Selasa, 28 Mei 2013

EKONOMI DAN TEKNOLOGI INFORMASI & KOMUNIKASI

UIN MMI colour KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah yang berjudul Ekonomi dan Teknologi Informasi & Komunikasi atau Economy and Information & Comunication Technology (ICT) yang mana di dalamnya terdapat pembahasan yang terkait dengan produktivitas paradoks, evaluasi investasi ICT dan kerugian ICT, aspek ekonomi dan ICT.

Shalawat salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari alam kebodohan menuju alam paripurna ilmiah sehingga kita dapat mengerti akhlak, tata krama dan syari’at yang mana kita dapat mengetahui benar dan salahnya suatu perbuatan.

Makalah ini kami susun untuk penelaahan sebuah bab dalam mata kuliah Sistem Informasi Manajemen, yaitu Ekonomi dan ICT. Dan pada diskusi kita nanti tentang bab ini, kita akan membahas mendalam mengenai kaitan pengaruh antara ICT terhadap perkembangan ekonomi.

Pada akhirnya, kami menyadari bahwa gading yang sempurna adalah gading yang punya retak. Tentunya, banyak kesalahan dan kekurangan yang perlu dikoreksi dalam tulisan kami. Untuk itu, masukan-masukan yang membangun akan kami sambut dengan senang hati. Semoga tulisan kami ini membawa manfaat bagi pembaca.

Malang, 19 Mei 2013

Penyusun


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi telah menjadi faktor kunci pertumbuhan ekonomi di negara maju dan berkembang. Dalam ekonomi pengetahuan, informasi beredar di tingkat internasional melalui perdagangan barang dan jasa, investasi dan teknologi arus langsung, dan pergerakan orang. Teknologi informasi dan komunikasi (ICT) telah di jantung perubahan ekonomi selama lebih dari satu dekade. Sektor ICT memainkan peran penting, terutama dengan berkontribusi terhadap kemajuan teknologi yang pesat dan pertumbuhan produktivitas. Perusahaan menggunakan ICT untuk mengatur jaringan transnasional sebagai respons terhadap persaingan internasional dan meningkatnya kebutuhan untuk interaksi strategis. Akibatnya, perusahaan-perusahaan multinasional adalah kendaraan utama dari proses everspreading globalisasi.

Teknologi baru dan pelaksanaannya dalam kegiatan produktif mengubah struktur ekonomi dan memberikan kontribusi untuk peningkatan produktivitas dalam ekonomi. Daya saing ekonomi tergantung pada tingkat produktivitas dan dalam ekonomi pengetahuan, sektor ICT menentukan tingkat produktivitas. Akibatnya, kita dapat mengatakan bahwa kekuatan daya saing ekonomi suatu negara tergantung pada produktivitas sektor ICT nya. Ada dua cara untuk meningkatkan produktifitas penggunaan ICT dan untuk meningkatkan kekuatan daya saing.

Pertama-tama, jika negara-negara yang dipilih memecahkan masalah inefisiensi mereka dengan realokasi sumber daya, mereka dapat meningkatkan produktifitas dari sektor ICT dan sebagai hasilnya mereka bisa lebih kompetitif. Kedua, perbaikan teknologi di negara-negara menciptakan harapan tentang peningkatan produktifitas sektor ICT untuk masa depan. Jika akan ada perbaikan teknologi berkelanjutan dengan inovasi, maka akan menyebabkan peningkatan berkelanjutan dalam produktifitas sektor ICT dan akibatnya akan menyebabkan peningkatan yang berkelanjutan dalam daya saing.

1.2. Fokus Pembahasan

1.2.1. Tren Keuangan & Ekonomi dan Paradoks Produktifitas

1.2.2. Mengevaluasi investasi ICT dari segi manfaat dan biaya

1.2.3. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan investasi ICT

1.2.4. Aspek ekonomi dari ICT

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Tren Keuangan & Ekonomi dan Paradoks Produktifitas

Seperti diketahui, lebih dari lima dekade kita menyaksikan perusahaan perusahaan berlomba membangun teknologi komputerisasi robot dan telekomunikasi. Proses ini dimulai di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang pada 1960-an dan kemudian menyebar keseluruh dunia pada dekade terakhir. Pada tahun 1980 sampai 1990-an saat pengembangan komputerisasi menjadi standar dalam perusahaan dan terdapat keyakinan bahwa teknologi komputer memberikan solusi total bagi manajemen dan tidak dipungkiri meningkatkan produktifitas yang dicapai dari faktor produksi dan kinerja bisnis kebanyakan perusaahaan memilih untuk mengenalkan TI sebagai sistem pengolahan data, sistem informasi manajemen dan sistem informasi strategik. Sejak akhir 1970-an, teknologi menjadi investasi besar bagi perusahaan. Faktanya hingga saat ini hampir 50% investasi bisnis di AS adalah di bidang TI. Namun keluaran yang dihasilkan tiap jam pekerja justru menurun dari rerata keuntungan yang diperoleh sebesar 3,4% pertahun menjadii 1,2% pertahun antara 1979 dan 1994 (siegel, 1999).[1]

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, triliunan Dolar Amerika telah diinvestasikan oleh berbagai perusahaan untuk membangun teknologi informasinya. Tercatat pada tahun 2000 sekitar dua triliun Dollar telah dialokasikan oleh berbagai perusahaan diseluruh dunia untuk membeli dan menerapkan teknologi ini, dan diperkirakan pada tahun 2004 nilai ini akan mencapai sekitar tiga triliun dollar (Strassmann,1997a). Namun demikian, sehingga saat ini masyarakat dan para pratiksi industri masih mengalami kesulitan untuk membuktikan atau memperlihatkan bahwa investasi sebesar itu benar-benar tidak percuma, dalam arti kata secara nyata terlihat adanya peningkatan output produk dan jasa yang diciptakan secara signifikan (Strassmann,1997b). Fenomena “ketidakcocokan” atau “ketidakseimbangan” antara besaran investasi yang dikeluarkan untuk keperluan teknologi informasi dengan ukuran total output yang dihasilkan dideskripsikan sebagai sebuah “IT Productivity Paradox” (Paradoks Prodiktivitas)-sebuah isu yang hingga saat ini masih hangat dibicarakan dikalangan akademisi maupun pratiksi teknologi informasi semenjak tahun 1980-an (Roach,1994).[2]

Berdasarkan fakta dan definisi di atas, para pakar berusaha keras untuk mendapatkan penjelasan yang logis mengenai mengapa fenomena paradoks produktivitas tersebut terjadi. Dari hasil kajian mereka, alasan mengapa terjadinya paradoks tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu masing-masing mengkristal menjadi kesimpulan sebagai berikut (Willcocks, dkk. 2000):

1. Permasalahan analisa dan representasi data tidak memperlihatkan terjadinya peningkatan produktivitas.

2. Manfaat yang diperoleh oleh teknologi informasi tidak terlihat karena adanya kerugian di area lain; dan

3. Peningkatan produktivitas tidak terlihat karena adanya kegagalan penerapan teknologi informasi atau tingginya alokasi biaya teknologi informasi.

Para ekonom mendefinisikan “produktivitas” dengan cukup mudah, yaitu jumlah keluaran (output) dibagi dengan jumlah masukan (input). Besaran output dihitung dengan cara mengalikan jumlah produk yang dihasilkan dengan nilai (value) rata-rata dari produk tersebut; sementara besaran input didapatkan dari jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan seluruh output tersebut. Angka rasio yang didapatkan dari hasil pembagian antara output dengan input diatas dikenal dengan labor productivity. Jika sumber daya lain seperti misalnya besaran investasi dan kebutuhan material dimasukkan sebagai bagian dari input, maka angka rasio yang dapat dikenal sebagai multifactor productivity. Ternyata dalam dunia teknologi informasi, rumusan sederhana ini belum tentu secara “kongkrit” memperlihatkan atau mempresentasikan terjadinya kenaikan atau penurunan prodiktivitas seperti yang umum dipergunakan pada aktivitas lain seperti rosess manufaktur atau produksi. Hal ini disebabkan karena berbeda dan baragamnya asumsi terhadap variabel input maupun outut yang dipergunakan.[3]

Misalnaya pada industry jasa seperti kesehatan dan pendidikan. Sangat sulit untuk menentukan kuantitas atau karakteristik apa yang dikatakan sebagai output. Dalam industry kesehatan misalnya, apakah yang dimaksud dengan entity output adalah pasien yang dilayani, atau pasien yang berhasil disembuhkan, atau pasien yang menjalani proses penyembuhan, dan lain sebagainya. Demikian pula dibidang pendidikan, apakah output yang dimaksud berkatan ketatat dengan jumlah mahasiswa yang lulus, atau jumlah mahasiswa yang berhasil lulus tepat waktu, atau jumlah mahasiswa yang “diluluskan”, dan lain sebagainya. Ini baru hal yang berkait dengan sesuatu yang dapat diukur dan dilihat (kuantitaf dan tangible), sebelum dipertimbangkan faktor-faktor lain yang bersifat unquantifiable dan intangible seperti kualitas dari output yang dihasilkan. Dengan kata lain, masing-masing orang akan mencoba mendefinisikan output yang dimaksud sesuai dengan kepentingan dan relevansinya masing-masing, sehingga pengukuran produktivitas pun menjadi sangat relative sifatnya.[4]

Dari segi input, yang dalam hal ini terkait erat dengan alokasi sumber daya keuangan yang diinvestasikan untuk pengembangan teknologi informasi, terlihat bahwa ternayta pemakaian teknologi informasi didalam sebuah perusahaan bersifat sistemik, dalam arti kata menyebar diseluruh proses inti dan aktivitas penunjang yang ada, sehingga sangat sulit untuk menentukan proporsi nilai investasi terhadap sebuah rangkaian proses tertentu atau sub-sistem tertentu yang ingin dihitung produktivitasnya. Contohnya adalah investasi untuk membeli sebuah mesin ATM yang ternyata tidak saja berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas pada proses pelayanan terhadap pelanggan (dibandingkan dengan menggunakan teller), tetapi berpengaruh pula terhadap aktivitas terkait lainnya seperti: mempercepat proses transfer antar rekening, mengurangi biaya komunikasi dan transaksi, meningkatkan rasa aman pelanggan, mempertinggi rasa kepuasan nasabah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, “tidak adil” rasanya jika investasi tersebut hanya dibebankan semata pada sebuah proses atau sub-sistem tertentu sementara konstribusi manfaatnya dirasakan pula oleh berbagai proses lain di dalam perusahaan.

Oleh karena itu dapat dimengerti betapa sulitnya mencari rumusan produktivitas yang benar-benar menggambarkan keadaan yang sebenarnya dalam arti kata secara kongkrit merepresentasikan manfaat yang diberikan oleh teknologi informasi per satuan investasi yang dialokasikan. Hasil riset memperlihatkan lebih banyaknya hasil perhitungan yang cenderung underestimate dampak produktivitas yang sebenarnya (kenaikan produktivitas tersembunyi dibalik angka-angka dengan asumsi yang “keliru”) dibandingkan yang overestimate.

2.2. Mengevaluasi investasi ICT dari segi manfaat dan biaya

Pada dasarnya organisasi semacam perusahaan merupakan merupakan sebuah system yang terdiri dari berbagai entiti yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Katakanlah penggunaan sebuah aplikasi teknologi informasi di salah satu divisi berhasil meningkatkan produktivitas karyawannya pada divisi terkait dan memindahkannya di divisi lain. Akibatnya secara total system, jika diukur produktivitasnya, Nampak tidak terjadi peningkatan yang berarti karena pada divisi baru tersebut, karyawan yang ada hanya akan menjadi beban tambahan overhead semata.[5]

Contoh lainnya adalah penerapan electronic commerce yang memungkinkan seorang pelanggan untuk melakukan pemesanan produk melalui internet untuk dapat diantarkan langsung kerumah (delivery) pada hari yang sama. Pada proses penjualan, jelas terjadi peningkatan produktivitas dalam arti kata menungkatnya frekuensi pemesanan oleh pelanggan. Namun untuk dapat memenuhi delivery dalam kurun waktu 24 jam seperti yang diinginkan, terpaksa perusahaan harus memiliki armada ekspedisi atau kurir tambahan untuk melakukannya, yang jika dihitung-hitung secara keseluruhan justru terkesan menurunkan produktivitas perusahaan.

Kedua contoh diatas memperlhatkan bagaimana manfaat dari teknologi informasi di satu tempat ter-offset dengan kerugian ditempat lain di dalam sebuah organisasi. Sehingga jika dilakukan perhitungan produktivitas secara menyeluruh, hampir tidak terlihat peningkatan yang signifikan. Bahkan tidak mustahil justru terjadi “penurunan” dari hasil perhitungan produktivitas yang ada.

Berbeda dengan kedua kesimpulan terdahulu dmana manfaat signifikan yang berhasil disumbangkan oleh teknologi informasi termarginalkan oleh beberapa aspek terkait, maka kesimpulan ketiga ini bersumber dari kenyataan bahwa teknologi informasi memang tidak memberikan konstribusi apapun terhadap tingkat produktivitas. Bahkan cenderung “memperburuk” kinerja produktivitas perusahaan secara keseluruhan.

Hasil kajian memperlihatkan adanya dua penyebab utama terjadinya hal ini. Hal pertama berasal dari gagalnya penerapan teknologi informasi karena berbagai faktor penyebab internal maupun eksternal. Dalam kerangka ini jelas terlihat bahwa investasi telah keluar secara percuma dan tidak dapat dikembalikan lagi. Hal kedua terjadi karena tingginya biaya pemeliharaan dan pengembangan teknologi informasi yang harus ditanggung perusahaan. Sehingga walaupun secara bisnis telah terjadi peningkatan output, membengkaknya biaya overhead pemeliharaan maupun pengembangan teknologi informasi telah menyebabkan tingginya faktor input yang dibutuhkan-sehingga secara langsung berdampak pada perhitungan produktivitas.

Dengan memahami dan mempelajari fenomena paradoks tersebut, terlihat betapa sulit dan kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi dalam rangka mencari relasi antara besaran investasi yang dialokasikan dengan manfaat yang diperoleh perusahaan terkait dengan peningkatan produktivitas. Sudah hampir 25 tahun paradoks in diperbincangkan, dan selama itu pula perdebatan antara sejumlah kubu yang sepakat dan menantang adanya paradoks ini berlangsung. Suka atau tidak suka, mau tidak mau, pada kenyataannya filosofi “business is business” yang akan mendominasi manajemen pengambilan keputusan dalam menentukan apakah perusahaan perlu untuk mengalokasikan sejumlah sumberdayanya untuk mengembangkan teknologi informasi. Pada kenyataannya cukup banyak manajemen yang tidak peduli dengan adanya paradoks ini karena mereka yakin betul bahwa tidak ada perusahaan yang bisa survive dewasa ini tanpa melibatkan teknologi informasi.

2.3. Ragam Teknik Evaluasi Investasi Proyek Teknologi Informasi[6]

Semenjak computer dan teknologi informasi memegang peranan penting di dalam dunia bisnis, banyak sekali literature yang membhas bagaimana caranya menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangkan teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di kalangan pratiksi bisnis.

Return-On-Investment (ROI)

Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe, 1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang telah dialokasi. Namun sebagan kalangan menganggap pendekatan ini terlalu sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa depan dan “memproyeksikan” besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama Net Present Value (NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata IRRtersebut lebih besar dari hurdle rate of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada dibawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi para pengambil keputusan dan menentukan apakah investasi pada proyek teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai penghitungan IRR lebih besar dari ambang rasio yang dicanagkan, misalnya lebih besar dari bunga deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya-maka manajemen dengan leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar dan dinilai cukup mendasar dari metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya, karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk ditentukan, yaitu:

1. Banyak sekali elemen ketidak pastian dikemudian hari terkait dengan manfaat yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini disebabkan selain banyaknya manfaat yang bersifan kuantitatif dan intangible, perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relative).

2. Suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada waktunya, terutama proyek dalam luang lingkup besar dan kompleksitas tinggi. Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya proyek tersebut selesai tepat waktu pun , terkadang masih perlu dilakukan perbaikan atau pengembangan disana-sini karena adanya perubahan kebutuhan bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk menyelesaikan proyek terkait.

Statistik memperlihatkan, walau banyak perusahaan yang masih menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi infoemasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode ini.

Cost-Benefit Analysis (CBA)

Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki konstribusi terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King dkk, 1978). Pada mulanya metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknaya elemen terkait-seperti manfaat harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi sebuah system teknologi yang memiliki potensi untuk menyelamatkan nyawa satu orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memilki value yang jelas dicoba untuk dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke dalam satu mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah dikenal luas.

Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak jelas tersebut.

Multi-Objective, Multi-Criteria Methods (MOMC)

Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah MOMC (Vaid-Raiza, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu ultility. Setiap proyek teknologi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau persepektif yang berbeda terhadap obyek tersebut, maka masing-masing pihak berhak melakukan pembobotan(fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada (misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi proyek dengan multi obyektif, sangat tepat digunakan untuk meredam konflik yang terjadi anatara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah dimungkinkannya dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak sekali dijual dipasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness).

Boundary Values (BV)

Metode ini merupakan salah satu cara heuristic yang cukup banyak digemari karena kemudahan dan kesederhanaannya (Martin, 1989). Prinsip yang dipergunakan adalah melakukan komparsi atau perbandingan antara rasio perusahaan dengan rasio rata-rata industry yang diperoleh dengan cara menghitung biaya total yang harus dikeluarkan untuk biaya investasi teknologi informasi dibandingkan dengan sebuah ukuran agregat tertentu, seperti total pendapatan(revenue) atau total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan.

Sementara jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula digunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio biaya teknologi informasi perkaryawan atau perbandingan antara manfaat teknologi informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula menilai kinerja efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan dengan pesaingnya, sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.

Return-On-Management (ROM)

Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985). Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah system baru terhadap nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan nilai tambah dari masing-masing sumber daya termasuk modal (capital), kecuali biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah system baru adalah selisih antara ROM sebelum system tersebut diimplementasikan dengan ROM setelah system tersebut diimplementasikan. Tantangan menggunakan metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya terkait dengan dikemudian hari seandainya system tersebut diimplementasikan. Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik dibandngkan dengan metode expost evaluation lainnya.

Information Economic (IE)

Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satu-satunya cara yang paling komperehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor dan karakteristik unik – serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi-dalam mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker, dkk. 1987). Dalam prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang disesuaikan secara khusus untuk menjawab bebbagai faktor ketidakpastian (uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi informasi. Dalam IE semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan sejumlah teknik dengan menggunakan rangking dan scoring. Hasilnya kemudian dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relative dari aspek yang bersifat tangible dan intangible. Singkatnya metode ini bertujuan untuk mengidentifikasikan, mengukur dan me-rangking dampak ekonomis yang timbul akibat diimplementasikannya system baru (perubahan knerja organisasi). Metode ini dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses tambahan yang diberlakukan, yaitu:

· Value Linking – yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah system baru.

· Value Acceleration – yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang akan dinikmati oleh perusahaan seandainya system baru dipergunakan; dan

· Job Enrichment – yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya system baru.

Secara ringkas IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang penuh ketidak pastian baik secara strategis maupun operasional, dan terutama yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang kompleks dan cukup memakan waktu.

Critical Success Factors (CSF)

Metode ini bersifat sangat strategis dan generic, namun diminati oleh para pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah menentukan visi, misi dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan berusaha untuk mengidentifikasi critical success factors atau faktor-faktor apa saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CFS berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu persatu, apa saja konstribusi teknologi informasi sangat besar terhadap pencapaian sebuah CFS, maka seyogyanya perlu dilakukan investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CFS adalah: “pelayanan prima kepada pelanggan dseluruh dunia” dimana investasi untuk membangun sebuah system Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.

Value Analysis (VA)

Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible (Melone, dkk. 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa lebih baik menfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan terhadap biaya semata. Untuk mandapatkan value yang optimal, kajian terhadap hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik pendekatan interatif seperti metode Delphi untuk mendapatkan solusi terhadap permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah system agar manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh seandainya system tersebut diimplementasikan secara penuh dikemudian hari.

Ketika sebuah system diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistic – seperti cluster analysis manfaat yang seruba dicoba untuk dikategorikan. Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing kategori dinyatakan value yang terkait dengnnya. Karena biasanya manfaat tersebut kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran dan lain sebagainya. Maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi ultility seperti pada MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk diimplementasikan, namum memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para stakeholder dalam dunia bisnis.

Experimental Methods

Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya system telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan, terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau besar, pengerjaan yang diperkirakan memakan waktu lama, dan ketidak pastian akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat “menakutkan” bagi para pengambil keputusan yang akhirnya memilih untuk tidak melakukan investasi. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa cara eksperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut, yaitu masing-masing adalah : prototyping, simulation, dan gameplaying.

a) Prototyping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari sebuah system besar secara tepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah sub-sistem kecil, atau system lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen yang merasa ragu-ragu akan sulit mendapatkan gambaran mengenai system yang akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk dibnagun prototipnya. Setelah prototip selesai dibangun, barulah didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sstem yang akan dibangun.

b) Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan terjadi dikemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu (software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan tidak ragi-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai sekenario yang dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi teknologi informasi yang akan dibangun).

c) Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play terhadap sekenario tertentu yang akan terjadi dikemudian hari seandainya sebuah system teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya perusahaan berniat untuk menerapkan system e-procurement untuk proses tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekan bisnis terkait dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya system automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh akan teridentifikasi melalui proses diskusi dari berbagai pihak yang berkepentingan ini.

Selain metode-metode yang telah dijelaskan dalam perkembangan masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983): art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation (menggunakan sejumlah criteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi yang “baik dan benar”), adversarial methods (mengambil keputusan setelah mendengarkan kedua belah pihak saling “berdebat” mengenai pro dan kontra dari rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

2.4. Aspek Ekonomi ICT[7]

Aspek ekonomi selalu terjalin erat dengan perkembangan sosial budaya masyarakat dan teknologi yang mewarnai kehidupannya. Proses yang melibatkan teknologi ke dalam masyarakat secara luas akan memunculkan suatu model visi masa depan secara bersama-sama. Sebagai contoh, Internet telah berhasil secara luas diterima sebagai bagian dari kehidupan modern. Di kalangan tertentu, hal itu memunculkan apa yang disebut dengan new economy, sebagai kontribusi dari era ekonomi informasi yang menambahkan nilai batas (borderless), transparansi, free-trade (pasar bebas), real-time, dan demokratisasi pada ekonomi sebelumnya.

Namun, karena perubahan era new economy lebih banyak diwarnai oleh eforia bisnis, maka istilah ini mulai ditinggalkan dan sebagian kalangan lebih memilih istilah real-economy, yaitu nilai-nilai old economy yang diperkuat oleh adanya teknologi informasi dan komunikasi (ICT – Information and Communication Technology).

Mari kita tengok proses transformasi nilai dari aspek ekonomi dan peran ICT dalam sejarah peradaban manusia ditinjau dari dua aspek, yaitu: Kunci Perubahan (key determinant) dan Alat Tukar (exchange media) dimulai dari jaman purba atau tradisional. Pada awalnya, ekonomi dimulai dari Era Manfaat Langsung (direct benefit), dimana sumber daya yang diberikan alam langsung dimanfaatkan oleh manusia. Misalnya ketika manusia lapar, maka buah dan sayuran yang ada di hutan langsung dimakan, tanpa diolah lebih lanjut. Pada era ini belum ada alat tukar.

Era berikutnya memunculkan Era Nilai Barang (goods value), dimana orang sudah mampu melihat bahwa hasil alam dapat saling dipertukarkan. Masyarakat, pada saat itu, mulai melakukan produksi dengan berkebun atau mengelola ladang menggunakan teknologi yang lebih baik untuk nanti hasilnya ditukarkan dengan komoditas lain, misalnya kayu bakar ditukar dengan buah-buahan.

Yang menarik pada Era Nilai Barang, nilai manfaat langsung mulai mengecil. Misalnya, satu tandan pisang ditukar dengan sepuluh batang kayu. Disini terlihat bahwa manfaat langsung satu tandan pisang menjadi tidak lagi dominan, karena nilainya sudah berganti menjadi kayu. Di masa ini mulai dikenal istilah barter, uang, dan emas sebagai alat tukar.

Evolusi berikutnya adalah transformasi dari Era Nilai Barang ke Nilai Ekonomi (economic value). Pada era ini, suatu barang atau komoditas nilainya bisa berbeda-beda tergantung di mana barang itu diperoleh. Hal itu karena kunci perubahan menambahkan aspek distribusi, selain aspek produksi. Buah salak Bali di petani dengan buah salak Bali yang sudah sampai di supermarket di Jakarta, harganya sudah jauh berbeda. Kita lihat pada Era Nilai Ekonomi, nilai barang semakin mengecil, dan begitu juga nilai manfaat langsungnya.

Selanjutnya, Era Nilai Ekonomi berubah pada sekitar tahun 40-an dengan mulai diperkenalkannya sistem nilai baru, yaitu Nilai Pasar Saham dan Nilai Pasar Uang. Faktor perubahannya adalah adanya pasar modal dan pasar uang. Pada era ini, suatu usaha produksi barang atau jasa dikapitalisasi dengan adanya penjualan saham perusahaan. Nilai ekonomi, nilai barang dan nilai manfaat langsung menjadi tidak signifikan. Sebagai contoh, TELKOM yang mengelola layanan telepon sekitar 8,2 juta pelanggan kalah nilainya dibandingkan perusahaan telekomunikasi Singapura, SINGTEL, yang hanya mengelola 3,5 juta pelanggan. Lebih tidak masuk akal lagi adalah setelah alat tukar, yaitu mata uang, menjadi komoditas yang diperjualbelikan, tiba-tiba komoditas Indonesia yang sama dengan di negara lain, nilai jualnya anjlok menjadi seperempatnya dalam mata uang Dolar daripada nilai sebelumnya.

Perkembangan yang terakhir menunjukkan kesenjangan antara Information have dan Information don’t have. Hal ini karena baik pasar uang, pasar modal, maupun pasar komoditas pada dasarnya dikuasai oleh mereka yang memiliki jaringan informasi. Saat ini dan kedepan, aspek ekonomi akan masuk ke era yang disebut Era Systemic Value. Yaitu, bahwa daya saing ekonomi kedepan adalah dari kemampuan kita membangun kolaborasi dan networking yang saling memperkuat atau interdependen dalam suatu kesisteman (collaborative advantages).

Persaingan tidak lagi terjadi antar negara, tetapi antar korporasi berikut jaringan mitra strategisnya. Tanpa keunggulan systemic value mustahil kita dapat bersaing dan mampu mengatasi turbulensi ekonomi.Untuk itu, kita mesti belajar dari negara-negara seperti Cina, Taiwan, dan Korea yang mampu menggalang systemic value dari industrinya yang bernilai tambah mulai dari raw material, produk setengah jadi, sampai produk jadi membentuk struktur rantai nilai tambah Business-to-Business-to-Customer (B2B2C). Teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang efektif melalui penerapan e-Business, e-Government, e-Citizen, dan e-Law merupakan infrastruktur mutlak terwujudnya systemic value yang tangguh.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi telah menjadi faktor kunci pertumbuhan ekonomi di kedua negara maju dan berkembang. Dalam ekonomi pengetahuan, informasi beredar di tingkat internasional melalui perdagangan barang dan jasa, investasi dan teknologi arus langsung, dan pergerakan orang. Informasi dan komunikasi teknologi (ICT) telah di jantung perubahan ekonomi selama lebih dari satu dekade. Sektor TIK memainkan peran penting, terutama dengan berkontribusi terhadap kemajuan teknologi yang pesat dan pertumbuhan produktivitas. Perusahaan menggunakan TIK untuk mengatur jaringan transnasional sebagai respons terhadap persaingan internasional dan meningkatnya kebutuhan untuk interaksi strategis. Akibatnya, perusahaan-perusahaan multinasional adalah kendaraan utama dari proses everspreading globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Indrajit, Richardus Eko. 2004. Kajian Strategis Cost Benefit Teknologi Informasi. Yogyakarta: Andi Offset.

Jogiyanto dan Willy. 2011. Sistem Tata Kelola Teknologi Informasi. Jakarta : Penerbit Erlangga


[1] Jogiyanto & Willy, Sistem Tata Kelola Teknologi Informasi. 2011. Hal 259

[2] Indrajit, Richardus Eko. Kajian Strategis Cost Benefit Teknologi Informasi. 2004 Hal. 25

[3] Ibid Hal. 26

[4] Ibid Hal.30

[5] Ibid Hal. 50

[6] Ibid Hal. 52

[7] Op Cit. Hal 270

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami