnah adalah kelompok dari kalangan umat Islam yang menolak ototritas dan kebenaran sunnah sebagai hukum dan sumber ajaran Islam.

· Latar  Belakang dan Perkembangan inkar sunnah.

informasi imam Syafi’i menjadi informasi yang memberikan gambaran bahwa di penghujung abad kedua atau awal abad ketiga Hijriyah,  ada masyarakat yang menganut inkar sunah dan telah menampakkan diri sebagai kelompok tersendiri dengan berbagai alasan untuk mendukung keyakinan mereka, mereka menolak  hadis sunah sebagai sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.

Munculnya kelompok inkar sunnah, telah diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. ”Berita  dari Yazid bin Harun berkata: berita dari Hariz dari Abdul al-Rahman bin Abi Auf al-Jurasyi dari al-Miqdam bin Madi berkata: Rasulullah bersabda: Ingatlah al-Quran dan hal yang seprti al-Quran yaitu hadis telah diturunkan kepadaku. Waspadalah ! kelak akan muncul orang yang perutnya kenyang, ia malas-malas di atas kursinya. Ia mengatakan pakai al-Quran saja, apabiladisitu ada keterangan yang menghalalkan, maka halalkan dan jika mengharamkan, maka haramkanlah.

· Klasifikasi Inkar Sunnah dan Argumennya.

Para penganut inkar sunnah terdiri dari tiga kelompok yaitu: pertama, mereka menolak hadis-hadis rasulullah secara keseluruhan. Kedua, mereka menolak hadis rasulullah kecuali hadis-hadis yang mengandung nashnya di dalam al-Quran. Ketiga, mereka menolak hadisahad dan hanya menerima hadis mutawatir.

Inkar sunnah menolak sunnah secara umum , argumen mereka adalah:

  1. Bahwa al-Quran diturunkan Allah Swt dalam bahasa Arab, dengan bahasa Arab yang baik, maka al-Quran akan akan dapat pula memahami al-Quran dengan baik, tanpa perlu penjelasan hadis-hadis rasulullah.
  2. Argumen mereka selanjutnya adalah, karena al-Quran, merupakan penjelas segala sesuatu, maka menurut mereka al-Quran sebagi penjelas segala sesuat telah mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat-Nya. Jadi tidak perlu lagi penjelasan selain al-Quran.
  3. Hadis-hadis Rasululah sampai kepada kita melalui riwayat proses periwayatnnya tidak terjamin dari kekeliruan, kesalahan dankedutaan terhadap rasulullah, oleh sebab itu nilai kebenarannya tidak meyakinkan(zhanny). Tidak dapat dijadikan penjelas(mubayyin) untuk al-Quran yang telah diyakikin kebenarannya (qathy). Untuk dalil hanya yang qathy, sedangkan hadis bernilai zhanny maka tidak dapat dijadikan hujah dan tidak juga untuk penjelas yat-ayat al-Quran.

Argumen tokoh terhadap inkar sunah, di antaranya adalah al-Syafi’i. Imam Syafi’i membantah dan mengkritik argumen inkar sunnah sebagai berikut:

  1. Bahwa di dalam Al-qur’an terdapat banyak ayat yang memerintahkan agar kita selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Rasul Allah, kita juga diperintah untuk taat kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya.”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Dalam ayat lain Allah berfirman,” Barang siapa yang taat kepada Rasul, maka sesungguhnya ia juga telah menaati Allah. lebih lanjut Allah berfirman,” apa-apa yang diberikan/disampaikan Rasul kepadamu, terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya, tinggalkanlah.
  2. Siapa yang menguasai bahasa Arab dengan baik, akan mengetahui bahwa Al-qur’an sendiri menyuruh umat islam untuk menerima dan menaati serta mengikuti hadis-hadis Rasulullah yang disampaikan oleh para periwayat yang dipercaya.
  3. Ayat-ayat Al-qur’an yang dikutip kelompok inkar sunnah (Al-qur’an menjelaskan segala sesuatu)  tidak benar mengandung arti tidak diperlukan hadis Rasulullah sebagai penjelas urusan-urusan agam di samping al-Quran. Hal tersebut dikarenakan penjelasan Al-qur’an masih ada yang bersifat global atau hal-hal pokok-pokok saja, seperti shalat wajib dan zakat.
  4. Bantahan Imam Syafi’i terhadap inkar sunnahterhadap hadis ahad. Secara  analogis Imam Syafi’i mengungkap kekeliruan pendapat inkar sunnah terhadap hadis ahad, yang terangkum sebagai berikut:

Banyak ayat menjelaskan urgensitas bahwa Allah swt memerintahkan Rasul-Nya agar menjelaskan bahwa mematuhi-Nya berarti mutlak harus mengikutinya (QS.4:59). Keimanan seorang muslim tidaklah diangap sah jika tidak menjadikan Rasulullah saw sebagai pemutus atas berbagai masalah yang dihadapi, lalu kemudian menerima keputusan itu tanpa rasa berat dan terpaksa (QS.4:65).

Al -qur’an menjelaskan, Barang siapa yang mematuhi Rasulullah saw berarti ia telah mentaati Allah swt (QS.4:80). Bahkan Allah swt menegaskan bahwa apapun yang diperintahkan oleh Rasul-Nya, hendaknya dipegang erat-erat dan apa pun yang dilarang olehnya sebaiknya ditinggalkan (QS.59:7). Peran Rasul yang demikian itu lalu dirangkum oleh Allah swt dengan menjelaskan bahwa Rasulullah merupakan panutan bagi orang-orang yang meyakini adanya hari akhirat (QS.33:21). Bahkan terdapat peringatan akan terjadinya azab atau pun fitnah terhadap orang-orang yang menyalahi ajaran Rasul-Nya (QS.24:63).

Fenomena Inkar Sunnah ini sebenarnya telah diingatkan oleh Rasulullah saw. Beliau mengindikasikan bahwa orang-orang yang malas, yang tidak mempunyai cita-cita dalam menuntut ilmu, tidak berusaha menggapai ilmu serta tidak mengarahkan kesungguhannya dalam menempuh kesulitan dalam menuntut ilmu akan mendapatkan kedudukan seperti kedudukan orang yang inkar sunnah, yaitu orang yang tidak menerima sunnah dan tidak berpegang pada kaidah-kaidah kritikan yang benar dan alur logika yang jelas.

Hal itu diingatkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, sebagaimana dituturkan oleh Abi Rafi’ radiyallahu anhu :

“لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه فيقول : لا أدري، ما وجدناه في كتاب الله اتبعناه”

Artinya : “Jangan sekali-kali aku menjumpai salah seorang di antara kalian duduk bersandar di atas kursi panjangnya, lalu datang kepadanya suatu perintah dari perintahku, yakni dari yang aku diperintahkan dan aku dilarang, dan dia mengatakan, “Saya tidak tahu mengenai hal itu, tetapi apa yang kami temukan dalam kitab Allah swt maka itulah yang kami ikuti.”

Inkar Sunnah pada Zaman Modern

  • Di Indonesia

Keberadaan Faham Inkar Sunnah di Indonesia berawal dari tahun 1980-an. Pengajian yang mereka mereka sebut Kelompok Qur’ani (kelompok pengikut al-Qur’an). Pengajian Inkar Sunnah ketika itu sangat ramai, bahkan memenguasai beberapa masjid. Di antara mesjid yang pernah dijadikan pusat pengajian adalah masjid Asy-Syifaa’ yang terletak di Rumah Sakit Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta. Rumah Sakit tersebut menyatu dengan Universitas Indonesia serta tempat praktek Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pengajian yang mereka adakan di pimpin oleh H. Abdurrahman pedurenan Kuningan Jakarta.  Pengajian ini biasanya dimulai setelah shalat magrib. Tetapi, lambat laun, pengajian ini tidak lagi mau menggunakan azan dan iqamat ketika shalat berjamaah hendak mereka laksanakan. Karena, menurut mereka, tata cara tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Di samping itu, mereka juga menyeragamkan shalat dengan hanya dua rakaat.

Selain itu, pengajian mereka ditemukan pula di proyek Pasar Rumput Jakarta Selatan. Tepatnya di Masjid al-Burhan yang dipimpin oleh ustasdz H.Sanwani, guru masyarakat setempat. Tetapi tidak lama kemudian, pengajian tersebut juga tidak mau menggunakan azan dan iqamat saat shalat hendak mereka laksanakan.  Bahkan jumlah rakaat shalatnya pun sama dengan yang diajarkan oleh H.Abdurrahman di kompleks Rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Selain itu, mereka tidak mau berpuasa pada bulan ramadhan kecuali mereka-mereka yang melihat hilal secara langsung. Hal ini berdasarkan pada asumsi mereka terhadap al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185.

Setelah diteliti lebih lanjut oleh H.M. Amin Jamaluddin selaku pengurus LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) ternyata ditemukan bahwa sponsor utama pengajian tersebut adalah Lukman Sa’ad. Orang tersebut berasal dari Padang Panjang, Sumatra Barat. Dia adalah lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan gelar Sarjana Muda (BA). Pekerjaan sehari-harinya adalah direktur perusahaan penerbitan PT Ghalia Indonesia yang berlamat di Jl Pramuka Jakarta Timur.

  • Di Mesir, Pakistan dan Malaysia.

Tokoh-tokoh Inkar Sunnah pada zaman moderen yang terkenal adalah Taufiq Sidqi, Gulam Ahmad Parvez, Rasyad Khalifah, dan kassim Ahmad. Taufiq Sidqi berasalal dari Mesir. Ia meningal dunia pada tahun 1920. Ia berpendapat bahwa sumber ajara Islam hanyalah satu, yaitu al-Qur’an. Gulam Ahmad Parvez adalah orang yang berasal dari India dan lahir di sana pada tahun 1920. Ia merupakan pengagum dan pengikut setia ajaran Taifiq Sidqi. Pendapatnya yang terkenal adalah bahwa tata cara shalat hanya tegantung kepada para pemimpin umat. Merekalah yang berhak menentukannya dengan cara musyawarah dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat setempat.

Sedang Rasyad Khalifah adalah seorang yang berasal dari Mesir dan menetap di Amerika Serikat. Ia berpendapat bahwa hadits-hadits hanyalah perilaku Iblis yang dibisikkan kepada Nabi Muhammad saw. Adapun Kassim Ahmad, dia berasal dari Malaysia dan dengan tegas mengatakan bahwa ia merupakan pengagum utama Rasyad Khalifah. Dalam bukunya Hadits Sebagai Suatu Penilaian Semula terdapat berbagai hujatan terhadap hadits-hadits Nabi. Dengan buku tersebut, ia berusaha mengajak Ummat Islam unutk meninggalkan hadits-hadits dan mencukupkan diri dengan al-Qur’an. Bahkan ia menuduh bahwa hadislan menjadisebab utama kemunduran Islam

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami