Selasa, 28 Mei 2013

Teologi Kemiskinan dan Pembangunan

Logo_UIN_Maulana_Malik_Ibrahim_Malang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembahasan teologi kemiskinan dan pembangunan ini merupakan pembahasan yang memiliki cakupan luas, hal ini juga bisa dikatakan sebuah pembicaraan mengenai sistem ekonomi islam. Pada hakikatnya manusia sudah mengenal masalah kemiskinan sudah beberapa abad silam. Semua agama dan filsafat sudah mencoba untuk mencari jalan keluar dari problem kemiskinan ini serta berupaya untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin tersebut. Antara lain dengan member pesan-pesan moral, mauidhah (wejangan), targhib (memberikan harapan baik) dan tarhib (memberikan sedikit ancaman, menakut-nakuti).

Saat ini, masalah kemiskinan dan masalah perekonomian secara umum telah menyentuh ranah intelektual dan hati banyak kalangan.  Membicarakan tentang teologi kemiskinan maka tidak akan lepas dari pembangunan, secara tematik, pada dasarnya sama dengan berbicara ikhwal teologi dalam kaitannya dengan pembangunan. Dengan ungkapan lain, adalah membicarakan masalah di sekitar teologi, serta sejauh mana keterkaitan antara keduanya.

Untuk itu, kiranya kita perlu menelusuri terlebih dahulu apakah teologi itu di satu pihak dan apa pula kemiskinan dan pembangunan di pihak lain, sebelum kita sampai pada analisis tentang hakekat teologi kemiskinan dan pembangunan itu sendiri.


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teologi

Secara etimologis, teologi berasal dari kata theos artinya Tuhan dan logos berarti ilmu, science, atau discourse. Dengan demikian Teologi adalah ilmu tentang ketuhanan, yaitu suatu disiplin ilmu yang berbicara tentang Tuhan dari segala segi yang berarti juga berhubungan dengan alam dan manusia. Teologi dalam istilah bahasa inggris, sebagaimana dikatakan Wiliam L. Reese mendefinisikan dengan discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan mengutip kata-kata Wiliam Ockham, Reese lebih jauh mengatakan,” Theology to be discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science.” (Teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan. perbuatan, pengalaman agama secara rasional.

Ilmu teologi membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.

Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut usul al-Din. Ajaran-ajaran itu disebut juga ‘aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan.Teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-tauhid . kata tauhid yang mengandung arti satu atau esa dan keesaan pandangan islam, sebagai agama monoteisme, merupakan sifat sifat yang terpenting diantara segala sifat-sifat tuhan. Selanjutnya teologi islam disebut juga ‘ilm al-kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan maka teologi dalam islam disebut ‘ilm al-kalam, karena soal kalam, sabda tuhan atau al-qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat islam diabad IX dan X masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim diwaktu itu.

2.2  Sejarah Kemunculan           

Menurut Harun Nasution bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari islam  dan barang siapa yang masih tetap dalam islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang terlibat dalam tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-maidah ayat 44. Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran golongan dalam islam, yaitu:

  1. Aliran Khawarij
  2. Aliran Murji’ah
  3. Aliran Mu’tazilah

Dalam islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan paham Qadariyah dan Jabariyah. Sebenarnya Islam tidak mengajarkan kedua hal tersebut. Yang diajarkan oleh Islam dan wajib diimani oleh umatnya adalah takdir. Qadariyah dan Jabariyah merupakan paham dan bukan ajaran didalam Islam. Karenanya, maka tak seorang pun umat Islam berkewajiiban untuk mengikuti dan mengimaninya. Dengan kata lain, mengikuti dan mengimaninya tidak mengakibatkan seseorang menjadi kafir bahkan juga tidak berdosa.[1] Menurut paham Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, yang berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatanya.

Aliran Murji’ah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional islam, terutama golongan Hanbali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hanbal. Meraka yang menentang ini kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al-hasan Al-Asy’ari (935 M). disamping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran diSamarkand  yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhamma Al-maturidi (w. 944 M). aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturidiyah.

Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran Asy’ariah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahlussunnah wal-jama’ah.[2]

2.3 Teologi Kemiskinan

Miskin atau kemiskinan dipahami sebagai ketiadaan harta atau ketidakberdayaan yang membuat seorang tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Dalam bahasa Arab, kata miskin berakar dari kata sakana, yaskun, sukun, yang secara harfiah berarti diam, tak bergerak. Jadi, miskin menunjuk pada kondisi diam, tanpa aktivisme dan dinamisme dalam hidup. Kemiskinan dalam semua bentuknya harus dicegah. Dalam Islam, kemiskinan dipandang sebagai dharar, yaitu sesuatu yang membahayakan. Setiap yang membahayakan tentu harus dicegah dan dihilangkan sesuai kaidah fikih, al-dharar yuzalu. Karena itu, bagi kaum Muslim, menghilangkan kemiskinan adalah wajib kifayah hukumnya.[3]

Untuk mencegah dan mengatasi problem kemiskinan, kaum muslim perlu memperhatikan paling tidak tiga hal yaitu :

  1. Memahami dengan benar sikap dan pandangan al-Quran tentang kemiskinan itu sendiri. Dalam al-Quran, Allah justru memberi pujian pada kehidupan yang berkecukupan. Pujian itu misalnya, diberikan dalam konteks pemberian aneka macam kenikmatan kepada Nabi Muhammad SAW. “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang miskin ( kekurangan ), lalu dia memberikan kecukupan“. ( QS. Dhuha [93] : 8 )[4]
  2. Melepaskan diri dari teologi Jabariyah yang fatalistic. Sebagian kaum Muslim masih ada yang berpandangan bahwa miskin adalah takdir dalam nasib yang tidak dapat di ubah. Sebagian yang lain berpandangan miskin adalah sesuatu yang mulia dan dipandang sebagai syarat mencapai derajat takwa. Pandangan seperti itu tentu tidak sebangun dengan semangat dan upaya pengentasan.
  3. Membangun etos kerja yang kuat. Dalam Islam, kerja dinamakan amal, dan amal adalah ibadah ( berpahala ). Tanpa kerja (amal) ajaran apapun termasuk agama, tentu kurang berguna. Iman sejatinya menjadi fungsional dan kehidupan hanya dengan amal. Bahkan amal dapat dipandang sebagai cara berada manusia (mode of existence). Ia dianggap ada bila ia bekerja dan berbuat untuk kemajuan dirinya, keluarga, masyarakat dan bangsa. Dalam konteks ini Rasulullah SAW berpesan agar kaum Muslim rajin dan giat belajar, tanpa bermalas-malasan serta menjauhkan diri dari sikap minta-minta. Sabdanya, “Sekiranya salah seorang dari kamu menagmbil tali, lalu membawa seikat kayu bakar diatas punggungnya lalu menjualnya, hal itu lebih baik baginya dari pada minta-minta kepada orang, bak ia diberi atau ditolak”. (HR. Bukhori).[5]

Para sosiolog dan antropolog umumnya berpendapat bahwa kemiskinan yang melanda manusia disebabkan karena adanya dua bentuk yaitu kemiskinan individual dan structural. Kemiskinan individual biasanya bisebabkan karena manusia itu sendiri yang malas-malasan,tidak mau bekerja,dll. Sedangkan kemiskinan structural disebabkan oleh struktur masyarakat itu sendiri. Kedua bentuk kemiskinan tersebut sangat kokoh dan kuat akarnya pada sebagian umat muslim karena kurang tepat dalam memahami hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah “ Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir”.[6] Hadits tersebut memberi spirit terhadap orang muslim agar seorang mukmin senantiasa bersikap dinamis dan progresif. Mereka tidak boleh terpesona oleh kesenangan duniawi. Jadi, hadits ini sebenarnya mengajarkan kepada umat muslim untuk tidak berfoya-foya atau dengan kehidupan yang ada di dunia ini.[7]

Dan menurut pendapat dari salah satu mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim, mereka mengatakan bahwa kemiskinan itu pada dasarnya disebabkan oleh 2 perkara yaitu : 1. diri mereka sendiri yang enggan untuk bekerja. Mereka hanya bisa berpangku tangan dan duduk termenung merenungi nasib mereka. Mereka tidak mau berusaha dan memanfaatkan kemampuan yang mereka miliki. Dengan keadaan yang seperti itu, tingkat kemiskinan yang berada disuatu daerah mulai bertambah dan cara yang paling ampuh untuk mengatasinya yaitu mereka harus berusaha mencari pekerjaan yang layak dan menghilangkan kemalasan mereka demi tercapainya suatu pembangunan yang lebih baik untuk diri mereka. 2. Kemiskinan yang mereka alami  itu merupakan takdir dari Allah SWT yang harus diterima dengan lapang dada tetapi mereka (si miskin) harus terus berusaha untuk merubah nasib mereka. Karena Allah tidak akan mrubah nasib seseorang seblum seseorang itu merubahnya sendiri.

2.4 Problem Kemiskinan dari pandangan beberapa aliran

1. Pandangan Pengkultus Kemiskinan

Kelompok ini terdiri dari orang-orang zuhud, rahib, dan mereka-mereka yang mengaku sebagai kaum sufi dan taqassyuf (tidak suka terhadap kesenangan dan kelezatan dunia). Mereka menganggap kemiskinan bukanlah sesuatu yang jelek dan perlu dihindari dan juga bukan masalah yang perlu diributkan untuk dicarikan solusinya. Kemiskinan justru merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai, agar mereka bisa mengingat kehidupan akhirat dan benci kehidupan duniawi, berhubungan langsung dengan Allah dan penuh kasih sayang terhadap sesama manusia.Berbeda dengan orang kaya yang selalu lalai, melampaui batas dan cenderung melakukan tindakan kejahatan.

Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa alam ini semuanya rusak. Dunia ini jelek dan hanya merupakan bencana. Dengan demikian orang yang berfikir normal harus tidak memperdulikan sebab-sebab yang bisa memperoleh kehidupan layak dan tidak perlu berinteraksi dengan manusia lain kecuali hanya untuk sekedar hidup.

2.  Pandangan Jabariyah

Kelompok kedua ini berbeda dengan kelompok pertama. Mereka menganggap kemiskinan memang merupakan bencana dan keburukan , tetapi sebagai “ ketentuan dari langit “ yang tidak bisa ditolak dan dientaskan. Kemiskinan yang diderita orang miskin dan kekayaan yang dimiliki orang kaya merupakan kehendak dan takdir Tuhan. Tetapi Allah sengaja ingin menganggap sebagian orang diatas yang lain dan memberi serta membatasi rizki untuk orang yang dikehendaki untuk menguji mereka. Dan tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya.

Solusi mereka agar keluar dari problem kemiskinan hanya terbatas pada pesan-pesan moral agar mereka (orang miskin) bisa rela menerima qada’ Allah. Mereka harus bisa sabar dan qanaah dalam menghadapi cobaan yang diberikan oleh Allah . Sebab qanaah merupakan gudang kekayaan yang tidak akan pernah rusak dan binasa.

3. Pandangan penyeru kesalehan Individual

Kelompok ketiga ini memiliki banyak kesamaan visi dengan kelompok kedua diatas dalam melihat fenomena kemiskinan. Bahwa dalam kemiskinan ada bencana dan kejahatan dan bahwa kemiskinan merupakan suatu problem kehidupan yang perlu dicarikan solusinya. Solusi yang ditawarkan kepada mereka tidak hanya terbatas pada sekedar memberikan pesan-pesan moral kepada orang-orang miskin agar rela dan berqanaah (seperti kelompok kedua).

Solusi yang ditawarkan ini sama sekali tidak menyentuh ketentuan berapa kewajiban yang harus dikeluarkan si kaya untuk si miskin, tidak menjelaskan sanksi atau hukuman bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut. Yang dijadikan pijakan adalah hati orang-oang mukmin, orang yang mau berbuat baik dan mengharapkan pahala dan takut siksa, pahala di akhirat kelak bagi mereka yang bersedekah dan berbuat baik sedangkan siksa bagi mereka yang bakhil dan kikir.  Model pandangan diatas banyak dianut oleh agama-agama sebelum Islam bahwa untuk mengentaskan kemiskinan cukup berpijak pada kebaikan individual dan sedekah sukarela dengan tidak memperdulikan pandangan al-Taqdisiyah (Pengkultus Kemiskinan) dan Jabariyah yang sempat menjadi pandangan hidup para pembesar agama.

4.  Pandangan Kapitalisme

Kelompok ini memiliki pandangan bahwa kemiskinan merupakan problem dan kesengsaraan hidup tetapi yang bertanggung jawab adalah si miskin itu sendiri, bukan nasib, takdir atau apa saja. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Ia memiliki kebebasan untuk memperlakukan harta yang dimilikinya sesuai dengan kehendak hatinya. Kelompok ini adalah kelompok Qarun, salah seorang dari kaum Nabi Musa yang kaya raya tetapi sombong. Allah telah menganugerahkan gudang begitu besar hingga untuk memikul kunci gudang tersebut saja oleh orang yang kuat sekalipun sangat terasa berat. Manakala ada kaumnya yang memberi nasehat seperti yang dilukiskan dalam Al-Qur’an.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Al-Qashash:77)[8]

Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al-Qashash:79) [1139] Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya.

Konsep atau pandangan para pengikut kelompok Qarunisme ini, mereka menganggap bahwa harta yang berhasil mereka kumpulkan adalah semata-mata atas kecerdasan dan kecerdikan mereka. Pemilik harta adalah orang yang paling berhak untuk memperlakukan harta tersebut sesuai dengan kehendak hatinya dibandingkan orang lain. Jika mereka berlaku baik (dermawan) kepada orang miskin, berarti mereka memiliki keistimewaan. Masyarakat (dalam pandangan mereka) harus diberi kebebasan untuk bekerja dan mengumpulkan harta dan menjadi miskin, masyarakat lain tidak perlu bertanggung jawab (memikirkan) atas ketidak dibebani untuk membantu ataupun berinfak untuknya, kecuali kalau memang memiliki rasa belas kasihan, ingin mendapat sanjungan dalam kehidupan dunia ini, atau bagi yang masih beriman, ingin mendapatkan pahala di akhirat kelak.

Inilah pandangan kapitalisme yang sebenarnya. Pandangan ini juga mendominasi Negara Eropa pada saat ini. Sehingga, tidak disangsikan lagi, kondisi masyarakat miskin yang hidup di Negara kapitalis seperti itu lebih terabaikan dibandingkan anak-anak yatim. Mereka tidak memiliki sandaran yang bisa dijadikan tempat mengadu.

5. Pandangan Sosialisme Marxis

Kelompok ini memiliki pandangan bahwa upaya untuk menghapus kemiskina dan menyadarkan orang-orang Islam tidak akan menjadi kenyataan kecuali dengan menghancurkan kelas-kelas borjuis, merampas harta mereka dan membatasi kepemilikan harta. Kelompok ini juga menghancurkan dasar-dasar kepemilikan bahkan mengharamkan kepemilikan harta bagi semua manusia dari manapun sumbernya. Ada sebagian orang mengatakan : Sosialisme menghendaki kebebasan setiap individu dan menjaga kehormatannya, tetapi kemudian disanggah dengan yang lain bahwa sosialisme memonopoli sumber-sumber produksi untuk masyarakat dan berusaha menegakkan kediktatoran kelas buruh.[9]

6. Pandangan Al-Asyari’ah

Aliran ini merupakan perpaduan kolaborasi antara Jabariyah dan Qodariyah. Dalam pandangan ini, menjelaskan bahwa adanya kemiskinan itu sudah menjadi kehendak Allah (takdir). Dan mereka (si miskin) harus terus berusaha dan bertawakkal kepada Allah SWT agar hidup mereka jauh lebih baik dari yang sebelumnya.

2.5 Sarana Pengentasan Kemiskinan

1. Bekerja ( al-‘Amal )

Semua manusia yang hidup dalam masyarakat dan komunitas muslim dituntut untuk bekerja, mengembara dimuka bumi dan makan rizki Allah, sebagaimana dituliskan dalam Al-Quran :

.رزقهمنوكلواكبهامنا فيمشوا فادلولا الأرض لكم جعل الدي هو

“ Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah dari sebagian rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan “. ( QS.Al-Mulk ; 15 ).[10]

Yang dimaksud dengan al-‘Amal disini adalah usaha serius yang dilakukan oleh manusia baik bersifat individu maupun kolektif untuk menghasilkan barang atu pelayanan. Usaha atau bekerja merupakan senjata pertama untuk memerangi kemiskinan. Ia adalah unsur pertama dalam rangka memakmurkan bumi yang telah diwakilkan kepada manusia oleh Allah.

2. Jaminan hidup dari family yang mampu

Islam menempatkan posisi kerabat atau famili dekat sebagai orang yang harus peduli dan saling membantu kesulitan kerabat yang lain. Yang kuat harus menanggung yang lemah. Yang kaya harus menanggung yang miskin. Ikatan cinta dan kasih sayang mereka juga kan semakin kokoh. Inilah hakikat kehidupan duniawi yang sebenarnya.

Islam sudah menegaskan hak kerabat. Dan dalam banyak ayat atupun hadits Nabi, Islam telah memberikan motivasi agar senantiasa berbuat baik kepada mereka dan tetap bersilaturrahmi. Sebaliknya, Islam dengan tegas mengancam orang-orang yang sengaja memutuskan tali persaudaraan dengan siksa yang sangat pedih.

Dalam firman Allah :

ان الله يأمر با لعد ل والإحسان وإيتاء دي القربي

“ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat “. ( QS. An-Nahl : 90 ).[11]

3. Zakat

Islam memerintahkan semua orang yang mampu untuk bekerja dan berusaha mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dirinya, keluarganya dan memberikan kontribusi material dijalan Allah (Sabilillah). Islam benar-benar tidak melupakan kelompok masyarakat malang ini. Allah SWT telah menetapkan hak yang pasti dan kewajiban yang ditetapkan untuk mereka dari harta orang-orang kaya, berupa kewajiban zakat. Tujuan pertama dari zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang kafir. Masyarakat fakir miskin merupakan sasaran pertama dari pengeluaran zakat.

Zakat bukan merupakan jumlah yang kecil dan sumber yang bisa disepelekan. Jumlahnya mencapai 10% atau 5% dari hasil tani. Tanpa zakat, seseorang tidak bisa dibedakan dari orang-orang munafik yang sifat-sifatnya dijelaskan oleh Allah dalam al-Quran :

ويقبضون أيديهم

“ Dan mereka menggenggamkan tangan mereka (berlaku kikir) “.

( QS. At-Taubah : 67 )[12] untuk memberikan derma, dan bahwa sesungguhnya mereka

. كارهونوهملا إينفقون لأ

“ Tidak pula menafkahkan (harta) mereka , melainkan dengan rasa enggan “. ( QS. At-Taubah : 54 )[13]

AL-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dan ia meriwayatkan dari Nabi bahwa Nabi saw bersabda : “ Barang siapa yang diberi karunia berupa harta kekayaan, kemudian tidak menunaikan zakatnya, pada hari kiamat dia menjelma menjadi makhluk yang buas dan botak, kemudian ia berkata : “ Akulah hartamu, akulah kekayaanmu “.[14]

4. Jaminan kas Islam dengan berbagai sumbernya

Sebelumnya, saya telah menjelaskan bahwa zakat merupakan sumber material negara yang pertama untuk mengentaskan kemiskinan dan menyediakan kebutuan masyarakat miskin dalam Islam. Saya juga akan menambahkan tambahan tentang semua sumber dana lain yang dimiliki oleh Baitul Maal ( kas Islam ). Baitul Maal merupakan cadangan terakhir bagi fakir miskin dan orang yang membutuhkan bantuan. Karena ia merupakan kekayaan masyarakat umum, bukan milik pemerintah atau golongan tertentu.

Jaminan ini tidak hanya terbatas pada fakir miskin saja. Ia juga mencakup ahl al-dzimmah yang terdiri dari orang-orang non muslim yang hidup dan tunduk atas pemerintahan Islam. Mereka juga memiliki hak untuk mendapat jaminan dan bantuan dari baitul maal seperti orang Islam.[15]

2.6  Teologi Pembangunan

Dalam konteks ini, teologi bukan sekedar berarti ilmu tauhid yang secara ontologis membahas wujud, asma dan sifat-sifat Allah. Sebagai mana yang difahami saat ini. Tetapi teologi dalam konteks ini menyangkut seluruh aspek dan aktivitas kehidupan manusia yang dipancari firman Allah, yakni. Namun, yang dimaksudkan Teologi pembangunan dalam makalah ini adalah suatu usaha untuk memberi relevensi duniawi kepada agama terhadap umatnya. Tanpa kita berteologi pembangunan maka kadar keimanan kitapun akan menjadi rendah, dan agama itu sendiri akan menjadi tidak relevan bagi umatnya. Bahkan mungkin akan harus menghadapi dakwaan umatnya bahwa agama dan pimpinannya merupakan penghambat perbaikan hidup umatnya.

Masalah pembangunan, dalam perjalanan historisnya, merupakan persoalan kebutuhan manusia (human needs) yang teramat penting artinya bagi proses kehidupan manusia baik secara individual, masyarakat ataupun suatu bangsa yang telah berkiprah meraih kemajuan. Karena hakekat pembangunan secara substansial adalah proses perubahan ke arah terwujudnya suatu kemajuan, yaitu suatu kondisi seperti yang dirumuskan oleh Kilpatrick sebagai “evolution toward an improved state of society, so that life therein is made better” (suatu evolusi ke arah keadaan masyarakat, sehingga hidup di dalam masyarakat tersebut menjadi lebih baik). Dengan perkataan lain, pembangunan adalah serangkaian aktivitas perubahan yang dilakukan dalam mewujudkan terciptanya kualitas hidup manusia yang lebih baik, lebih memadai dan lebih manusiawi dari pada kondisi sebelumnya.

Hubungan antara teologi di satu pihak dan pembangunan di pihak lalin pada dasarnya merupakan persoalan yang menyangkut bagaimana posisi atau kedudukan teologi (place of theology) dalam proses pembangunan, yaitu dalam kiprahnya berbagai aktivitas yang mengarah kepada kemajuan atau peningkatan kualitas manusia itu. Atau dengan ungkapan lain, bagaimana dan sejauhmana peran yang dapat diambil oleh teologi sehingga mampu memberikan kontribusi kualitatif dalam upaya pembangunan bangsa.

Dalam kaitannya dengan pembangunan ini maka posisi strategis teologi, secara sosiocultural, adalah bahwa teologi harus mampu berperan memberikan penjelasan yang dapat dimengerti secara gamblang serta mampu memberikan “makna yang terdalam” dari hakekat pembangunan itu sendiri, bagi manusia sebagai hamba tuhan yang paling mulia didunia ini (khalifatullahi fil ardhi).Mengembangkan teologi pembangunan pada dasarnya menyoroti tantangan pada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan Negara dalam pembangunan dalam terang iman dan tujuan agar tantangan dan permasalahan itu dengan demikian dapat dipahami secara lebih jernih, lebih mendasar, lebih luas dan lebih realistis dan selanjutnya agar dengan demikian dapat disambungkan gagasan-gagasan yang akan memampukan masyarakat, bangsa dan Negara untuk mengembangkan jawab-jawab yang setepat-tepatnya terhadap tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan itu.

Menurut saya, pembangunan yang dirasakan saat ini belum bisa mencapai keberhasilan yang kita harapkan. Semuanya itu membutuhkan proses yang cukup lama untuk membenahinya. Pembangunan itu membutuhkan keahlian dan keahlian itu membutuhkan waktu. Pembangunan juga membutuhkan modal yang cukup besar untuk maju yang lebih baik kedepannya. Modal uang dan keahlian yang dimiliki saat ini masih memperoleh belas kasihan dari Negara-negara maju. Sedangkan Negara kita yang  termasuk Negara Islam masih belum mampu mengeluarkan modal untuk pembangunan dalam mengentaskan masalah kemiskinan yang sering dihadapi oleh bangsa Indonesia, khususnya.

Di samping teologi pembangunan juga dikenal istilah teologi pembebasan. Di Amerika latin pada suatu ketika telah timbul kekecewaan yang sangat luas berhubung dengan hasil-hasil yang dicapai atau lebih tepat yang tidak dicapai dalam pembangunan. Oleh sebab itu amerika latin telah timbul keinginan yang cukup luas untuk meninggalkan pembangunan, sebab yang dianggap akan mampu untuk mengatasi kekecewaan itu dan membawa pembebasan dari ketergantungan, ketidakadilan dan seterusnya hanya perubahan yang radikal melalui semacam revolusi atau pling sedikit melalui suatu model pembangunan yang bersifat radikal.

Dalam iklim itulah di Amerika latin telah muncul pada suatu pihak teori ekonomi ketergantungan (dependencia) dan pada pihak lain teologi pembebasan. Dan sekarang Apakah arti pengalaman di Amerika latin itu bagi kita?Tujuan kita adalah tidak untuk meniru-niru tetapi justru untuk menghindari keadaan seperti yang terdapat di Amerika latin. Kita mengembangkan teologi pembangunan agar golongan-golongan agama dapat memberi sumbangan yang sebesar-besarnya dalam mengembangkan model pembangunan dan operasionalisasi pembangunan kita, sehingga kita terhindar dari kekecewaan berhubung dengan hasil-hasil yang dicapai atau lebih tepat hasil-hasil yang tidak dicapai dalam pembangunan, seperti yang terjadi di Amerika latin.

Sumbangan dari teologi pembangunan itu dalam mengembangkan model pembangunan dan operasionalisasi pembangunan kita, ialah terutama untuk ikut mengusahakan agar pembangunan kita itu menjadi proses pembebasan dari ketergantungan, dari keterbelakangan, dari kebobrokan moral, etik dan spiritual, dari ketidakmanusiawian, dari diskriminasi, dari ketidakbebasan, dari ketidakadilan dan dapat lagi kita tambahkan dari ancaman kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini diharapkan banyak dari teologi pembangunan dikalangan golongan-golongan beragama.[16]


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dijabarkan diatas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya arti Teologi itu tidak akan lepas dari ilmu Tauhid (Keesaan Allah) yang berlandasan al-Quran dan Hadits sesuai dengan tingkat keimanan yang mereka miliki. Dan merupakan ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Didalam Teologi, terdapat beberapa aliran-aliran dalam Islam diantaranya : aliran Khawarij, aliran Murji’ah, aliran Mu’tazilah, Jabariyah dan Qadariyah, serta ahlussunah wal jamaah. Setiap aliran itu mempunyai pandangan atau konsep yang berbeda. Dan kalau Teologi ini dikaitkan dengan masalah Kemiskinan dan Pembangunan maka arti teologi kemiskinan dan Pembangunan itu sendiri adalah suatu usaha bagaimana cara kita untuk memperbaiki keadaan kemiskinan yang sudah lama merajalela dikalangan daerah dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat.

Seseorang itu bisa dikatakan miskin apabila mereka tidak mempunyai apa-apa dan tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka. Dan semuanya itu bisa teratasi apabila mereka ada usaha untuk maju dan memperbaiki keadaan mereka yang seperti itu. Dengan adanya pembangunan yang yang lebih baik, maka segala bentuk kemiskinan bisa teratasi dengan mudah dan cepat. Karena suatu pembangunan itu ada dikarenakan ada kemiskinan. Dengan kata lain kemiskinan itu merupakan suatu masalah dan pembangunan itu merupakan cara penyelesaiannya.

Teologi Kemiskinan dan Pembangunan bertujuan untuk membuat kita menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. dengan adanya teologi kemiskinan diusahakan dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi angka kemiskinan. Maka percayalah وما الذة الا بعدا لتعب” ”dan tidak ada kenikmatan itu sebelum kepayahan”. Dan dengan adanya pembangunan hidup manusia akan terjadi perubahan yang semakin baik.


DAFTAR PUSTAKA

Qaradhawi, Yusuf. TEOLOGI KEMISKINAN : judul asli “Musykilat al-Faqr Wa Kaifa’ Alajaha al-islam”, Yogyakarta: Mitra Pustaka,2002.

Amin, Masyhur. TEOLOGI PEMBANGUNAN: Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU DIY,1989.

Chapra, Umer. Islam dan Pembangunan Ekonomi, Gema Insani Press: Jakarta, 2000.

www.google.com

www.republika.co.id

Al-Qur’an dan Al-Hadits


1. M. Masyhur Amin, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1989), hal 16, cet.pertama

2. Lihat Majalah UIN, penulis Ahmad Kholil, hal 14

3. www.republika.co.id

4. Lihat QS. Dhuha [93] : 8

5. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori

6. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah

7. www.google.com

[8] Lihat QS Al-Qashash : 77

9. Prof.Dr.Yusuf Qaradhawi, Teologi Kemiskinan, hal.1-10, cet. Ke- 1

10. Lihat QS. Al-Mulk ; 15

11. QS. An-Nahl : 90

12. QS. At-Taubah : 67

13. QS. At-Taubah : 54

14. Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhori

15. Prof. Dr. Yusuf Qaradhawi, Teologi Kemiskinan , hal.224, cet.ke-1

[16] Prof. Dr. Yusuf Qaradhawi, Teologi Kemiskinan , hal.225-227, cet.ke-1

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami