Sabtu, 04 Mei 2013

TASAWUF FALSAFI


MAKALAH

Tasawuf Falsafi: Tokoh dan Pemikirannya
(Ibnu Arabi, al Hallaj, dan Abu Yazid al Busthamy )

Dosen Pembimbing :
Dr. H. Misbahul Munir, Lc, M.Ei












Disusun Oleh:
Ahmad Bahtiyar         (09510123)
Nikita Desi A.             (11510018)
Zariatul Khisan           (11510127)
Mohamad Bastomi      (11510131)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013

KATA PENGANTAR


 


            Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat, taufik serta hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan untuk menyusun makalah  dengan judul Tasawuf Falsafi: Tokoh dan Pemikirannya (Ibnu Arabi, al Hallaj, dan Abu Yazid al Busthamy) guna memenuhi tugas Semester empat.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:
  1. Bapak Dr. H. Misbahul Munir, Lc, M.Ei  selaku dosen pengampu mata kuliah TASAWUF yang memberikan arahan dan masukan dalam makalah ini.
  2. Serta semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini yang tidak mingkin kami sebutkan satu persatu.
    Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Demi tercapainya suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca.






Malang, 02 Mei 2013

                  Penulis


DAFTAR ISI

                                                                                                                                         




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan sebagai sumbangan-sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara terminology jiwa dan roh itu merupakan terminology yang banyak dikaji dalam pemikiran0pemikiran filsafat.
Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf, namun tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan jiwa dan roh.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dengan jasa melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan disitu tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan qalb(hati) tetap sehat, tututan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.

1.2   Rumusan Masalah

1.         Apakah pengertian tasawuf falsafi ?
2.         Bagaimanakah karakteristik dan obyek dari tasawuf falsafi?
3.         Siapa saja tokoh ajaran tasawuf falasafi dan seperti apa pemikirannya?

1.3  Tujuan

1.      Mengetahui pengertian tasawuf falsafi.
2.      Mengetahui karakteristik dan obyek tasawuf falsafi secara benar.
3.      Mengetahui para tokoh tasawuf falsafi beserta ajaran-ajarannya.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Tasawuf  Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antar visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf Falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya yang berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke-enam hijriah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur denngan sejumlah ajaran filsafat diluar Islam, misalnya filsafat Yunani, Persia, India, dan Kristen. Namun itu semua tak meniadakan keotentikannya sendiri. Sebab para sufi yang menyerap budaya-budaya tersebut, tetap menjaga independensi pemikiran mereka sebagai seorang muslim. Inilah yang memberikan pengertian kepada kita tentang upaya mereka dalam menselaraskan antara pemikiran-pemikiran yang asing dan mereka dengan islam. Upaya tersebut tampak jelas dalam karya-karya mereka. Itulah yang telah memberikan pemahaman kepada kita akan adanya terma-trma filsafat asing dalam karya-karya mereka, yang mayoritasnya telah berubah dari arti semula, karena adanya upaya penselarasan dengan aliran tasawuf islam mereka.
Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibatnya banyak istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang yang memahami ajaran jenis tersebut. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat, dan mengarah pada pembentukan aliran pemikiran yang terkonsentrasi dalam pembahasan tentang wujud.
Para sufi falsafi mngenal filsafat Yunani  dan aliran-alirannya seperti aliran Socrates, Plato, Aristoteles, Rowaqiyah, sebagaimana juga mengenal filsafat Neoplatonisre, dan teori emanasinya, serta filsafat yang dikenal dengan sebutan Hermeticisme dan buku-bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka juga mempelajari filsafat-filsafat muslim sendiri seperti al-farabi, Ibn Sina dan lain sebagainya dan juga terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syiah ekstrim seperti Syiah Ismailiyah, Batiniyah, dan juga dengan risalah-risalah Ihwan Shifa’. Disamping itu pengetahuan mereka sangat luas tentang ilmu-ilmu syariat seperti fikih, kalam, hadist, dan tafsir, sehingga mereka merupakan enyclopedia dan intelektualitas mereka terbentuk dari berbagai macam pemikiran yan berbeda-beda.

2.2  Obyek Pembahasan Tasawuf Falsafi dan Karakteristiknya

Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf suni. Dalam hal ini, Ibnu Kholdun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya Al-Muqaddimah menyimpulkan ada 4 objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain sebagai berikut :
1.      Mujahadah (memerangi hawa nafsu) dan latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul darinya.
2.      Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak dan susunan kosmos, terutama tentang Penciptanya serta ciptaanya.
3.      Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan (khawariqu Adah ) atau keluarbiasan (karamah).
4.      Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannnya samar-samar (syathahat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujuinya, ataupun mengintrepetasikannya dengan intrepetasi yang berbeda-beda.
Dari tinjauan mujahadah dan intuisi yang dihasilkan darinya seperti magom (tingkatan) dan ahwa (kondisi), merupakan titik temu antara mereka dengan sufi-sufi lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Khaldun: “Sesuatu yang tidak dipersoalkan oleh seorang pun. Intuisi mereka dalam tasawuf adalah benar, dan menghasilkan sebuah kebahagiaan.
Sedangkan tentang keterkuatan (kasf) hakikat-hakikat wujud yang ditemukan, Ibn Khaldun mengatakan bahwa : sufi-sufi falsafi melakukan olah diri dengan cara mematikan kekuatan indera dan menyirami ruh yang berakal dengan zikir, sehingga jiwa mampu menemukan hakikat-hakikat tersebut dari zat jiwanya itu. Jika mampu menemukan itu, mereka beranggapan bahwa segala wujud tercakup dalam temuannya tersebut. Mereka telah menguak keseluruhan hakikat-hakikat wujud.” Kemudian Ibnu Kholdun berkata: “kasf semacam itu muncul dari sebuah kelurusan, yang bagi jiwa bagaikan keterbukaan cermin yang senantiasa selaras dengan berbagai macam kondisi-kondisi.
            Ibn Kholdun juga mengatakan bahwa sufi-sufi falsafi sangat menseriusi model keterkuatan (kasf) semacam itu, dan membicarakan hakikat-hakikat wujud di langit dan di Bumi. Namun mereka tidak jelas dalam tujuan. Sebab perkataan-perkataan mereka berkaitan dengan intuisi dan naluri sehingga orang-orang yang bukan kalangan mereka sendiri, tak akan mampu memahami perkataan-perkataannya. Intuisi-intuisi tersebut tidak tunduk pada dalil ataupun bukti. Ia adalah sebuah naluri. Di samping itu, mereka sengaja berteka-teki dengan menggunakan terma-terma filsafat yang tidak dipahami oleh luar kalangan mereka sendiri. Perkataan mereka secara umum “tak bisa ditangkap oleh ahli fikir karena kesamaran dan ketertutupannya”. Ibn Kholdun juga menyebutkan contoh-contoh pemikiran mereka tentang wujud dan kemunculannya dari zat yang mewujudkannya serta urutan-urutannya, Hakikat Muhammadiyah, wahdatul wujud Mutlak, dan terma-terma yang digunakan di dalamnya.
            Ibn Kholdun  membantah perkataan mereka tentang kesatuan (wahdah), dengan menjelaskan bahwa diakibatkan oleh penafsiran yang salah terhadap fana’. Ia berkata: “Dalam pemikirannya tersebut, mereka mengingkari adanya ketersusunan dan banyak dari berbagai macam segi. Yang memunculkan pemikiran tentang kesatuan mereka tersebut tak lain adalah sebuah khayalan dan imajinasi belaka. Padahal sufi-sufi yang sesungguhnya pada masa terakhir malah mengatakan bahwa seseorang murid saat mengalami kasf, harus menolak hayalan-khayalan tentang kesatuan yang mereka katakan sebagai magom (tingkatan) penyatuan. Kemudiian ia mendaki  kembali hingga akhirnya mampu membedakan kembali antar wujud-wujud, dan mereka namakan itu sebagai magom pemisahan. Ini adalah magom seorang Arif yang sesungguhnya. Oleh karena itu, seseorang murid harus menyingkirkan rintangan-rintangan penyatuan. Hal ini merupakan sebuah rintangan yang amat susah, sebab ia merasa takut seandainya berhenti dalam rintangan itu, sehingga sia-sialah apa yang telah dilakukannya.
Tampak sekali bahwa Ibn Khaldun sebagai Ahli Sunah, menyalahkan sufi-sufi yang mengatakan tentang kesatuan. Karena mereka mengatakan hal itu beranjak dari kondisi fana’ dan kesatuan. Maka kritikannya tersebut seirama dengan kritikan al-Ghozali dan sufi-sufi ahli sunah lainnya.
            Sedangkan apa ayang disebutkan oleh-oleh sufi-sufi falsafi tentang karomah, Ibn Khaldun tidak mengingkarinya. Karomah seperti berita tentang hari esok dan kemampuannya merubah ssesuatu, adalah benar dan tidak diingkari. Sehingga sebagian ulama seperti Abu Ishak al-Asfirayini yang mengingkari karomah tersebut, menuruut Ibn Khaldun adalah tidak benar.
            Namun para sufi falsafi beranggapan bahwa kemampuan merubah-rubah alam adalah dibangun atas dasar sebuah ilmu tersendiri, yaitu ilmu tentang nama-nama dan huruf-huruf. Ibn Arabi, Ibn Sab’in dan selain keduanya telah menulis keilmuan semacam itu. Perbedaan antara mereka dengan sufi-sufi suni yang semasa dengannya semisal Syadzaliyah adalah sangat besar. Misalnya adalah Ibn Atha’illah al-Iskandan yang membangun sebuah pemikiran tentang zuhud dan karomah, menganggap bahwa itu tidak menunjukkan sebuah kesempurnaan tasawuf.
            Oleh karena itu, kami menemukan Ibn Khaldun sendiri memuji sufi-sufi yang ditulis dalam risalah Qusyairiyah yang mempunyai kecendrungan Suni, karena pensuri tauladan mereka terhadap para sahabat: “para sahabat dan pembesar-pembesar salaf banyak yang memiliki karomah. Itu merupakan hal yang telah dikenal dalam kalangan memiliki karomah. Itu merupakan hal yang telah dikenal dalam kalangan mereka.. para  sufi terdahulu yang tertulis dalam kitab Risalah Qusyairiyah merupakan pemuka-pemuka dalam agama ini.. mereka tidak antusias untuk menguak sebuah hijab (tirai penghalang), dan juga untuk mendapatkan Khawariqul Adah (kemampuan melampaui hukum-hukum alam). Konsentrasi mereka adalah mengikuti dan mensuri tauladani semampu mungkin. Barang siapa yang menawarkan Karomah dan Khawariqul Adah, maka mereka pastui menolak, dan menghindarinya. Mereka menganggap bahwa itu merupakan salah satu dari rintangan-rintangan dan cobaan.
            Kemudian Ibn Khaldun mengomentari ungkapan-ungkapan yanng bermasalah dari sufi-sufi falsafi: “sedangkan perkataan-perkataan yang membingungkan, yang dikenal dengan sebutan Syathahat, adalah salah menurut ahli syariat. Ketahuilah! Sebenarnya mereka adalah orang yang absen dari indera, dan sesuatu yang datang telah menguasai  mereka sehingga mengatakan perkataan-perkataan tersebut tanpa sengaja. Orang-orang yang sedang absen tidak terkena khitab (pesan tuhan), dan orang yang terpaksa adalah dimanfaatkan. Barang siapa yang mengetahui keutamaannya dan juga mensuri tauladannya, akan berprasangka baik terhadap perkataannya tersebut. Mengungkapkan apa yang ada dalam perasaan adalah sangat susah, karena tidak ada tempatnya. Sebagaimana yang terjadi pada diri Abu yazid dan semisalnya. Barang siapa yang tidak mengetahui keutamaannya dan ketenarannya, pasti akan menyalahkan segala sesuatu yang keluar darinya. Jika perkataannya tersebut kurang jelas, maka akan mendorong kita untuk melakukan pentakwilan. Ketuka mengatakan perkataan-perkataan semacam itu, dirinya sedang dalam keadaan sadar, dan tidak dikuasai oleh kondisinya, maka itu harus disalahkan. Oleh karena itu para fuqaha’ dan pembesar sufi mengeluarkan fatwa untuk membunuh al-Halaj karena ia mengatakan perkataan tersebut dalam keadaan sadar. Ia adalah orang yang menguasai kondisinya, dan Allah lebih tahu tentang hal itu.
            Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya juga melakukan perbandingan antara sufi-sufi falsafi masa terakhir dengan Ismailiyah, salah satu sekte Syiah yang mengatakan tentang penitisan (bulul) dan ketuhanan antara kedua aliran itu, terutama dalam masalah Quttub yang dianggap sebagai pemimpin para Arifin, dan Abdl, adalah serupa dengan perkataan Ismailiyah tentang Imam dan Nuqba’. Begitu pula pemakaian rumbai tasawuf yang dijadikan simbol tasawuf dalam tarekat mereka, disandarkan pada Imam Ali, sehingga menurut Ibn Khaldun itu juga salah satu dari pengaruh Syiah terhadap mereka.
            Dari perkataan Ibn Khaldun itu tampak tasawuf falsafi mempunyai beberapa karakteristik tertentu. Salah satunya adalah mereka senantiasa memerangi hawa nafsu sebagaimana sufi-sufi lainnya, untuk melakukan peningkatan-peningkatan akhlak sehingga menimbulkan sebuah kebahagiaan. Ia merupakan tasawuf  yang menjadikan Kasf sebagai metode untuk mengetahui hakikat. Orang-orangnya juga merasakan kondisi fana’, sebagaimana mereka samar dalam mengungkapkan hakikat-hakikat tasawuf tersebut. Terkadang mereka menggunakan bahasa-bahasa simbolis untuk mengungkapkannya.
            Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan karakteristik umum yang berlaku pada diri mereka dan sufi-sufi selainnya. Namun para sufi falsafi mempunyai karakteristik lainnya yang tak dimilki oleh sufi Suni. Pertama, mereka adalah pemilki teori wujud dan menjelaskannya dalam kitab-kitab dan syair-syairnya. Ungkapan-ungkapan mereka ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah Syathahat sehingga pengucapannya tidak bisa dipertanyakan. Kedua, mereka sangat berlebih-lebihan dalam penggunaan  bahasa-bahasa simbolis, sehingga perkataan-perkataannya tidak bisa dipahami oleh orang di luar kalangannya. Ketiga, perhitungannya yang sangat terhadap diri dan ilmu-ilmu mereka. Walaupun itu tidak dilakukan oleh keselurahan mereka, namun dilaksanakan oleh mayoritas.[1]

2.3   Tasawuf Falsafi Menurut Abu Yazid Al-Busthamy

a). Biografi Abu Yazid Al-Busthamy
            Abu Yazid Al-Busthamy adalah seorang sufi terkemuka pada abad III H. Ia disebut sebagai sufi yang memperkenalkan konsep fana, baqa, dan ittihad dalam pengertian tasawuf. Dalam literatur-literatur tasawuf namanya sering ditulis Bayazid al-Bistami. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil bernama Bistam, daerah Timur Laut Persia pada tahun 188 H/804 M.
            Berbeda dengan sufi-sufi terkemuka sebelumnya, Abu Yazid adalah orang Persia asli yang mempunyai nama lengkap Taifur Ibn Isa Ibn Sarusyan al-Bustami. Mengenai penulisan namanya, terdapat berbagai variasi, seperti Bayazid, Al-Bustami, Al-Bistomi, Al-Bastomi. Kakeknya Sarusyan pada mulanya adalah penganut zoroaster yang kemudian masuk islam. Ayahnya termasuk pemuka masyarakat di Bistam dan ibunya adalah seorang taat dan zuhud. Dua orang saudaranya Ali dan Adam termasuk juga sufi yang banyak pengalaman meskipun tidak setenar Abu Yazid.
            Abu Yazid dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ilmu yang menjadi kegemarannya pada mulanya adalah ilmu fiqhi dalam madzhab Hanafi. Karena itu ia dikelompokkan pada ashab al-ra’yi dalam memahami hukum islam. Sedangkan dalam ilmu tasawuf, ia belajar dari orang sufi yang berasal dari Kurdi. Sebagian kehidupannya dijalani sebagai seorang abd dan sufi di Bistam. Ia dipaksa meninggalkan kota kelahirannya beberapa waktu lamanya untuk menghindari tekanan ulama Mutakallimin yang memusuhinya.
            Dari kehidupannya zuhud yang dijalaninya, timbullah cinta atau mahabbah yang semakin meluas. Dan mendalam hingga menghanyutkan dirinya tenggelam kedalam lautan zuhud. Ia mengatakan pada suatu ketika: “Saya melakukan mujahadah selama tiga tahun, tidak saya dapati sesuatu yang lebih berat kecuali ilmu dan mengikuti ilmu. Seandainya tidak ada perbedaan ulama niscaya saya akan baqa’. Selanjutnya ia melihat bahwa pengalaman tasawuf tidak dibenarkan untuk meninggalkan perintah Tuhan. Seorang pengenal tasawuf haruslah memiliki pembimbing atau guru. Barangsiapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya (imam) adalah setan. A.J Arberry menyebutnya sebagai first of the intoxicated sufis (sufi yang mabuk kepayang pertama kali).
            Abu Yazid digolongkan ke dalam kelompok sufi malamatiyat yaitu sufi yang cenderung bersikap rendah diri menghinakan serta mencercanya dalam rangka memurnikan pendekatan hubungan kepada Tuhan. Ajaran tasawufnya di kemudian hari dikembangkan para pengikutnya dengan membentuk suatu aliran tarekat yang bernama Taifuriyah yang dinisbatkan kepada namanya. Pengaruh tarekat ini masih didapati di berbagai wilayah dunia islam seperti di Zoustan, Maghrib yang meliputi Maroko, al-Jazair dan Tunisia, juga tersebar sampai ke Chittagon, Bangladesh, berupa tempat-tempat suci yang dibangun untuk memuliakannya.
            Ia meninggal dunia di Bistam pada tahun 261 H/784 M. makamnya bersebelahan dengan al-Hujwiri, Nashir Kusrow dan Yakut. Pada tahun 713 H/1313 M dibangun sebuah kubah di atas makamnya atas perintah Sultan Mongol Muhammad Khudabanda untuk memenuhi saran penasehat agama Sultan yaitu Syekh Syarifuddin yang mengaku keturunan Abu Yazid.
            Hingga akhir hayatnya Abu Yazid ternyata tidak meninggalkan karya tulis yang dapat dipelajari tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan yang diungkapkan mengenai pengalaman spiritualnya yang disampaikan oleh murid-muridnya. Diantaranya pengalaman batiniyahnya tercover dalam sejumlah karya tulis seperti al-Nur min Klaimati Abi Taifur oleh al-Shalajji, ar-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tasawuf oleh al-Qusyairi, Kasyf al-Mahjub, oleh al-Hujwiri, dan al-Luma oleh al-Tusi.
b). Pemikiran Abu Yazid Al-Busthamy
1.      Fana dan Baqa’
Fana menurut pengertian bahasa berasal dari fana-yafni -fana’ yang berarti hilang hancur. Sedang baqa’ berasal dari baqiya-yabqa-baqa’ yang berarti sifat al-dawam atau terus-menerus, ada terus, terus hidup, tidak lenyap dan tidak hancur.[2]
            Dalam pengertian tasawuf, fana tidak dapat dipisahkan dari baqa’ sebab baqa’ merupakan sisi lain dari fana. Fana dalam pengertian istilahnya adalah suatu tingkatan pengalaman spiritual sufi dan Tuhan. Dalam pandangan sufi, fana tidak diartikan sebagai kehancuran eksistensial melainkan sebagai hilangnya kesadaran tentang dirinya dari seluruh makhluk di mana perhatian sufi terpusat hanya kepada Allah swt. Ungkapan yang populer di kalangan sufi bahwa orang yang mengenal dirinya tiada (‘adam) akan menyadari Tuhannya ada (wujud). Dalam pengalaman fana’, sufi tidak lagi menyadari dirinya serta seluruh makhluk. Dalam kesadarannya, yang ada hanyalah Allah.
Abu Bakal Al-Kaladzi (378 H/988 M) mendefinisikan fana’ sebagai, ‘hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”.
Dalam pada itu Ibrahim Basyuni setelah mengemukakan beberapa pernyataan tentang fana, dia  berkesimpulan bahwa fana adalah suatu keadaan mental di mana hubungan manusia dengan alam dan dirinya sudah tiada tanpa hilang dari padanya nilai kemanusiaan. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa dalam fana meskipun kesadaran itu telah hilang namun nilai-nilai kemanusiaannya tetap ada, jadi yang mengalami perubahan adalah akhlaqi yang telah didominasi oleh cahaya hakekat. Dengan demikian apabila dikatakan bahwa seseorang telah mengalami fana dari dirinya dan makhluk lain, maka sebenarnya dia dan makhluk lain itu masih  ada hanya saja dia tidak lain menyadari dan merasakannya. Kalangan sufi melihat bahwa fana adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Sedangkan di lain pihak mengatkan bahwa fana merupakan bergantungnya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan atau hilangnya sifat-sifat tercela. Fana yang menjadi tujuan adalah fana ‘an nafs yang menyebabkan mereka mengalami baqa pada diri Tuhan.
Kepribadian serta paham dan ajarannya sangat mengesankan sekaligus membingungkan bagi orang sezaman dan sesudahnya sehingga Al-Junaid memandang bahwa dia belum sampai pada ujung pencariannya. Nicholson berpendapat bahwa paham al-fana’-Nya mungkin diupengaruhi paham Hindu dari gurunya, Abu Ali al-Sindi.
Schimmel meragukan analisis itu sebab justru tampaknya Abu Yazid telah sampai diujung pencariannya sendiri melalui pengalaman al-fana’-nya. Sebab, dengan kefanaannya itu, Abu Yazid “pergi” meninggalkan dirinya menuju kepadanya-Nya. Kemudian muncul melalui syatahat (theopathical satmmerings) darinya walaupun hal ini oleh Al-Taftazani dipandang sebagai ungkapan yang berlebihan dari Abu Yazid. Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan ketuhanan dirinya itulah yang kemudian disebutsebagai paham al-Ittihad (Nasution, hal. 84-85; Mahmud, t.t:310). Ketika ditanya mengenai sunnah dan fardu, Abu Yazid menjawab, “sunnah ialah yang meninggalkan dunia dengan segala isinya, dan fardu ialah bersahabat dengan Allah. “ketika ditanya tentang umurnya, dia menjawab bahwa usianya baru empat tahun sehingga membuat yang bertanya kaget. Dia menjawab, “aku telah tertabiri dari tuhan oleh dunia selama tujuh puluh tahun, dan aku baru dapat melihatnya selama empat tahun terakhir ini.
Sedangkan baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya sifat-sifat basyariah maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiyah. Fana dan baqa’ datang beriringan (اذا اشرق نور البقاء فيقسى من لم يكن من لم يزل) . Hal demikian merupakan pengalaman mistik tentang substansi atau kehidupan bersama dengan Tuhan setelah terjadi fana dalam diri sufi.
            Abu Yazid dengan fana meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Sedangkan dengan baqa’ ia tetap bersama Tuhan. Pengalaman fana dan baqa’nya teraktualisasi dalam beberapa ucapan  yang dilontarkannya seperti ; “aku tahu Tuhan melalui diriku hingga aku fana kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya,maka  akupun hidup”, Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya dan akupun hidup maka aku berkata, gla pada diriku adalah fana dan gila pada diriku adalah baqa’. Aku mimpi melihat Tuhan lalu aku bertanya, tuhanku apa jalannya untuk sampai kepada Mu? Ia menjawab, tinggalkan dirimu dan datanglah kepadaKu”. Pada suatu kesempatan ketika Abu Yazid menunaikan ibadah haji pertama mengatakan bahwa ia melihat ka’bah dan dirinya. Ketika menunaikan ibadah haji yang kedua selain melihat Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Ka’bah. Pada haji yang ketiga ia tidak lagi merasakan apa-apa kecuali Tuhan ka’bah. Hari pertama aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala isinya, pada hari ketiga aku zuhud terhadap apa saja selain Allah, pada hari keempat tidak ada yang tinggal bagi lagi selain Allah. Gambaran kesadaran Abu Yazid seperti tu disebut fana. Kemanapun ia menghadap mukanya, yang terlihat oleh mata hanyalah Allah, hatinya yang menghadap ke wilayah empiris menjadi tertutup.
            Hanya Allah yang berada dalam kesadarannya. Dalam fananya yang lain ia berkata; yang ada di jubah ini hanya Allah. Dengan terjadinya fana tersebut, terjadi pula baqa’. Kesadaran tentang selain Allah sirna (fana) tetapi kesadaran tentang Allah terus-menerus berlangsung (baqa’).
2.       Ittihad
            Kata “ittihad” mengandung pengertian persatuan, pengalaman menyatu; atau kebersatuan. Dalam terminologi tasawuf berarti suatu tingkatan di mana seorang sufi merasa dirinya bersama dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu. Sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “hai aku”.
            Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sungguh pun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu sama lain. Karena yang dilihat dan  yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan dicintai atau lebih tegasnya antara sufi dengan Tuhan. Dalam ittihad, identitas telah hilang dari sufi dengan Tuhan. Dalam ittihad, identitas telah hilang dari sufi yang bersangkutan karena fananya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Abu Yazid dalam ittihadnya berbicara dengan nama Tuhan atau lebih tepat kalau dikatakan Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid. Melalui konsep fana dan baqa’, ia telah meningkat ke maqam yang lebih tinggi lagi yang tidak ada lagi kecuali al-Wahid al-Ahad, tenggelam dan meninggal untuk selanjutnya simak dalam kesucian ilahi. Dalam keadaan demikian, Abu Yazid berkata: “Menjadilah sifatku rububiyah lisanku lisan tauhid dan isyaratku adalah isyarat keabadian”. Penunggalan Abu Yazid berarti menghilangkan kesadaran akan dirinya dan alam sekitar untuk dikonsentrasikan kepada Tuhan. Proses demikian disebut tajrid atau fana bi al-tauhid. Penuhanan (deification) tersebut pendek kata merupakan ultimate thule dari mistik muslim. Pencapaian hingga mencapai tingkat persatuan tersebut dilalui dengan latihan berat dan intensif selama bertahun-tahun.
            Abu Yazid semakin jauh tenggelam ke dalam lautan fana’ hingga menyatu dengan Tuhan dengan kalimat-kalimat yang bersayap yang tidak dikenal sebelumnya atau dikenal oleh kalangan sufi dengan istilah (escatic utterances) yaitu ucapan-ucapan sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad denga Tuhan. Sebagian dari sathahatnya dipertanyakan kebenarannya dan sebagian cerita mengenai kekeramatannya dianggap sebagai legenda.
            Imam al-Ghazali di dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din mengatakan bahwa sathahat tersebut dibagi menjadi dua macam yang keduanya dilontarkan oleh sebagian kaum sufi. Pertama berupa do’a panjang lebar tentang serita ketuhanan, pertemuan dengan Tuhan, pengakuan akan terungkapnya hijab dan lain sebagainya. Kedua, kata-kata yang sulit untuk dipahami isinya. Secara sepintas kelihatan menarik dengan susunan kalimatnya yang indah. Akan tetapi semua itu hanya merupakan omong kosong tanpa isi. Model yang kedua inilah yang paling banyak ditemui. Al-Sirhindi melihat bahwa sathahat merupakan serangkaian ucapan yang terlontar ketika  dalam kedaan ekstase dimana para sufi tengah tercengkram oleh kekuatan supra. Selanjutnya ia mengklasifikasikan macam-macam sath kepada empat bagian.
            Pengalaman Abu Yazid dalam sathahatnya menimbulkan berbagai pendapat dari kalangan sufi. Satu, misalnya dari ucapan yang kontroversial itu adalah ucapannya tentang tiada Tuhan selain aku, Mahasuci Aku, Mahabesar Aku. Hal itu dianggap oleh Sumun al-Misri dengan mengutus sahabatnya untuk menemui Abu Yazid maka diketuklah pintu rumahnya sehingga terjadi dialog antara keduanya:
            Abu Yazid      : “siapa di luar?”
            Tamu               : “Kami hendak bertemu dengan Abu Yazid”
            Abu Yazid      : “Abu Yazid siapa, di mana dia, sayapun mencari Abu Yazid”.
            Kemudian rombongan tamu itupun pulang dan memberitahukan hal tersebut kepada Zumun. Mendengar keterangan utusan tersebut Zumun berkata: “ Sahabatku Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedand fana.”
            Kalangan sufi berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Ada yang memberikan penafsiran hingga sesuai dengan tasawuf yang lazim seperti Abdul Qadir Jailani, al-Tusi, serta al-Junaid. Sementara yang lain tidak membenarkan hal itu seperti Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Salim. Di samping itu pula ada yang meragukan bahwa hal tersebut berasal dari Abu Yazid, seperti Abdullah al-Anshari dan Imam Zahabi. Melihat situasi semacam itu, al-Sahalji memperingatkan agar berhati-hati untuk tidak mencampur adukkan antara pendapat Abu Yazid dengan pendapat lain yang dinisbatkan kepadanya. Sedangkan al-Jurjani melarang untuk membicarakannya kecuali bagi mereka yang sudah setarap tingkatannya dengan maqam Abu Yazid. Tidak sampai di sini saja polemik itu bergulir bahakan kalangan ulama pun menanggapi ucapan yang dilontarkan Abu Yazid yang memang belum pernah didengar dari sufi sebelumnya. Mereka yang berpegang kepada syari’at secara lahiriyah telah menuduhnya kafir karena telah menyamakan dirinya dengan Tuhan. Sedangkan sebagian yang lain masih mentolelir ucapan tersebut dan menanggapi sebagai penyelewengan (inhiraf) bukan kekufuran.
Namun yang perlu dicatat bahwa Al-Sulami dalam Tabaqat al-Shufiyahh, Al-Tusi dalam al-Luma’, dan Al-Qusyairi dalam al-Risallah, telah membahas ungkapan-ungkapan Abu Yazid, yang ternyata sejalan dengan Al-quran dan sunnah, serta berpendapat bahwa tasawuf yang diajarkannya seiring dengan kedua sumber ajaran islam tersebut.

2.4  Tasawuf Falsafi Menurut Al-Hallaj

a). Biografi Al-Hallaj
Nama lengkap tokoh sufi legendaris ini adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansyur bin Muhammad al-Baidhawi, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Al-Hallaj. Ada berbagai pendapat tentang gelar al—Hallaj ini. Al-Salma menyatakan gelar Al-Hallaj diperoleh ketika Al-Manshur berada di Wasit menjumpai  seorang penenun. Ia berkata, “pergilah engkau untuk menggantikan kesibukanku, aku akan menggantikan kesibukanmu.” Ketika penenun itu kembali lagi, ia telah mendapati kapas-kapasnya telah tersusun. Sejak itu Al-Husain di gelar dengan Al-Hallaj. Menurut Baghdadi seperti dikatakan anaknya sendiri, dia mampu menguraikan rahasia-rahasia manusia sehingga digelari dan dipanggil dengan Hallaj al-anrar, disingkat Al-Hallaj. Dikatakana pula karena ayahnya seorang penenun di Wasit maka Al-Husain disebut dengan Al-Hallaj (Athar Abbas rivai, 1978:57). Sementara itu menurut Al-Taftazani (hal.124), ia dinamai Al-Hallaj karena memang pekerjaannya sebagai penenun.
Ia lahir pada tahun 244 H/858 M di Thur, salah satu desa sebelah timur laut Baidha’ Persia, dimana Sibawaih pernah dilahirkan. Kakeknya, Muhammad adalah seorang Majusi sebelum masuk Islam. Namun riwayat ini kurang begitu kuat. Adapunyang banyak dipegangi oleh ahli sejarah sufi adalah yang menyatakan bahwa ia keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.[3]
Dia mulai dewasa di kota Wasit, dekat Baghdad. Dan ketika berusia16 tahun yaitu tahun 260/873, dia pergi belajar pada seorang sufi besar yang terkenal yaitu Sahl Ibn Abdullah at-Tusturi di negeri Ahwaz selama dua tahun. Setelah belajar  dengan at-Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada sufi ‘Amr al-Makki, dan di tahun 264/878 dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Untuk menambah pengetahuan dan pengalamannya dalam ilmu tasawuf, dia pun mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain. Dikatakan, bahwa dia pernah berkunjung ke Mekah tiga kali. Ketika tiba di Mekah untuk pertama kalinya tahun 897 M, dia mencoba mencari jalan sendiri untuk bersatu dengan Tuhan. Namun setelah dia menemukan jalannya sendiri dan disampaikannya kepada orang lain, justru dianggap gila. Oleh karena itu, dia meninggalkan kota tersebut setelah bermukim di sana sekitar setahun, dan kembali ke Baghdad.
Dalam semua perjalanan yang telah beliau lakukan diberbagai kawasan Islam (Khurasan, Ahwaz, India Turkistan dan Makkah) telah membuat beliau memiliki banyak pengikut. Pada tahun 296 H/909M beliau kembali ke baghdat dan jumlah pengikutnya semakin banyak karena kebobrokan pemerintah yang berkuasa saat itu. Beliau bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nash Al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik, pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj selalu medorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan  dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan dari Al-Hallaj dan Al-Qusyairi mengenai “pemerintah yang bersih” itu sangat berbahaya karena khalifah  boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambing. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur yang membuat pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman keras dan pengaruh dalam stuktur politik.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulama fikih bernama Ibnu Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memeberantas fahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang mementingkan zahir nas belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadapdiri al-Hallaj, ucapan Al-Hallaj “ana al-haqq” yang tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkapnya dan memenjarakannya. Sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sipir penjara.
            Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Setelah bersembuyi empat tahun lamanya di kota itu tetap tidak merubah pendiriannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara selama delapan tahun. Lamanya di penjara ini tidak menyebabkan ia luntur pendiriannya. Akhirnya pada tahun 309 H (921 M) diadakan persidangan ulama pengawasan Bani Abbas, Khalifah al-Mu’tasim Billah. Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulkaiddah 309 (921 M) al-Hulluj dijatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib sesudah dipotong kedua tangan dan kakinya, lehernya dipenggal dan dibiarkan tergantung di gerbang kota Baghdad kemudian dibakar dan abunya dibuang ke sungai Tigris.[4]
Ada beberapa tuduhan yang menyebabkan Al-Hallaj dihukum mati, disalib, dan digantung yakni:
1.      Ia mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramithah, suatu sekte Syi’ah yang mempunyai paham komunis, yang pernah menyerang Makkah tahun 930 M, merampas Hajar Aswad yang dikembalikan oleh kaum Fatimi tahun 951 M, dan menentang pemerintahan Bani Abbas, mulai dari abad ke-10 sampai abad ke-11;
2.      Keyakinan para pengikutnya bahwa ia mempunyai sifat ketuhanan;
3.      Ucapanny, “Ana al-Haqq”,
4.      Ibadah haji secara fisik lahiriah tidak wajib (Harun nasution, hal. 87)
Akan tetapi penyebab yang paling jelas adalah faktor politis, di mana kedudukan dan pandangan-pandangan Al-Hallaj yang Sunni waktu itu dikhawatrikan mengancam gerakan penguasa dan pejabat Syi’ah yang sedang melancarkan gerakan bahwa tanah merebut kekhalifahan Al-Muqtadirbillah, dibantu oleh para fuqaha’ Sunni yang memiliki kepentingan politik ataupun berseteru dengan Al-Hallaj , seperti Daud al-Dzahiri. Sementara dalih-dalih teologi cenderung hanya sebagai kamuflase, serta lebih terkesan dicari-cari guna mendapatkan fatwa dihalalkannya darah Al-Hallaj untuk kelancaran proses pengadilan hukuman mati bagi sang Martir sufi ini (Mulyadi Kartanegara, dalam pengantar Gilani Kamran, 2001:vii-xv, 15-18).
Pada riwayat lain disebutkan bahwa saat digantung, ia dipecut 1000 kali tanpa mengeluh,  saat tangan dan kakinya dipotong juga tidak mengeluh, lalu kepalanya dipancung. Sebelumnya, ia sempat shalat sunnah dua rakaat dengan sejadah Al-Syibli. Badannya kemudian digulung dengan tikar bambu, direndamkan ke Naftah dan dibakar. Abunya dihanyutkan di sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk selanjutnya dipersaksikan oleh umat Islam di sana (Ghazur al-Ilahi, 1986).   
Muhammad Ghallab menyatakan bahwa Al-Hallaj dinaikan oleh para algojo keatas menara yang tinggi, di kerumuni oleh orang banyak, termaksuk para murid dan pengikut setianya. Saat itu dimana orang banyak diperintahkan untuk melemparinya dengan batu, dia selalu mengulang-ulang kalimat yang membawanya ke hukuman mati, yakni “Ana al-Haqq”. Ketika disuruh membaca syahadat, dia berteriak, “sesungguhnya wujud Allah itu telah Jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat.” Menurut Ghallab, kalimat ini merupakan pengulangan terhadap kalimat yanng pernah diungkapkan oleh Al-Syibli (Muhammad Ghallab, t.t:95). Dia menerima semua hukuman yang kejam itu dengan tersenyum, termasuk ketika para algojo memotong lidah dan mencungkil kedua matanya. Pada saat itu, justru dia berisyarat memintakan ampun bagi para algojo serta para pembantunya, dengan pernyataan do’a’ yang terkenalnnya “ mereka semua adalah Hambamu mereka semua berkumpul untuk membunuhku karena fanatik terhadap agama-Mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah mereka. Andaikan kau singkapkan kepada mereka apa yang kau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak melakukan apa yang mereka lakukan.” Di antara para muridnya yang dengan setia mengikuti perjalanan gurunya hingga wafat adalah abuu Bakar al-syibli dan Abu Hasan al-Wasithi. Al-junaidi juga ikut dalam kerumunan orang banyak tersebut, dan tidak lama kemudian wafat.
Ibn Suraij memberikan informasi bahwa Al-Hallaj adalah tipe sempurna ulama islam. Ia hafal Al-quran dan syarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fikih dan hadis, serta memiliki kemampuan tinggi dan sempurna dalam tasawuf. Pribadinya pun dihiasi hampir dengan semua kesalehan (Ibnu Khalikan,t.t, II:144) sehingga kepribadiannya ini mampu melahirkan karya-karya gemilang mengenai tasawuf.
b). Pemikiran A-Hallaj
   1. Ajaran tentang al-Hulul
            Menurut etimologi, kata al-hulul adalah bentuk masdar dari fi’il: حل – يحل  yang berarti “bertempat di” atau “tinggal di”. Sedangkan kata adalah isim al-makan dari kata la di atas, berarti tempat yang di tempati.[5]Dikaitkan dengan konsep al-hulul  (الحلول)  di atas, maka tubuh manusia dapat disebut mahall (المحل) .
            Adapun menurut terminologi, al-hulul adalah ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki tubuh manusia-manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaannya yang ada dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu.[6]
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu Lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tuhan pun menurutnya, mempunyai sifat kemanusiaan di samping sifat ketuhanan-Nya. Dengan dasar inilah maka persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa saja terjadi. Dan persatuan inilah, dalam ajaran al-Hallaj disebut dengan al-hulul (mengambil tempat).
            Paham al-Hallaj di atas didasari oleh konsep penciptaan Adam. Menurutnya, sebelum Tuhan menciptakan makhluk-Nya, Dia hanya melihat dirinya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadi dialog antara Dia dengan diri-Nya sendiri, dialog yang di dalamnya tidak ada kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang  dilihat-Nya hanyalah kemuliaan dan ketinggian dzat-Nya. Dan Dia pun cinta terhadap dzat-Nya itu. Cinta yang tak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab dari segala yang ada (makhluk-Nya).  Kemudian Dia pun mengeluarkan  dari yang tiada (العدم)  bentuk dari diri-Nya dan bentuk itu adalah Adam. Maka pada diri Adamlah, tuhan muncul dalam bentuk-Nya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan.
            Dengan cara demikian, maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam diri-Nya. Hal tersebut didasarkan atas tafsiran-Nya terhadap firman Allah swt.:
واذ قلنا للملائكة اسجدوا فسجدوا إلا ابليس أبى واستكبر وكلن من الكافرين.
            Menurutnya, ayat tersebut di pandang sebagai perintah kepada para malikat agar bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Adam Allah bersemayam atau menjelma sebagaimana halnya dalam diri Isa a.s.
            Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat dipahami dari isyarat yang terdapat dalam sebuah hadits yang sangat berpengaruh di kalangan sufi. Hadits ini mengandung arti bahwa di dalam Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut Lahut manusia. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut Nasut Tuhan.[7]Tentang sifat lhut dan nasut Tuhan, dapat dilihat dari syair al-Hallaj berikut:
سبحان من اظهر نسواه سرسنا لا هوته الشاقب تم بدا المحلقة ظاهرا فى صورة الأكل والشباب........[8]
Mahasuci diri Yang sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
Selanjutnya, menurut al-Hallaj untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dalam bentuk huful, maka sufi terlebih dahulu harus menghilagkan nasutnya melalui alfana’. Jika sifat-sifat kemanusiaan telah hilang dan tinggal hanyalah sifat ketuhanan (lahut) dalam diri manusia, maka pada saat itulah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu pula roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia (sufi).
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut:
مزجت روحك فى روحى كما تمزح الخمرة بالماء الزلال فاذا مسك شيئ مسنى فإذا انت فى كل حال
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuh pula
Maka, ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
انا من اهوى انا نحن روحنا حللنا بدنا فاذا ابصرتنى ابصرته واذا بصرته ابصرتنا
Aku adalah Dia Yang kucintai,
Dan Dia yang kucintai adalah ku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
Jika engkau melihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, Engkau lihat kami.
Ketika mengalami huful yang digambarkan di atas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan (Akulah yang Maha Benar).[9]
            Jika demikian halnya, berarti al-Hallaj mengaku dirinya Tuhan. Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Sebab dalam syair lain dia mengatakan:
“Aku adalah rahasia Yang Mahabesar”
Yang Mahabenar bukanlah aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami.”
            Dalam syair diatas, al-Hallaj dengan jelas mengatakan bahwa dirinya bukanlah Yang Mahabenar (Tuhan). Perkataan انا الحق   haruslah dipahami sebagai kata-kata yang keluar dari mulut seorang sufi dalam keadaan al-fana’ dalam keadaan tidak sadar karena sedang mabuk bercinta dengan Tuhan. Kata menurut Harun Nasution, bukanlah kata-kata al-Hallaj sendiri, akan tetapi dia adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj.
            Ada dua hal yang dapat dicatat dalam paham al-hulul yang dikemukakan oleh al-Hallaj. Pertama, bahwa paham al-hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari mahabbah sebagaimana yang dibawa Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kata-kata cinta yang dikemukakan al-Hallaj. Kedua, al-hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun Harun Nasution membedakan persatuan rohaniah yang dialami oleh Abu Yazid dalam ittihad, dengan kesatuan rohaniah yang dialami al-Hallaj melalui al-hulul. Dalam persatuan melalui al-hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tak hilang, sebagaimana halnya dengan Abi Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam faham al-Hallaj, dirinya tak hancur sebagai diungkapkan dalam syairnya tentang hulul di atas. Dengan kata lain, kalau dalam ittihad, yang dilihat oleh Abu Yazid hanya satu wujud yaitu Tuhan, maka dalam al-hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh manusia yang telah dipilih Tuhan untuk ditempatinya.

2.5  Tasawuf Falsafi Ibn ‘Arabi

  1). Biografi Ibn ‘Arabi
Biografi lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H., dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.[10]Tahun 620 H., ia tinggal di Hijaz dan meningal di sana pada tahun 638 H. Namanya biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi, yaitu kakaknya yang menjabat qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadist serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Az-Zhahiri.
Di usia 6 tahun (568 H), karena situasi politik di Murcia memburuk, keluarga Ibn ‘Arabi pindah ke Sevilla sebuah kota pendidikan sufi di spanyol. Selain mendapat bimbingan ayahnya, di Sevilla ia juga dibimbing beberapa guru dalam bidang tafsir, hadits, fiqih, teologi dan tasawuf. Bidang tasawuf ia tekuni sejak ia berusia 20 tahun dengan mengunjungi beberapa tokoh sufi di Andalusia. Setelah berusia 30 tahun, ia memulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian barat. Di antara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama seperti Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari[11]dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak memengaruhi ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi.  Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib istana dinasti Barbar dari Alomohad, di Kordova. Ia pun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibn Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak pengaruh di Andalusia. Di tahun 598 H lawatannya dialihkan ke belahan timur yaitu Mesir, Hijaz, Irak dan kemudia menetap di Damaskus hingga wafat di tahun 1240 M. (638 H).
            Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat  Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjumn Al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia. Karya lainnya, sebagaimana dilaporkan oleh Muolvi, adalah Masyahid Al-Asrar, Mathali’ Al-Anwar Al-ilahiyyah, Hilyat Al-Abdal, Kimiya’ As-Sa’adat, Muhadharat Al-Abrar Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasa’il Al-Ilahiyah, Mawaqi’ An-Nujum, Al-Jam’ wa At-Tafshil fi Haqa’iq At-Tanzil, Al-Ma’rifah Al-Ilahiyah, dan Al-Isra’ ila Maqam Al-Atsna.[12]
Sebagai seorang sufi yang bertanggung jawab membimbing umat, Ibn ‘Arabi banyak menuliskan nasihat dan wasiat yang sebagian besar terangkum dalam kitab al-wasaya li Ibn ‘Arabi. Di antara wasiatnya adalah mengenai salat witir sebelum tidur, ia menuturkan; hendaknya engkau berhati-hati, jangan sampai tidur kecuali setelah menunaikan salat witir. Sebab Allah menggenggam ruh manusia ketika sedang tidur dalam bentuk Dia melihat diri-Nya pada ruh itu jika Dia melihat. Jika Dia berkehendak, dikembalikan-Nya pada ruh itu dan jika Dia ingin menahannya maka akan Dia tahan meski ajalnya telah tiba.
Setelah mengemukakan beberapa wasiatnya, Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa barang siapa memahami wasiat ini, maka ia akan mengetahui kejadian manusia dan malaikat. Prinsipnya adalah satu, sebagimana halnya Tuhan kitapun satu. Bagi-Nya adalah persamaan (al-asma) yang saling berlawanan karena itu wujud pun berupa bentuk nama-nama itu.
            Tasawuf yang dianut Ibn ‘Arabi adalah tasawuf falsafati yang oleh sebagian ulama ditantang keras, karena tasawufnya dipandang mengandung ajaran yang menyimpang dari kebenaran, namun demikian tidak sedikit pula kaum sufi menghormati dan menyanjungnya sebagi sufi besar, ajarannya cukup bergema pada tarekat-tarekat yang berkembang luas pada abad-abad sesudahnya. Salah satu faham yang dikembangkannya dalam bidang tasawuf adalah faham wahdat al-wujud.
2).  Pemikiran Ibn ‘Arabi
a.       Wahdat Al Wujud 
Ajaran sentral Ibn ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dar Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut, atau setidak-tidaknya, Ibn Taimiyah yang telah berjasa dalam memopulerkannya ke tengah masyarakat islam, meskipun tujuannya adalah negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat al-wujud.
Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.[13]
Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn ‘Arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian khaliq). Sebab kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibn ‘Arabi. Akan tetapi, perlu pula disadari bahwa kata-kata Ibn ‘Arabi pun banyak yang membawa pada pengertian seperti yang dipahami oleh Ibn Taimiyah meskipun di tempat lain terdapat kata-kata Ibn ‘Arabi yang membedakan antara Kahliq dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam.
            Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikaktnya adalah wujud Khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khaliq dan makhluk) dari segi hakikatnya. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada apa Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn ‘Arabi berikut ini:
سبحان من أظهر الشياء وهو عينها.
Artinya: “Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.”[14]
            Menurut Ibn ‘Arabi, wujud alam pada hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khaliq dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Bahkan, antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn ‘Arabi mengemukakannya lewat sya’irnya berikut.
العبد رب والرب عبد #  ياليت شعوري من المكلف
إن قلت عبد فذاك رب #  أو قلت رب أنى يكلف
Artinya: “Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba.
Demi syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf?
Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga.
Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibekali taktid?[15]
            Kalau antara Khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khaliq dari sisi yang lain. Jika mereka memandang  keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ibn ‘Arabi pun menyatakan dalam sya’irnya sebagi berikut:
فلحق خلق بهذا الوجه فاعتنبوا
            وليس خلقا بذاك الوجه فاذكروا
من يدرما قلت لهم تخذل بصيرته
            وليس يدريه إلا من له بصر
جمع وفرق فإن العين واحد
            وهي الكثيرة لا تبقى ولا تذر

Artinya: “Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menagkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikatnya itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar.”
            Dari keterangan di atas terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah Barat disebut Panteisme dan didefinisikan Henry.
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme, pemahaman Ibn Taimiyah tetntang wahdat al-wujud ada benarnya. Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya.
            Ajaran wahdat al-wujud ini mirip (dan mungin pengembangan diri) ajaran al-hulul yang dibawa al-Hallaj. Kalau dalam al-hulul Allah yang menempatkan diri dalam tubuh manusia dinamakan lahut, sedangkan dalam wahdat al-wujud disebut al-haq, demikian pula kalau hakikatnya hanya satu sebagai wujud mutlak dan karena adanya kesatuan wujud inilah maka paham yang dikembangkan Ibn ‘Arabi disebut wahdat al-wujud.
Dalam kitabnya al-futuhat al-Makkiyah dapat ditemukan beberapa statemen Ibn ‘Arabi yang berkaitan dengan doktrin wahdat al-wujud misalnya wujud tiada lain dari al-Haqq, karena tidak ada sesuatu pun dalam wujud, selain Dia. Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-haqq dan Dia adalah satu. Tidak ada keserupaan dalam wuud dan tidak ada pertentangan dalam wujud, karena sesungguhnya wujud adalah satu realitas dan sesutau tidak bertentang dengan diri-Nya sendiri.[16] 
            Meski demikian, perlu diingat bahwa apabila Ibn ‘Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud, menurut Ibn ‘Arabi adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apa pun selainTuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam dan tidak memiliki wujud. Kesimpulannya, kata wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan tetapi, kenyataannya, Ibn ‘Arabi juga menggunakan kata wujud untuk menyebut sesuatu selain Tuhan. Namun, ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam, hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas uraianya, Ibn ‘Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
            Dalam bentuk lain, dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh Khaliq (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud  selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud, seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai yang bergantung pada wujud luar dirinya, yaitu wujud Tuhan.
            Selanjutnya, Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam. Menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan.
            Menurut Ibn ‘Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapa pun.
Pandangan Ibn ‘Arabi tentang proses penciptaan alam  tidak terlepas dari pandangan tentang alam semesta yang merupakan tajalli, Tuhan lewat asma dan sifat-Nya. Sehingga proses penciptaan menurut Ibn ‘Arabi dipandang sebagai luapan dari nilai-nilai samawi dalam artian wujud alam ini dikeluarkan dan diwujudkan dari keadaan tiada (al-‘adam) menjadi ada, sebagai diutarakan Ibn ‘Arabi:
الحمد لله الذى أوجد الأهيا من مدم وعدمه
Maksudnya: Segala puji bagi Allah yang telah mewujudkan sesuatu dari tiada dan ketiadaan.
Menurut Ibn ‘Arabi, al-‘adam dalam kaitannya dengan proses penciptaan adalah ketiadaan wujud di luar diri-Nya. Segala yang ada pastilah bersumber dari dzat-Nya, sehingga al-‘adaam itu berarti ketiadaan wuud empirik, namun nyata dalam hakikatnya dan kekal dalm ilmu pengetahuan, sebab setiap saat akan menjadi wujud yang konfkrit di saat Tuhan menghendakinya.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn ‘Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan sya’irnya:
وما الوجه إلا واحد, غير انه إذا أنت أعددت امرايا تعددا.
Artinya: “Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.”
Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn ‘Arabi merujuk sebuah hadis Qudsi:
كنت كنزا مخفيا فأ حببت أن أعرف فخلقت الخلق فبه عرفوني.
Artinya: “Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku ciptakan makhluk. Lalu, dengan itulah mereka mengenal aku”.
Diilhami oleh riwayat di atas, Ibn ‘Arabi mengemukakan statemen bahwa keberadaan realitas sebagai suatu yang tidak akan dapat diketahui wujudnya tanpa ia ada dan diketahui keberadaanya.  Oleh karena itu keberadaan realitas tidaklah mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada yang mewujudkan, sebaliknya yang mewujudkan juga tidak akan mungkin dapat diketahui tanpa ada sesuatu yang ia wujudkan punya keterikatan yang tak terpisahkan.
Selanjutnya, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa firman Allah, ليس كمثله شيء  mengandung pengertian, “Tanzihkan-lah Dia”, sedangkan firman-Nya, وهو السميع البصير   mengandung pengertian, “Tasybihkan-lah         Dia”. Dengan demikian, firman Allah,   ليس كمثله شيء وهو السميع البصير    mengandung pengertian, “Tasybih-kanlah Dia dan jadilah dualistis, dan Tanzih-kanlah Dia dan  jadilah monistis.
            Dari kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn ‘Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari apa adanya persamaaan. Di samping itu, jika merujuk pada definisi panteisme yang telah dirumuskan oleh Norman L. Geisler yang menyatakan tidak ada pencipta di luar alam, wahdat al-wujud menurut konsep Ibn ‘Arabi masih mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya, mazhar asma dan sifat-sifat-Nya, sebab Ibn ‘Arabi memandang ajarannya sebagai ajaran tauhid yang mensucikan dzat Tuhan dari persamaan dan persekutuan dengan segala makhluk-Nya, tidak ada maujud yang hakiki kecuali dzat yang mahakuasa.
b.      Haqiqah Muhammadiyah
Tuhan Allah adalah suatu dan satu. Dialah Wujud Yang Mutlak. Maka Nur (cahaya) Allah itu sebagian dari dirinya. Itulah Hakikat Muhammadiyah. Dari padanyalah terjadi segala alam dalam setiap tingkatnya. Seumpama alam jabarut, alam malakut, alam mitsal, alam ajsam, dan alam arwah. Dia segenap kesempurnaan ilmu dan amal, yang terdapat pada Nabi sejak Adam sampai Muhammad dan sampai kepada wali-wali.   
            Menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah  sebagai berikut:
1.      Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
2.      Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3.      Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4.      Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5.      Alam materi, yaitu alam indrawi.
Selain itu, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak bisa dipindahkan dari ajaran Haqiqah Muhammadiyyah atau  Nur Muhammad.       Dia tetap ada, Hakikat Muhammadiyah itulah yang memenuhi tubuh Adam dan Muhammad. Dan apabila Muhammad telah mati sebagai tubuh namun Nur Muhammad atau Hakikat Muhammadiyyah itu tetaplah ada, sebab dia sebagian dari Tuhan. Jadi: Allah, Adam, Muhammad adalah satu.
Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun.
Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagimana yang dikemukakan di atas.
Dengan demikian, Ibn ‘Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio) akan tetapi berawal dari wujud potensial yang menjadi inti dari segala yang ada. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak adam sampai Muhammad dan kalangan para wali dan person-person insan kamil (manusia sempurna). Ibn ‘Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyyah tersebut dengan quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.[17]
Demikianlah kumpulan faham ini yang telah dipopulerkan. Kalau kita selidiki ke dalam kitab-kitab Ibnu ‘Arabi sendiri, bila kita hendak menangkap kesimpulan itu, kita akan bertemu dengan berbagai “jalan keluar” yang telah disediakannya, yaitu kata-kata rumus dan isyarat.
c.       Wahdatul Adyan (kesatuan agama)
Adapun yang berkenan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesatuan agama), Ibn ‘Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup realitas dzat Tuhan yang tunggal sebagaimana yang dikemukakannya dalam sya’irnya:
“kini kalbuku bisa menampung semua
Ilalang perburuan kijang atau biara pendeta
Kuil pemuja berhala atau ka’bah
Lauh Taurah dan mashaf Al-Quran
Aku hanya memeluk agama cinta ke mana pun kendaraan-kendaraanku mengahadap. Karena cinta adalah agamaku dan imanku.”

Jadi agama itu semuanya, walaupun beragam bagi namanya tuuan atau isisnya hanya satu. Tidaklah patut ada perselisihan di antara satu dengan yang lain. Faham kesatuan agama ini amat besar pengaruhnya. Jika dahulu oleh al-Hallaj hanya sebagian pancaran perasaan, bagi Ibnu ‘Arabi adalah satu filsafat pandangan hidup. Orang-orang yang mempercayai dan penuh iman dalam agamanya dengan sendirinya harus timbul rasa kesatuan agama itu dalam hatinya.
            Apabila agama telah diiringkan oleh keluasan pengetahuan dan dihindarkan segala fanatik dan taklid, lalu kembali kepada kemurnian fitrah insani, dengan sendirinya akan timbullah kesatuan inti-sari agama, walaupun tempat manusia tegak itu berlain-lain. Menurut para penulis, pernyataan Ibn ‘arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antar visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf Falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya yang berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1993. Tasauf, Perkembangan dan Pemurnianya. Jakarta: PT Pustaka Panjimas
Suryadilaga, M. Alfatih. 2008. Miftahus Sufi. Yogyakarta: Penerbit Teras
Mufid, Husnu. 2009. Tokoh Wahdatul Wujud. Bantul: Kreasi Wacana Offset
Sholikin, Muhammad. 2008.  Tradisi Sufi dari Nabi. Yogyakarta: Cakrawala
Solihin & Anwar, Rosihan. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.




[1]Abu wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Tasawuf islam. Jakarta: 233-235
[2] Abu Hussein Ahmad bin Faris bin Zakariya, mu’jam Maqdiyis al-Lughah (Kairo Mustafa al-Halabi, 1969), h. 276.
[3]K.H. Muhammad Sholikin. Tradisi sufi dari nabi.Yogyakarta. hal: 179
[4]Ibid, hal: 180
[5] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, jilid IX (Beirut; Dar al-Fikr, t.th.), h. 163.
[6] Abu Nasr al-Tusi, al-Luma’ (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisat, 1960), h. 541.
[7] Harun Nasution, Konstektualisasi, 174.
[8] Ibrahim Basyuni, Nasy’at al-Tasawuf al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th).
[9] Harun Nasution, Konstektualisasi, 175. dalam istilah para sufi, kata-kata seoerti al-Haqq, yang berarti Yang Maha Benar digunakan dalam arti Tuhan sang Pencipta, sebagai lawan dari al-Khalaq (ciptaan) lihat R. Nicolson, The Idea a of Personality in Sufisme (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delhi 1976), h. 29.
[10] Ahmad Mubarok, “Tasawuf dan Psikologi Islam”, dalam Jurnal Refleksi, vol. Vi, no. 1, 2004, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2004, h. 193
[11] Ibid., h. 201
[12] Maolavi S.A.Q. Husaini, Ibn Al-‘Arabi, Muhammad ashraf Lahore, t.t., h. 34-36
[13] Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah: Bathal Al-Ishlah Ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977, h. 59.
[14] Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyyah jilid II, Dar Shadir, Beirut, t.t., h. 604
[15] Ibn ‘Arabi, Fushush Al-Hikam wa At-Ta’limat ‘alaih, Ed. Abu Al-‘Ala ‘Afifi, Dar al-Fikt, Beirut, t.t., h. 92.
[16] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, vol. IV, 216-219; dan Fusus al-Hikam, vol II (Beirut: Dar al-Kitab al’Arabi, 1980), h. 90.
[17] Muhammad Yasir Syaraf, Harakat At-Tasawuf Al-Islami, Al-Hai’at Al-Mishriyyah Al-‘Ammah li Al-Kitab, Mesir, 1987, h. 211-222.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Kami