Tanggal 12 hingga 14 Nopember 2013 saya mengikuti konferensi internasional ICTEM 2013 yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, pada forum itu saya membentangkan makalah terkait dengan evaluasi pendidikan. Sebelumnya di bulan September-Oktober saya juga mendampingi mahasiswa pascasarjana UIN Maliki Malang ke berbagai institusi pendidikan di Malaysia sekaligus juga melaksanakan diskusi antara Institut Education Universiti Anta Bangsa atau dikenal juga dengan International Islamic University Malaysia (IIUM). Sebulan sebelum itu saya juga meenyajikan makalah terkait dengan pemikiran pendidikan Prof. Imam Suprayogo dan Prof. al Attas pada forum kongres dunia tentang Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Sains) yang diselenggarakan ISTAC IIUM . Baru-baru ini yaitu Ahad lalu tanggal 24 Nopember 2013 dilibatkan panitia menjadi moderator pada acara seminar internasional terkait masalah ekonomi Islam (Sharia) di Universitas Brawijaya.
Tulisan ini tidak akan membahas esensi materi yang diseminarkan pada acara konferensi, kongres dan seminar tersebut diatas karena sedikit banyaknya sudah saya singgung dalam artikel-artikel terdahulu. Kali ini saya ingin menyoroti aktivitas penyelenggaraan forum-forum yang ikuti itu. Saya memerhatikan bahwa penyelenggara forum-forum internasional dimaksud ternyata dimotori oleh para dosen, karyawan dan sebagaian mahasiswa pascasarajana. Hampir setiap forum internasional yang diselenggarakan di luar negeri khususnya Malaysia selalu melibatkan tenaga dosen mulai dari pimpinan acara hingga tataran level pelaksana. Jarang sekali mahasiwswa dilibatkan dan jika pun ada mereka adalah mahasiswa pascasarjana. Sedangkan kegiatan seminar internasional yang diselenggarakan di Indonesia sering dan selalu melibatkan mahasiswa-mahasiswa S1, bahkan di Universitas Brawijaya ketua penyelenggaranya adalah mahasiswa S1.
Fenomena melibatkan mahasiswa S1 menjadi panitia penyelenggara kegiatan semacam seminar internasional meruapaka hal yang baik bagi pematangan ketrampilan softskills mahasiswa. Saya menyaksikan dan mengalami sendiri betapa sulit mengatur dengan baik terselengaranya suatu kegiatan yang menyertakan atau mengundang banyak orang apalagi bila yang hadir adalah para peserta dari berbagai negara. Fungsi-fungsi manajemen yang biasanya didiskusikan di ruang-ruang kuliah pada acara internasional itu tidak lagi perlu didiskusikan tetapi mesti langsung dipratekkan. Nah, disinilah saya lihat banyak sekali kelemahan dosen dalam mengeksekusi kegiatan yang diamanakan kepadanya untuk diselenaggarakan. Disana-sini mereka para penyelenggara disibukkan dengan implementasi di lapangfan yang melenceng darui perencanaan yang telah dibuat. Munculnya ganggauan dan problem yang terlambat diantisipasi serta berbagai kesemrawutan yang ternyata sangat merepotkan ketua dan anggota panitia meski mereka umumnya berpendidikan paling tinggi di unievrsitas (lulusan S3) dan tak sedikit yang bergelar guru besar (professor).
Berulangkali saya menyaksikan betapa memang tidak mudah mengatur dan mengarahkan banyak orang dalam kegiatan yang sebenarnya telah demikian matang, namun acapkali muncul masalah-masalah yang diluar dugaan. Dalam kondisi seperti itu tidak lagi diperlukan debat akademik yang berlama-lama sebagaimana terjadi di bangku kuliah tetapi solusi nyata berupa ide dan implementasi ide tersebut sebagai solusi terhadap masalah yang muncul tersebut. Saya bisa merasakan bahwa orang tinggi ilmunya secara akademik belum tentu mampu mengatasi problem di lapangan yang menuntut kecepatan dan ketepatan mengabil keputusan. Alur teoretis dan praktis kerap tidak menyabung menjadi satu kesatuan dalam diri orang tersebut. Tampaknya, hal ini menarik untuk diteliti lebih jauh mengapa pada umumnya orang yang berkutat dalam hal-hal yang bersifat teoretis tidak serta merta mampu dipratekkan dengan baik di lapangan pada saat yang bersangkutan dihadapan kondisi tersebut.
Kembali tentang penyelenggaraan seminar internasional, seorang pimpinan seminar di Malaysia yang bergelar doktor itu merasa "iri" atas fenomena di Indonesia dalam suatu kegiatan seminar dimana banyak melibatkan mahasiswa S1 dalam kepanitiaan. Hal ini berbeda dengan di Malaysia. Mahasiswa S1 tidak ikut terlibat dalam kegiatan praktis semacam ini. Mereka (mahasiswa S1) di Malaysia mungkin dianggap tidak perlu menajamkan praktek manajerialnya melalui kegiatan itu, sehingga mereka hanya cukup belajar teori di bangku kuliah sekalipun mereka adalah mahasiswa manajemen atau ilmu-ilmu terapan lain yang terkait.
Dalam konteks ini saya kira kebiasaan di Indonesia yang melibatkan mahasiswa S1 dalam suatu kegiatan seminar internasional sudah merupakan langka tepat agar mereka bisa mengasah jiwa kepemimpinan dan kecakapan manajerialnya dilapangan. Teori-teori saja tidak cukup dia mesti dilengkapi dengan praktek terukur. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang melibatkan mahasiswa S1 dalam forum-forum resmi seperti diatas mutlak dan harus dilakukan oleg pihak perguruan tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar