Selasa, 28 Mei 2013

FIKIH BURSA: SAHAM DAN OBLIGASI (SUKUK)

clip_image002

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saham dan obligasi (sukuk) merupakan sebagian dari banyak cara yang paling banyak digunakan perusahaan untuk mendapatkan tambahan dana guna melakukan kegiatan operasionalnya maupun untuk ekspansi. Dalam perkembangannya, mulai muncul keraguan, terutama dari para pengusaha Muslim, apakah cara mendapatkan dana tambahan dengan saham dan obligasi menyalahi aturan syariah yang berlaku? Akhirnya muncullah banyak kajian dan pembahasan mengenai tatacara pelaksanaan (rule of play) dari keduanya, maupun tentang kemaslahatannya kedepan.

Dalam makalah ini, kami mencoba menjelaskan tentang saham dan obligasi sesederhana dan semudah mungkin untuk dipahami. Dimulai dari pengertian, dalil-dalil, dan tatacara pelaksanaannya.

1.2. Fokus Pembahasan

1.2.1. Definisi dari saham dan obligasi (sukuk)

1.2.2. Dasar hukum saham dan obligasi (sukuk) syariah

1.2.3. Tatacara pelaksanaan saham dan obligasi (sukuk) syariah


BAB II

SAHAM

2.1 Definisi Saham

Dalam bahasa Belanda saham disebut “aandeel”, dan dalam bahasa Inggris disebut dengan ”share”, dalam bahasa Jerman disebut “aktie”, dan dalam bahasa Perancis disebut “action”. Semua istilah ini mempunyai arti surat berharga yang mencantumkan kata “saham” didalamnya sebagai tanda bukti pemilikan sebagian dari modal perseroan.[1]

Saham adalah surat bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan penawaran umum (go public) dalam nominal dan porsentase tertentu. Sementara itu, saham adalah jumlah satuan dari modal kooperatif yang sama jumlahnya bisa diputar dengan berbagai cara berdagang, dan harganya bisa berubah sewaktu-waktu tergantung keuntungan dan kerugian atau kinerja perusahaan tersebut.[2]

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa saham menunjukkan kepemilikan atas suatu perusahaan dan memberikan hak kepada pemiliknya. Kepemilikan tersebut memberikan kontribusi kepada pemegangnya berupa return yang dapat diperolehnya, yaitu keuntungan modal (Capital gain) atas saham yang memiliki harga jual lebih tinggi dari pada harga belinya, atau deviden atas saham tersebut. Disamping hak lainnya Non-finansial-benefit berupa hak suara dalam RUPS. Peluang untuk mendapatkan return dari capital gain ini memotifasi para investor untuk meelakukan perdagangan saham dipasar modal (Bursa Efek). Tentang saham ini, diatur dalam pasal 40, 41, 42, 43 KUHD.[3]

Jual beli saham dalam istilah fiqih ekonomi disamakan dengan bai’ us-salam, yaitu jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran dilakukan dimuka, dengan syarat-syarat tertentu[4] yang penjelasannya menyusul dan barang atau jasa yang ditransaksikan diserahkan atau dilakukan menyusul.

1.

2.

2.2. Dasar Hukum Saham Syariah

Jual-beli saham dalam Islam pada dasarnya adalah merupakan bentuk Syirkah mudhorabah, diantara para pengusaha dan pemilik modal sama-sama berusaha yang nantinya hasilnya bisa dibagi bersama. Mudharabah, merupakan teknik pendanaan dimana pemilik modal menyediakan dana untuk digunakan oleh unit deficit dalam kegiatan produktif dengan dasar Loss and profit sharing.[5]

Firman Allah swa dalam Q.S. Al-Muzammil: 20

zNÎ=tæ……. br& ãbqä3u‹y™ Oä3ZÏB 4ÓyÌó£D tbrãyz#uäur tbqç/ÎŽôØtƒ ’Îû ÇÚö‘F{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$# tbrãyz#uäur tbqè=ÏG»s)ム’Îû È@‹Î6y™ «!$# ( ………

“……..Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah……”

Kata al-Darbh, disebut juga Qiradh, yang berasal dari kata Qardhu, berarti al-Qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh keuntungan. Menurut para Fuqhaha Mudharabah adalah akad antara dua pihak yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan.

Sedangkan proses transaksi sahamnya sendiri, berupa akad Salam, dimana benda yang bernama “Saham” hanyalah sebuah surat yang menerangkan bahwa kita memiliki asset perusahaan tersebut sebesar sekian. Dan pembeli saham tidak mengetahui harta sebesar “Sekian” yang dia berikan itu berupa apa. Si pembeli hanya akan diberi asset perusahaan ketika perusahaan itu dilikuidasi (pailit), dan ini seolah-olah menjadi utang bagi perusahaan.

Dalam kumpulan fatwa DSN Saudi Arabia yang yang diketuai Oleh Syaih Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz Jilid 13 (tiga belas) Bab Jual beli (JH9) Halaman 20-321 fatwa nomor 4016 dan 5149 tentang hukum jual beli saham dinyatakan sebagai berikut:

جاز بيعها وشراوها بثمن وانما تمثل آرضا آوسيارات أوعمارات أونحو ذلك اذا كانت الأ سهم لا تمثل نقودا تمثيلا كليا أوغالبا لعمو أدله جواز البيع والشراء حال أموًجل علي دفعه أودفعات

Artinya: “Jika saham yang diperjualbelikan tidak serupa dengan uang secara utuh apa adanya, akan tetapi hanya representasi dari aset seperti tanah, mobil, pabrik dan lain sejenisnya, dan hal tersebut merupakan hal yang telah diketahui oleh penjual dan pembeli, maka dibolehkan hukumnya untuk diperjual-belikan dengan tunai maupun tangguh, yang dibayar secara kontan ataupun beberapa kali pembayaran, berdasarkan keumuman dalil tentang dibolehkannya jual-beli.[6]

Dengan demikian, jual beli saham dengan niat dan tujuan memperoleh penambahan modal, memperoleh aset likuid maupun pengharapan deviden, dengan memilikinya sampai jatuh tempo, dapat difungsikan sewaktu-waktu, dapat diperjual-belikan untuk mendapatkan keuntungan capital gain, hukumnya adalah boleh selama usahanya dalam hal yang halal, tidak melanggar syariat, dan tidak dijadikan sebagai alat spekulasi.

Para pakar kontemporer sepakat, bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak dibidang usaha yang haram, namun ada beberapa pendapat jika saham yang diperdagangkana di pasar modal itu dari perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha yang halal, Misalnya transportasi, komunikasi, produksi tekstil, dan lain-lain. Ada sebagian dari mereka yang membolehkan transaksi jual beli saham dan ada pula yang tidak membolehkannya.

Para fuqaha yang mengkritisi transaksi jual beli saham memberikan beberapa argumentasi yang diantaranya sebagai berikut:

a. Saham dipakai sebagai layaknya obligasi, dimana saham merupakan utang perusahaan terhadap investor yang harus dikembalikan, maka dari itu memperjual belikannya juga sama hukumnya dengan jual beli hutang yang dilarang syariah.

b. Banyak praktek jual beli penipuan (najasi) di buesa efek.

c. Para pembelisaham (investor) keluar dan masuk tanpa diketahui loeh seluruh pemegang saham.

d. Transaksi jual beli saham dianggap batal secara hukum, karena dalam transaksi tersebut tidak mengimplementasikan prinsif pertukaran (sharf)

e. Adanya unsur ketidakpastian (jahalah) dalam jual beli saham karena pembeli tidak mengetahui secara persis spesifikasi barang. Seperti Sabda Rasul: “Jangan kamu membeli ikan dalam air karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu melindungi penipuan. (HR. Ahmad bin Hambal dan Al-Baihaqi dari Ibnu Mas’ud)

f. Nilai saham tiap tahunnya selalu berubah mengikuti kondisi bursa saham, tidak bisa ditetapkan pada suatu harga tertentu. Untuk itu saham-saham tidak dikatakan sebagi pembayaran nilai saat pendirian perusahaan.[7]

2.3. Tatacara Pelaksanaan Transaksi Saham Syariah di Pasar Modal

Dalam ajaran Islam, aturan pasar modal harus dibuat sedemikian rupa untuk menjadikan tindakan spekulasi sebagai sebuah bisnis yang tidak menarik. Untuk itu, prosedur pembelian/penjualan saham secara langsung tidak diperkenankan. Prosedurnya, setiap perusahaan yang memiliki kuota saham tertentu memberikan otoritas kepada agen di lantai bursa, untuk membuat deal atas sahamnya. Tugas agen ini adalah mempertemukan perusahaan tersebut dengan calon investor, dan bukan membeli atau menjualnya secara langsung.

Saat ini, harga saham ditentukan oleh kekuatan supply dan demand. Sedangkan dalam aturan Islam, penentuan harga saham berbeda dengan penentuan harga seperti yang terjadi pada saat ini. Jika kita melihat balance sheet dari joint stock company, maka terlihat bahwa aset sama dengan modal saham ditambah dengan kewajiban. Aset tersebut merupakan representasi dari modal, dimana kewajiban diasumsikan sama dengan nol.

Sehingga, sertifikat sahamnya memiliki nilai tertentu, dimana nilainya akan sama dengan nilai asetnya. Setiap harga saham yang di atas atau di bawah nilai asetnya, tidak menunjukkan kondisi sesungguhnya. Tetapi kekuatan pasar mampu membuat harga saham tersebut berada di atas/di bawah nilai asetnya. Dalam pandangan Islam, untuk mencegah terjadinya distorsi ini, harga saham harus sesuai dengan nilai intrinsiknya.

Adapun formula perhitungannya adalah: harga saham sama dengan modal saham + (keuntungankerugian) + (akumulasi keuntungan - akumulasi kerugian), yang kesemuanya dibagi dengan jumlah saham.[8]


BAB III

OBLIGASI (SUKUK)

3.1 Definisi Obligasi (Sukuk)

Obligasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu obligatie yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai obligasi yang berarti kontrak. Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 775/KmK 001/19 disebut bahwa obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu. [9]

Obligasi Syariah atau Sukuk didefinisikan sebagai suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten (perusahaan penerbit obligasi) kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil / margin / fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat dari suatu nilai yang direpresentasikan setelah penutupan pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat dan menggunakannya sesuai rencana, sama halnya dengan bagian dan kepemilikan atas aset yang tangible, barang, atau jasa, atau modal dari suatu proyek tertentu atau modal dari suatu aktivitas investasi tertentu.

Menurut Fatwa DSN No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil / margin / fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksadana syariah yang membutuhkan alternatif penempatan investasi.[10]

Perbedaan keduanya adalah, obligasi (konvensional) adalah kontrak kewajiban utang di mana yang mengeluarkannya secara kontrak berkewajiban membayar kepada pemilik obligasi, pada tanggal tertentu, bunga dan pokok. Sementara itu sukuk adalah klaim atas kepemilikan pada underlying aset. Konsekuensinya, pemilik sukuk berhak atas bagian dari penghasilan yang dihasilkan oleh aset sukuk sama halnya dengan hak atas kepemilikan pada saat proses realisasi aset sukuk. Perbedaan feature sukuk dalam hal ini adalah dimana sertifikat merupakan hutang kepada pemilik, sertifikat yang tidak diperdagangkan pada pasar sekunder dapat ditahan sampai maturity atau dijual pada harga par.[11]

Berbeda dengan obligasi konvensional yang memperoleh pendapatan dari bunga atau coupon, obligasi syariah memperoleh Pendapatan berupa bagi hasil, fee, atau marjin. Perbandingan Sukuk dan Obligasi dapat dilihat pada gambar berikut :

3.

3.2. Dasar Hukum Obligasi (Sukuk) Syariah

Pada dasarnya, Sukuk adalah bentuk lain utang, karena dana harus dikembalikan pada saat jatuh tempo. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, seperti Syirkah Mudhorobah, dimana pendapatan yang harus dibayar emiten tidaklah dipatok, melainkan berupa bagi hasil. Dalam QS. Al-Ma’idah ayat pertama disebutkan:

$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ………

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…….”

Dan dalam hadits Nabi SAW:

عن عمرو بن عوف المزاني قال رسول الله ص م : الصّلْح جائز بين الْمسلمين الا صلْحا حرّم حلالا أَو أَحلّ حراما والْمسلمون علَى شروطهِم إلا شرطا حرّم حلالا أو أحلّ حراما (رواه امام الترمذى)

“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

3.3. Tatacara Pelaksanaan Transaksi Obligasi (Sukuk) Syariah

Seperti halnya pada saham, obligasi harus memenuhi kriteria syariah. Aktivitas utama bisnis yang halal dan tidak bertentangan dengan syariah islam. Obligasi Syariah merupakan bentuk pendanaan dan sekaligus investasi. Agar struktur yang ditawarkan terhindar dari riba, maka obligasi syariah dapat memberikan[12] :

1. Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah/muqaradhah/qiradh atau musyarakah, yaitu menggunakan akad kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan. Obligasi ini akan memberikans return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.

2. Margin / fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istishna atau ijarah. Akad ini berbentuk jual beli dengan skema cost plus basis, dan akan memberikan penghasilan yang tetap.

Bila melihat sifat-sifat umum dari sukuk, kualitasnya sama dengan semua pasar lain yang berorientasi aset keuangan konvensional, termasuk hal-hal berikut :

1. Dapat diperdagangkan. Sukuk mewakili pihak pemilik aktual dari aset yang jelas, manfaat aset atau kegiatan bisnis dan juga dapat diperdagangkan pada harga pasar.

2. Dapat diperingkat. Sukuk dapat diperingkat dengan mudah oleh Agen pemberi peringkat regional dan internasional

3. Dapat ditambah. Sebagai tambahan terhadap aset utama atau kegiatan bisnis, sukuk dapat dijamin dengan bentuk kolateral berlandaskan syariah lainnya.

4. Fleksibilitas hukum. Sukuk dapat distruktur dan ditawarkan secara nasional dan global dengan pajak yang berbeda.

5. Dapat ditebus. Struktur sukuk diperbolehkan untuk kemungkinan penebusan

Pada prinsipnya, sukuk atau obligasi syariah adalah surat berharga sebagai instrumen investasi yang diterbitkan berdasar suatu transaksi atau akad syariah yang melandasinya (underlying transaction), yang dapat berupa ijarah (sewa), mudharabah (bagi-hasil), musyarakah, atau yang lain. Sukuk yang sekarang sudah banyak diterbitkan adalah berdasarkan akad sewa (sukuk al-ijarah), di mana hasil investasi berasal dan dikaitkan dengan arus pembayaran sewa aset tersebut. Meskipun demikian, sukuk dapat pula diterbitkan berdasar akad syariah yang lain.

Syarat sebuah obligasi disebut syariah adalah sebagai berikut[13] :

  1. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:

a. Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh

b. Musyarakah

c. Murabahah

d. Salam

e. Istishna

f. Ijarah;

  1. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah, yaitu :

a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;

b. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;

c. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram;

d. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

  1. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
  2. Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
  3. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
  4. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
  5. Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.


BAB IV

4.1. Kesimpulan

Perkembangan penggunaan instrumen keuangan syariah yang kian hari kian meningkat saja prestasinya akan memicu para pelaku ekonomi meningkatkan investasi. Perluasan instrumen investasi akan mendorong kegiatan investasi, melalui pemanfaatan instrumen keuangan syariah. Saham dan obligasi (sukuk) sebagai instrumen investasi akan menjadi motor dalam penggerak ekonomi keuangan syariah. Dan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, terlebih dengan cara yang halal. Sehingga apa yang dihasilkan bisa menjadi barokah.

DAFTAR PUSTAKA

Manan, Abdul Prof. Dr. H. S.H., S.IP., M.HUM. 2009. Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indinesia. Jakarta: Kencana

Yuliana, Indah S.E., M.M. 2009. INVESTASI “Produk Keuangan Syariah”. Malang: UIN-MALIKI PRESS

Huda, Nurul dan Nasution, Mustafa Edwin. 2007. Investasi Pada Pasar Modal Syariah.Jakarta: Kencana Perdana Media Group

Sibly, M.Roem.2007. Spekulasi Dalam Pasar Saham, La_Riba” Jurnal Ekonomi Islam UII


[1] Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.HUM. Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indinesia, Penerbit: Kencana (Jakarta:2009) Halaman 93

[2] Indah Yuliana, S.E., M.M. INVESTASI “Produk Keuangan Syariah” Penerbit: UIN-MALIKI PRESS (Malang:2010) Halaman 59

[3] Ibid.,. Halaman 59-60

[4] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasutioan, Investasi Pada Pasar Modal Syariah. Penerbit: Kencana Perdana Media Group (Jakarta:2007) Halaman 62

[5] Op cit., Halaman 78

[6]Ibid., Halaman 80

[7] Loc cit., Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasutioan, Investasi Pada Pasar Modal Syariah. Penerbit: Kencana Perdana Media Group (Jakarta:2007) Halaman 64

[8] M.Roem Sibly, Spekulasi Dalam Pasar Saham, La_Riba “Jurnal Ekonomi Islam (UII:2007). Halaman 5

[9] Loc cit., Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.HUM. Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indinesia, Penerbit: Kencana (Jakarta:2009) Halaman 120

[10]Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah. Penerbit: Kencana Perdana Media Group (Jakarta:2007) Halaman 85

[11] Ibid Halaman 86

[12] Ibid Halaman 88

[13] Ibid Halaman 88-89

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami