BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan - pesan al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode Bil Ma’sur, bir-Ra’yi, Tahlili (analitik), metode Ijmali (global), dan metode Maudhu’i (tematik).
1.2 Fokus Pembahasan
1. Pembahasan umum tentang Tafsir dan Ta’wil
2. Periodisasi tafsir
3. Berbagai metode penulisan tafsir
4. Berbagai aliran tafsir
5. Berbagai corak kitab tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PEMBAHASAN UMUM TENTANG TAFSIR DAN TA’WIL
Ada dua kata yang saling berkaitan dalam proses penafsiran Al-Qur’an, yaitu Tafsir dan Ta’wil. Baik kata Tafsir maupun Ta’wil, keduanya dijumpai dalam Al-Qur’an dan Hadits maupun atsar sahabat. Diantaranya di Surat Al-Furqon [25] ayat 33 dan Ali ‘Imron [3] ayat 7.
Secara etimologis, Tafsir ( (تفسر berarti menjelaskan, menerangkan, menampakkan, menyibak, dan merinci.[1] Sedangkan dalam arti terminologis berarti ilmu untuk memahami Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW serta menerangkan makna, hukum, dan hikmah (yang terkandung didalamnya.[2]
Sedangkan Ta’wil ( (تءويلberasal dari kata al-awl ( (الأولyang berarti kembali, kesudahan. Sedangkan dalam arti terminologis ada 2 penjelasan menurut Muhammad Husayn adz-Dzahaby. Pertama, menafsirkan suatu pembicaraan dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak. Dalam konteks ini Tafsir dan Ta’wil benar-benar sinonim. [3] Kedua, ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri. Kalau pembicaraan itu berupa tuntutan, maka ta’wilnya adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita, maka yang dimaksud adalah substansi dan sesuatu yang diinformasikan.[4]
Sebagian ulama’ mengatakan kedua kata tersebut adalah murodif (sinonim). Akan tetapi, sebagian yang lain mengatakan keduanya berbeda, diantaranya menurut Abu Thalib al-Tsa’labi, ta’wil lebih berorientasi pada pengabaran tentang hakikat yang dikehendaki. Sedangkan tafsir, lebih kepada informasi tentang dalil (informasi) yang dikehendaki.
Terlepas dari perbedaan tersebut, 2 hal tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu, menjelaskan Al-Qur’an dan sama-sama sebagai sarana untuk memahami Al-Qur’an.
2.2 PERIODISASI PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Tafsir pada masa Nabi dan sahabat
Nabi memahami Qur’an secara global dan terperinci. Dan adalah kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/–“9$#ur 3 !$uZø9t“Rr&ur y7ø‹s9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌh“çR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcrã©3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu az-Zikir, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl [16]:44).
Para sahabat juga memahami Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, sekalipun mereka tidak memahami detail-detailnya. Ibn Khaldun dalam muqoddimahnya menjelaskan bahwa Quran diturunkan dalam Bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balaghahnya. Karena itu semua orang arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosakata maupun susunan kalimatnya. ”Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui orang lain.
Abu ‘Ubaidah meriwayatkan pula melalui Mujahid dari Ibn Abbas, ia berkata: “Dulu saya tidak tahu apa makna fatirus samawati wal ard sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar tentang sumur. Salah seorang mereka berkata : “Ana fatartuha” maksudnya ‘ ana ibtada’tuha” (akulah yang membuatnya pertama kali). Atas dasar itu ibn Qutaibah berkata : Orang Arab itu tidak sama pengetahuaanya tentang kata-kata garib dan mutasyabih dalam Quran. Tetapi dalam hal ini sebagian merekamempunyai kelebihan atas yang lain.”
Para sahabat dalam mentafsirkan Al-Qur’an pada masa ini berpegang pada Al-Qur’an itu sendiri, penjelasan Nabi, dan Ijtihad mereka sendiri yang didasarkan pada apa yang dikatakan Nabi. Maksud dari menggunakan Al-Qur’an itu sendiri adalah bahwa suatu bagian ada penjelasaannya di bagian lain.
Periode Mutaqoddimin (Abad I – IV Hijriyah)
Pada periode ini, masih meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Pada zaman ini, mereka tidak menafsirkan secara keseluruhan, karena mereka hanya menafsirkan yang benar-benar mereka dalami dan kuasai. Dan penafsiran yang dilakukan para sahabat pada umumnya lebih menekankan pendekatan pada pengertian kosakatadan tidak melakukannya panjang lebar dan mendetaildan mereka membatasi diri pada penjelasan makna-makna etimologis yang sederhana dan singkat dan belum sama sekali belum dibukukan.
Periode Muta’akhirin (4 – 12 Hijriyah)
Ekspansi Islam sudah meluas dan masuklah berbagai pengetahuan dari orang-orang muallaf dan dipelajari oleh kaum muslimin. Pun peradaban dan kebudayaan Isalmpun juga berkembang di daerah. Akibatnya, tafsir Al-Qur’an pen berkembang sedemikian rupa dan menitikberatkan kepada pembahasan dari aspek-aspeknya yang tertentu sesuai dengan kecenderungan kelompok-kelompok mufassirin. Ada mufassirin yang lebih menekankan pada balaghohnya seperti Az-Zamakhsyari (467-538 H / 1074-1143 M). Ada kelompok yang semata-mata meninjau dan menafsirkan Al-Qur’an dari segi nahwunya seperti Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf Al-Andalusi (654-754 H/1256-1535 M), dlsb. Bahkan ada pula kitab tafsir dari golongan Mu’tazilah dan Syi’ah.
Periode Kontemporer
Periode ini, dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 hingga sekarang. Para penganut Islam telah sekian lama mengalami penindasan dan penjajahan dan mulai bangkit kembali. Dimana-mana umat Islam telah merasa dihinakan dan dirusak. Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat pesat. Mulailah dikenal yang namanya modernisasi Islam, dan hal itu tidak luput ke negara kita, Indonesia, seperti Tafsir Al-Azhar oleh Prof. Dr. Buya Hamka dan Tafsir Al-Mishbah oleh Prof.Dr. Quraish Shihab.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penafsiran Al-Qur’an semenjak zaman Nabi hingga sekarang, saling berkesinambungan yang tidak pernah putus. Hal ini semakin memperkuat bukti keaslian kitab suci.
2.3 BERBAGAI METODE PENULISAN TAFSIR
Metode Tafsir Ijmali (Global)
Secara definitif, metode ijmali (global) ialah mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global. Dalam metode ini, mufasir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.[5]
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili( analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :
Ø Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
Ø Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
Ø Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal : (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu.
Ø Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir.
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik.Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Ciri khas metode ijmali, antara lain. Petama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’i (tematik).
Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.
Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis.Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.
Metode Tafsir Tahlili (Deskriptif – Analitis)
Metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-quran dengan meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya,mulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antara pemisah (Munasabat), sampai sisi-sisi keterkaitan antara pemisah itu (Wajh al munasabat) dengan bantuan asbabun nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami Al Quran yang mulia ini. [6]
Para Mufassir tidak seragam dalam mengoperasionalkan metode ini.Ada yang menguraikannya secara ringkas dan ada pula yang menguraikannya secara terperinci. Kitab-kitab berikut ini menunjukkan keragaman itu: Tafsir Bi Al Ma’tsur, Tafsir Bi Ar-Ra’yi, Tafsir Ash-Shufi, Tafsir Al Fiqhi, Tafsir Al-Falsafi, Tafsir Al-‘Ilmi, Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i.
Metode Tafsir Maudhu’i (Tematik)
` Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat.[7] Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Al-quran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.[8]
Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) menurut istilah para ulama ialah
جمع الآيات القرآنية، ذات الهدف الواحد ـ التي اشتركت في موضوع ما ـ وترتيبها حسب النزول ـ ما أمكن ذلك ـ مع الوقوف على أسباب نزولها، ثم تناولها بالشرح والبيان، والتعليق والإستنباط.
Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan.[9]\
Metode tafsir maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Menurut Al-farmawi metode tafsir maudhu’i ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat.Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, dan sebagainya.
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja.
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal.Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain.Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut.Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh].Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.[10]
Benih-benih tafsir maudhu’i dapat di temukan dalam kitab-kitab tafsir seperti yang ditulis oleh Fakhr Ar-Razi, Al-Qurthubi dan Ibnu Al-Arabi, tetapi tokoh-tokoh itu tidak secara konsisten menerapkannya dalam karya-karya masing-masing, tetapi hanya beberapa bagian.
Namun, ada beberapa karya yang menggunakan metode penafsiran yang dekat dengan tafsir maudhu’i, seperti Al-Bayan fi Aqsam Al-Qur’an, karya ibnu AL-Qayyim, Majaz Al-Qur’an, karya Abu Ubaidah, An-Nasikh wa Al-Mansukh fi Al-Qur’an, karya Abu Ja’far An-Nahhas, Asbab An-Nuzul, karya Al-Wahidi, Ahkam Al-Qur’an, karya Al-jashshash.
Dalam mengamati karya-karya diatas, penulis melihat hal-hal berikut ini:
· Dalam Asbab an-nuzul terlihat bahwa penulisnya berusaha menghimpun ayat-ayat yang turun karena sebab-sebab tertentu.
· Dalam an-nasikh wa al-mansukh terlihat bahwa penulisnya berusaha mengimpun ayat-ayat yang katanya di “ hapus”, lalu dihimpun pula ayat-ayat yang “ menghapus” nya.
· Dalam majaz Al-Qur’an terlihat bahwa penulisnya berusaha menghimpun ayat-ayat yang mengandung redaksi-redaksi alegoris( majaz).
Metode maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur yang jelas sesungguhnya belum lama lahir.Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Ustadz Al-Jalil DR. Ahmad As-Sa’id Al-Kumi, Ketua jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar.Lalu diikuti oleh teman-teman dan mahasiswanya.
Prosedur metode maudhu’i (tematik) dapat di rumuskan sebagai berikut:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2. Menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiyah dan Madaniyah. Hal ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.
4. Mempelajari/memahami korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu surah).
5. Melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
6. Menyusun outline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil masalah.
7. Mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiranmenyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.[11]
Contoh: Potensi-potensi manusia dalam Alquran (masalahnya apa jawaban Alquran tentang potensi-potensi manusia, (2) mencari kata kunci yakni kata aql, qalb, nafs, ruuh, jasad, dan lain-lain, (3) diantara sekian ayat dipilih yang mewakilinya dan ditertibkan sesuai dengan Makkiyah Madaniyahnya, (4) melengkapi bahan-bahan dari hadis, (5) menyusun outline penelitian, (6) mempelajari secara seksama, dengan ilmu-ilmu yang dikuasai dan dapat memakai tafsir bil ma’tusr, tahlili atau lainnya, (7) menyusun hasil penelitian sebagai jawaban Alquran terhadap tema yang dibahas).
Dengan memperhatikan kompleksnya pembahasan proses kerja dalam penerapan metode tafsir maudhu’i, maka membutuhkan seorang mufassir yang betul-betul berwawasan luas maka keilmuannya terutama ketika meneliti berbagai ayat yang berhubungan dengan tema dan memilihnya secara representatif. Di samping seorang mufassir tabu tentang perangkat ulum Al-Qur’an terutama ilmu munasabah, asbab al-nuzul(kalau ada), tafsir bi al-ma’tsur, ilmu bahasa arab, juga si mufassir harus bersikap hati-hati dan tekun. Oleh karena itu, begitu urgensinya penerapan metoda ini dalam rangka mencari solusi jawaban Al-Qur’an terhadap permasalahan umat, maka setiap mufassir seharusnya melengkapi dirinya perangkat penerapan metode ini sehingga hasilnya dapat memuaskan. Kalau dilihat dari kompleksnya prosedur tafsir metode tafsir ini akan dapat menjawab permasalahan umat atau paling tidak akan lebih mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Allah swt. Karena metode ini di samping membiarkan ayat-ayat Al-Qur’an berbicara dengan dirinya sendiri, mencakup pendapat para sahabat, tetap memakai hadis-hadis Nabi, juga meng-sintesakannya dengan pengalaman kemanusiaan.
Metode Tafsir Muqaran (Perbandingan)
Tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki redalsi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang redaksinya hampir mirip, akan tetapi memiliki isi yang berlainan. Juga membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits-hadits. Terdapat tiga cara peanfasiran :
Pertama, membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki redaksi hampir mirip dengan maksud yang berbeda, seperti Al-An’am [5] :151 dengan Al-Isra’ [17] : 31.
Kedua, membandingkan Al-Qur’an dengan matan Hadits yang seolah bertentangan, padahal tidak. Seperti Al-Maidah [5] : 67 tentang perlindungan Allah atas Nabi dengan khabar yang mengatakan bahwa Nabi lepas giginya ketika perang Uhud.
Ketiga, membandingkan antara penafsiran ulama’ / aliran tafsir tertentu dengan yang lain.
Contoh kitab-kitab tafsir muqaran diantaranya, Durrot-ut Tanzil wa Qurrot-ut Ta’wil karya Khatib Al-Askafi.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali, Tahlili, Maudhu’i, Muqoron
a) Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.
Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada: (1). Proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum, (2). Terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain, dan (3). bahasanya yang akrab dengan bahasa al-Qur’an.
Adapun kekurangan metode ijmali adalah: (1) menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, (2) tidak ada ruang untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan metode ijmali adalah; Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasit, terbitan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al-Mirghani, dan Tafsir li al-Imam al-Jalalayn, karya bersama Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti. Karena kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, maka paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang banyak diminati, terutama oleh para mufassir kontemporer.
b) Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
Terkait dengan tafsir Al Qur’an dengan pendekatan Ra’yu ini tidak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut :
v Ruang lingkup yang luas.
v Dapat menampung berbagai ide yang ada.
Hal terpenting dari pendekatan dengan ra’yu ini adalah, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al Qur’an yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
Adapun kekurangan dari pendekatan ra’yu adalah sebagai berikut :
v Menjadikan petunjuk ayat al Qur’an yang ada bersifat parsial. Hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten karena adanya perbedaan, akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip.
v Melahirkan penafsiran yang bersifat subyektif. Hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.
v Masuknya pemiiran israiliat. Hal ini terjadi akibat dari terlalu lemahnya dalam membatasi pemikiran-pemikiran yang ada.
Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yuadalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.
c) Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Maudhu’i
Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain:
v Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
v Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
v Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
v Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.
Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain:
v Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
v Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.
a) Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqoron
Kelebihan metode tafsir Muqoron antara lain :
v Lebih bersifat obyektif dalam memahami kandungan Al-Qur’an karena menggunakan banyak perbandingan
v Kritis dan berwawasan luas, karena banyak dalil dan pendapat serta pemikiran yang digunakan
Kekurangan metode tafsir Muqoron antara lain :
v Tidak bisa digunakan untuk menafsirkan semua ayat Al-Qur’an seperti halnya pada metode tahlili dan ijmali
2.1 BERBAGAI ALIRAN TAFSIR
Tafsir bil ma’sur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah penjelasan Al Quran yang berasal dari Al Quran, juga dari Rasulullah yang pernah disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya. Tafsir bi al ma’tsur terbentuk melalui dua frase: pertama, fase periwayatan dengan lisan (syafahiyyah). Pada fase ini, para sahabat menukil riwayat penafsiran dari Nabi SAW. Dan disampaikan kepada sahabat lainnya.Para tabi’in menukil riwayat dari para sahabat dengan metode penukilan berupa sanad yang teliti dan saksama.Hal itu berakhir dengan datangnya fase kedua.
Fase kedua adalah pengodifikasian. Pada fase ini, di bukukanlah riwayat-riwayat penafsiran yang disebarkan pada fase pertama. Pada mulanya riwayat-riwayat penafsiran ini merupakan salah satu bab dari bab-bab kitab hadits kemudian berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu. Ditulislah kitab-kitab tafsir yang memuat Tafsir bi al ma’tsur dan disertakan bersamanya sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW.Atau sahabat, atau tabi’in, atau tabi’-tabi’in. di antara kitab-kitab Tafsir al ma’tsur yang ada, Tafsir Ath Thabari-lah yang paling baik.Sebab, kitab ini menuturkan banyak pendapat penafsiran lalu menyeleksinya.[12]Kitab ini menyertakan pula, terutama jika diperlukan, I’rab dan hukum-hukum yang diambil dari ayat-ayat Al Quran.
Setelah itu, datanglah sekelompok mufassir yang mengodifikasikan tafsir al ma’tsur tanpa menyertakan sanad-sanadnya, sehingga tidak jelas mana riwayat yang shahih dan mana yang ternoda.Dampaknya, pembacanya tentu saja merasa ragu sebab khawatir bila riwayat itu hanya dibuat-buat saja.Ternyata memang dalam kitab tafsir banyak ditemukan riwayat-riwayat palsu itu. Namun, Alhamdulillah, penelaahan serius yang dilakukan oleh para ulama dapat menyingkap kepalsuan riwayat-riwayat itu.
Di antara kitab tafsir yang menggunakan aliran ini adalah: jami’ Al Bayan fi Tafsir Al Quran, karya Ath Thabari (w.310 H.), Ma’alim At Tanzil, karya Al-Baghawi (w. 561 H), Tafsir Al Quran Al Azhim, karya Ibnu Katsir (w. 774 H.), AD Durr Al Ma’tsur fi Tafsir bi Al Ma’tsur, karya As Suyuthi (w. 911 H.)
Tafsir bir-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata. Tidak termasuk kategori ini pemahaman (terhadap al-qur’an) yang sesuaia dengan roh syari’at dan didasarkanpada nas-nasnya. Ra’yu semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah. Dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut mazhab batil. Mereka mempergunakan Al-Qur’an untuk dita’wilkan menurut pendapat pribadiyang tidak mempyunyai dasar pijakan berupa pendapat atau tafsiran ulama’ salaf, sahabat dan tabi’in. Golongan ini telah menulis kitab tafsir menurut pokok-pokok mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-Asam, al- Juba’I, ‘Abdul Jabbbar, ar-Rummani, Zamakhsyarin dan lain sebagainya.[13]
Di antara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi ar-ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Di antara mereka, ada yang lebih menekankan pada telaah balaghah seperti Imam Az-Zamakhsyari, atau telaah hukum syara’ seperti imam Al-Qurthubi atau telaah keistimewaan bahasa seperti Imam Abi As-Su’ud atau telaah Qiraah seperti Imam An-Naisabur dan Imam An-Nasafi, atau telaah madzhab dan filsafat seperti Imam Ar-Razi, atau telaah lainnya.Hal ini dapat difahami sebab disamping sebagai seseorang mufassir, seseorang dapat juga ahli dalam bidang fiqih, bahasa, filsafat, astronomi, kedokteran, atau, kalam.
Dengan demikian, tatkala ada ayat Al Quran yang berkaitan dengan disiplin yang dikuasainya, mereka mengeluarkan sebuah pengetahuan tentangnya hingga terkadang mereka lupa akan inti dari ayat yang bersangkutan.Dari sana, muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana yang kita lihat saat ini. Ada tafsir Ar-ra’yi yang dapat diterima dan ada pula yang ditolak. Dintara karya tafsir bi Ar-ra’yi yang dipercaya adalah: Mafatih Al-Ghaib, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-ta’wil, Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq At-Ta’wil, Lubah At-ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil.
Aliran penafsiran ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru, melainkan telah dikenal pula sejak turunnya Al Quran kepada Rasulullah SAW. Hal itu diisyaratkan sendiri oleh Al Quran dan Nabi pun memberitahukannya kepada para sahabat.Beliau bersabda, “Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin.Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu.Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya”.
2.4 BERBAGAI CORAK KITAB TAFSIR
Dilihat dari segi isi ayat Al-Qur’an dan kecenderungan penafsirannya, terdapat sejumlah corak penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, atau dilaht dari segi pengelompokan ayat-ayat berdasarkan isinya. Diantaranya :
Tafsir Falsafi, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat.
Tafsir ‘Ilmi, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang pembahasannya menggunakan pendekatan istilah-istilah ilmiah dalam mengungkapkan Al-Qur’an dan seberapa dapat melahirkan berbagai macam cabang ilmu yang berbeda dengan filsafat.
Tafsir Tarbawi, berorientasi pada ayat-ayat pendidikan.
Tafsir Akhlaqi, cenderung kepada ayat-ayat yang menyinggung masalah Akhlaq dan menurut pendekatan ilmu-ilmu Akhlaq.
Tafsir Ahkam / Fiqhi, tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an. Berlainan dengan 4 corak tafsir sebelumnya yang keberadaannya masih diperdebatkan ulama’, tafsir model ini bisa diterima oleh semua golongan mufassirin.
BAB III
PENUTUP
Setelah dijelaskan panjang lebar di bab sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa Tafsir Al-Qur’an adalah ilmu yang sangat penting keberadaanya. Tanpa keberadaanya, kita akan sulit memahami Al-Qur’an. Mulai dari banyaknya metode yang digunakan, corak yang mewarnai, dan pemahaman dan peruntukan yang berbeda-beda. Kemudian panjangnya periodosasinya dan para ulama’ yang berperan dan menyumbangkan pemikirannya membuat ilmu ini laksana mahakarya yang amat berharga.
Dan karena ilmu Tafsir ini berkaitan langsung dengan penafsiran Al-Qur’an, khususnya masalah hukum dan dalil, membuat ilmu ini perlu dipelajari agar kita tidak salah dalam memahami Al-Qur’an dan tidak asal mengeluarkan fatwa atau ketetapan hukum. Karena yang demikian itu sangatlah berbahaya dan berkaitan dengan ibadah kita kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan,Manna Khalil. 2011. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nus
Anwar, Rosihon.2009. Pengantar ulumul Quran, Jakarta: CV Pustaka Setia
Ash-Shobuny, Muhammad Ali. 1998. Study Ilmu Al-Qur’an : At-tibyaan Fii Uluumil Quran (Alih Bahasa : Aminuddin), Bandung : CV Pustaka Setia
Djalal, Abdul. 1990. Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia.
Ma’luf, Luia. 1987. Al Mun jid fii al-Lughah wa al-A ‘lam, Beirut: Dar al-Masyriq.
Mustakim, Abdul. dkk. 2002. Studi Al-Quran Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Suma, Muhammad Amin. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2, Jakarta : Pustaka Firdaus
http://rumahlain-luqmanamirudin.blogspot.com/2008/08/model-penafsiran-al-quran.html Sabtu, 05 Mei 2012
http://maragustamsiregar.wordpress.com/2011/01/10/metode-tafsir-maudhui-tematik-oleh-h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/ Kamis, 10 Mei 2012
http://siskanajwa.blogspot.com/2011/12/metode-tafsir-maudhui.html Kamis, 10 Mei 2012
[1] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2 hal. 15
[2] Ibid. hal. 18
[3] Ibid, hal. 19
[4] Ibid, hal. 20
[5] Rosihon Anwar,Pengantar Ulumul Qur’an, CV Pustaka Setia, Bandung,2009. Cet: I., hal. 155
[6] Rosihon Anwar,Pengantar Ulumul Qur’an, CV Pustaka Setia, Bandung,2009. Cet: I., hal. 148
[7]. Luia Ma’luf, Al Mun jid fr al-Lughah wa al-A ‘lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1987, hal. 905.
9. Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hal. 83-84.
10.http://siskanajwa.blogspot.com/2011/12/metode-tafsir-maudhui.html Kamis, 10 Mei 2012
[10]. http://siskanajwa.blogspot.com/2011/12/metode-tafsir-maudhui.html Kamis, 10 Mei 2012
[11] Rosihon Anwar,Pengantar Ulumul Qur’an, CV Pustaka Setia, Bandung,2009. Cet: I., hal. 165
[12] Rosihon Anwar,Pengantar Ulumul Qur’an, CV Pustaka Setia, Bandung,2009. Cet: I., hal. 149
[13] Manna Khalil ai-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an,2011, Bogor,Pustaka Litera Antar Nusa, cet: 14., hal. 17
0 komentar:
Posting Komentar