MAKALAH
PENDEKATAN KEPEMIMPINAN
Dosen Pembimbing :
Vivin Maharani, M.Si
Disusun Oleh:
M. Adib Zen (09510135)
Siti Rohmawati (11510051)
Roro Suci Palasari (11510102)
Mohamad Bastomi (11510131)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat, taufik serta hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan untuk menyusun makalah dengan judul “PENDEKATAN KEPEMIMPINAN guna memenuhi tugas Semester empat.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:
- Ibu Vivin Maharani, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah TEORI DAN PERILAKU ORGANISASI yang memberikan arahan dan masukan dalam makalah ini.
- Serta semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini yang tidak mingkin kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Demi tercapainya suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
Malang, 08 April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepemimpinan adalah subyek yang telah lama menarik perhatian banyak orang. Istilah yang mengkonotasikan citra individual yang kuat dan dinamis yang berhasil memimpin di bidang kemiliteran, memimpin perusahaan yang sedang berada di puncak kejayaan, atau memimpin negara.
Sehingga berbagai pertanyaan pun muncul tentang kepemimpinan yang telah lama menjadi sunyek spekulasi, tetapi penelitiannya sendiri secara ilmiah baru dimulai setelah abad kedua puluh. Fokus perhatian dari para peneliti lebih banyak pada aspek efektivitas kepemimpinan. Para ilmuwan sosial berusaha untuk mengetahui ciri-ciri, kemampuan, perilaku, sumber-sumber kekuasaan atau aspek situasi yang menentukan bagaimana pemimpin yang baik dapat mempengaruhi para pengikutnya dan meyelesaikan masalah di dalam kelompoknya.
Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan. Suatu ungkapan mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan, merupakan ungkapan yang mendukung posisi pemimpin dalam suatu organisasi pada posisi yang terpenting.
Sementara itu seorang pemimpin juga digambarkan sebagai seorang pengembala, dan setiap pengembla akan ditanyakan tentang perilaku penggembalaannya. Dimana ungkapan ini membuktikan bahwa seorang pemimpin apapun wujudnya, dimanapun letaknya akan selalu mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Pemimpin seperti ini lebih banyak bekerja dibandingkan berbicara, lebih banyak memberikan contoh-contoh baik dalam kehidupannya dibandingkan berbicara besar tanpa bukti, dan lebih banyak berorientasi pada bawahan dan kepentingan umum di bandingkan dari orientasi dan kepentingan diri sendiri.
Membicarakan kepemimpinan memang menarik dan dapat dimulai dari sudut mana saja. Dari waktu ke waktu kepemimpinan kepemimpinan menjadi perhatian manusia. Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya dengan sejarah manusia. Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Disatu pihak manusia memilki kemampuan terbatas untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbul kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Defininisi dari sebuah kepemimpinan ?
2. Apa penyebab munculnya kepemimpinan beserta teorinya ?
3. Apa perbedaan kepemimpinan dengan managemen ?
4. Apa saja studi kepemimpinan yang muncul ?
5. Teori apa saja yang masuk masuk pada teori kepemimpinan tradisional ?
6. Teori apa saja yang masuk pada teori kepemimpinan modern ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dengan jelas definisi dan pengertian kepemimpinan.
2. Mengetahui beberapa penyebab munculnya seorang pemimpin berdasarkan teori yang ada.
3. Mengetahui dengan jelas perbedaan antara kepemimpinan dan managemen.
4. Mengetahui studi kepemimpinan yang pernah muncul beserta pengaruh yang timbul.
5. Mampu membedakan teori-teori yang masuk pada teori kepemimpinan tradisional.
6. Mampu membedakan teori-teori yang masuk pada teori kepemimpinan modern.
BAB II
PEMBAHASAN
Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam setiap organisasi karena kepemimpinan inilah yang akan menentukan sukses atau gagalnya sebuah organisasi. Salah satu elemen pokok yang menjadi perhatian setiap organisasi adalah bagaimana caranya untuk menarik, melatih, dan mempertahankan orang-orang yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang efektif.
Para peneliti telah menentukan bahwa banyak praktik-praktik kepemimpinan tipikal sekarang ini tidak akan bias berjalan dengan baik pada masa mendatang, dan hal ini tidak diartikan akan terjadi dalam rentang waktu yang lama, tetapi relative segera. Sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa cara dalam memimpin sekarang mungkin sebagian besar sudah tidak efektif lagi karena prkembangan yang cepat dari tuntutan-tuntutan baru tentang tenaga kerja, kualias dan kuantitas pekerjaan, dan kondisi tempat kerja.
Banyak studi yang menunjukkan bahwa variasi dalam perilaku seorang pemimpin biasanya memiliki hubungan dengan variasi dalam moral kelompok atau produkvitas kelompok. Oleh karena itu, yang perlu kita ketahui adalah bagaimana untuk memilih orang-orang yang memiliki pendekatan yang baik dan benar, bagaimana melatih mereka, dan di mana menempatkan mereka. Untuk mengerjakan ini semua secara baik, dituntut suatu pengertian yang jelas dan tepat tentang apa yang dimaksudkan dengan kepemimpinan.
2.1 Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan bukanlah suatu watak yang secara umum diterima seperti “kharismatik”, sangat berpengaruh , atau sangat disukai, situasi tertentu sesuatu yang berhubungan dengan produktivitas kelompok pada situasi tertentu yang diberikan.([1]) Kepemimpinan yang akan dianggap terbaik, tergantung adanya kombinasi yang tepat antara karakteristik pribadi dengan situasi spesifik yang dihadapi di tempat kerja.
Miftha Thoha dalam bukunya Prilaku Organisasi (1983: 255). Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya.
Kartini Kartono (1994 : 33). Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Mantan presiden Soeharto menjelaskan pengertian kepemimpinan berdasarakan asas kepemimpinan Hasta Brata (delapan laku kepemimpinan). Delapan laku tersebut antara lain:
· Lir Surya (matahari) Dengan lambang ini diharapkan seorang pemimpin dapat berfungsi seperti matahari bagi yang dipimpin. Dapat memberi semangat, memberi kekuatan dan daya hidup bagi orang-orang yang dipimpinnya.
· Lir Candra (bulan) Dengan lambang ini seorang pemimpin hadaknya berfungsi sebagai bulan, yakni membuat senang bagi anggotanya dan memberi terang pada waktu gelap. Ketika dalam keadaan sulit, Sang pemimpin mampu tampil untuk memberi jalan terang atau jalan keluar dari kesulitan.
· Lir Kartika (bintang) Bintang adalah sebagai pedoman bagi pelaut atau pengarung samudra. Dengan lambang ini pemimpin handaknya berteguh iman takwa, memiliki teguh pendirian sehingga menjadi pedoman dan panutan bagi rakyatnya yang mungkin kehilagan arah.
· Lir Samirana (angin) Dengan lambang ini, diharapkan seorang pemimpin bersifat seperti angin, teliti, tidak mudah dihasut. Dia harus “manjing ajur ajer” bergaul dengan rakyat lapisan manapun, guna mencari masukan untuk menetapakan kebijakan dan keputusan.
· Lir Mega mendung (awan hujan) Mendung memberi kesan menakutkan, tapi apabila hujan turun akan bermanfaat bagi bumi. Dengan lambang ini, pemimpin diharapkan dapat tampil berwibawa, namun keputusan dan kebijakan yang diambilnya hemdaknya bermanfaat bagi yang dipimpinnya.
· Lir Dahana (api) Dengan lambang ini, diharapkan seorang pemimpin tegas dan keras seperti api dalam menegakkan disiplin dan keadilan.
· Lir Samudra (laut atau samudra) Dengan lambang ini, diharapkan pemimpin berwawasan luas, sanggup menerima dan mendengar persoalan, menyaringnya dan membuat suasana menjadi jernih kembali tanpa ada rasa dendam.
· Lir Bantala (bumi) Dengan lambang ini, diharapkan pemimpin tidak hanya mau berada diatas, tetapi juga bersedia dibawah. Sang pemimpin seolah-olah menjadi tempat pijakan, sentosa budinya, jujur dan murah hati bagi anak buahnya.
Menurut Robbins (1993), kepemimpinan itu didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok menuju pencapaian tujuan kelompok. Sumber dari pengaruh ini bisa saja formal seperti pengaruh yang diberikan oleh kedudukan manajerial tingkat tertentu dalam organisasi/perusahaan. Karena posisi manajemen biasanya disertai kewenangan tertentu yang secara resmi diberikan oleh organisasi, seseorang yang menjalankan peran kepemimpinan tersebut hanya sebatas posisi yang dipegangnya dalam organisasi itu. Tetapi, harus diingat bahwa tidak semua manajer adalah pemimpin. Para pemimpin bisa muncul dari dalam kelompoknya sendiri, tetapi juga bisa dengan penunjukan formal untuk memimpin sebuah kelompok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan pola hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.
2.2. Munculnya Kepemimpinan
Untuk mengetahui penyebab munculnya pemimpin, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu apa motivasi seseorang muncul menjadi pemimpin dan apa yang harus ditempuh untuk mendapatkan posisi tersebut. Sudah jelas bahwa posisi tersebut dapat memberikan keuntungan-keuntungan ekonomis yang lumayan, penghargaan-penghargaan, penghormatan. Semakin menantang jabatan seseorang, maka semakin semakin tinggi jabatan seseorang dalam organisasi, makin banyak input atau dampak yang dimilikinya terhadap kebijaksanaan organisasi. Jadi, banyak kemungkinan munculnya perasaan keberhasilan dan kesuksesan yang lebih besar buat mereka ini.
Tetapi, harus diingat bahwa untuk menjadi pemimpin, keinginan saja tidaklah cukup. Ada beberapa watak dan karakteristik yang lebih memungkinkan seseorang untuk mencapai jabatan pimpinan. Stogdill (cit. Mitchell, 1985) mengambil kesimpulan pertama dari bukti positif penelitian-penelitian sebelumnya:
a) Umumnya orang yang menduduki jabatan pimpinan melebihi rata-rata anggota kelompoknya, dalam hal-hal berikut ini:
· Intelegensia
· Tingkat pendidikan
· Ketergantungan pada tangggung jawab yang dipikul
· Aktivitas dan partisipasi sosialnya
· Status sosioekonominya.
b) Kualitas, karaktristik, dan keterampilan yang diperlukan seorang pemimpin ditentukan oleh besarnya tuntutan-tuntutan situasi yang dihadapinya sebagai pemimpin.
Dari bukti-bukti penelitian lainnya, dapat ditarik kesimpulan kedua bahwa rata-rata orang yang menduduki jabatan pemimpin melebihi rata-rata anggota kelompoknya dalam hal-hal berikut ini : a) sosiabilitas, b) inisiatif, c) ketegaran hati, d) mengetahui bagaimana pekerjaan-pekerjaan itu dan untuk dilaksanakan orang-orang lain, e) percaya diri, f) kewaspadaan atau intropeksi terhadap situasi-situasi tertentu, g) kooperatif, h) popularitas, i) kemampuan adaptasi, dan j) fasilitas verbal.
Dalam hal ini, dua hal penting yang perlu dicatat. Pertama, watak atau karakteristik tersebut adalah sesuatu yang secara esensial diharapkan seseorang. Orang-orang yang memperjuangkan posisi pimpinan sebaiknya memiliki karakteristik tertentu yang dapat membantu penyesuaian dengan orang lain, tetapi masih mampu menyelesaikan pekerjaan melalui orang-orang tersebut. Kedua, yang paling penting adalah keterampilan dan kemampuan yang ditunjang dengan kebugaran, dan keindahan fisik.
Pada kesimpulan studi Dipboye et al. (1977) tentang prospektif para calon yang akan memegang posisi manajerial, disebutkan bahwa kaum laki-laki lebih disukai daripada kaum wanita, calon-calon menarik secara fisik lebih sering dipilih daripada calon-calon yang tidak menarik, dan orang-orang yang berkualifikasi rendah. Jadi, jenis kelamin, daya tarik fisik dan kompetisi merupakan factor-faktor yang penting dalam seleksi untuk posisi manajerial. Selain itu, sejumlah karakteristik personal, interpersonal, dan situasional berpengaruh terhadap seseorang yang akan menjadi pemimpin.
Teori Kelahiran Kepemimpinan
Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) teori yang menonjol (Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1988:18), yaitu:
a. Teori Genetik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk” [Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi” termasuk “memiliki potensi atau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor “dasar”. Dalam realitas, teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.
b. Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan (Leaders are made and not born). Penganut teori berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dilatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.
c. Teori Ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.
Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat, dan lingkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasi dengan baik.
Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa, ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: (1) Bakat kepemimpinan yang dimilikinya. (2) Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan (3) Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut.
Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : (1) Membentuk diri sendiri (self constituded leader, self mademan, born leader). (2) Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi. (3) Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya (Imam Mujiono, 2002: 18)
2.3 Kepemimpinan versus Manajemen
Menurut Bernard Bass seorang ahli kepemimpinan menyimpulkan bahwa para pemimpin “memimpin” dan para manajer “mengelola” dimana kedua aktivitas tersebut tidaklah sama. Bass memberitahukan bahwa walaupun kepemimpina dan manajemen saling tumpang tindih, masing-masing melibatkan sekelompok aktivitas atau fungsi yang unik. Secara luas manajer biasanya melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan perencanaan, penyelidikan, pengorganisasian, dan pengendalian. Sementara pemimpin berurusan dengan aspek-aspek antar pribadi dari pekerjaan seorang manajer. Pemimpin memberikan inspirasi kepada orang lain, memberikan dukungan emosional dan mencoba untuk membuat para karyawan bergerak kearah tujuan umum. Para pemimpin juga memainkan suatu peran kunci dalam menciptakan suatu visi dan rencana strategis untuk suatu organisasi. Dan manajer bertugas untuk menerapkan visi dan rencana strategis tersebut.
Berikut suatu kerangka kerja konseptual untuk memahami kepemimpinan (perbedaan utama antara pemimpin dengan manajer: [2]
Karakteristik / ciri pemimpin : · Kebutuhan akan prestasi · Kebutuhan akan kekuasaan · Kemampuan kognitif · Ketrampilan interpersonal · Kepercayaan diri · Etika |
Variable-variabel situasional: Tingkat individu · Kekuasaan posisi pemimpin · Motivasi pengikut · Kejelasan peran pengikut · Kemampuan pengikut Tingkat organisasi · Kecukupan sumber daya · Tugas/teknologi · Struktur organisasi · Lingkungan eksternal |
Hasil akhir yang diinginkan: · Kinerja unit · Profitabilitas · Pencapaian tujuan · Kepuasan kerja · Organisasi yang belajar |
Perilaku / peran manajerial: · Peran interpersonal · Peran informasional · Peran pengambilan keputusan |
Kotter (1990) juga membedakan antara manajemen dan kepemimpinan dalam hal proses inti dan hasil yang diharapkan. Manajemen berusaha untuk membuat perkiraan dan aturan dengan :
1. Menetapkan sasaran operasional, membuat rencana tindakan berdasarkan jadwal dan menetapkan sumber daya
2. Mengorganisasi dan menugaskan (menentukan struktur, menugaskan orang ke berbagai pekerjaan)
3. Memantau hasil dan menyelesaikan masalah
Sedangkan kepemimpinan berusaha untuk membuat perubahan dalam organisasi dengan :
1. Menyusun visi masa depan dan strategi untuk membuat perubahan yang dibutuhkan
2. Mengkomunikasikan dan menjelaskan visi
3. Memotivasi dan memberi inspirasi kepada orang lain untuk mencapai visi itu
Baik manajemen maupun kepemimpinan keduanya melibatkan keputusan apa yang harus dilakukan, menciptakan jaringna hubungan untuk melakukanny, dan berusaha untuk memastikan hal tersebut terjadi. Nemun kedua proses itu mempunyai elemen yang betentangan; kepemimpinan yang kuat dapat mengacaukan aturan dan efisiensi, sementara manajemen yang kuat dapat menghalangi pengambilan resiko dan inovasi.
Kedua proses ini sangat dibutuhkan dalam keberhasilan organisasi. Karena jika hanya manajemennya saja yang kuat hanya akan mencipyakan birokrasi tanpa tujuan begitupula jika hanya kepemimpinannya yang kuat dapat membuat perubahan dengan cara yang tidak praktis.[3]
Sehingga kesimpulan menurut beberapa pakar sepaham bahwa manajer yang sukses dalam orgaisasi modern adalah yang mampu memimpin. Bagaimana menggabungkan dua proes itu telah menjadi masalah yang kompleks dan penting dalam literature organisasi. Jawabannya tidak akan muncul dari perdebatan untuk mencari definisi yang ideal. Pertanyaan apa saja yang menjadi wilayah proses kepemimpinan yang esensial haruslah dicari dengan penelitian empiris, tidak dengan memberikan penilaian subyektif.[4]
Secara garis besar berikut perbedaan antara Pemimpin dan Manajer :[5]
Pemimpin | Manajer |
Melakukan inovasi | Mengurus |
Mengembangkan | Mempertahankan |
Memberikan inspirasi | Mengendalikan |
Memiliki pandangan jangka panjang | Memiliki pandangan jangka pendek |
Menanyakan apa dan mengapa | Menayakan bagaimana dan kapan |
Memunculkan | Mengawali |
Menantang status quo | Menerima status quo |
Melakukan sesuatu yang benar | Melakukan sesuatu dengan benar |
2.4 Studi Kepemimpinan yang Penting secara Historis
Pembahsan studi klasik dapat membantu penyusunan tahap teori kepemimpinan modern dan tradisional.([6])
Studi Kepemimpinan Iowa
Beberapa pionir studi kepemimpinan di akhir tahun 1930-an yang dipelopori oleh Ronald Lippitt dan Ralph K. White, di bawah kepemimpinan Kurt Lewin di University Iowa, memiliki dampak panjang. Pada studi awal ini, dibentuklah beberapa klub hobi anak laki-laki berusia 10 tahun. Setiap klub memilki tiga gaya kepemimpinan yang berbeda, seperti otoriter, demokratis, dan laissesz-faire. Pemimpin otoriter sangat suka memerintah dan tidak mengizinkan partisipasi. Pemimpin ini memberikan perhatian individual hanya ketika memuji dan mengkritik, tetapi mencoba bersikap ramah atau impersonal daripada bersikap kejam secara terang-terangan. Pemimpin demokratis mendukung diskusi kelompok dan pengambilan keputusan. Pemimpin ini mencoba bersikap “objektif” dalam memberi pujian atau kritik dan memiliki semangat untuk menjadi satu dengan kelompok. Pemimpin laisseez-faire memberi kebebasan penuh pada kelompok; pemimpin ini tidak memiliki sikap pemimpin.
Sayangnya, efek gaya kepemimpinan pada produktivitas tidak diteliti secara langsung. Penelitian ini hanya didesain khusus untuk memeriksa pola perilaku agresif. Studi Lippitt dan White tidak bisa digeneralisasikan secara luas. Dari sudut pandang metodologi penelitian ilmu perilaku masa kini, banyak variable yang tidak dikontrol. Namun, studi kepemimpinan ini memiliki signifikansi historis yang penting. Ini adalah usaha pertama yang menentukan dan meneliti efek gaya kepemimpinan dalam kelompok. Nilainya adalah karena studi ini yang pertama kali menganalisis kepemimpinan dari sudut pandang metodologi ilmiah, dan terlebih penting, studi tersebut menyatakan bahwa perbedaan gaya kepemimpinan menghasilkan reaksi yang berbeda dan kompleks dari kelompok-kelompok yang sama atau serupa.
Studi Kepemimpinan Ohio State
Studi Ohio State dimulai dengan premis tidak ada definisi kepuasan terhadap kepemimpinan. Kelompok ini memutuskan untuk menganalisis bagaimana individu bertindak tatkala mereka tengah memimpin suatu kelompok atau organisasi. Analisis dilakukan dengan menyuruh para bawahan mengisi kuesioner yang berisi kesan-kesan mereka atas pimpinannya. Dalam kuesioner, bawahan harus mengidentifikasi berapa kali pimpinan mereka melakukan jenis perilaku tertentu. Studi ini dilakukan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi yang independen dari perilaku kepemimpinan. Pada langkah pertama, Leader Behavior Description Questionare diatur pada situasi yang luas dan berbeda. Untuk mengetahui bagaimana gambaran seorang pemimpin, dilakukan analisis factor terhadap jawaban kuesioner. Dua dimensi kepemimpinan muncul secara konsisten dari data kuesioner. Data-data tersebut adalah pertimbangan dan struktur inisiasi. Sederhananya, faktor Ohio State adalah orientasi tugas atau tujuan (struktur inisiasi) dan penghargaan terhadap kebutuhan individu dan hubungan (pertimbangan). Dua dimensi ini berbeda dan terpisah satu sama lain.
Ada dua dimensi yang dianggap penting, yaitu struktur inisiatif (initiating structure) dan pertimbangan (concideration). Yang dimaksud dengan struktur inisiatif adalah sejarah mana seorang pemimpin mendefinisikan dan menstrukturisasi peranannya dan peranan para bawahannya dalam usaha mengorganisasikan pekerjaan, hubungan-hubungan kerja, dan tujuan-tujuan yang akan dicapai.
Pemimpin yang memiliki ciri struktur inisiatif yang tinggi dapat digambarkan sebagai orang yang “memberikan tugas-tugas khusus kepada para anggota kelompok”, “mengaharapkan para karyawan untuk mempertahankan standar kinerja yang telah ditetapkan”, dan “menekankan pentingnya batas waktu pertemuan”.
Yang di maksud dengan “pertimbangan” adalah sejauh mana seorang pemimpin memiliki hubungan kerja dalam arti saling percaya, menghormati pendapat dan mempertimbangkan perasaan para bawahan. Pemimpin yang memiliki pertimbangan tinggi dapat digambarkan sebagai orang yang suka membantu masalah para bawahan, bersahabat dan pendekatannya baik, dan memperlakukan sama semua bawahan.
Jadi, studi kelompok Ohio State ini menyatakan bahwa meskipun secara umum a high-high leader bersifat positif, cukup banyak pengecualian yang menunjukkan pentingnya factor-faktor situasional yang perlu diintegrasikan ke dalam teori ini.
Studi Kepemimpinan Michigan
Studi ini memiliki objektif penelitian yang hampir sama dengan studi Ohio State, yaitu melokalisasi karakteristik perilaku para pemimpin yang tampak berhubungan dengan efektifitas kerja. Titik tekan riset di University of Michigan adalah eksplorasi perilaku kepemimpinan, yang memberikan perhatian khusus utamanya pada dampak perilaku pemimpin atas kinerja suatu kelompok kecil.([7])
Kelompok ini juga memunculkan dua dimensi perilaku kepemimpinan yang mereka sebut orientasi karyawan (employee-oriented) dan orientasi produksi (production-oriented). Para pemimpin yang berorientasi pada karyawan memiliki kecenderungan pribadi pada pemenuhan kebutuhan para anggota kelompok. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasikan pada produksi cenderung mengutamakan aspek-aspek teknis dan tugas pekerjaan sehingga para anggota kelompok dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Kesimpulan yang diambil oleh kelompok Michigan ini sangat kuat mendukung para pemimpin yang memiliki perilaku yang berorientasikan kepada karyawan. Mereka ini biasanya dihubungkan dengan produktivitas dan kepuasan kelompok yang lebih tinggi. Di pihak lain, para pemimpin yang berorientasikan pada produksi cenderung dihubungkan dengan produktivitas dan kepuasan kelompok yang rendah.
2.5 Teori kepemimpinan tradisional
Tiga penemuan yang disebutkan di muka, yakni Iowa, Ohio, dan Michigan merupakan tonggak sejarah yang amat penting dari studi kepemimpinan dengan penekanan pada ilmu perilaku organisasi. Sayangnya tiga penemuan tersebut masih terbatas, dan penelitian kepemimpinan relative masihnmerupakan permulaan yang disini. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang tidak asing lagi bagi literature-literatur kepemimpinan pada umumnya. Ciri-ciri praktik kepemimpinan tradisional yang ditandai oleh :
· Ruang-ruang kantor pribadi dan ruang-ruang kubus
· Pergerakan karier seperti naik tangga ke atas
· Para karyawan
· Kedudukan-kedudukan dan pekerjaan-pekerjaan
· Tim-tim fungsional
· Kerja keras menghasilkan kesuksesan
· Partisipasi yang absolut
· Kantor-kantor, furniture sebagai symbol-simbol kekuasaan/kekuatan
· Kenaikan honorarium sebagai insentif
· Seminar-seminar sebagai cara pelatihan standar
Teori Kepemimpinan Trait (Sifat)
Teori trait tentang kepemimpinan adalah usaha identifikasi karakter khusus (fisik, mental, kepribadian) terkait kesuksesan pemimpin. Pendekatan sifat termasuk pendekatan kepemimpinan yang paling tua. Pendekatan sifat menganggap pemimpin itu dilahirkan (given) bukan dilatih atau diasah. Kepemimpinan terdiri atas atribut tertentu yang melekat pada diri pemimpin, atau sifat personal, yang membedakan pemimpin dari pengikutnya. Sebab itu, pendekatan sifat juga disebut teori kepemimpinan orang-orang besar. Teori the Great Man menyatakan bahwa seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin akan menjadi pemimpin tanpa memerhatikan apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat sebagai pemimpin.
Menyadari hal seperti ini, bahwa tidak ada korelasi sebab akibat antara sifat dan keberhasilan manajer, maka keith Davis merumuskan empat sifat umum yang tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi.([8])
(1) Kecerdasan/ Intelijensi. Hasil penelitian umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpinnya. Pemimpin cenderung punya intelijensi dalam hal kemampuan bicara, menafsir, dan bernalar yang lebih kuat ketimbang yang bukan pemimpin.
(2) Kedewasaan dan keluasan hubungan social. Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, karena mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas social. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.
(3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi. Para pemimpin secara relative mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan dari yang entrinsik.
(4) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.
Peraga merangkum trait kepemimpinan yang paling sering diteliti (trait yang mencirikan seorang pemimpin yang sukses). Beberapa penelitian melaporkan bahwa trait-trait ini memberikan kontribusi bagi kesuksesan kepemimpinan. Meskipun demikian, kesuksesan dalam kepemimpinan bukan semata-mata dipengaruhi oleh trait-trait ini saja atau trait lain. Masih ada banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesan kepemimpinan selain trait-trait di bawah ini.
Peraga Trait Terkait Keefektifan Pemimpin
Intelegensi | Kepribadian | Kemampuan |
Pertimbangan | Kemampuan beradaptasi | Kemampuan menambahkan kerja sama |
Ketegasan mengambil keputusan | Kesiagaan | Mampu bekerja sama |
Pengetahuan | Kreativitas | Kepopuleran dan gengsi |
Kefasihan berbicara | Integritas pribadi | Mudah bergaul (kemampuan interpersonal) |
| Kepercayaan diri | Partisipasi social |
| Control dan keseimbangan emosi | Taktik, diplomasi |
| Mandiri(tidak konformis) | |
Teori kepemimpinan kelompok dan Teori Kepemimpinan Pertukaran
Teori kelompok dalam kepemimpinan ini memilki dasar perkembangan yang berakar pada psikologi sosial. Teori pertukaran yang klasik membantunya sebagai suatu dasar yang penting bagi pendekatan teori kelompok.
Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya. Kepemimpinan yang ditekankan pada adanya suatu proses pertukaran antara pemimpin dan pengikutnya ini, melibatkan pula konsep-konsep sosiologi tentang keinginan-keinginan mengembangkan peranan.
Suatu hasil penelitian ulang yang sempurna menunjukkan bahwa para pemimpin yang memperhitungkan dan membantu pengikut-pengikutnya mempunyai pengaruh yang positif terhadap sikap, kepuasan, dan pelaksanaan kerja.([9]) Sama pentingnya adalah hasil penemuan lainnya yang lebih belakangan ini. Penelitian ini menyatakan bahwa para bawahan juga dapat memengaruhi pengikut-pengikut/para bawahannya.
Barrow dalam studi laboratoriumnya menemukan bahwa produktivitas kelompok mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap gaya kepemimpinan dibandingkan dengan pengaruh gaya kepemimpinan terhadap produktivitas. Dengan kata lain, beberapa penemuan tampaknya menunjukkan bahwa para bawahan dapat memengaruhi pemimpin dengan perilakunya, sebanyak pemimpin beserta perilakunya memengaruhi para bawahannya.
Pendekatan Leader –Member Exchange (Pertukaran antara Pemimpin Anggota)
Pendekatan yang mengenali tidak adanya konsistensi perilaku pemimpin kepada seluruh bawahannya. Pemimpin membina ikatan dan hubungan pribadi terhadap masing-masing bawahannya. LMX tidak hanya mengenali, tetapi menekankan perbedaan hubungan yang dikembangkan pemimpin dengan bawahan yang berbeda dalam kelompok. Sebagai contoh, seorang pemimpin mungkin dapat sangat bertoleransi pada seorang bawahan tetapi sangat kaku dan tegas pada bawahan yang lain. Mungkin saja pemimpin denga 10 orang bawahan akan memiliki 10 hubungan pemimpin-bawahan yang berbeda untuk setiap bawahannya. Hubungan satu lawan satu inilah yang menentukan perilaku bawahan.
Pendekatan LMX menyatakan bahwa pemimpin mengklasifikasikan para bawahan menjadi anggota in-group dan out-group. Anggota in-group memiliki ikatan yang sama dan juga system nilai yang sama dalam berinteraksi dengan pemimpin. Anggota out-group memiliki kesamaan yang lebih sedikit dan jarang berinteraksi dengan pemimpin.
Teori LMX menyatakan bahwa anggota in-group akan lebih mungkin menerima penugasan yang menantang dan menerima imbalan yang lebih bermakna. Sehingga anggota in-group akan memiliki sikap yang lebih positif terhadap budaya perusahaan dan memiliki kinerja dan kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan pegawa yang out-group. Anggota out-group dianggap bukan orang yang diinginkan pemimpin untuk bekerja sama, dan hal ini sering kali menjadi self-fulfilling prophecy. Anggota out-group menerima tugas yang lebih tidak menantang, menerima imbalan yang lebih sedikit, menjadi bosan dengan pekerjaannya, dan pada akhirnya akan memilih berhenti bekerja.
Teori Kepemimpinan Kontigensi (Ketidakpastian)
Teori Kontijensi dalam kajian kepemimpinan fokus pada interaksi antara variabel-variabel yang terlibat di dalam situasi serta pola-pola perilaku kepemimpinan. Teori Kontijensi didasarkan atas keyakinan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok bagi aneka situasi.
Beberapa pendekatan untuk mengisolasi variable-variabel situasional yang penting telah menunjukkan adanya perbedaan, yang satu lebih sukses daripada yang lain. Di bawah ini ada pendekatan-pendekatan yang telah memperoleh pengakuan luas: model Fieldler, teori situasional dari Hersey dan Blanchard, dan model partisipasi pemimpin.
(1) Model Fieldler
Model kontigensi dari Fred Fiedler (1976) mengusulkan bahwa efektifitas kinerja sebuah kelompok tergantung pada adanya kecocokan antara gaya seorang pemimpin di kala berinteraksi dengan bawahannya dan tergantung pada derajat control dan pengaruh situasi pada si pemimpin. Fiedler kemudian mengembangkan kuesioner LPC (Least Preferred Co-Worker) di mana responden diminta untuk memikirkan atau membayangkan seorang teman sekerjanya yang paling menjengkelkan atau paling sulit diajak bekerja sama. Kemudian, responden diminta menggambarkan sifat-sifat tertentu dari teman kerjanya tersebut dengan memberikan skor tertentu. Kuesioner ini untuk mengukur apakah seseorang itu (responden) lebih mengutamakan orientasi tugas atau orientasi hubungan antar manusia. Selanjutnya, Fiedler mengisolasikan tiga kriteria situasional-hubungan pimpinan-bawahan, struktur tugas, dan kekuatan posisi yang dipercayainya dapat dimanipulasi sedemikian rupa agar bias cocok dengan orientasi perilaku si pemimpin. Dari sini akan dapat diramalkan efektivitas kepemimpinan seseorang.
a) Mengidentifikasi Gaya Kepemimpinan
Menurut Fiedler, factor kunci keberhasilan kepemimpinan sesorang adalah gaya kepemimpinannya yang bias diukur dengan LPC di atas tersebut.([10]) Jika skor LPC-nya tinggi (penilaian positif), responden dapat dikatan lebih mengutamakan hubungan baik dengan teman-teman sekerjanya, responden semacam ini dapat dikategorikan sebagai orang yang berorientasikan hubungan antar manusia. Sebaliknya, jika skor LPC-nya rendah (penilaian cenderung negative), responden dapat dikategorikan sebagai orang yang mengutamakan produktivitas, sehingga dapat dikatakan sebagai orang yang berorientasikan tugas. Fiedler berargumentasi bahwa gaya kepemimpinan sudah merupakan bawaan seseorang dan akan sulit sekali mengubahnya untuk menyesuaikan situasi-situasi yang berubah.
b) Mendefinisikan Situasi
Ada tiga dimensi situasional yang dapat menjadi factor kunci untuk menetapkan efektivitas kepemimpinan: hubungan pimpinan-bawahan, struktur tugas, dan kekuatan posisi, yang bias didefinisikan sebagai berikut:
o Hubungan pimpinan-bawahan: derajat kepercayaan diri, kepercayaan, dan hormat yang dimiliki bawahan terhadap atasannya.
o Struktur tugas: sejauh mana prosedur penugasan pekerjaan itu ditetapkan (pekerjaan itu terstruktur atau tidak terstruktur).
o Kekuatan posisi: dearajat pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin diukur dari variable-variabel kekuatan seperti mempekerjakan, memecat, medisiplinkan, mempromosikan, dan menaikkan gaji.
Semakin baik hubungan pimpinan-bawahan, makin terstruktur pekerjaan itu dan makin kuat kekuatan posisinya, akan semakin besar pula kontrol atau pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin. Pada sisi lain, sebuah situasi yang tidak baik menggambarkan pimpinan yang tidak disukai, di mana pimpinan ini sedikit sekali memiliki kontrol.
c) Mencocokkan Pemimpin dengan Situasi
Dengan diketahuinya gaya kepemimpinan seseorang melalui LPC dan dengan penetapan ketiga variable situasional tersebut di atas, model Fiedler ini mengusulkan penyesuaian secara keseluruhan agar dapat dicapai efektivitas kepemimpinan yang maksimal. Skor LPC seseorang akan menentukan tipe situasi yang mana yang paling cocok untuk gaya kepemimpinannya. Tetapi, harus diingat bahwa gaya kepemimpinan seseorang itu bersifat menetap. Jadi, hanya ada dua cara untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan:
1. Menggantikan si pemimpin untuk bisa cocok dengan situasinya. Sebagai contoh, jika situasi yang dihadapi oleh sebuah kelompok kerja itu sangat tidak nyaman dan sedang dipimpin oleh seorang manajer yang berorientasi pada hubungan sesame manusia, kinerja kelompok tersebut bias ditingkatkan dengan cara menggantikan manajernya dengan orang yang berorientasi pada tugas.
2. Mengantikan situasi untuk bisa cocok dengan si pemimpin. Hal ini bias dilakukan dengan restrukturisasi tugas-tugas atau dengan meningkatkan atau menurunkan kekuatan yang dimiliki si pemimpin dalam melakukan kontrol misalnya dalam menaikkan gaji, promosi, dan tindakan-tindakan pendisiplinan lainnya.
Model Fiedler ini umumnya diterima oleh kalangan luas, meskipun ada celah yang menimbulkan kritik. Umpamanya, logika yang melatarbelakangi LPC kurang bias dimengerti sepenuhnya dan beberapa bukti menunjukkan bahwa skor LPC seseorang itu tidak selalu stabil (Rice, 1978). Di samping itu, ternyata bahwa variable-variabel situasional itu bersifat kompleks, yang sukar ditetapkan secara valid oleh para praktisi. Dalam praktik, sering pula dirasakan sukar untuk menentukan hubungan pimpinan bawahan, menentukan struktur tugas yang jelas, dan menentukan kekuatan posisi yang dimiliki seorang pemimpin. Sekalipun begitu, model Fiedler ini telah memberikan sumbangan yang berharga untuk pengetahuan tentang efektivitas kepemimpinan.
d) Teori Sumber Kognitif: Perbaikan dari Model Fiedler
Untuk mendapatkan kinerja kelompok yang efektif, maka terapat perbaikan asumsi. Teori ini kemudian menunjukkan bagaimana sumber-sumber stress dan kognitif seperti pengalaman, lama kerja, dan kecerdasan dapat berpengaruh banyak terhadap efektivitas kepemimpinan (Vecchio, 1990). Sedangkan inti dari teori ini dapat disimpulkan dalam tiga prediksi:
· Perilaku direktif ini hanya dapat menghasilkan kinerja yang baik jika dihubungkan dengan intelegensi yang tinggi dalam lingkungan kepemimpinanyang suportif dan tanpa stress.
· Pada situasi-situasi yang rawan stress, ada hubungan positif antara pengalaman kerja dan kinerja.
· Kemampuan intelektual para pemimpin memiliki hubungan dengan kinerja kelompok dalam situasi-situasi yang dianggap tanpa stres.
(2) Teori Situasional dari Hersey dan Blancard
Kepemimpinan situasional ini merupakan teori kontigensi yang focus pada para pengikut/bawahan. Kepemimpinan yang sukses bias dicapai melalui pemilihan gaya kepemimpinan yang benar, dalam pengertian disesuaikan dengan tingkat maturitas bawahan. Penekanan pada pentingnya bawahan dalam kepemimpinan efektif menggambarkan suatu kenyataan bahwa merekalah, para bawahan, yang akan menerima atau menolak seorang pemimpin.
Yang dimaksud dengan “maturitas” di sini adalah adanya kemampuan dan kemauan dari orang-orang untuk bertanggung jawab dalam mengaahkan perilaku mereka sendiri. Ada dua komponen maturitas, yaitu maturitas kerja dan maturitas psikologis. Yang pertama hubungannya dengan pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman untuk memperlihatkan tugas-tugas kerjanya tanpa petunjuk/arahan dari orang lain. Maturitas psikologis berhubungan dengan kemauan dan motivasi untuk melakukan sesuatu sehingga tidak memerlukan dorongan dari luar, mereka telah termotivasi secara instrinsik.
Kepemimpinan situasional juga menggunakan dua dimensi kepemimpinan yang sama dengan dimensi yang telah diidentifikasikan oleh Fiedler, yaitu perilaku yang berkaitan dengan tugas dan perilaku yang berkaitan dengan hubungan sesama. Hanya disini dilakukan elaborasi lebih jauh dengan mempertimbangkan tinggi rendahnya masing-masing dimensi, yang kemudian, yang kemudian digabung ke dalam empat gaya kepemimpinan khusus: memerintah, menawarkan, meminta partisipasi, dan mendelegasikan. Berikut ini penjelasan masing-masing gaya tersebut:
· Memerintahkan (banyak detail tugas, sedikit hubungan sesama). Seorang pemimpin yang akan menentukan peranan para bawahan dan memerintahkan mereka untuk mengerjakan tugas-tugas apa, bagaimana, kapan, dan di mana. Jadi, peilaku direktif lebih ditekankan.
· Menawarkan (banyak detail tugas, banyak hubungan sesama). Seorang pemimpin tidak hanya memberikan perilaku direktif, tetapi juga perilaku suportif.
· Meminta partisipasi (sedikit detail tugas, banyak hubungan sesama). Seorang pemimpin dan bawahannya saling berbagi dalam pengambilan keputusan di mana peran utama si pemimpin dikomunikasikan dan difasilitasi.
· Mendelegasikan (sedikit detail tugas, sedikit hubungan sesama). Seorang pemimpin hanya memberikan sedikit arahan dan dorongan.
(3) Model Partisipasi Pemimpin
Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Victor Vroom dan Philip Yetton, mencoba menghubungkan perilaku kepemimpinan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Model ini bersifat normative, yaitu memberikan satu set aturan yang beruntutan, yang sebaiknya diikuti untuk menetapkan bentuk dan banyaknya partsipasi yang diinginkan dalam pengambilan keputusan seperti yang dituntut oleh berbagai situasi yang berbeda.
Model kepemimpinan ini dapat dibuatkan diagram, di mana perilaku kepemimpinan tertentu disesuaikan dengan situasi tertentu pula. Model ini juga mendukung pendapat bahwa perilaku pemimpin itu fleksibel, di mana seorang pemimpin dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya pada situasi-situasi yang berbeda. Dengan memberikan jawabannya dari variable-variabel situasional tersebut di atas, dapat dipilih salah satu perilaku kepemimpinan dalam pengambilan keputusan yang paling mendekati situasi yang dihadapi.
Teori kepemimpinan Path-Goal (Jalan Mencapai Tujuan)
Sekarang ini, salah satu pendekatan tentang kepemimpinan yang memperoleh penghargaan adalah teori jalan mencapai tujuan (Path Goal Theory), teori ini merupakan sebuah model kepemimpinan yang bersifat kontigensi, yang merupakan ekstraksi elemen-elemen kunci dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan (struktur inisiatif dan struktur konsideratif) dan teori ekspektasi tentang motivasi.
Penekanan teori ini adalah bahwa menjadi pekerjaan pemimpin untuk membantu para pengikut/bawahannya untuk mencapai tujuan mereka dan memberikan arahan dan dorongan yang diperlukan untuk meyakinkan tujuan mereka tidak bertentangan dengan objektif kelompok atau organisasinya. Istilah Path-goal di sini dikembangkan dari sebuah kepercayaan bahwa para pemimpin yang efektif selalu melicinkan jalan untuk membantu para bawahan memperoleh sesuatu; mulai dari mereka sekarang sampai dengan pencapain tujuan kerja, dan membuat perjalanan mereka itu lebih mudah dengan mengurangi berbagai sandungan dan hambatan.
House bertetangan pendapat dengan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa para pemimpin itu bersifat fleksibel. Menurut teori ini, seorang pemimpin yang sama dapat mendemonstrasikan salah satu atau semua perilaku kepemimpinan di atas tergantung tergantung pada situasi yang dihadapinya. Teori ini mengusulkan bahwa perilaku seorang pemimpin dapat menjadi inefektif jika bersifat berlebihan terhadap struktur lingkungan atau tidak sejalan dengan karakteristik pribadi bawahan. Di bawah ini diberikan beberapa contoh hipotesis yang berhubungan dengan teori jalan menuju tujuan versi Robert House([11])
· Kepemimpinan direktif bisa menuju pada kepuasan yang lebih besar jika tugas-tugas yang dihadapi bawahan itu lebih membingungkan atau banyak stress daripada kalau tugas-tugas tersebut sudah terstruktur atau sudah jelas.
· Kepemimpinan suportif bias menghasilkan kinerja dan kepuasan karyawan yang tinggi jika bawahan sedang melaksanakan tugas-tugas yang terstruktur.
· Kepemimpinan direktif bias dipersepsikan sebagai sesuatu yang berlebihan oleh para bawahan yang telah memiliki kemampuan pribadi yang tinggi atau telah memiliki banyak pengalaman.
· Makin jelas, hubungan kewenangan formal atau makin birokratis, para pemimpin makin dianjurkan untuk memperlihatkan perilaku suportif dan tidak menekankan pada perilaku direktif.
· Kepemimpinan direktif akan menuju pada kepuasan karyawan yang lebih tinggi jika terjadi konflik substansi di dalam kelompok kerja.
· Para bawahan yang pusat kontrol pribadinya bersifat internal-percaya diri dan mengontrol tujuan hidup mereka sendiri-akan lebih merasa puas dengan gaya kepemimpinan partisipatif.
· Para bawahan yang pusat kontrol pribadinya bersifat eksternal akan merasa puas dengan gaya kepemimpian direktif.
· Kepemimpinan dengan orientasi keberhasilan akan meningkatkan ekspektasi bawahan bahwa usahanya akan menuju prestasi kerja yang tinggi jika tugas-tugasnya terstruktur secara “ambiguous” (derajat kesukarannya 50%).
Dengan kata lain, dengan cara-cara seperti yang diuraikan di atas, pemimpin berusaha membuat jalan kecil (path) untuk pencapaian tujuan-tujuan (goals) para bawahannya sebaik mungkin. Tetapi, untuk mewujudkan fasilitas path-goals ini, pemimpin harus menggunakan gaya yang paling sesuai terhadap variable-variabel lingkungan yang ada. Berikut gambar yang menyimpulkan pendekatan teori path-goals tersebut:
Karakteristik Bawahan |
Perilaku/Gaya Kepemimpinan: · Direktif · Supportif · Partisipatif · prestasi |
Hasil · Keputusan · Kejelasan peranan · Kejelasan tujuan · Pelaksanaan kerja |
Bawahan · Persepsi · Motivasi |
Kekuatan-kekuatan Lingkungan · Karakteristik tugas · Sistem otoritas formal · Kerja utama group |
2.6 Teori kepemimpinan Modern
Pada konsep kepemimpinan ke depan mulai dipikirkan bentuk-bentuk pendekatan kepemimpinan yang baru. Untuk mngerti lebih baik apa saja yang dikerjakan para pemimpin sekarang terhadap posisinya sendiri dan organisasinya supaya sukses berkelanjutan, perlu dilakukan pendekatan sebagai berikut :
· Diskusi-diskusi dengan para pemimpin inovatif di seluruh Indonesia, bahkan dunia untuk perubahan.
· Penelitian tentang praktik-praktik kepemimpinan yang berlaku dan yang diantisipasikan.
· Wawancara-wawancara dengan para pemimpin sukses ke seluruh Indonesia, bahkan dunia tentang organisasi-organisasi yang inovatif.
Konsep kepemimpinan yang baru ini secara tepat mengklarifikasi praktik-praktik apa yang sebaiknya di pertimbangkan secara serius untuk mengeliminasi pengulangan-pengulangan/rutinitas yang selayaknya sudah diganti. Ada tujuh usulan perubahan yang diperoleh dari pengalaman belajar:
· Pertukaran komunikasi : terbatas dan informatif untuk saling berbagi dan saling meyakinkan.
· Pertukaran tenaga kerja : tenaga-tenaga inti (core) dan tenaga-tenaga non-inti (non-core) serta kontrak yang bersifat permanen.
· Pertukaran pengakuan : berfokus dari single-generational kepada multi-generational.
· Pertukaran tim : penyebaran tim yang menetap dan bersifat local menjadi penyebaran tim yang mengalir dan menyesuaikan kondisi geografis.
· Pertukaran pengembangan : pembentukan tim yang eksesif menjadi penghargaan kepada kepeloporan individual (maverick).
· Pertukaran kondisi tempat kerja : perkantoran-perkantoran yang stasionair menjadi lingkungan-lingkungan yang baik dan mobil (mudah dipindahkan).
· Pertukaran struktur : dari berfokus internal menjadi kemitraan eksternal.
Sangat diharapkan agar Anda mulai memikirkan dan mencoba untuk membuat pertukaran-pertukaran tersebut sebelum terlambat, sebelum para pemimpin lain meninggalkan Anda dengan praktik –praktif inovatif mereka, yang akan mencampakkan Anda ke pinggiran (Essex & Kusy, 1999).
Ikhtisar menguasai setiap gaya kepemimpinan tersebut memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai proses kepemimpinan kompleks. Belakangan muncul beberapa teori kepemimpinan yang disesuaikan dengan tipe pemimpin yang muncul.
Teori kepemimpinan Karismatik
Kepemimpinan karismatik adalah warisan dari konsepsi kepemimpinan lama seperti yang “dengan kekuatan kemampuan personalnya, mampu memiliki efek yang luar biasa terhadap pengikutnya”.([12]) Teori ini merupakan perluasan dari teori atributif di mana para bawahan/pengikut membuat karakteristik-karakteristik tertentu untuk kemampuan kepemimpinan yang luar biasa atau “heroik” setelah mereka mengobservasi perilaku pemimpin yang bersangkutan. Beberapa karakteristik yang dapat disimpulkan dari kepemimpinan kharismatik:
· Percaya diri. Mereka memiliki kepercayaan diri yang penuh dalam penilaian dan kemampuan.
· Memiliki visi. Tujuan ideal yang harus dicapai daripada “status quo”, makin besarlah persepsi bawahan/pengikut bahwa pemimpin ini memiliki visi yang luar biasa.
· Kemampuan untuk meyakinkan visinya. Mereka ini mampu menyatakan dan menjelaskan visinya yang mudah dimengerti oleh orang lain. Kemampuan meyakinkan orang ini diperkuat oleh pemihakan kepad kebutuhan bawahan, jadi bias berlaku sebagai kekuatan motivasi.
· Keyakinan kuat terhadap kebenaran visinya. Para pemimpin kharismatik dipersepsikan sangat bertanggung jawab dan bersedia mengambil risiko pribadi yang tinggi, meskipun dengan ongkos tinggi dan pengorbanan diri, untuk keberhasilan misinya.
· Perilaku-perilaku yang tergolong luar biasa. Para pemimpin ini terlibat dalam perilaku-perilaku yang dipersepsikan baru, tidak konvensional, kadang-kadang berlawanan dengan norma. Jika berhasil, perilaku-perilaku serupa ini kemudian memperoleh kekaguman dan pujian dari bawahan.
· Dipersepsikan sebagai agen perubahan. Para pemimpin kharismatik ini lebih dipersepsikan sebagai agen perubahan radikal daripada sebagai pemegang jabatan untuk “status quo”.
· Sensitive terhadap lingkungan. Para pemimpin ini mampu membuat perkiraan realistic terhadap sumber-sumber dan hambatan lingkungan, yang diperlukan untuk merealisasikan perubahan.
Konsekuensi dari Kepemimpinan Karismatik
Sisi Gelap dari Karisma
Sebuah pendekatan yang lebih baik untuk membedakan antara karismatik positif dan negatif adalah dalam hal nilai dan kepribadian mereka (House dan Howell, 1992; Howell, 1998; Musser, 1987). Karismatik negatif memiliki orientasi kekuasaan secara pribadi. Mereka menekankan identifikasi pribadi daripada internalisasi. Secara sengaja mereka berusaha untuk lebih menanamkan kesetiaan kepada diri mereka sendiri daripada idealisme.
Para pemimipin karismatik cenderung untuk membuat keputusan yang berisiko yang dapat mengakibatkan kegagalan serius, dan mereka cenderung untuk membuat musuh yang lebih kuat yang akan menggunakan kegagalan demikian sebagai kesempatan untuk memindahkan pemimpin dari kantornya. Berikut beberapa konsekuensi dari pemimpin karismatik:
· Keinginan akan penerimaan oleh pemimpin menghambat kecaman dari pengikut
· Pemujaan dari pengikut menciptakan khayalan akan tidak dapat berbuat kesalahan
· Keyakinan dan optimisme berlebihan membutakan pemimpin dari bahaya nyata
· Penolakan akan masalah dan kegagalan mengurangi pembelajaran organisasi.
· Proyek berisiko yang terlalu besar akan besar kemungkinannya untuk gagal
· Mengambil pijian sepenuhnya atas keberhasilan akan mengasingkan beberapa pengikut yang penting
· Perilaku impulsif yang tidak tradisional menciptakan musuh dan juga orang-orang yang percaya
· Ketergantungan terhadap pemimpin akan menghambat perkembangan penerus yang kompeten
· Kegagalan untuk mengembangkan penerus menciptakan krisis kepemimpinan pada akhirnya
Optimisme dan keyakinan diri amat penting untuk mempengaruhi orang lain agar mendukung visi pemimpin, tetapi optimisme berlebihan membuat makin sulit bagi pemimpin untuk mengenali kekurangan dalam visi itu. Terlalu mengenali visi tersebut akan merendahkan kapasitas untuk mengevaluasinya secara objektif. Pengalaman dari dari keberhasilan sebelumnya dan pemujaan bawahan dapat menyebabkan pemimpin percaya bahwa penilaiannya tidak bisa salah. Dalam pencarian yang tekun untuk mencapai visi itu, seorang [emimpin yang karismatik dapat mengabaikan atau menolak bukti bahwa visinya tidak realistis dan mangarah kepada kegagalan. Para pengikut yang percaya pada pemimpin itu akan terhalang untuk menunjukkan kekurangan atau menyajikan perbaikan, yang membuat sebuah keputusan yang buruk menjadi makin mungkin terjadi.
Bass (1985) menyebutkan bahwa respons dari orang terhadap pemimpin yang karismatik akan lebih besar penghormatan luar biasa oleh beberapa orang dan kebencian luar biasa oleh beberapa orang lainnya. Jadi, keuntungan memiliki beberapa pengikut yang berdedikasi yang mengenali pemimpin akan diimbangi kerugiannya dengan memilki beberapa musuh yang kuat, kemungkinan meliputi anggota yang berkuasa dari organisasi itu yang dapat merendahkan program pemimpin tersebut atau berkonspirasi untuk menggeser pemimpin dari kedudukannya.
Pengaruh dari Karismatik Positif
Sebaliknya, karismatik positif memliki orientasi kekuasaan sosial. Para pemimpin ini menekankan internalisasi dari nilai-nilai bukannya identifikasi pribadi. Mereka berusaha untuk menanamkan kesetiaan kepada ideologi lebih dari pada kesetiaan kepada diri mereka sendiri.
Para pengikut akan jauh lebih baik bila bersama dengan pemimpin yang karismatik positif daripada dengan pemimpin karismatik negatif. Mereka lebih besar kemungkinannya akan mengalami pertumbuhan psikologis dan perkembangan kemampuan mereka dan organisasi akan lebih dapat beradaptasi pada sebuah lingkungan yang dinamis, bermusuhan dan kompetitif. Pemimpin yang karismatik positif biasanya menciptakan sebuah budaya yang “berorientasi keberhasilan” (Harrison, 1987) “sistem kinerja tinggi” (Vaill, 1978), atau organisasi yang “dipicu oleh nilai secara langsung” (Peters & Waterman, 1982). Organisasi jelas telah memahami misi yang mewujudkan nilai-nilai sosial bukannya hanya keuntungan atau pertumbuhan, para anggota dari semua tingkatan diberikan kewenangan untuk membuat keputusan penting tentang bagaimana menerapkan strategis dan melakukan pekerjaan mereka, komunikasinya terbuka dan informasi dibagikan, struktur dan sistem organisasi mendukung misinya. Otoritas didelegasikan hingga batas yang cukup besar, informasi dibagikan secara terbuka, didorongnya partisipasi dalam kepurtusan, dan penghargaan digunakan untuk menguatkan perilaku yang konsisten dengan misi dan sasaran dari organisasi. Hasilnya adalah kepemimpinan mereka akan makin menguntungkan bagi pengikut walaupun kosekuensi yang mendukung tidak dapat dihindari jika stategi yang didorong oleh pemimpin tidak tepat.
Teori kepemimpinan Transformasional
Beberapa tahun lalu James MacGregor Burns mengidentifikasi dua jenis kepemimpinan politis: transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional mencakup hubungan pertukaran antara pemimpin dan pengikut, tetapi kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta kebutuhan pengikutnya.
Dengan kepemimpinan transformasional, para pengikut merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan dari mereka. Menurut Bass, pemimpin mengubah dan memotivasi para pengikut dengan:
1. Membuat mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas
2. Membujuk mereka untuk mementingkan kepentingan tim atau organisasi mereka dibandingkan dengan kepentingan pribadi
3. Mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih tinggi
Bagi Bass (1985) kepemimpinan transformasional dan transaksional itu berbeda, tetapi bukan proses yang sama-sama eksklusifnya. Kepemimpinan transformasional lebih meningkatkan motivasi dan kinerja pengikut dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, tetapi pemimpin yang efektif menggunakan kombinasi dari kedua jenis kepemimpinan tersebut.
Perilaku Pemimpin Transformasional:
· Pengaruh ideal adalah perilaku yang membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat dari pengikut terhadap pemimpin.
· Pertimbangan individual meliputi pemberian dukungan, dorongan dan pelatihan bagi pengikut.
· Motivasi inspirasional meliputi penyampaian visi yang menarik, denga menggunakan simbol untuk memfokuskan upaya bawahan, dan membuat model perilaku yang tepat
· Stimulasi intelektual adalah perilaku yang meningkatkan kesadaran pengikut akan permasalahan dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah dari perspektif yang baru
Kepemimpinan transformasional juga terlihat melibatkan identifikasi pribadi karena pengaruh ideal menghasilkan atribusi karisma oleh pengikut kepada pemimpin. “Karisma merupakan unsur kepemimpinan transformasional yang dibutuhkan, tetapi dirinya sendiri tidaklah mencukupi bagi proses transformasional” (Bass, 1985 hlm.31).
Kondisi yang Memudahkan
Menurut Bass (1996,1997) kepemimpinan transformasional dianggap efektif dalam situasi atau budaya apapun. Teori ini tidak menyebutkan suatu kondisi dimana kepemimpinan transformasional autentik tidak relevan atau tidak efektif. Untuk mendukung posisi ini, hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dengan efektivitas telah ditiru oleh banyak pemimpin yang berada pada tingkatam otoritas yang berbeda, dalam jenis organisasi berbeda, dan dalam negara berbeda (Bass, 1997). Kriteria dari efektivitas kepemimpinan telah meliputi berbagai jenis ukuran berbeda. Bukti-bukti mendukung kesimpulan bahwa dalam sebagian besar, jika bukan semua situasi, beberapa aspek kepemimpinan transformasional adalah relevan. Namun, relevansi universal tidak berarti bahwa kepemimpinan transformasional sama efektifnya dalam semua situasi atau sama-sama mungkin terjadi.[13]
Pedoman Untuk Kepemimpinan Transformasional
1. Menyatakan visi yang jelas dan menarik
Sebuah visi yang jelas mengenai apa yang dapat dicapai organisasi atau akan jadi apakah sebuah organisasi itu akan membantu orang untuk memahami tujuan, sasaran dan prioritas dari organisasai. Hal ini memberikan makna pada pekerjaan, berfungsi sebagai sebuah sumber keyakinan diri dan memupuk rasa tujuan bersama. Akhirnya, visi membantu memandu sebuah tindakan dan keputusan dari setiap aggota organisasi, yang amatlah berguna saat orang-orang atau kelompok diberikan otonomi dan keleluasaan yang cukup besar dalam keputusan ke pekejaan mereka (Hackman, 1986; Raelin, 1989).
2. Menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai
Tidaklah cukup hanya menyampaikan sebuah visi yang menarik; pemimpin juga harus meyakinkan para pengikut bahwa visi itu memungkinkan. Amatlah penting untuk membuat hubungan yang jelas antara visi itu dengan sebuah strategi yang dapat dipercaya untuk mencapainya. Hubungan ini lebih mudah dibangun jika strateginya memiliki beberapa tema jelas yang relevan dengan nilai bersama dari para anggota organisasi (Nadler, 1988).
3. Bertindak secara rahasia dan optimistis
Para pengikut tidak akan meyakini sebuah visi kecuali pemimpinnya memperlihatkan keyakinan diri dan pendirian. Adalah penting untuk tetap optimistis tentang kemungkinan keberhasilan kelompok itu dalam mencapai visinya, khisusnya dihadapan halangan dan kemunduran sementara. Keyakinan dan optimisme seorang manajer dapat amat menular. Amatlah baik untuk menekankan aspek positif dari visi itu daripada pada halangan dan bahaya yang akan dihadapi.
4. Memperlihatkan keyakinan terhadap pengikut
Pengaruh yang memberikan motivasi dari sebuah visi bergantung pada batasan dimana bawahan yakin akan kemampuan mereka untuk mencapainya. Penelitian mengenai “pengaruh Pygmalion” menemukan bahwa orang memilki kinerja yang lebih baik saat seorang pemimpin memiliki harapan yang tinggibagi mereka dan memperlihatkan keyakinan terhadap mereka (Eden, 1984, 1990; Eden & Shani, 1982; Field, 1989; Sulton & Woodman, 1989)
5. Menggunakan tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai penting
Perhatian akan nilai atau sasaran diperlihatkan dengan cara bagaimana seorang manajer menghabiskan waktunya, dengan keputusan alokasi sumber daya yang dibuat saat terdapat pertukaran antar sasaran, dengan pertanyaan yang ditanyakan manajer, dan dengan tindakan apa yang dihargai oleh manajer tersebut.
Tindakan simbolis untuk mencapai sebuah sasaran penting atau mempertahankan sebuah nilai akan lebih mungkin memberikan pengaruh saat manajer itu membuat risiko kerugian pribadi yang cukup besar, membuat pengorbanan diri, atau melakukan hal-hal yang tidak konvensional
6. Memimpin dengan memberikan contoh
Menurut peribahasa, tindakan berbicara lebih keras daripada perkataan. Satu cara seorang pemimpin dapat mempengaruhi komitmen bawahan adalah dengan menetapkan sebuah contoh dari perilaku yang dapat dijadikan contoh dalam interaksi keseharian dengan bawahan. Memimpin dengan memberikan contoh terkadang disebut “pembuatan model peran”.
7. Memberikan kewenangan kepada orang-orang untuk mencapai visi itu
Pemberian kewenangan berarti mendelegasikan kewenangan untuk keputusan tentang bagaimana melakukan pekerjaan kepada orang-orang dan tim. Ini berarti meminta orang untuk menentukan sendiri cara terbaik untuk menerapkan strategi atau mencapai sasaran, bukannya memberitahu mereka secara rinci tentang apa yang harus dilakukan.[14]
Kepemimpinan Transformasional versus Karismatik
Bass (1985) menyatakan bahwa karisma merupakan komponen yang diperlukan dari kepemimpinan transformasional, tetapi ia juga menyatakan bahwa seorang pemimpin bisa menjadi karismatik tetapi tidak transformasional. Inti dari kepemimpinan transformasional terlihat memberikan inspirasi, mengembangkan dan memberikan wewenang kepada pengikut. Pengaruh ini dapat mengurangi atribusi karisma terhadap pemimpin bukan meningkatkannya. Jadi, proses mempengaruhi yang penting untuk kepemimpinan transformasional mungkin tidak sepenuhnya dapat dibandingkan dengan proses mempengaruhi yang penting dari kepemimpina karismatik, yang melibatkan ketergantungan pada seorang pemimpin yang luar biasa.
Banyak perilaku kepemimpinan dalam teori kepemimpinan karismatik dan transformasional yang terlihat sama, tetapi mungkin terdapat perbedaan penting juga. Para pemipin transformasional. Para pemimpin transformasional barangkali melakukan lebih banyak hal yang akan memberikan kewenangan kepada pengikut dan membuat mereka tidak terlalu bergantung pada pemimpin, seperti mendelegasikan kewenangan yang besar kepada beberapa orang, menegembangkan keyakinan dan ketrampilan diri para pengikut, menciptakan kelompok yang mengelola sendiri, memberikan akses langsung terhadap informasi sensitif, menghilangkan pengendalian yang tidak diperlukan, dan membangun sebuah budaya yang kuat untuk mendukung pemberia kewenangan. Sedangkan para pemimpin karismatik melakukan lebih banyak hal yang memupuk sebuah citra kompetensi yang luar biasa, seperti manajemen kesan, batasan informasi, perilaku yang tidak konvensional, dan pengambilan risiko pribadi.
Selain itu juga terdapat perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik. Menurut Bass, para pemimpin transformasional dapat ditemukan dalam organisasi apapun pada tingkat apapun, dan jenis kepemimpinan ini secara universal relevan bagi semua jenis informasi (Bass, 1996, 1997). Sebaliknya para pemimpin yang karismatik itu langka, dan munculnya mereka terlihat lebih bergantung pada kondisi yang mendukung (Bass, 1985; Beyer 1999; Shamir & Howell 1999). Mereka paling mungkin menjadi pengusaha yang memiliki visi yang mendirikan sebuah organisasi baru, atau para reformis yang muncul dalam sebuah organisasi yang didirikan saat kewenangan formal telah gagal menghadapi krisis yang parah sehingga nilai dan keyakinan tradisional dipertanyakan. Reaksi dari orang-orang terhadap pemimpin karismatik biasanya lebih ekstrem dan beragam dibanding dengan reaksi terhadap pemimpin transformasional (Bass, 1985).
Teori Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional, pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang di tegakkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas. Kepemimpinan transaksional merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang intinya menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama.
Alasan ini mendorong Burns untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Jadi, kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama.
Menurut Bass (1985), sejumlah langkah dalam proses transaksional yakni pemimpin transaksional memperkenalkan apa yang diinginkan bawahan dari pekerjaannya dan mencoba memikirkan apa yang akan bawahan peroleh jika hasil kerjanya sesuai dengan transaksi. Pemimpin menjanjikan imbalan bagi usaha yang dicapai, dan pemimpin tanggap terhadap minat pribadi bawahan bila ia merasa puas dengan kinerjanya.
Kepemimpinan Transaksional mendasarkan pada asumsi bahwa kepemimpinan merupakan kontrak sosial antara pemimpin dan para pengikutnya. Pemimpin dan para pengikutnya merupakan pihak-pihak yang independen yang masing-masing mempunyai tujuan, kebutuhan dan kepentingan sendiri. Sering tujuan, kebutuhan dan kepentingan tersebut saling bertentangan sehingga mengarah ke situasi konflik. Misalnya, di perusahaan sering tujuan pemimpin perusahaan dan tujuan karyawan bertentangan sehingga terjadi peerselisihan industrial.
Dalam teori kepemimpinan ini hubungan antara pemimpin dan para pengikutnya merupakan hubungan transaksi yang sering didahului dengan negosiasi tawar menawar. Jika para pengikut memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu untuk pemimpinnya, pemimpin juga akan memberikan sesuatu kepada para pengikutnya. Jadi seperti ikan lumba-lumba di Ancol yang akan meloncat jika pelatihnya memberikan ikan. Jika pelatihnya tidak memberikan ikan, lumba-lumba tidak akan meloncat.
Prinsip dasar teori kepemimpinan transaksional adalah:
(1) Kepemimpinan merupakan pertukaran sosial antara pemimpin dan para pengikutnya.
(2) Pertukaran tersebut meliputi pemimpin dan pengikut serta situasi ketika terjadi pertukaran.
(3) Kepercayaan dan persepsi keadilan sangat esensial bagi hubungan pemimpin dan para pengikutnya.
(4) Pengurangan ketidak pastian merupakan benefit penting yang disediakan oleh pemimpin.
(5) Keuntungan dari pertukaran sosial sangat penting untuk mempertahankan suatu hubungan sosial.
Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional dengan Kepuasan Kerja
Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional dan transaksional (Bass, 1990). Gagasan awal mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. Gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Berry dan Houston, 1993).
Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) mengemukakan bahwa gayakepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan keduanya merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. Di bawah ini disebutkan beberapa karakteristik dari para pemimpin transaksional dan transformative.([15])
· Pemimpin Transaksional
ü Kemungkinan pengharapan : berupa kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha-usaha yang dicapai, janji pengharapan untuk prestasi kerja yang baik, pengakuan keberhasila.
ü Manajemen dengan pengecualian (aktif) : memperlihatkan dan meneliti penyimpangan-penyimpangan dari aturan-aturan dan standar tertentu, mengambil tindakan korektif.
ü Manajemen dengan pengecualian (pasif) : hanya mengintervensi kalau standar yang ditentukan tidak terpercayai.
ü “laissez Faire” (kompetisi bebas) : melepaskan tanggung jawab dan menghindari pembuatan keputusan.
· Pemimpin Transformatif
ü Kharisma : memberikan visi kesadaran misi, mengajarkan kebanggaan, memperoleh respek, dan kepercayaan.
ü Inspirasi : mengomunikasikan harapan-harapan yang tinggi, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan usulan-usulan penting dengan cara-cara sederhana.
ü Stimulasi intelektual : mempromosikan kecerdasan, rasionalitas, dan penyelesaian masalah secara berhati-hati.
ü Pertimbangan individual : memberikan perhatian pribadi, pelatihan-pelatihan, dan nasihat-nasihat serta memperlakukan tiap karyawan secara individual.
Bass (dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan kontingen, dan manajemen eksepsi. Berkaitan dengan pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap perilaku karyawan, Podsakoff dkk. (1996) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi, kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi.
Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kepuasan kerja terutama dalam hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Penelitian yang dilakukan oleh Koh dkk. (1995) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Popper dan Zakkai (1994) menunjukkan bahwa pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap organisasi sangat besar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Teori ataupun gaya kepemimpinan muncul berdasarkan kebutuhan akan model baru dalam suatu kepemimpinan. Hal itu bisa di sebabkan oleh lingkungan internal ataupun eksternal suatu organisasi. Oleh karena itu, banyak muncul teori dan gaya kepemimpinan baru yang diharapakan sesuai dengan kebutuhan suatu organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Thoha Miftah. 2007. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Muchlas Makmuri.2008. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Yukl, Gary. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. ed.5. Jakarta: PT. Indeks
Robbins, Stephen P. 2002. Perilaku Organisasi. ed.8. Jakarta: PT. Prenhallindo
Kreitner, Robert; Kinicki, Angelo. 2005. Perilaku Organisasi (Organizational Behavior). ed.5. Jakarta: Salemba Empat
Luthans Fred. 2006. Perilaku Organisasi. ed. X. Yogyakarta: Penerbit Andi Copyright
[1]Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, hal. 318
[2]Robert Kreitner, Angelo Kinicki, Perilaku Organisasi (Organizational Behavior), ed. 5, hlm. 299-301.
[3]Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, ed.5, 2005, hlm. 7.
[4] Ibid., hlm. 8.
[5]Robert Kreitner, Angelo Kinicki, Perilaku Organisasi (Organizational Behavior), ed. 5, hlm. 301.
[6]Fred Luthans, Perilaku Organisasi, ed. X, h. 639
[7] Peter G. Northouse, Leadership : Theory and Practice, Fifth Edition (Thousand Oaks, California : SAGE Publication, 2010) p.71. Sebelum muncul footnote baru, materi ini masih mengikut pendapat Northouse.
[8]Keith Davis, Human Behavior at Work, 4 th ed., New York, McGraw-Hill Bppk Company, 1972, h. 103-104.
[9]Alan C. Filley, Robert J. House, dan Steven Kerr, Managerial process and Organizational Behavior, 2nd ed., Scott, Foresman, Glenview, Illinois. 1976, h. 219-222.
[10]Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, hal. 328
[11]Fred Luthans, Perilaku Organisasi, ed. X, h. 649
[12]Fred Luthans, Perilaku Organisasi, ed. X, h. 652
[13]Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, ed.5, 2005, hlm. 300-306.
[14]Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, ed.5, 2005, hlm. 312-319.
[15]Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, hal. 346
0 komentar:
Posting Komentar