Beberapa waktu belakangan ini nilai uang rupiah kita terpuruk. Satu dolar Amerika menembus angka sebelas ribu rupiah setelah dulu sempat bertahan lama dibawah sepuluh ribu rupiah. Demikian pula rupiah bila dibandingkan dengan nilai mata uang asing lainnya, dengan ringgit Malaysia saja yang dulu hanya berkisaran tiga ribu rupiah per satu ringgit kini telah mencapai tiga ribu lima ratus rupiah. Sungguh masyarakat sekarang menjadi was-was karena teringat krisis moneter tahun 1997 an yang nilai dolar meroket dibanding rupiah yakni satu dolarnya menembus angka tujuh belas ribu rupiah bahkan mendekati duapuluh ribu rupiah per dolarnya.
Meski kekhawatiran ini muncul dikalangan masyarakat tetapi pemerintah tetap merasa yakin bahwa fundamental ekonomi kita cukup kuat untuk tidak diterpa kembali akan krisis moneter seperti di era kejatuhan orde baru. Mungkin saja pemerintah benar, tidak ada krisis moneter jilid 2 sebagaimana terjadi pada tahun 1997 karena kondisi politik negara saat ini jauh lebih baik dibandingkan dahulu. Tetapi kondisi sekarang sangat riskan dan menunjukkan lemahnya kepemimpinan nasional dalam mengantisipasi permainan spekulatif para pelaku bisnis di bursa pasar modal. Lebih lanjut, siituasi dan dinamika politik yang kerap terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia memang sangat berperan dalam turut memengaruhi situasi dan kondisi ekonomi bangsanya. Sayangnya, kemandirian ekonomi di negara kita ini masih belum bisa dipisahkan dari persoalan politik bangsa. Namun di Indonesia yang jauh lebih penting dari sekedar persoalan politik sebenarnya adalah perilaku elite pemimpin yang amat tidak menunjukkan contoh kondusif bagi masyarakat untuk percaya kepada pemimpinnya. Sudah lama kita mengalami krisis kepemimpinan nasional yang amat jauh dari nilai-nilai perjuangan 45 ketika pahlawan dan pendiri bangsa ini berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Sekarang ini yang menonjol adalah pameran kekayaan para elite pejabat tanpa rasa malu dihadapan rakyat kebanyakan yang hidupnya masih susah.
Baru-baru ini di media kabar diberitakan sejumlah pejabat justru menyimpan uang dalam bentuk dolar Amerika tidak terkecuali diberitakan media massa bahwa orang nomor satu di negeri ini juga memiliki ribuan dolar Amerika. Contoh-contoh buruk seperti ini yang tidak mencerminkan empati ekonomi kerakyatan dari para pejabat kita, sehingga pantas jikalau masyarakat tidak percaya kepada pemimpinnya. Sang pemimpin di Indonesia kerapkali mengatakan bahwa efisiensi dan hidup sederhana mesti dilakukan tetapi senyatanya apa yang diucapkan para elite seringkali tidak sejalan dengan perilakunya sendiri di lapangan yang disorot masyarakat sebagaimana kasus pejabat yang menyimpan duitnya dalam bentuk dolar. Pemimpin, elite pejabat yang tidak menyatu antara kata dan perbuatannya itu sudah berangsung lama dan menandakan para tokoh bangsa kita dewasa ini miskin keteladanan namun kaya materi alias bergelimang kemewahan dan fasilitas, amat jauh dari kondisi rakyat kebanyakan. Padahal semakin banyak pejabat dan elite bangsa ini menyimpan uang dalam bentuk dolar secara langsung dan tidak langsung memperlemah rupiah lagi pula perilaku ini bisa jadi dicontoh oleh warganya. Sungguh perilaku pejabat dan elite bangsa (pebisnis dan lain-lain) yang tidak mendidik dan jauh dari semangat nasionalime patriot sejati. Bahkan korupsi yang dilakukan oknum pejabat dan elite bangsa ini sudah tidak terbilang lagi saking banyaknya. Perilaku tokoh-tokoh bangsa itu bisa dikategorikan pengkhianatan terhadap cita-cita pahlawan dan para pendiri bangsa yang menginginkan kesejahteraan rakyat diutamakan ketimbang pemimpin dan elitenya.
Terpuruknya rupiah mengandung makna rupiah lemah dan doilar kuat. Sebagai negara yang transaksi bisnisnya dari dulu berpijak pada dolar Amerika, maka jika kita (apalagi pejabat dan para pebisnisnya) malah memborong dolar secara tidak produktif serta amat menikmati "hot money" yang beredar di bursa efek yang merupakan pasar bebas. Dengan diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dengan kelengkapan pasa bebasnya berarti para pemangku kepentingan di bidang ekonomi dan pejabat bangsa ini mengingkari tentang pentingnya ekonomi kerakyatan yang berlandaskan sistem ekonomi koperasi dan ditopang oleh usaha-usaha kecil dan menengah (UKM).
Sejak dulu bahkan ketika krisis moneter terjadi di Indonesia justeru UKM merupakan sektor yang diandalkan karena mereka bertahan, tahan banting, sementara perusahaan besar banyak yang gulung tikar. Namun setelah kita didera krisis semacam itu tetap saja pemerintah tidak mengambil hikmah, kondisi UKM tidak lebih baik untuk tidak mengatakan memerihatinkan. Pengaruh sistem ekonomi konvensional menjadi acuan sebagian perilaku ekonomi bangsa ini. Kekauatan lokal yang kita miliki yang diejawantahkan dalam bisnis-bisnis ala UKM dan potensi penerapan ekonomi syariah secara kaafah (menyeluruh) belum dijadikan komitmen penuh.
Pejabat kita masih tampak bermain-main dan asyik masyuk dengan sistem ekonomi kapitalis. Belum ada terobosan untuk misalnya mendayagunakan medium zakat sebagai alat ampuh dan efektif mengentaskan kemiskinan. Entah karena tidak tahu atau enggan menerapkan "sistem Tuhan" atau merasa lebih pintar sehingga tetap saja para elite pejabat pemangku kebijakan di negeri ini berkiblat ke negara-negara kapitalis yang kasat mata tampak sejahtera meski terjadi eksploitasi dan spekulasi disana-sini sebagai karakter tak terpisah dari ekonomi kapitalis.
Oleh karena masyarakat saja tidak percaya dengan pemimpinnya maka tatkala pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menyelamatkan rupiah seperti memberikan insentif ekspor dan meninggikan pajak barang mewah dan beberapa kebijakan lainnya, tetap saja kondisi pasar bergeming artinya situasi pasar tidak merespons positif kebijakan tersebut. Sehingga Kondisi rupiah masih saja terpuruk dan dikhawatirkan berlangsung lama yang dapat berakibat negatif bagi kondisi perekonomian bangsa secara keseluruhan.
0 komentar:
Posting Komentar