Seminar internasional yang diadakan CIES (Centre of Islamic Economics Studies) Fakultas Ekonomi dan Bisnis UB, ahad kemarin nyaris tak beda dengan seminar sejenis terkait ekonomi Islam yang menghadirkan para pembicara berlatar belakang ekonomi liberal, konvensional kapitalistik (selanjutnya disebut ekonomi Barat), kemudian ada pula yang "dianggap" mewakili ekonomi Islam (sharia) meski latar belakang pendidikannya dari Ekonomi Barat. Dianggap mewakili ekonomi Islam mungkin disebabkan yang bersangkutan berasal dari organisasi Islam yakni Islamic Development Bank (IDB) dan dalam penjelasan penyaji menyelipkan berbagai ayat al Quran dan Hadist terkait masalah ekonomi, meski penjayi ini juga berlatar belakang ekonomi Barat. Namun persoalan mendasar yang ingin coba diangkat dalam tulisan ini adalah upaya mengkaji kemunculan ide menerapkan ekonomi berbasis sharia sebagai bentuk kesadaran kolektif, masif dari kalangan pemerhati, penggiat ekonomi.
Di dunia perguruan tinggi khususnya di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim berbagai seminar terkait ekonomi Islam ini seringkali diselenggarakan sebagai bentuk kesadaran atas pemahaman agama yang semakin baik karena mereka tentu berusaha untuk menjaga agar kehidupan di dunia ini memperoleh ridho Allah SWT. Kita paham bahwa zaman sekarang cukup berat dalam menangkap "makna dan pesan langit" untuk diejawantahkan di kehidupan sehari-hari, yang berbeda manakala Nabi Muhaamd SAW masih hidup, karena apabila terdapat hal-hal yang meragukan dan memerlukan kepastian, umat tentu bisa langsung berkonsultasi dengan Nabinya. Namun demikian, ajaran Islam cukup jelas memberikan landasan dalam membuat keputusan yang akan dilaksanakan umat yakni menjadikan dua sumber penting (al Quran dan Hadist) sebagai rujukan agar memperoleh berkah dalam setiap pengambilan keputusan.
Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan, oleh karena itu proses ijtihad dilakukan jikalau memang diperlukan rincian dan penjabaran dari kedua sumber tersebut diatas atas satu persoalan kajian. Dalam konteks ini kajan tentang ekonomi Islam pun memerlukan pendalaman yang saksama agar pada saat menetapkan keputusan benar-benar sesuai dengan petunjuk al Quran dan Hadist. Disnilah dibutuhkan kecakapan ilmuwan Muslim dalam menelaah dan mengkaji sistem ekonomi yang berlaku saat ini serta berupaya menemu-kenali sistem ekonomi yang memperoleh ridho Allah SWT. Namun cakap tidaknya seorang ilmuwan tidak hanya ditentukan keluasan ilmu semata melainkan juga ia adalah orang yang bertaqwa.
Sebagaimana diungkapkan Al Ghazali yang dikuitp Malki Ahmad Nasir (2013) bahwa taqwa berhubungan dengan sesuatu yang berhubungan dengan sikap dan amalan keseharian dimana seseorang tersebut melakukan amalan tersebut karena hendak mengharapkan ridhaNya dengan cara menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan amalan taqwa yang nampak secara lahiriyyah atau juga dhahirah al-taqw disebut juga sebagai permulaan hidayah, manakala amalan taqwa yang secara tidak nampak atau juga batiniyyah akan dikenali sebagai batinah al-taqw yang disebut juga sebagai penghujung hidayah. Kemudian orang yang bertaqwa secara lahirian itu diuraikan Al Ghazali dalam tiga penjelasan utama dimana dua hal yang pertma bersifat fundamental, ketiganya adalah dimensi ketatan, dimensi larangan dan adab atau tata krama pergaulan.
Bentuk ketaatan orang bertqwa secara lahiriah diejawantahkan dalam wujud melaksanakan perintah-perintah Allah SWT yang wajib dikerjakan (fara'id) dan anjuran-anjuran (nawafil). Orang-orang (ilmuwan) yang taat dalam mengejawantahkan kedua bentuk perintah ini akan berpeluang besar memperoleh hidayah Nya, sehingga manakala menuntut ilmu diberikan kemudahan dan ridho Allah pada segenap aktivitasnya. Penjelasan ini berdasarkan kepada sebuah Hadis Qudsi, sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali sendiri, berikut ini: Artinya Nabi Muhammad saw bersabda: “Dalam Hadis Qudsi Allah swt berfirman, Tidak akan mendekat kepada-Ku orang-orang yang mendekati-Ku hanya dengan menunaikan apa yang Ku-wajibkan kepadanya, dan seorang hamba tidak mendekati-Ku dengan melaksanakan semua anjuran-Ku (nawafil) hingga Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi telinga bagi pendengarannya, mata bagi penglihatannya, mulut bagi pembicaraannya, tangan bagi perabaannya, dan kaki yang dengannya ia dapat berjalan.”
Demikian pula dimensi larangan, ilmuwan yang ingin menemu-kenali dan mengembangkan ilmu yang di ridhoi Allah SWT selain mematuhi perintah Nya juga menjauhi larangan-larangan, menghindari yang bersifat syubhat bahkan berhati-hati atas segala sesuatu yang bisa menjerumuskannya. Dua dimensi ini (ketaatan dan larangan) bagian mendasar bagi manusia taqwa disamping kelengkapan ketiga yakni adab atau tata krama pergaulan. Apabila ketiganya telah melekat dalam diri ilmuwan Muslim, maka hidayah Allah SWT tidak mustahil mendekati yang bersangkutan, sehingga ilmu yang dihasilkan pun memperoleh ridho Nya. Demikianlah rasionalitas dari pemahaman tentang taqwa yang diperlukan dalam konteks harapan mendapatkan sistem ekonomi Islam yang benar-benar di ridhoi Allah SWT.
Oleh karenanya di forum seminar internasional tersebut diatas saya mengajukan hasil diskusi ketika berada dalam kegiatan kongres dunia tentang Islamisasi sains pada bulan Agustus lalu bahwa Islamisasi sains diperlukan pada awal temuan ilmu yang bisa berkembang menjadi bagian-bagian ilmu terapan dan teknologi. Sehingga dalam menggali ilmu ekonomi Islam baiknya dilakukan pada awal ide tentang ilmu ekonomi itu terbentu bukan pada saat ilmu tersebut telah berkembang pesat menjadi bagian-bagian ilmu lainnya seperti, manajemen, akuntansi dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Karena worldview saintis Barat berbeda dengan Saintis Muslim yang bertaqwa sebagaimana dijelaskan dalam uraian diatas. Worldview diartikan sebagai cara pandang, keyakinan, konsep, interepretasi atau perspektifnya dalam melihat hidup dan kehidupan di dunia. Jika saintis berpatokan pada ketiga dimensi yang disebut diatas sebagai pengejawantahan ajaran Islam, maka saintis Barat berpatokan pada rasionalitas dan logikanya belaka karena mereka tidak memercayai agama sekaligus tidak melibatkan agama untuk menggali sains. Bisa dipahami bahwa mereka (saintis Barat) mengembangkan keilmuwan tidak mengacu ajaran agamanya dikarenakan teks (nash) agama yang dimiliki tidak memiliki "keunggulan" sebagaiaman nash-nash dalam agama Islam. Disnilah letaknya perbedaan itu, sains Barat lahir dari worldview Barat bukan worldview Islam yang bersumber pada Kitab Suci yang dijamin keasliannya yakni al Quran.
Dalil aqliyyah yang semata-mata menjadi rujukan ilmuwan Barat kurang lengkap dan berpotensi menyimpang, oleh karenanya Islam mengajarkan untuk menyandingkan dalil tersebut dengan ayat-ayat qawliyyah atau dalil naqliiyah. Sehingga ilmu yang dilahirkan bisa dimulai dari kajian dalam ayat-ayat qawliiyyah kemudian dikembangkan melalui dalil aqliyyah tetapi juga bisa berasal dari pengejawantahan daya aqliiyah yang kemudian "dikonsultasikan" dengan ayat-ayat qawliiyah. Demikianlah menurut pendapat saya semestinya ilmu/sains itu diproduksi.
Dalam ulasan ini paling tidak dapat diambil benang merahnya bahwa dalam menemu-kenali dan mengembangkan sains yang memiliki worldview Islam para saintis Muslim yang bekerja untuk itu perlu memperkuat ketiga dimensi yang disebut diatas (Ketaaatan, Larangan dan Adab atau Tata Krama Pergaulan). Meski dimensi Tata Krama Pergaulan bersifat pelengkap tetapi pada hakekatnya dimensi Adab ini pada hakekatnya membahas perkara yang azasi dan penting disamping dimensi Ketaatan dan dimensi Larangan.
Dalam landasan ketaqwaan ini maka ilmu dapat ditumbuhkembangkan sesuai koridor ajaran Islam. Semua ilmu dan sains yang didasari dengan ketaqwaan merupakan puncak kenikmatan hidup di dunia yang berharap semata-mata atas keridhoan Alllah SWT. Ilmu ekonomi (sharia) yang dikembangkan ilmuwan Muslim tentunya menaruh perhatian pada hal mendasar ini sebagai bagian dari implementasi ajaran Islam sesungguhnya. Dalam tataran ini Ekonomi Barat samasekali tidak bisa disandingkan 11-12 atau apple to apple dengan Ekonomi dalam perspektif Islam (Sharia) karena titik tolak dan orientasi pengembangnnya saja berbeda secara hakiki.
0 komentar:
Posting Komentar