Wiraswasta menghendaki manajemen yang berbeda dari yang sudah ada.
Namun seperti halnya yang sudah ada, ia menghendaki manajemen yang
sistematis, terorganisasi dan bertujuan. Dan sementara aturan dasarnya
sama bagi setiap organisasi wiraswasta, bisnis yang ada, mempuyai
problema yang berbeda, dan harus berjaga-jaga terhadap kecendrungan ke
arah kemunduran yang berbeda. Perlu juga bagi wiraswastawan perorangan
untuk mengenali keputusan yang menyangkut peranan dan komitmennya
sendiri.
Manajemen Wiraswasta
Kewiraswastaan didasarkan atas prinsip yang sama, baik wiraswastawan
itu suatu lembaga besar yang sudah ada, maupun perorangan yang memulai
asaha barunya seorang diri. Sedikit sekali bedanya atau bahkan tidak
ada bedanya samasekali apakah wiraswastawan tersebut merupakan sebuah
organisasi bisnis ataupun organisasi pelayanan umum nonbisnis, apakah
wiraswastawan itu lembaga pemerintah atau nonpemerintah. Semua
aturanya sama saja, yang berhasil dan yang tidak sama saja, dan
demikian pula jenis-jenis inovasi dan dimana mencarinya. Dalam setiap
kasus, ada sebuah disiplin yang kita namakan manajemen wiraswasta.
Sekalipun demikian, bisnis yang sudah ada menghadapi problema-problema
yang berbeda, keterbatasan yang bebeda dan kendala yang berbeda dari
wiraswastawan tunggal (solo), dan ia perlu mempelajari hal yang
berbeda. Bisnis yang sudah ada, agar lebih sederhana, tahu bagaimana
mengelola tetapi perlu mempelajari bagaimana menjadi wiraswastawan
dan bagaimana berinovasi. Lembaga pelayanan umum nonbisnis pun,
menghadapi problema yang berbeda, mempuyai kebutuhan belajar yang
berbeda, dan cenderung untuk membuat kesalahan yang berbeda. Dan usaha
baru perlu belajar bagaimana menjadi wiraswastawan dan bagimana
berinovasi, tetapi yang paling penting ia perlu belajar bagaimana
mengelolanya . Bagi masing-masing dari yang tiga ini,
bisnis yang sudah ada
lembaga pelayanan jasa
usaha baru
harus dikembangkan suatu petunjuk khusus untuk praktek
kewiraswastawan. Apakah yang harus diperbuat oleh masing-masing?,
Apakah yang harus diperhatikan masing-masing?, Dan apakah yang
sebaiknya mereka hindari?.
Secara logika, pembicaran harus dimulai dengan proyek baru, seperti
halnya studi ilmu kedokteran, yang dimulai dengan janin dan bayi yang
baru lahir. Tetapi mahasiswa-mahasiswa kedokteran mulai dengan
mempelajari anatomi dan patologi orang dewasa, dan praktek
kewiraswastawan demikian juga, sebaiknya dimulai dengan membicarakan
yang "dewasa" yaitu bisnis yang sudah ada dan kebijakan, praktek dan
problema yang berkaitan dengan pengelolaannya menjadi wiraswasta.
Bisnis dewasa ini, terutama yang besar-besar, benar-benar tidak akan
dapat bertahan dalam periode perubahan pesat dan periode inovasi ini,
kecuali mereka memiliki kemampuan wiraswasta . Dalam hal ini, akhir
abad kedua- puluh ini sama sekali berbeda dengan periode wiraswasta
besar yang paling akhir dalam sejarah ekonomi, periode lima puluh atau
empat puluh tahun yang berakhir dengan pecahnya Perang Dunia I. Tidak
banyak bisnis besar yang terdapat pada masa itu, bahkan yang
menegahpun juga tidak banyak. Dewasa ini, apabila semua bisnis besar
yang sudah ada itu mengelola diri mereka sendiri untuk kewiraswastaan,
hal ini tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi mereka
memiliki tanggung jawab sosial untuk berbuat demikian. Berlainan
sekali dengan situasi satu abad yang lalu, perusakan cepat bisnis yang
sudah ada – terutama yang besar-besar oleh inovasi, "perombakan
kreatif" ("creative destruction") oleh inovator dalam ungkapan
terkenal dari Joseph Schumpeter, dewasa ini merupakan suatu ancaman
sosial yangsejati terhadap kesempatan kerja (employment), terhadap
stabilitas finansial, terhadap ketentuan sosial dan terhadap tanggung
jawab pemerintah.
Bisnis yang sudah ada akan membutuhkan perubahan dan berubah
besar-besaran setiap saat. Dalam masa 25 tahun, setiap industri maju
nonekomonis akan melihat angkatan kerja buruh kasar yang bekerja di
pabrik, jumlahnya akan menciut menjadi sepertiga dari yang ada
sekarang, sementara asil produksi pabrik akan meningakat tiga atau
empat kali lipat – suatu kemajuan yang akan sejajar dengan kemajuan
dalam lapanagn pertanian di negara industri nonkomunis dalam masa 25
tahun setelah Perang Dunia ke II. Dalam usha menanamkan stabilitas dan
kepemimpinan dalam masa peralihaan yang besar itu biisnis yang sudah
ada arus belajar untuk tetap hidup, dan untuk tetap makmur. Dan mereka
akan mamapu bertahan dan akan tetap makmur, hanya apabila mereka
bersedia belajar menjadi wiraswastawan yang berhasil.
Dalam banyak hal kewiraswastaan yang dibutuhkan hanya dapat muncul
dari bisnis yang sudah ada. Beberapa raksasa pada masa ini, mungkin
tiidak akan ada lagi 25 tahun yang akan datang. Tetapi kita sekarang
tahu benar, bahwa bisnis ukuran menengah menempati posisi yang sangat
untuk dapat menjadi wiraswastawan dan inovator yang suskses, hanya
jika mengorganisasikan dirinya untuk manajemen wiraswasta. Bisnis yang
sudah ada itulah – yang ukurannya cukup besar ketimbang yang
kecil-kecil yang memiliki kemampuan paling baik guna menempati posisi
kepemimpinan wiraswasta. Ia memiliki sumber daya yang dibutuhkan,
terutama sumber daya manusia. Ia sudah memiliki kemampuan manajerial
dan sudah membangun team manajemen. Ia memiliki baik peluang maupun
tanggung jawab untuk manajemen wiraswasta yang efektif.
Hal ini juga berlaku bagi lembaga pelayanan umum, terutama bagi mereka
yang melaksanakan tugas nonpolitik, baik yang dimiliki oleh pemerintah
dan dibiayai dengan uang pajak atau bukan; bagi rumah sakit, sekolah
dan universitas; bagi lembaga pelayanan umum dari penerintah daerah ;
bagi organisasi lingkungan dan organisasi sukarela seperti Palang
Merah dan Kepanduan; bagi gereja dan organisasi yang ada hubunganya
dengan gereja; tetapi juga bagi asosiasi profesi dan perdagangan, dan
banyak lagi. Suatu periode perubahahan cepat membuat sejumlah besar
perusahan lama menjadi usang, atau setidak-tidaknya membuat banyak
sekali cara lama menjadi tidak berguna lagi. Disamping itu periode
semacam itu juga menciptakan peluang untuk menangani tugas baru,
peluang untuk percobaan dan inovasi sosial.
Yang paling penting terhadap perubahaan besar dalam persepsi (cerapan)
dan dalam perasaan (mood) dikalangan umum. Seratus tahun yang lalu,
"kepanikan" yang terjadi pada tahun 1873 telah mengakhiri abad laissez
faire yang dimulai dengan Wealth of Nations dari Adam Smith pada tahun
1776. Selama seratus tahun mulai dari tahun 1873, menjadi "modern,"
"progresif" atau "berpandangan jauh kedepan", berarti memandang
pemerintah sebagai pembawa perubahan sosial dan pembawa perbaikan.
Menjadi lebih baik atau lebih buruk, periode tersebut sudah berakhir
disemua negara maju nonkomunis (dan barang kali juga di negara komunis
yang maju). Kita belum tahu pasti gelombang "progresifisme" berikutnya
yang akan terjadi. Namun, kita tahu benar bahwa setiap orang yang
masih saja berkhotbah tetang ajaran "liberal" atau "progresif"dari
tahun 1930 – atau bahkan dari tahun 1960, zaman Kennedy dab Johnson
bukan orang yang "progresif," melainkan orang yang "reaksioner."
Dari kendali pemerintahan kepada kendali non pemerintah (sekailipun
tidak harus dikendalikan oleh suatu perusahaan bisnis, sebagaimana
diinterprestasikan kebanyakan orang) akan dapat berjalan atau akan
dapat berlangsung lama. Tetapi kita juga tahu benar bahwa tidak ada
negara maju non-komunis yang akan bertindak terlalu jauh kearah
nasionalisasi dan pengendalian pemerintahaan di luar harapan,
keinginan dan kepercayaan terhadap cita-cita tradisional. Pemerintah
akan bertindak demikian hanya karena frustasi dan merasa gagal. Dan
dalam situasi inilah, lembaga pelayanan umum mempunyai baik peluang
maupun tangggung jawab untuk menjadi wiraswasta dan untuk melakukan
inovasi.
Namun, justru karena mereka adalah lembanga pelayanan umum, mereka
menghadapi rintangan dan tantangan khusus yang berbeda, dan cendrung
untuk membuat kesalahan yang berbeda. Oleh karena itu kewiraswastaan
dalam lembaga pelayanan umum perlu dibicarkan secara terpisah.
Akhirnya, pada proyek baru (new venture), akan terus menjadi wahana
utama bagi inovasi, seperti juga dalam semua periode wiraswasta besar
pada waktu yang lalu dan juga dewasa ini, dalam perekonomian
wiraswasta baru Amerika Serikat. Sesungguhnya tidak ada kekurangan
calon wiraswastawan di Amerika Serikat, tidak ada kekurangan usaha
baru. Tetapi bagi kebanyakan dari mereka, terutama usaha-usaha
teknologi tinggi, banyak sekali yang perlu mereka pelajari tentang
manajemen wiraswasta dan terpaksa berbuat demikian jika mereka
berkeinginan unntuk tetap bertahan.
Kesenjangan antara prestasi para praktisi umum dan prestasi
pemimpin-pemimpin kewiraswastaan dan inovasi, sangat besar dalam
ketiga kategori diatas. Untungnya, terdapat cukup banyak praktek
kewiraswastaan yang berhasil, yang memungkinkan penyajian secara
sistematis manajemen wiraswasta, dalam praktek maupun teori, secara
deskritif ataupun preskriptif.
Bisnis Wiraswasta
"Bisnis besar jangan berinovasi" menurut kebijaksanaan konvensianal.
Kedengarannya cukup masuk akal juga. Benar, inovasi besar pada abad
ini memang tidak datang dari bisnis lama yang besar pada masanya.
Kereta api tidak menelorkan mobil atau truk, bahkan mencobapun mereka
tidak. Dan meskipun perusahaan mobil pernah mencoba (Ford and Geneal
Motors, keduanya pernah merintis dunia penerbangan dan ruang angkasa),
perusahan pesawat terbang dan penerbangan yang besar-besar dewasa ini
tumbuh justru dari usaha baru yang terpisah. Demikian pula, industri
farmasi raksasa sekarang ini, adalah perusahan kecil atau sama sekali
belum ada pada lima puluh tahun yang lalu, ketika obat-obat modern
yang pertama mulai dikembangkan. Semua raksasa industri
listrik-General Electric, Westinghouse dan RCA di AS; Siemens dan
Philips di Eropa; Toshiba di Jepang-ramai-ramai memasuki dunia usaha
komputer pada tahun 1950-an. Namun tidak satu pun dari mereka yang
berhasil. Bidang tersebut didominasi oleh IBM, perusahan yang belum
tergolong menengah dan dapat dikatakan tidak termasuk teknologi tinggi
empat puluh tahun yang lalu.
Dan sekalipun nyaris diyakini secara luas bahwa bisnis besar tidak
boleh dan tidak bisa mengadakan inovasi, hal ini tidak hanya kurang
benar tettapi merupakan kesalah pengertian.
Alsan pertama, bannyak sekali perkecualiannya, banyak perusahan besar
yang berhasil sebagai wiraswastawan dan inovator. Di AS terdapat
Johnson&Johnson yang bergerak dalam bidang higiena dan perawatan
kesehatan, dan 3M dalam bidang barang berteknik tinggi untuk pasar
industri dan pasar konsunen. Citibank, lembaga keuangan Amerika non
pemerintah yang tersebar di dunia dan yang sudah lebih dari satu abad
umumnya merupakan inovator penting dalam berbagai bidang perbankan dan
keuangan. Di Jerman, Hoechst-salah satu perusahan kimia terbesar
didunia, dan sekarang sudah berumur lebih dari 125 tahun –sudah
menjadi inovator yang sukses dalam industri farmasi. Di Swedia, ASEA
yang didirikan pada tahun 1884 dan selama enampuluh atau tujuh puluh
tahun terakhir merupakan perusahan yang sangat besar, adalah inovator
yang sesungguhnya dalam bidang transmisi tenaga listrik jarak-jauh dan
dibidang robotik bagi otomasi pabrik.
Yang lebih membingungkan lagi, terdapat beberapa perusahan besar dan
lama yang telah berhasil selaku wiraswastawan dan inovator dalam
beberapa bidang, sementara dalam bidang-bidang lainnya mengalami
kegagalan yang menyedihkan. General Electric Company (Amerika) gagal
dalam bidang komputer, tetapi merupakan inovator yang berhasil dalam
tiga bidang yang sama sekali berbeda, yaitu mesin kapal terbang,
rekayasa plastik anorganis dan elektronika kedokteran. RCA juga gagal
dalam komputer tetapi sukses dalam bidang televisi berwarna. Sungguh
ternyata segala sesuatu tidak sesederhana seperti yang dikatakan
pepatah lama itu.
Alasan kedua, tidaklah benar bahwa "besar"merupakan rintangan terhadap
kewiraswastaan dan inovasi. Dalam diskusi kewiraswastaan, terdengar
banyak sekali mengenai "birokrasi" dalam organisasai besar dan
"konservatisme" mereka. Keduanya tentu saja ada dan merupakan
penghalang serius bagi kewiraswastawan dan inovasi, tetapi
sesungguhnya merupakan penghalang serius bagi prestasi lainnya.
Catatan menunjukkan dengan jelas bahwa diantara perusahaan yang ada,
baik bisnis ataupun lembaga sektor masyarakat, perusahan kecil adalah
perusahaan yang paling kurang wiraswasta dan paling kurang inovatif.
Diantara bisnis wiraswasta yang ada, terdapat banyak sekali yang
besar-besar. Daftar diatas masih dapat dengan mudah ditambah hingga
seratus perusahan dari seluruh dunia, dan daftar lembaga pelayanan
masyarakat yang inovatif juga mencakup banyak lembaga yang
besar-besar.
Barangkali, bisnis yang paling wiraswasta dari kesemua itu adalah
bisnis kelas menengah yang besar-besar seperti misalnya perusahan
Amerika yang penjualanya $ 500 juta dalam pertengahan tahun 1980-an.
Tetapi perusahan kecil yang ada sekarang jelas akan hilang dari semua
daftar bisnis wiraswasta.
Bukanlah ukuran yang merupakan penghalang bagi kewiraswastaan dan
inovasi, melainkan kegiatan yang dilakukan sekarang yang menjadi
penghalang, terutama kegiatan yang berhasil. Dan lebih mudah bagi
perusahaan yang besar, atau setidak-tidaknya yang agak besar untuk
mengatasi rintangan itu dibandingkan dengan perusahaan kecil. Setiap
operasi produksi pabrik, teknologi, lini produk, sistem distribusi
menghendaki upaya yang berkesinambungan dan perhatian yang terus
menerus. Satu hal yang dapat dipastikan dalam setiap operasi , adalah
krisis sehari-hari. Krisis sehari-hari tidak dapat ditunda, tetapi
harus diselesaikan pada saat itu juga. Dan operasi yang berjalan
menuntut prioritas yang tinggi dan patut menerimanya.
Sesuatu yang baru selalu kelihatan begitu kecil, begitu lemah, tidak
mengandung harapan, lepas dari ukuran dan tingkat kematangannya.
Sesuatu yang benar-benar masih baru, yang kelihatannya besar, malah
akan dicurigai. Kemungkinan keberhasilannya tidak diakui. Namun
seperti dikemukakan sebelumnya, inovator-inovator yang sukses harus
mulai dengan kecil dan yang paling penting sederhana.
Pernyataan dari begitu banyak perusahaan, "Sepuluh tahun dari
sekarang, sembilan puluh persen dari pendapatan kita akan berasal dari
barang yang sekarang ini bahkan belum ada", sebenarnya adalah omong
kosong belaka. Modifikasi dari produk-produk yang ada, variasi, bahkan
pengembangan dari produk yang ada ke pasar yang baru dan kegunaan
akhir yang baru dengan atau tanpa modifikasi. Tetapi usaha yang
benar-benar baru cenderung memiliki waktu tempuh yang lebih lama.
Bisnis yang berhasil, bisnis yang hari ini berada dalam pasar yang
tepat dengan barang atau jasa yang tepat, mungkin sepuluh tahun
mendatang memperoleh tiga perempat pendapatannya dari barang atau jasa
yang ada hari ini, atau dari hasil modifikasinya. Dalam kenyataannya
jika barang atau jasa yang ada sekarang tidak menghasilkan arus
penghasilan yang besar dan berkesinambungan, maka perusahaan tidak
akan mampu membuat investasi yang berarti untuk hari esok yang
dibutuhkan oleh inovasi.
Tegasnya, bagi bisnis yang ada, untuk dapat menjadi wiraswasta dan
inovatif diperlukan upaya khusus. Tindakan yang "normal" adalam
mengalokasikan sumberdaya produktif pada bisnis yang ada, pada krisis
sehari-hari, dan pada upaya untuk mendapatkan lebih dari yang sudah
diperoleh. Godaan dalam bisnis yang ada selalu adalah membuat kenyang
hari kemarin dan membuat mati kelaparan hari esok. Sudah pasti godaan
itu sifatnya mematikan. Perusahaan yang tidak melakukan inovasi tidak
terelakkan lagi, pasti menjadi cepat tua dan akan alami kemerosotan.
Dan dalam periode perubahan pesat seperti sekarang ini, sebuah periode
kewiraswastaan, kemerosotan akan berlangsung dengan cepat sekali.
Sekali sebuah perusahaan atau industri mengalami kemunduran,
pemulihannya akan amat sulit jika tidak mustahil samasekali. Tetapi
rintangan yang dihadapi oleh kewiraswastaan dan inovasi, yang
merupakan sukses dari bisnis sekarang benar-benar nyata. Masalahnya
justru karena perusahaan demikian berhasil sehingga nampak "sehat",
bukannya mengalami kemerosotan yang disebabkan oleh birokrasi dan
sikap merasa cepat puas.
Inilah yang membuat contoh bisnis yang ada yang benar-benar berhasil
mengadakan inovasi menjadi sedemikian penting, dan terutama contoh
bisnis besar dan menengah yang ada, yang juga merupakan wiraswastawan
dan inovator yang berhasil. Semua bisnis itu menunjukan bahwa
rintangan keberhasilan, rintangan dari yang ada, sebenarnya dapat
diatasi. Dan dapat diatasi sedemikian rupa sehingga baik usaha yang
sudah ada maupun yang baru, yang sudah dewasa maupun yang masih bayi,
dapat memperoleh manfaat dan berkembang. Perusahaan besar yang
merupakan wiraswastawan dan inovator yang berhasil – Johnson &
Johnson, Hoechst, ASEA, 3M, atau seratus perusahaan menengah yang
"tumbuh" itu – pasti sudah tahu bagaimana cara mengatasinya.
Kekeliruan dari kebijaksanaan konvensional itu adalah dalam berasumsi
bahwa kewiraswastaan dan inovasi adalah alamiah, kreatif dan spontan.
Jika kewiraswastaan dan inovasi tidak berfungsi dengan baik dalam
sebuah organisasi, pasti ada sesuatu yang merintanginya. Bahwa hanya
sekelompok kecil dan bisnis yang berhasil bersifat wiraswasta dan
inovatif, telah dipandang sebagai bukti yang nyata bahwa bisnis yang
ada mematikan semangat wiraswasta.
Namun kewiraswastaan tidak bersifat "alamiah", tidak "kreatif".
Kewiraswastaan adalah karya. Sebab itu kesimpulan yang benar dari
bukti tersebut bertentangan dengan yang biasa ditarik orang. Bahwa
banyak dari bisnis yang ada, di antaranya terdapat sejumlah besar
bisnis menengah besar, dan sangat besar, berhasil sebagai
wiraswastawan dan inovator, menunjukan bahwa kewiraswastaan dan
inovasi dapat dicapai oleh setiap bisnis mana pun juga. Tetapi harus
diusahakan dengan penuh kesadaran. Semua itu dapat dipelajari, tetapi
ia menghendaki kesungguhan. Bisnis wiraswasta memperlakukan
kewiraswastaan sebagai suatu tugas. Mereka disiplin tentang
itu……..mereka bekerja……..mereka mempraktekannya
Khususnya, manajemen wiraswasta menghendaki kebijakan dan praktek
dalam empat bidang pokok.
Pertama, organisasi harus dibuat agar reseptif terhadap inovasi dan
siap untuk menerima perubahan sebagai sebuah peluang daripada sebuah
ancaman. Ia harus diorganisasikan untuk dapat melakukan kerja keras
sebagai wiraswastawan. Kebijakan dan praktek diperlukan untuk
menciptakan iklim wiraswasta.
Yang kedua, pengukuran yang sistematis, atau setidak-tidaknya
penilaian tehadap prestasi perusahaan sebagai wiraswastawan dan
inovator, merupakan suatu keharusan, begitu pula halnya dengan upaya
belajar untuk meningkatkan prestasi.
Yang ketiga, manajemen wiraswastawan membutuhkan
praktek-praktek tersendiri mengenai sruktur keorganisasian, mengenai
penyusunan stsf dan manajemen, dan mengenai kompensasi, perangsang dan
penghargaan.
Yang keempat, terdapat beberapa "larangan" : beberapa hal yang tidak
boleh dilakukan dalam manajemen wiraswasta.
C. Kebijakan Wiraswasta.
Seorang penyair Latin menamakan manusia "rerum novarum cupidus" (haus
terhadap barang baru). Manajemen wiraswasta harus membuat
setiapmanajer dari bisnis yang ada "rerum novarum cupidus". Bagaimana
kita dapat mengatasi perlawanan (resistensi) terhadap inovasi dalam
organisasi yang ada?, merupakan pertanyaan yang biasa diajukan oleh
para eksekutif, namun masih merupakan pertanyaan yang salah. Yang
benar adalah : "Bagaimana kita dapat membuat organisasi reseptif
terhadap inovasi, menghendaki inovasi, berusaha mencapainya dan
bekerja untuknya?". Bila inovasi dipandang oleh organisasi sebagai
sesuatu yang berlawanan (dengannya) dan berenang melawan arus, dan
bukan sebagai prestasi yang heroik, maka tidak akan ada inovasi.
Inovasi harus merupakan bagian yang hakikidari kebiasaan dan norma,
jika tidak ia hanya merupakan kegiatan rutin organisasi itu.
Hal itu menghendaki kebijakan yang spesifik :
Pertama, inovasi harus dibuat menarik dan bermanfaat bagi para
manajer, bukannya berpegang pada kebijakan yang sudah ada. Harus
terjalin pengertian yang jelas di dalam seluruh organisasi, bahwa
inovasi merupakan cara terbaik untuk melindungi dan melestarikan
organisasi tersebut, dan bahwa inovasi merupakan dasar bagi
keberhasilan dan jaminan kerja bagi manajer secara individu.
Kedua, pentingnya kebutuhan akan inovasi dan dimensi kerangka
waktunya, kedua-duanya harus didefinisikan dan diutarakan.
1. Hanya ada satu cara untuk membuat inovasi menarik bagi para manajer
; suatu kebijakan yang sistematis untuk meninggalkan segala sesuatu
yang sudah lusuh, usang, tidak produktif lagi, disamping
kesalahan-kesalahan, kegagalan dan segala upaya yang arahnya salah.
Setiap kira-kira tiga tahun, perusahaan harus berani mengadakan
pengujian terhadap setiap barang (produk), setiap proses, teknologi,
pasar, saluran distribusi termasuk juga semua kegiatan staf dan
karyawan, demi kelangsungan hidup perusahaan. Tidak ada yang membuat
seorang manajer dapat berkonsentrasi penuh pada inovasi selain
kepastian bahwa produk atau jasa yang ada sekarang akan dihapuskan
dalam waktu yang sudah ditetapkan.
Inovasi menghendaki upaya besar. Ia menuntut kerja keras dari
orang-orang yang berprestasi - sumberdaya yang paling langka dalam
setiap organisasi. Untuk dapat berinovasi bisnis harus mampu
membebaskan pembuat-pembuat prestasi terbaiknya dari tugas-tugas lain
untuk menghadapi tantangan inovasi. Jika para eksekutif tahu bahwa
sudah merupakan kebijakan perusahaan untuk menghapuskan semua produk,
jasa, pasar, saluran distribusi, proses, teknologi yang ada untuk
mendorong kewiraswastaan, dan akan mengakui perlunya menjadi
wiraswasta. Ini adalah langkah pertama – suatu bentuk higiena
keorganisasian.
2. Langkah kedua, kebijakan kedua yang diperlukan untuk membuat jenis
yang ada "haus akan hal baru," adalah menerima kenyataan, bahwa semua
produk, jasa, pasar, saluran distribusi, proses, teknologi yang ada
penuh membatasi – dan biasanya secara drastis – kesehatan dan harapan
hidup organisasi., Dalam strategi yang sudah diperkenalkan secara luas
sepuluh tahun terakhir ini, khususnya manajemen portfolio, hasil
analisiis semacam itu sendiri merupakan suatu program tindakan (action
program). Hal itu merupakan kesalahpengertian dan cenderung
mendatangkan hasil yang mengecewakan, seperti yang dialami oleh
sejumlah besar perusahaan ketika mereka ramai-ramai menganut strategi
semacam itu pada akhir tahun 1970-an da pada awal tahun 1980-an.
Hasilnya harus mengarah pada suatu diagnosis. Hal ini pada gilirannya
menghendaki pertimbangan, menghendaki pengetahuan mengenai bisnis,
produknya, pasarnya, pelanggannya, teknologinya. Ia menghendaki
pengalaman, bukannya analisis semata-mata.
Analisis itu (dalam buku Managing for Result disebut "Bussines
X-Ray"), dimaksudkan sebagai suatu alat untuk menemukan pertanyaan
yang tepat. Hal itu merupakan tantangan bagi semua pengetahuan yang
dapat dijumpai dalam perusahaan tertentu. Ini akan menimbulkan
perbedaan pendapat.
3. Business X-Ray menyediakan informasi yang diperlukan dalam upaya
mendefinisikan berapa banyak inovasi yang diperlukan oleh bisnis
tertentu, dalam bidang apa saja, dan dalam kerangka waktu tertentu.
Pendekatan yang terbaik dan paling sederhana dikembangkan oleh Michael
J.
Dalam pendekatan itu, perusahaan membuat daftar produk atau jasanya,
disamping juga pasar yang dilayaninya dan saluran distribusi yang
dipergunakannya, untuk mengestimasikan posisinya pada daur hidup
produk. Berapa lama lagi produk itu masih akan tumbuh?, masih berapa
lama lagi ia dapat bertahan di pasar?, berapa lama produk tersebut
diperkirakan akan menjadi usang dan mengalami kemunduran – dan
seberapa cepat?, kapan produk tersebut ketinggalan jaman ?. Hal itu
memungkinkan perusahaan memperkirakan di mana posisinya jika ia
membatasi diri untuk mengelola yang sudah ada dengan kemampuan yang
sebaik-baiknya. Hal itu lalu memperlihatkan kesenjangan antara yang
dapat diharapkan secara realistis dengan yang seharusnya dilakukan
oleh perusahaan dalam usaha mencapai sasarannya, baik dalam bidang
penjualan, kedudukan pasar, maupun dalam kemampulabaan.
Kesenjangan itu adalah yang paling sedikit harus diisi jika perusahaan
tidak ingin mengalami kemunduran. Kenyataannya, kesenjangan itu memang
harus diisi atau perusahaan akan segera mengalami ajalnya. Prestasi
wiraswasta harus cukup besar untuk menutup kesenjangan tersebut, dan
harus tepat waktu mengisinya sebelum yang lama keburu menjadi usang.
Namun upaya inovatif tidak membawa kepastian; mereka memiliki
kemungkinan yang besar mengalami keterlambatan. Oleh karena itu,
perusahaan harus melakukan usaha inovatif sekurang-kurangnya tiga
kali, yang bila berhasil akan mampu mengisi kesenjangan tersebut.
Kebanyakan para eksekutif menganggap hal ini terlalu berlebihan. Tapi
pengalaman telah membuktikan bahwa kekeliruannya akan kecil jika
memang keliru. Jelasnya, beberapa usaha inovatif akan menghasilkan
lebih baik daripada yang diharapkan orang, tetapi usaha-usaha lainnya
akan kurang baik hasilnya. Dan segala sesuatu berlangsung lebih lama
daripada yang diharapkan atau yang kita perkirakan, ia juga
membutuhkan upaya yang masih banyak. Akhirnya, satu hal yang pasti
tentang usaha inovatif adalah dengan adanya rintangan pada beberapa
saat terakhir dan kelambatan pada beberapa saat terakhir. Keharusan
melakukan usaha inovatif, yang jika setelah sesuatu berjalan sesuai
dengan rencana, menghasilkan tiga kali hasil minimal yang dibutuhkan,
hanyalah merupakan suatu tindakan pengamanan semata-mata.
4. Penghapusan sistematis; Business X-Ray dari bisnis yang
ada, produknya, pelayanannya, pasarnya, teknologinya, dan definisi
dari kesenjangan inovasi dan kebutuhan inovasi – semuanya memungkinkan
perusahaan untuk merumuskan suatu rencana wiraswasta dengan sasaran
inovasi dan batas waktu.
Rencana demikian itu menghendaki bahwa anggaran belanja inovasi
mencukupi. Dan hasil yang paling penting dari semuanya – rencana itu
menetapkan berapa orang yang dibutuhkan, dengan kecakapan dan
kemampuan tertentu. Hanya bila orang-orang dengan kemampuan
berprestasi yang telah terbukti, diserahi tugas menangani sebuah
proyek, dibekali dengan peralatan yang diperlukan, dana serta
informasi yang mereka butuhkan untuk melaksanakan tugasnya dan batas
waktu yang jelas dan tidak bisa disalahtafsirkan - barulah kita
benar-benar memiliki sebuah rencana. Sebelum itu, kita baru mempunyain
"maksud-maksud baik", dan untuk apa maksud-maksud itu, setiap orang
tahu.
Semua ini merupakan kebijakan pokok yang diperlukan perusahaan untuk
menerapkan manajemen wiraswasta; untuk membuat bisnis serta
manajemennya haus akan hal baru, membuatnya menganggap inovasi sebagai
suatu tindakan yang sehat, normal dan perlu. Karena didasarkan atas
"Business X-Ray" yaitu pada analisis dan diagnosis dari bisnis saat
ini, produknya, jasa dan pasarnya, pendekatan itu juga menjamin bahwa
bisnis yang ada tidak akan diabaikan dalam usaha mencari yang baru,
dan bahwa peluang yang terdapat dalam produk, jasa dan pasar yang
sudah ada tidak dikorbankan demi pesona yang baru.
Business X-Ray adalah alat untuk pengambilan keputusan. Ia
memungkinkan kita dan malahan memaksa kita untuk mengalokasikan
sumberdaya pada hasil-hasil bisnis yang ada. Tetapi ia juga
memungkinkan kita untuk menetapkan berapa besarnya sumberdaya yang
diperlukan untuk menciptakan bisnis hari esok dan produk barunya, jasa
barunya, dan pasar barunya. Ia memungkinkan kita untuk mengubah maksud
inovatif menjadi prestasi inovatif.
Untuk menjadikan sebuah bisnis yang ada menjadi wiraswasta, manajemen
harus menjadi pelopor dalam membuat produk dan jasanya, nukannya
menunggu sampai pesaing yang melakukannya. Bisnis harus dikelola
sedemikian rupa, sehingga menganggap sesuatu yang baru sebagai
peluang, bukannya sebagai ancaman. Ia harus dikelola untuk bekerja
hari ini pada produk, jasa, proses dan teknologi, yang akan
menciptakan hari esok yang berbeda.
D. Praktek Wiraswasta.
Kewiraswastaan dalam bisnis yang ada juga menghendaki praktek manajerial :
1. Yang pertama dan paling sederhana adalah pemusatan pandangan
manajerial pada peluang. Orang melihat sesuatu yang disajikan kepada
mereka. Sedangkan yang tidak disajikan cenderung tidak dilihat.
Manajemen, dalam perusahaan kecil sekalipun biasanya menerima laporan
mengenai operasi sebulan sekali. Tentu saja problema harus
diperhatikan, ditanggapi dengan sungguh-sungguh dan harus diatasi.
Dalam bisnis yang ingin menciptakan receptivitas terhadap
kewiraswastaan, harus benar-benar diusahakan agar peluang juga
memperoleh perhatian.
2. Perusahaan itu mengikuti praktek kedua, membangkitkan semangat
wiraswasta di seluruh kelompok manajemennya. Setiap enam bulan
perusahaan mengadakan pertemuan manajemen yang diikuti oleh semua
eksekutif yang mengepalai divisi, pasar dan lini produk utamanya.
Mereka diharapkan melaporkan sebab keberhasilan mereka, apa yang
membuat mereka berhasil?, Bagaimana mereka menemukan peluang?, Apa
yang dapat mereka pelajari serta rencana wiraswasta dan inovatif apa
yang dimiliki sekarang?.
3. Praktek ketiga, dan justru yang sangat penting dalam perusahaan
besar; adalah rapat, tidak resmi sifatnya tetapi dijadwalkan dan
dipersiapkan dengan baik, dimana seorang anggota manajemen puncak
duduk bersama-sama para karyawan pemula dari bagian riset, teknik,
produksi, pemasaran, akuntansi dan sebagainya. Rapat semacam itu tidak
boleh dilakukan terlalu sering, hal itu akan menyita waktu para
senior. Rapat tersebut merupakan wahana yang sangat penting untuk
meningkatkan komunikasi, cara yang ampuh guna memungkinkan para pemula
khususnya dari kalangan profesional untuk memandang dari bidang
khususnya dan melihat keseluruhan perusahaan. Itu memungkinkan para
pemula untuk mengerti minat manajemen puncak. Sebaliknya mereka
memberikan sesuatu yang sangat diperlukan oleh atasannya yaitu
pandangan terhadap nilai, pandangan hidup dan minat dari para rekan
mudanya. Yang paling penting, rapat itu merupakan salah satu cara yang
paling efektif untuk menanamkan kewiraswastaan di seluruh perusahaan.
Praktek ini memiliki satu persyaratan intern. Mereka yang menyarankan
sesuatu yang baru atau sebuah perubahan pada cara melakukan sesuatu,
baik dalam hubungannya dengan produk atau proses, pasar atau
pelayanan, harus diharapkan untuk turut melaksanakannya. Gagasan
wiraswasta yang paling penting dihasilkan dari semua itu adalah
pandangan kewiraswastaan, reseptivitas terhadap inovasi, dan "kehausan
akan hal-hal baru" di seluruh organisasi.
E. Mengukur Prestasi Inovatif
Supaya perusahaan reseptif terhadap kewiraswastaan, prestasi inovatif
harus termasuk diantara semua tolok ukurperusahaan untuk mengendalikan
dirinya. Manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku sesuai
dengan yang diharapkan dari dirinya.
Dalam pengukuran normal terhadap sebuah bisnis, prestasi inovatif
jelas tidak terukur. Namun demikian tidaklah terlalu sulit untuk
memasukkan pengukuran, atau setidak-tidaknya penilaian atas prestasi
wiraswasta dan prestasi inovatif ke dalam pengendalian bisnis.
1. Langkah pertama adalah memasukkan umpan-balik dari harapan terhadap
masing-masing proyek inovatif. Ini mengindikasikan kualitas dan
reliabilitas dari rencana-rencana inovatif dan upaya-upaya inovatif
kita.
Maksud yang pertama adalah menemukan apa yang sudah dikerjakan dengan
baik, selanjutnya orang mengetahui kendala kekuatannya, serta
menemukan suatu tendensi yang sangat umum bagi upaya pemasaran dan
upaya promosi bagi usaha baru, tepat pada saat usaha itu akan tinggal
landas.
2. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu tinjauan sistematis
terhadap semua upaya inovatif. Setiap selang beberapa tahun manajemen
wiraswasta meninjau semua upaya inovatif perusahaan (yang mana harus
menerima dukungan lebih banyak dan harus didorong maju, yang mana
telah membukakan peluang baru, yang mana tidak bertindak sesuai dengan
yang diharapkan dan tindakan apa yang harus diambil).
3. Akhirnya, manajemen wiraswasta harus membandingkan seluruh prestasi
inovatif perusahaan dengan sasaran inovatif perusahaan, dengan
prestasi dan kedudukannya di pasar, dan dengan prestasinya sebagai
perusahaan secara menyeluruh.
F. Struktur .
Kewiraswastaan dan inovasi dimungkinkan dengan adanya kebijakan
praktek dan pengukuran. Dan manusia harus bekerja dalam suatu
struktur. Agar bisnis yang ada mampu berinovasi, ia harus menciptakan
struktur yang memungkinkan orang menjadi wiraswasta. Ia harus
mempergunakan hubungan yang berpusat pada kewiraswastaan. Ia harus
memastikan bahwa imbalan dan insentifnya, kompensasinya, keputusan
personalianya, kebijakannya, semuanya merupakan penghargaan terhadap
perilaku wiraswasta yang benar dan tidak menghukumnya.
1. Ini berarti pertama, bahwa yang bersifat wiraswasta, terutama yang
baru, harus diorganisasikan terpisah dari yang lama dan yang sudah
ada, terlebih lagi dalam perusahaan besar. Salah satu sebabnya adalah
bahwa bisnis yang ada selalu menuntut waktu dan upaya dari orang yang
bertanggung jawab untuk itu, dan berhak mendapat prioritas yang
diberikan padanya.
2. Hal itu juga berarti bahwa harus tersedia tempat khusus bagi proyek
baru di dalam organisasi, dan tempat itu harus cukup terhormat.
Sekalipun berdasarkan ukurannya, penghasilannya dan pasarnya yang ada
sekarang, proyek yang baru tidak dapat disamakan dengan proyek yang
sudah ada. Salah seorang dari manajemen puncak harus memiliki tugas
khusus untuk bekerja bagi hari esok sebagai seorang wiraswastawan dan
inovator.
Tugas itu memerlukan definisi yang jelas, yang menjadi tanggung jawab
penuh seseorang yang memiliki wewenang dan prestise. Mereka biasanya
bertanggung jawab atas kebijakan yang diperlukan untuk membina
kewiraswastaan di dalam bisnis yang ada, berkewajiban atas analisis
yang sitematis terhadap peluang inovatif, bertanggung jawab atas
analisis terhadap gagasan inovatif dan pemikiran wiraswasta yang
muncul dari organisasi, misalnya dalam hal pertemuan "informal" dengan
para pemula seperti yang disarankan sebelumnya..
Upaya inovatif, terutama yang bertujuan mengembangkan bisnis baru,
produk jasa baru, biasanya harus dilaporkan langsung kepada
"penanggung jawab inovasi", bukannya kepada manajer hirarki yang lebih
rendah, tidak juga kepada manajer lini yang diserahi tanggung jawab
atas kegiatan sehari-hari yang tengah berlangsung.
3. Ada alasan lain mengapa sebuah upaya inovatif yang baru sebaiknya
berdiri sendiri; untuk menjauhkan beban yang belum dapat dipikulnya.
Misalnya investasi dalam sebuah lini produk baru maupun keuntungannya,
tidak boleh dimasukkan dalam analisis laba investasi tradisional,
sampai lini produk tersebut dapat menempati pasar selama beberapa
tahun. Bisnis yang sudah ada mempunyai persyaratan mengenai akuntansi,
kebijakan personalia, segala bentuk pelaporan, yang tidak dapat
dilepaskan begitu saja.
Proyek inovatif dan unit yang mengembangkannya menghendaki kebijakan
yang berbeda, aturan yang berbeda dan pengukuran yang berbeda dalam
berbagai bidang, misalnya mengenai rencana pensiun perusahaan.
Serringkali lebih masuk akal jika perusahaan memberikan kesempatan
kepada orang dalam unit inovatif, untuk ikut serta dalam menikmati
laba yang akan datang, daripada memasukkan mereka kedalam rencana
pensiun sementara mereka berproduksi, karena tak satu sen pun hasilnya
dapat disalurkan ke dalam dana pensiun.
Dengan adanya kompensasi dan imbalan khusus bagi upaya inovatif itu,
akan jauh lebih mudah mendefinisikan hal-hal yang tidak boleh
dikerjakan. Hal itu berarti bahwa orang yang ditugasi proyek baru
harus puas dengan gaji sekarang. Rasanya sangat tidak realistis jika
meminta mereka bekerja keras dengan penghasilan yang lebih sedikit
dari pada yang mereka peroleh dalam pekerjaan mereka sebelumnya.
Orang-orang cenderung mengharapkan penghasilan yang lebih besar, oleh
karena itu harus bertitik tolak dari kompensasi dan laba yang sudah
mereka peroleh. Suatu cara yang dengan efektif dilakukan oleh 3M dan
Johnson&Johnson, adalah menjanjikan bahwa orang yang berhasil
mengembangkan sebuah produk baru, pasar yang baru atau pelayanan yang
baru dan kemudian membangun sebuah bisnis yang baru , akan diangkat
menjadi pimpinan dari bisnis tersebut : manajer umum, wakil presiden
atau presiden divisi, dengan kedudukan, kompensasi, bonus dan opsi
saham sesuai dengan tingkatnya. Janji itu dapat merupakan imbalan yang
cukup besar, namun demikian hal itu sama sekali tidak mengikat
perusahaan pada sesuatu selain keberhasilan.
Cara lain yang lebih sesuai sebagian besar akan tergantung pada
undang-undang perpajakan yang berlaku pada waktu itu, adalah
memberikan pada orang yang diserahi tugas pengembangan baru tersebut
berupa pembagian atas laba yang akan datang. Dalam hal ini proyek bisa
saja misalnya diperlakukan seolah-olah sebagai sebuah perusahaan
tersendiri, dimana para manajer wiraswasta yang dibebani tugas
mempunyai hak partisipasi, katakanlah umpamanya 25 persen. Bila proyek
mencapai kedewasaannya, perusahaan itu akan dibeli seluruhnya dengan
rumusan yang telah ditetapkan sebelumnyaatas dasar volume penjualan
dan laba.
Satu hal lagi yang dibutuhkan ; orang yang menerima tugas inovasi
dalam bisnis yang ada juga dianggap menangani suatu "proyek", dan baru
adil jika majikan ikut menanggung resiko. Mereka harus mempunyai
pilihan untuk kembali ke pekerjaan mereka yang lama dengan tingkat
kompensasi yang lama, andaikata inovasinya mengalami kegagalan. Mereka
tidak akan diberikan imbalan atas kegagalannya itu, tetapi mereka
harus mempunyai kepastian bahwa mereka tidak akan dihukum atas
percobaan yang dilakukannya.
4. Sebagaimana telah dikemukakan secara implisit dalam pembicaraan
mengenai kompemsasai perorangan, laba inovasi akan sangat berbeda
dengan laba dari bisnis yang sudah ada dan harus diukur secara berbeda
pula.
Untuk waktu yang lama (bertahun-tahun) usaha-usaha yang baru tidak
memperlihatkan laba maupun pertumbuhan. Ia menyerap sumber daya.
Tetapi kemudian ia pasti tumbuh dengan cepat untuk waktu yang cukup
lama dan mengembalikan modal yang diinvestasikan untuk pengembangannya
paling sedikit lima kali lipat, jika tidak lebih tinggi lagi atau
sebaliknya, inovasi itu mengalami kegagalan. Suatu inovasi harus
dimulai kecil tetapi harus berakhir besar. Ia harus menghasilkan
sebuah bisnis baru bukannya sekedar "produk khusus" baru atau suatu
tambahan yang "terhormat" pada lini produk.
Hanya dengan menganalisis pengalaman inovatif perusahaan sendiri,
umpan balik dari prestasinya kepada harapan-harapannya, perusahaan
dapat menentukan harapan yang tepat bagi inovasi dalam industri atau
pasarnya. Berapa rentang waktu yang sesuai?. Dan bagaimana distribusi
upaya yang optimal?.Perlukah suatu investasi besar sumberdaya manusia
dan uang pada permulaannya, atau haruskah usaha itu mula-mula terbatas
pada satu orang saja, dengan satu atau dua pembantu, bekerja sendiri?.
Kapan usaha itu menjadi besar?. Dan bila "pengembangannya" harus
dijadikan "bisnis" yang menghasilkan laba yang besar tetapi
konvensional?.
Semua itu adalah pertanyaan penting, jawabannya tidak akan ditemukan
dalam buku-buku. Namun pertanyaan itu tidak bisa dijawab secara
arbitrer, dengan mengira-ngira, atau dengan memperdebatkannya.
Perusahaan wiraswasta mengerti benar pola, irama dan rentang waktu
yang sesuai untuk inovasi dalam industri, teknologi dan pasar spesifik
mereka. Satu-satunya jalan untuk mengetahui hal-hal itu adalah melalui
analisa yang sistematis atas prestasi perusahaan dan para pesaingnya,
melalui umpan balik yang sistematis dari hasil inovasi kepada harapan
inovasi, dan penilaian secara teratur atas prestasi perusahaan sebagai
wiraswastawan. Dan setelah perusahaan memahami hasil yang seharusnya
dan yang bisa diharapkan dari upaya inovasinya, ia lalu bisa merancang
sistem pengendalian yang sesuai. Sistem pengendalian itu akan mengukur
bagaimana prestasi unit dan manajernya dalam inovasi, dan bagaimana
mereka menetapkan upaya inovatif yang akan didorong, yang akan
dipertimbangkan kembali dan upaya mana yang akan dihapuskan.
5. Persyaratan struktural terakhir untuk kewiraswastaan dalam bisnis
yang ada adalah bahwa seseorang atau sebuah kelompok komponen harus
diserahi tanggung jawab yang jelas. Dalam "perusahaan pertumbuhan
berukuran menengah" tugas itu biasanya menjadi tanggung jawab penting
dari pejabat eksekutif tertinggi (PET). Dalam perusahaaan besar ia
barangkali adalah seorang anggota paling senior yang ditunjuk dari
kelompok manajemen puncak. Dalam bisnis kecil, eksekutif yang
bertanggung jawab atas kewiraswastaan dan inovasi mungkin juga memikul
tanggung jawab lainnya.
Struktur organisasi kewiraswastaan yang paling murni, sekalipun hanya
cocok untuk perusahaan yang paling besar saja, adalah sebuah
perusahaan operasi atau pengembangan inovasi yang terpisah sama
sekali.
Contoh paling dini dari struktur itu dibuat lebih dari seratus tahun
yang lalu, tahun 1872 oleh Hefner Alteneck, ahli teknik tamatan
perguruan tinggi pertama yang dipekerjakan oleh sebuah perusahaan
manufaktur German Siemens Company. Hefner memulai "laboratorium
riset"yang pertama dalam industri. Anggotanya ditugaskan menemukan
produk dan proses yang baru, yang lain dari pada yang lain. Tetapi
mereka juga bertanggung jawab untuk mengidentifikasi kegunaan akhir
yang baru dan berbeda, serta pasar yang baru dan berbeda .Dan mereka
tidak hanya mengerjakan pekerjaan teknis; mereka juga bertanggung
jawab atas pengembangan proses pembuatan, atas pengenalan produk baru
ke dalam pasar, dan bertanggung jawab atas kemampulabaan laboratorium
itu.
Limapuluh tahun kemudian, dalam tahun 1920-an, Amerika DuPont Company
secara terpisah mendirikan sebuah unit yang samadan dinamakan
Departemen Pengembangan. Departemen itu mengumpulkan gagasan inovatif
dari seluruh perusahaan, menelaahnya, memikirkannya masak-masak dan
menganalisisnya. Kemudian ia mengusulkan kepada manajemen puncak, yang
mana yang akan ditangani sebagai proyek inovatif utama. Dari
permulaan, ia melakukan inovasi dengan mengikut-sertakan semua
sumberdaya perusahaan : riset, pengembangan, pembuatan, pemasaran,
pembiayaan dan lain-lain. Ia bertugas sampai produk baru atau jasa
baru sudah ada di pasar selama beberapa tahun.
Apakah tanggung jawab atas inovasi itu terletak pada pejabat eksekutif
tertinggi (PET), pada anggota manajemen puncak, maupu pada komponen
yang terpisah ; apakah ia berupa penugasan penuh ataupun bagian dari
tanggung jawab seorang eksekutif, ia harus selalu ditempatkan dan
dikenal sebagai tanggung jawab tersendiri maupun sebagai tanggung
jawab dari manajemen puncak. Dan ia harus selalu mencakup pencarian
yang sistematis dan bertujuan akan peluang inovatif.
Apakah semua kebijakan dan praktek itu perlu?. Tidakkah mereka
mengganggu semangat wiraswasta dan mematikan kreativitas?. Tidak
bisakah sebuah bisnis menjadi wiraswasta tanpa kebijakan dan praktek
semacam itu?. Barangkali bisa, tetapi tidak akan berhasil baik, dan
tidak untuk waktu yang lama.
Pembahasan mengenai kewiraswastaan cenderung mengarah pada kepribadian
dan sikap dari orang-orang manajemen puncak, dan khususnya eksekutif
tertinggi. Sudah barang tentu, manajemen puncak dapat saja merusak dan
mematikan kewiraswastaan di dalam perusahaannya. Namun demikian kurang
dapat dipastikan bahwa kepribadian dan sikap dari manajemen puncak
sendiri – tanpa kebijakan yang tepat – dapat menciptakan sebuah bisnis
wiraswasta, seperti yang dinyatakan oleh kebanyakan buku mengenai
kewiraswastaa, sekurang-kurangnya secara implisit. Dalam bebrapa kasus
singkat yang kita ketahui, perusahaan itu dibangun dan masih tetap
dijalankan oleh pendirinya. Sekalipun demikian, setelah mulai
berhasilperusahaan itu akan berhenti menjadi wiraswasta, kecuali jika
ia mengambil kebijakan dan praktek manajemen wiraswasta. Bisnis
memerlukan banyak orang yang mengerti apa yang harus mereka lakukan,
bersedia melakukannya, dimotivasikan untuk mengerjakannya, serta
dibekali dengan peralatan yang diperlukan dan penegasan kembali secara
terus menerus. Sebaliknya jika yang ada hanya kepura-puraan, maka
kewiraswastaan hanyalah akan terbatas pada pidato-pidato pejabat
eksekutif tertinggi.
Tidak ada bisnis yang dapat tetap terus sebagai wiraswasta setelah
ditinggalkan oleh pendirinya, kecuali kalau pendiri tersebut
sebelumnya telah memasukkan kebijakan dan praktek manajemen
kewiraswastaan ke dalam organisasi. Jika hal itu tidak dilakukan, maka
bisnis akan kehilangan keberaniannya dan selalu menengok ke belakang
paling lambat beberapa tahun sesudahnya.Dan perusahaan itu biasanya
bahkan tidak menyadari, bahwa mereka telah kehilangan kualitas
esensial mereka, satu-satunya unsur yang telah membuat mereka
menonjol, sampai semuanya barangkali sudah terlambat. Untuk melihatnya
orang memerlukan suatu pengukuran prestasi wiraswasta.
Dua buah perusahaan yang merupakan bisnis wiraswasta par excellence di
bawah manajemen pendiri mereka, adalah contoh yang baik : Walt Disney
Productions dan McDonald's. Para pendirinya, Walt Disney dan Ray Kroc,
adalah orang dengan imajinasi dan tekad yang luar biasanya,
masing-masing merupakan perwujudan dari pemikiran yang kreatif,
wiraswasta dan inovatif. Keduanya meletakkan manajemen kegiatan
sehari-hari dalam perusahaan mereka. Tetapi mereka tetap memegang
langsung tanggung jawab wiraswasta dalam perusahaan. Keduanya
mengandalkan "kepribadian wiraswasta" sama sekali tidak menanamkan
semangat wiraswasta dalam kebijakan dan praktek khusus. Dalam beberapa
tahun saja sesudah kematian kedua orang ini, perusahaan mereka berubah
menjadi perusahaan yang lamban, selalu menengok ke belakang,
kehilangan keberanian dan menjadi defensif.
Perusahaan yang telah berhasil meletakkan manajemen wiraswasta ke
dalam struktur mereka – Procter & Gamble, Johnson & Johnson, Marks and
Spencer – terus berlanjut menjadi inovator dan pemimpin wiraswasta
sepanjang dekade demi dekade, terlepas dari pergantian eksekutif
kepala dalam perusahaan, ataupun perubahan dalam kondisi ekonomi.
G. Pengisian Jabatan (Staffing).
Bagaimana seharusnya perusahaan melakukan pengisian jabatan (staffing)
bagi kewiraswastaan dan inovasi?. Apakah memang ada orang yang disebut
"wiraswasta". Apakah mereka itu merupakan keturunan tersendiri?.
Banyak literatur telah menyajikan pembahasan mengenai
pertanyaan-pertanyaan di atas; penuh dengan berbagai cerita mengenai
"kepribadian wiraswasta", serta mengenai orang yang menyatakan tidak
bersedia mengerjakan apapun juga selain berinovasi. Sejauh pengalaman
kita sesungguhnya diskusi semacam itu tidak ada artinya sama sekali.
Pada umumnya, orang yang tidak merasa cocok sebagai inovator atau
sebagai wiraswasta, sudah pasti tidak akan bersedia bekerja dengan
sukarela pada bidang tersebut, mereka akhirnya akan mundur sendiri.
Sementara itu yang lain-lain dapat mempelajari praktek inovasi.
Pengalaman menunjukkan bahwa seorang pimpinan yang mampu berperan
dengan baik dalam tugas-tugas di bidang lain, pasti akan dapat pula
melakukan tugasnya selaku seorang wiraswastawan. Dalam bisnis
wiraswasta yang berhasil, tidak seorangpun juga yang akan meragukan
apakah seseorang akan dapat melakukan tugas pengembangan dengan baik
atau tidak. Orang dengan segala macam watak dan latar belakangyang
berbeda-beda, kelihatannya juga akan sama baiknya.
Demikian pula tidak ada sama sekali alasan untuk ragu-ragu di mana
tempat wiraswastawan yang berhasil. Jelasnya, ada orang yang hanya
bersedia bekerja pada proyek baru dan tidak akan bersedia menjalankan
apapun selain itu. Orang yang hanya ingin menjadi wiraswasta, dapat
dipastikan tidak akan bersedia bekerja pada bisnis yang sudah ada, dan
sudah pasti tidak akan berhasil dalam bisnis tersebut. Dan orang yang
sudah berhasil sebagai wiraswastawan dalam sebuah bisnis yang sudah
ada, biasanya ternyata sebelumnya adalah manajer dalam organisasi yang
sama. Jadi sudah dapat diperkirakan sebelumnya bahwa mereka akan dapat
berinovasi dan sekaligus dapat pula mengelola bisnis yang sudah ada.
Ada orang di Procter & Gamble dan di 3M yang memulai karir mereka
sebagai manajer proyek dan kemudian beralih ke proyek baru lain,
begitu mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan yang lama. Tetapi
kebanyakan orang dalam perusahaan ini yang lebih tinggi kedudukannya
membangun karirnya dari "manajemen proyek" lalu "manajemen produk",
kemudian "manajemen pasar", dan akhirnya menduduki posisi senior yang
mencakup seluruh perusahaan. Dan hal serupa juga terjadi di
Johnson&Johnson dan Citibank.
Bukti terbaik yang menyatakan kewiraswastaan adalah masalah perilaku,
kebijakan dan praktek, bukannya masalah kepribadian, adalah semakin
banyaknya jumlah orang dalam perusahaan besar (dan lama) di Amerika
Serikat, yang menjadikan kewiraswastaan sebagai karir mereka yang
kedua. Makin banyak jumlah eksekutif tingkat menengah dan tinggi serta
para profesional senior yang telah menghabiskan masa kerjanya dalam
perusahaan besar – pada umumnya pada satu perusahaan – yang mengajukan
pensiun lebih awal setelah bekerja selama dua puluh lima sampai tiga
puluh tahun, setelah mereka itu mencapai apa yang mereka anggap
sebagai jabatan mereka yang terakhir. Pada umur 50 atau 55 tahun,
orang-orang setengah baya itu lalu menjadi wiraswastawan. Sebagian
diantaranya memulai bisnis mereka sendiri. Sebagianlagi, terutama
orang yang memiliki spesialisasi teknik, membuka kantor sebagai
konsultan bagi usaha baru yang kecil. Sebagian orang lagi bergabung
dengan perusahaan kecil yang baru dalam jabatan senior. Dan bagian
terbesar dari mereka tidak saja berhasil, tetapi juga puas dengan
pekerjaan mereka yang baru ini.
Modern Maturity, majalah dari American Association of Retired Persons
(Asosiasi Purnakarya Amerika) penuh dengan ceritera mengenai orang
demikian, dan dengan iklan perusahaan kecil dan baru yang mencari
mereka. Dalam sebuah seminar manajemen untuk pejabat eksekutif
tertinggi yang diadakan pada tahun 1983, terdapat lima belas
wiraswastawan karir semacam itu (empat belas laki-laki dan seorang
perempuan) diantara 48 peserta. Mereka menyatakan tidak merasa
frustrasi atau tertekan selama bekerja sekian lama pada perusahaan
besar sebagai layaknya para "pribadi wiraswasta". Mereka juga tidak
menghadapi kesulitan dalam mengubah peranan mereka sebab manajemen
yang baik tetaplah manajemen yang baik.
Lembaga pelayanan masyarakat juga mengajarkan jurus-jurus yang sama.
Di antara sekian banyak inovator yang berhasil dalam sejarah mutakhir
Amerika, terdapat dua orang dalam bidang pendidikan tinggi, Alexander
Schure dan Ernest Boyer. Schure mulai sebagai penemu yang berhasil
dalam bidang elektronika, dengan sejumlah paten atas namanya. Tetapi
pada tahun 1955, ketika umurnya baru tiga-puluhan, ia mendirikan New
York Institute of Technology sebagai sebuah universitas swasta tanpa
bantuan dari pemerintah, yayasan atau perusahaan besar, dan dengan
gagasan yang benar-benar baru, mengenai jenis mahasiswa yang akan
direkrut dan apa yang akan diajarkan pada mereka dan bagaimana. Tiga
puluh tahun kemudian, lembaga yang didirikannya itu sudah menjadi
sebuah universitas teknik terkemuka dengan empat kampus, satu
diantaranya sebuah sekolah kedokteran dengan hampir 12.000 mahasiswa.
Schure masih tetap bekerja sebagai seorang penemu elektronik yang
berhasil. Tetapai ia juga selama tiga puluh tahun tersebut menjadi
rektor penuh dari universitasnya sendiri dan semua orang menyatakan ia
telah berhasil membina sebuah kelompok manajemen yang profesional dan
efektif.
Berlainan dengan Schure, Boyer mulai bekerja sebagai seorang
administrator, mula-mula di University of California kemudian di State
University of New York, yang dengan 350.000 mahasiswa dan 64 kampus,
merupakan sistem universitas Amerika yang paling besar dan paling
birokratis. Pada tahun 1970, Boyer pada usia 42 tahun mulai merintis
jalannya menuju puncak dan akhirnya ditunjuk sebagai rektor. Ia segera
mendirikan Empire State College – sebenarnya bukan perguruan tinggi
sama sekalitetapi suatu cara pemecahan yang tidak konvensional
terhadap salah satu dari kegagalan yang paling menyakitkan dan paling
lama dari pendidikan tinggi Amerika yaitu program gelar bagi orang
dewasa yang tidak mempunyai status akademis yang penuh. Jika orang
dewasa diterima pada program universitas bersama-sama dengan mahasiswa
muda yang "biasa", biasanya tidak akan ada perhatian yang diberikan
terhadap tujuan mereka, kebutuhan mereka dan apalagi terhadap
pengalaman mereka. Mereka diperlukan seolah-olah mereka adalah anak
usia delapan belas tahun, oleh karena itu mereka menjadi patah
semangat dan akhirnya keluar. Tetapi andaikata mereka ditempatkan
dalam "program pendidikan lanjutan" khusus, mereka mungkin dianggap
sebagai gangguan dan mungkin akan dikesampingkan. Pada Empire State
Collegenya Boyer, orang dewasa tetap mengikuti kuliah seperti biasa
dalam salah satu perguruanatau universitas yang ada dalam lingkungan
sistem universitas negara. Tetapi pertama-tama mahasiswa dewasa
diberikan seorang "mentor", biasanya salah seorang anggota staf
pengajar universitas negeri yang berdekatan. Mentor bertugas membantu
mereka mengerjakan program dan menetapkan apakah mereka memerlukan
persiapan khusus, dan dimana sebaliknya pengalaman mereka merupakan
kualifikasi bagi mereka untuk penempatan dan tugas lebih lanjut. Dan
kemudian mereka bertindak selaku perantara, mengadakan negosiasi
mengenai penerimaan, tingkat dan program bagi setiap calon mahasiswa
dengan lembaga pendidikan yang sesuai.
Semua itu kelihatannya seperti hal yang biasa-biasa saja. Namun
demikian merupakan dobrakan kebiasaan dan adat istiadat akademi
Amerika dan oleh karenanya ditentang habis-habisan oleh kalangan
universitas negara. Tetapi Boyer tetap tegar. Program Empire State
College ini sekarang merupakan program pertama yang berhasil dari
sejumlah program sejenis dalam dunia pendidikan tinggi Amerika, dengan
memiliki lebih dari enam ribu mahasiswa, angka putus sekolah yang
tidakmberarti, dan sebuah program master. Boyer, inovator perintis,
tidak berhenti menjadi seorang " administrator". Dari rektor State
University of New York kemudian ia menjadi Komisioner Pendidikan
Presiden Carter (pertama), dan kemudian menjadi Presiden dari Carnegie
Foundation for the Advancement of Teaching – jabatan yang paling
"birokratis" dan yang paling "mapan" dalam dunia pendidikan tinggi
Amerika.
Contoh ini tidak merupakan bukti bahwa setiap orang dapat menonjol
sebagai seorang birokrat dan sekaligus sebagai inovator, Schure dan
Boyer benar-benar merupakan orang yang luar biasa. Tetapi pengalaman
mereka sungguh-sungguh menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada
"pribadi" yang khusus bagi suatu tugas tertentu. Yang diperlukan
hanyalah kesediaan untuk belajar, kesediaan untuk bekerja keras dengan
penuh ketekunan, kesediaan untuk melatih disiplin pribadi, kesediaan
untuk mengadaptasi dan menerapkan kebijakan yang tepat dan
praktek-praktek yang tepat. Itulah yang didapatkan oleh setiap
perusahaan yang menganut manajemen wiraswasta dalam hal manusia dan
penempatan tenaga kerja.
Untuk memungkinkan proyek wiraswasta dapat dijalankan dengan sukses,
sebagai sesuatu yang masih baru, struktur dan organisasinya haruslah
benar-benar tepat; hubungan haruslah cukup sesuai; dan kompensasi
serta penghargaan haruslah sesuai. Dan bila kesemua ini sudah dapat
dilaksanakan, pertanyaan mengenai siapa yang akan menjalankan unit,
dan apa yang harus dilakukan terhadap mereka bila mereka berhasil
dalam membangun proyek baru, harus ditetapkan atas dasar individu
seseorang, bukannya menurut sesuatu teori psikologi, karena sampai
sejauh ini tidak banyak yang dapat dijadikan bukti empiris.
Keputusan dalam penyusunan karyawan (staffing) dalam bisnis wiraswasta
sama saja seperti keputusan lain yang menyangkut orang dan pekerjaan.
Sudah barang tentu, semua itu adalah keputusan yang mengandung resiko:
keputusan yang menyangkut orang selalu begitu. Dan tentu saja setiap
keputusan harus dibuat secara hati-hati dan teliti serta harus dibuat
menurut cara yang tepat. Pertama, penugasan harus dipikirkan
masak-masak, kemudian seseorang mempertimbangkan sejumlah orang,
kemudian mencek dengan hati-hati rekor prestasi mereka; dan akhirnya
mencek setiap calon pada bekas majikannya. Dan kesemua ini lalu
dipergunakan dalam setiap pengambilan keputusan tentang penempatan
seseorang dalam pekerjaan. Dan dalam perusahaan wiraswasta "batting
average" dalam pengambilan keputusan yang menyangkut orang akan sama
saja, bagi wiraswastawan dan bagi orang manajerial dan profesional
lainnya.
H. Larangan.
Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh manajemen wiraswasta
dari sebuah bisnis yang ada :
1. Pantangan yang paling utama adalah jangan mencampurkan unit
manajerial dan unit wiraswasta. Jangan sekali-kali menempatkan
wiraswastawan ke dalam komponen manajerial yang ada. Jangan menjadikan
inovasi sebagai tujuan bagi orang yang ditugaskan untuk menjalankan,
memanfaatkan, mengoptimasikan yang sudah ada.
Namun juga tidak dianjurkan bagi bisnis untuk mencoba-coba menjadi
wiraswasta tanpa mengubah kebijakan pokok dan praktek dasarnya.
Menjadi wiraswastawan pada sisi tersebut jarang sekali yang berhasil.
Dalam sepuluh atau lima belas tahun tarakhir, sebagian besar
perusahaan Amerika yang besar-besar telah mencoba untuk mengadakan
usaha patungan dengan cara wiraswastawan. Tidak satupun juga dari
usaha itu yang berhasil : para wiraswastawan merasakan dirinya
terhambat oleh berbagai kebijakan, oleh peraturan dasar, oleh "iklim"
yang dirasakannya terlalu birokratis, lamban dan reaksioner. Namun di
lain pihak, mitra usaha mereka yaitu orang dari perusahaan besar tidak
dapat membayangkan apa sebenarnya yang sedang dicoba dilakukan oleh
wiraswastawan, yang mereka anggap tidak disiplin, liar dan banyak
berkhayal.
Pada umumnya perusahaan besar dapat berhasil sebagai wiraswastawan
hanya bila mereka memanfaatkan orang mereka sendiri untuk membangun
usaha itu. Mereka dapat berhasil hanya bila mereka menggunakan orang
yang telah mereka kenal dengan baik dan yang telah mengenal mereka
dengan baik, orang yang mereka percayai dan sebaliknya orang-orang
yang mengerti bagaimana melaksanakan tugasnya dalam bisnis, dengan
kata lain yang dapat diajak bekerja sama selaku mitra. Tetapi hal itu
dengan praasumsi bahwa seluruh perusahaan harus dijiwai dengan
semangat wiraswasta, bahkan ia menginginkan inovasi dan sedang
berusaha mencapainya, menganggapnya tidak saja sebagai suatu kebutuhan
tetapi juga sebagai peluang. Dengan praasumsi bahwa seluruh organisasi
sudah dibuat "haus akan barang-barang baru".
2. Upaya-upaya inovasi yang menarik bisnis yang ada keluar dari
bidangnya sendiri, jarang sekali yang berhasil. Inovasi sebaiknya
bukan "diversifikasi". Apapun juga untungnya diversifikasi, ia tidak
dapat disatukan dengan kewiraswastaan dan inovasi. Memang cukup sulit
untuk mencoba sesuatu"yang baru" dalam sebuah bidang yang tidak
dimengerti. Bisnis yang ada berinovasi pada bidang yang dikuasai, baik
pengetahuan besar maupun pengetahuan teknologi. Sesuatu yang baru
dapat diperkirakan akan mendapat kesulitan, dengan demikian orang
harus belajar untuk mengenal bisnis itu. Diversifikasi itu sendiri
jarang sekali berhasil, kecualidibangun atas dasar kesamaan dengan
bisnis yang ada, baik kesamaan pasar maupun kesamaan teknologi.
Diversifikasi mempunyai problema sendiri. Tetapi bila orang
menambahkan kesulitan dan tuntutan kewiraswastaan pada diversifikasi,
maka hasilnya akan merupakan bencana yang sudah dapat diperhitungkan.
Jadi orang hanya berinovasi pada bidang inovasi yang dimengertinya.
3. Akhirnya, dapat dipastikan akan sia-sia saja menghindarkan bisnis
milik seseorang menjadi wiraswasta dengan cara membeli, yaitu
memperoleh (akuisisi) sebuah usaha wiraswasta kecil. Akuisisi
(pemerolehan) jarang sekali berhasil, kecuali jika perusahaan yang
melakukan pemerolehan bersedia dan sanggup dalam jangka waktu yang
tidak terlalu lama utnuk melengkapi akuisisi itu dengan manajemen.
Para manajer yang dahulu ada pada perusahaan yang diambil-alih jarang
yang tetap bertahan disitu. Jika mereka adalah pemilik, mereka
sekarang tentunya sudah menjadi kaya; jika mereka manajer profesional
mereka mungkin akan tetap bertahan jika diberikan peluang yang lebih
besar dalam perusahaan yang membeli. Jadi, dalam masa satu atau dua
tahun pemeroleh harus sudah melengkapi dengan manajemen untuk
menjalankan bisnis yang ia beli. Lebih-lebih lagi bila sebuah
perusahaan nonwiraswasta membeli perusahaan wiraswasta. Orang
manajemen dalam usaha yang baru dibeli akan segera menyadari bahwa
mereka tidak dapat bekerja sama dengan orang dalam perusahaan induk
mereka yang baru, dan begitu pula sebaliknya.
Bisnis yang berharap untuk mampu berinovasi, yang berkeinginan untuk
memiliki kesempatan untuk berhasil dan makmur dalam waktu yang berubah
dengan cepat, harus membangun manajemen wiraswasta di dalam sistemnya
sendiri. Ia harus menerapkan kebijakan yang menciptakan keinginan
untuk berinovasi, kebiasaan kewiraswastaan dan inovasi di seluruh
organisasi. Untuk menjadi wiraswastawan yang berhasil, bisnis yang
ada, besar atau kecil, harus dikelola sebagai bisnis wiraswasta.
0 komentar:
Posting Komentar