- Bagus Radyan H. 10510121
- Abd Aziz 11510103
- Ahmad David D. 11510121
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
PENDAHULUAN
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, perkembangan sektor pertanian dalam menopang perekonommian Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan ini disebabkan oleh banyak faktor, yang membuat daya saingnya menjadi turun. Berbeda dengan era Orde Baru, dimana sektor pertanian menjadi andalan negara kita, pada saat ini sektor pertanian tidak mendapat perhatian yang cukup serius. Dan hal ini, akan berdampak pada pergerakan ekonomi Indonesia, dimana Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya petani.
Dalam tulisan ini, kami ingin sedikit membahas tentang nilai tukar petani sebagai tolok ukur tingkat daya saing, dan keterkaitannya dengan sektor-sektor lain dalam menggerakkan perekonomian Indonesia.
NILAI TUKAR PETANI (NTP)
PENGERTIAN
Nilai Tukar Petani merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kondisi kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase. Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian.
Secara umum NTP menghasilkan 3 pengertian:
a. NTP > 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu lebih baik dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar.
b. NTP = 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu sama dengan NTP pada tahun dasar.
c. NTP < 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu menurun dibandingkan NTP pada tahun dasar.
Indeks harga yang diterima petani (IT) adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. Sedangkan Indeks harga yang dibayar petani (IB) adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga
kebutuhan rumah tangga petani, baik kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian.
Sebenarnya petani yang dimaksudkan adalah orang yang mengusahakan usaha pertanian (tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan rakyat) atas resiko sendiri dengan tujuan guna dijual, baik sebagai petani pemilik maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil). Ataupun orang yang bekerja di sawah/ladang orang lain dengan mengharapkan upah (buruh tani) bukan termasuk petani.
Harga yang diterima petani adalah rata-rata harga produsen dari hasil produksi petani sebelum ditambahkan biaya transportasi/pengangkutan dan biaya pembungkusan (packaging) ke dalam harga penjualannya atau disebut farm gate (harga di sawah/ladang setelah pemetikan). Pengertian harga rata-rata adalah harga yang bila dikalikan dengan volume penjualan petani akan mencerminkan total uang yang diperoleh petani. Selanjutnya, data harga tersebut dikumpulkan dari hasil wawancara langsung dengan petani produsen. Sedangkan harga yang dibayar petani adalah rata-rata harga eceran barang/jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani, baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri maupun untuk keperluan biaya produksi pertanian. Data harga barang untuk keperluan produksi pertanian dikumpulkan dari hasil wawancara langsung dengan petani, sedangkan harga barang/jasa untuk keperluan konsumsi rumah tangga dicatat dari hasil wawancara langsung dengan pedagang atau penjual jasa di pasar terpilih.
Kita tahu bahwa pasar adalah tempat berlangsungnya transaksi antara penjual dengan pembeli atau tempat yang biasanya terdapat penawaran dan permintaan. Pada kecamatan yang sudah terpilih sebagai sampel, pasar yang dicatat haruslah pasar yang mewakili dengan syarat antara lain: paling besar, banyak pembeli dan penjual jenis barang yang diperjualbelikan cukup banyak dan terjamin kelangsungan pencatatan harganya.
Harga eceran pedesaan adalah harga transaksi antara penjual dan pembeli secara eceran di pasar setempat untuk tiap jenis barang yang dibeli dengan tujuan untuk dikonsumsi sendiri, bukan untuk dijual kepada pihak lain. Harga yang dicatat adalah harga modus (harga yang paling banyak muncul) atau harga rata-rata biasa (mean) dari beberapa pedagang/penjual yang memberikan datanya.
PERKEMBANGAN NTP DI INDONESIA
Pada bulan November 2010, Nilai Tukar Petani Padi dan Palawija (NTPP) tercatat sebesar 93,25; Nilai Tukar Petani Hortikultura (NTPH) 91,58; Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) 110,99; Nilai Tukar Petani Peternakan (NTPPT) 95,29; dan untuk Nilai Tukar Nelayan (NTN) 99,14. Secara gabungan, Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku Utara sebesar 99,673 atau mengalami kenaikan yang sangat kecil yaitu 0,002 % bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Oktober) yang sebesar 99,671 %.
Dari 10 Provinsi yang berada di kawasan timur Indonesia, NTP November 2010 terhadap NTP Oktober 2010 mengalami kenaikan di 6 provinsi, sedangkan di 4 provinsi lainnya telah terjadi penurunan. Kenaikan NTP tertinggi berada pada November 2010 terjadi di provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar 0,83 %, sedangkan penurunan drastisi terjadi di Maluku yaitu 0,46 %. Hal ini merupakan dampak Maluku Utara yang pada November 2010 mengalami inflasi sebesar 0,22 % dikarenakan perubahan indeks harga kelompok pengeluaran, masing-masing yaitu: kelompok bahan makanan 0,33 %, makanan jadi, minuman dan rokok 0,19 %, perumahan 0,08 %; pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,13 %, sedangkan kesehatan 0,03 % sedangkan sandang dan transportasi dan komunikasi tidak mengalami perubahan. Secara Nasional, NTP mengalami kenaikan 0,27 % yaitu dari 102,61 pada Oktober 2010 menjadi 102,89 pada November 2010. Adapun inflasi pedesaan Nasional pada bulan November 2010 adalah 0,79 % yakni saat mengalami kenaikan indeks dari 130,76 menjadi 131,79.
Nilai Tukar Petani yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (dalam persen), merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif mengidentifikasikan semakin kuatnya tingkat kemampuan/daya beli petani.
Berdasarkan hasil survei harga-harga pedesaan di Kabupaten se-provinsi Maluku Utara pada November 2010 NTP mengalami kenaikan sebesar 0,002 % dibanding bulan Oktober 2010, yaitu dari 99,671 menjadi 99,673. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian dan penurunan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian. Indeks harga hasil produksi pertanian (IT) mengalami kenaikan sebesar 0,163 % sedangkan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga mengalami kenaikan sebesar 0,161 %.
Indeks Harga yang Diterima Petani (IT)
Indeks Harga yang Diterima Petani (IT) dari ke-5 subsektor menunjukkan fluktuasi harga beragam komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Pada November 2010, di Maluku Utara indeks harga yang diterima petani (IT) mengalami kenaikan 0,163 % dibandingkan dengan IT Oktober 2010, yaitu dari 127,50 menjadi 127,71. Dan terjadi kenaikan Indeks Harga yang diterima Petani (IT) pada 3 sub sektor yaitu subsektor tanaman pangan sebesar 0,60 %, subsektor holtikultura sebesar 0,49 %, subsektor perternakan sebesar 0,68 %. Sedangkan 2 subsektor lainnya mengalami penurunan yaitu subsektor perkebunan rakyat sebesar (0,04) % dan subsektor perikanan sebesar (0,24) %.
Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB)
Melalui indeks harga yang dibayar petani (IB) dapat dilihat fluktuasi harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan, khususnya petani yang merupakan bagian terbesar, serta fluktuasi harga barang dan jasa yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian. Pada November 2010 di Maluku Utara, indeks harga yang dibayar (IB) petani mengalami kenaikan sebesar 0,161 % bila dibandingkan dengan Oktober 2010. Terjadi kenaikan IB pada ke-5 subsektor yaitu subsektor tanaman pangan sebesar 0,04 %, subsektor holtikultura sebesar 0,06 subsektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 0,26 %, subsektor perternakan sebesar 0,31 % dan subsektor perikanan sebesar 0,20 %.
PENYEBAB LEMAHNYA NTP
Penyebab lemahnya nilai tambah petani (NTP) dapat dilihat dari dua (2) sisi faktor penyebab, yaitu :
1. Perubahan dari sisi IT
Misalnya: Komoditas beras dan jeruk berbeda dalam pola persaingannya. Di Indonesia, petani beras di dalam negeri mengalami persaingan yang sangat ketat termasuk dengan beras impor. Karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, yang artinya selalu ada permintaan dalam jumlah yang besar, maka semua petani berusaha untuk menanam padi atau memproduksi beras saja. Hal ini membuat harga beras di pasar domestic cenderung menurun hingga pada titik equilibrium jangka panjang sama dengan biaya marjinal atau sama dengan biaya rata-rata per unit output.
Ini artinya IT akan sama dengan IB dan berarti keuntungan petani nol. Sedangkan jeruk bukan merupakan bahan kebutuhan pokok sepenting beras sehingga walaupun harganya naik, tidak semua petani ingin menanam jeruk. Jadi jelas diversifikasi output di sector pertanian sangat menentukan baik tidaknya NTP di Indonesia.
Selain itu, karena beras adalah makanan pokok, maka permintaan beras lebih dipengaruhi oleh jumlah manusia dan pendapatan masyarakat (pembeli) bukan oleh harga. Oleh karena itu , permintaan beras tidak elastic. Akibatnya jika penawaran beras terlalu besar (pada saat musim panen), sementara permintaan relative sama atau berkembang dengan laju yang tidak terlalu tinggi, maka harga beras bisa jatuh drastis.
2. Perubahan dari sisi IB
Faktor utama adalah harga pupuk yang bagi banyak petani padi terlalu mahal. Hal ini tidak terlalu disebabkan oleh volume produksi atau suplai pupuk (termasuk pupuk impor) di dalam negeri yang terbatas, tetapi oleh adanya distorsi di dalam system pendistribusiannya. Harga pupuk yang mahal bisa juga merupakan salah satu instrument pemerintah untuk mengalihkan surplus di sector pertanian ke sector industry.
Di dalam studi mereka dijelaskan bahwa tingginya harga input untuk pertanian (misalnya pupuk) dikarenakan pemerintah menerapkan tariff impor untuk melindungi industry pupuk dalam negeri. Selain itu, belakangan ini naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan tariff listrik juga mempunyai suatu kontribusi yang besar terhadap peningkatan biaya produksi petani, sementara harga gabah atau beras di pasar bebas rendah.
INVESTASI DI SEKTOR PERTANIAN
Salah satu faktor penting yang sangat menentukan investasi di sector pertanian bukan hanya laju pertumbuhan output, melainkan juga tingkat daya saing global dan komoditas-komoditas pertanian yang merupakan modal investasi yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan yang sifatnya bisa langsung atau tidak langsung terkait dengan proses produksi.
Faktor yang secara langsung, misalnya untuk membeli mesin baru atau peralatan-peralatan modern dan input –input lainnya untuk keperluan kegiatan produksi pertanian. Sedangkan faktor tidak langsung , misalnya untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) proses produksi maupun output atau input, dan untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi petani (peningkatan sumber daya manusia), misalnya manajemen, quality control, cara-cara yang baik dalam membajak tanah, bercocok tanam dan penanganan pascapanen, dan sebagainya.
Sedangkan modal untuk investasi sector pertanian bersumber dari investasi dari luar negeri (PMA) dan atau dalam negeri (PMDN) dan dana pinjaman (kredit) dari bank. Berikut ini beberapa pendapat yang menyimpulkan tentang rendahnya laju pertumbuhan sector pertanian, khususnya subsector bahan makanan, yang dikemukakan oleh Supranto (1998). Hal ini disebabkan oleh kurangnya PMA dan PMDN di sector tersebut dan kredit yang mengalir ke sector itu relative lebih kecil jika dibanding ke sector lain, misalnya industry manufaktur.
Adapun alasan para investor lebih tertarik menanamkan modalnya di sector nonpertanian adalah kegiatan pertanian mempunyai risiko, misalnya gagal panen lebih tinggi dibanding kegiatan industry karena kegiatan sector pertanian sangat tergantung kepada iklim. Selain itu, kegiatan industry manufaktur memiliki nilai tambah atau keuntungan jauh lebih tinggi dibanding sector pertanian.
KETERKAITAN SEKTOR PERTANIAN DENGAN SEKTOR-SEKTOR LAIN
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi di Indonesia adalah karena kesalahan industrialisasi selama pemerintahan orde baru yang tidak berbasis pada pertanian. Selama krisis juga terbukti bahwa sector pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yang positif, walaupun dalam persentase yang kecil, sedangkan sector industry manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negative di atas satu digit. Banyak pengalaman di Negara-negara maju di Eropa dan Jepang menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi setelah atau bersamaan dengan pembangunan di sector pertanian.
Ada beberapa alasan kenapa sector pertanian yang kuat sangat esensial dalam proses industrialisasi di negara Indonesia, yakni sebagai berikut :
1. Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini merupakan salah satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pada khususnya dan pembangunan ekonomi pada umumnya bisa berlangsung dengan baik. Ketahanan pangan berarti tidak ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan social dan politik.
2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sector pertanian yang kuat membuat tingkat pendapatan riil per kapita di sector tersebut tinggi yang merupakan salah satu sumber permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan), khususnya di Indonesia dimana sebagian penduduk berada di pedesaan dan mempunyai sumber pendapatan langsung maupun tidak langsung dari kegiatan pertanian, jelas sector ini merupakan motor penggerak industrialisasi.
3. Dari sisi penawaran, sector pertanian merupakan salah satu sumber input bagi sector industry yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif, misalnya industry makanan dan minuman, industry tekstil dan pakaian jadi, industry kulit, dan sebagainya.
4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yang baik di sector pertanian bisa menghasilkan surplus di sector tersebut dan ini bisa menjadi sumber investasi di sector industry, khususnya industry skala kecil di pedesaan (keterkaitan investasi).
PERTANIAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN
Pembangunan pertanian menempati prioritas utama pemba-ngunan dalam pembangunan ekonomi nasional. Karena itu sektor pertanian merupakan sektor utama pembangunan ekonomi nasional.
Dalam pendekatan perhitungan pendapatan nasional, sektor pertanian terdiri dari sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Selain sektor pertanian, terdapat delapan sektor ekonomi lainnya yang secara bersama menentukan besarnya pertumbuhan ekonomi bangsa melalui pendapatan domestik (GDP) dan pendapatan nasional (GNP).
Kedudukan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi nasi-onal adalah cukup nyata, dilihat dari proporsinya terhadap pendapatan nasional. Pada tahun 1993, sumbangan sektor pertanian terhadap GDP adalah 18%, kemudian turun menjadi 15% pada tahun 1997. Namun dengan adanya krisis ekonomi, kembali sektor pertanian menunjukkan peranannya yang lebih besar yaitu sumbangannya sebesar 17% pada GDP pada tahun 1998. Lihat Statistik Indonesia 1994, 1997, dan 1998, BPS, Jakarta
Selain kontribusinya melalui GDP, peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional dapat dilihat dari peran sektor pertanian yang sangat luas, mencakup beberapa indikator antara lain:
1. Pertama, pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang terbesar. Data Sakernas menunjukkan bahwa pada tahun 1997, dari sekitar 87 juta jumlah tenaga kerja yang bekerja, sekitar 36 juta diantaranya bekerja di sektor pertanian. Lihat Sakernas 1986 dan 1997, BPS, Jakarta.
2. Kedua, pertanian merupakan penghasil makanan pokok pendu-duk. Peran ini tidak dapat disubstitusi secara sempurna oleh sektor ekonomi lainnya, kecuali apabila impor pangan menjadi pilihan.
3. Ketiga, komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga. Harga produk-produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen sehingga dinamikanya sangat berpengaruh terhadap inflasi.
4. Keempat, akselerasi pembangunan pertanian sangat penting untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor. Pembangunan per-tanian mencakup pemasaran dan perdagangan komoditas.
Dalam sis-tem rantai agribisnis, pemasaran dan perdagangan komoditas pertanian sangat penting dalam menentukan nilai tambah produk. Dengan pemasaran baik di dalam maupun ke luar negeri maka harga dan nilai tambah pertanian yang diterima oleh petani produsen akan semakin tinggi. Sebaliknya dengan adanya impor maka produk dalam negeri akan bersaing dalam merebut pasar domestik. Dengan produk domestik yang berdaya saing tinggi maka ekspor dapat dipacu dan akhirnya menghasilkan devisa bagi pembangunan. Namun dengan rendahnya daya saing maka barang impor akan masuk ke dalam negeri, dan devisa negara harus dibelanjakan ke luar negeri.
Ke lima, komoditas pertanian merupakan bahan industri manu-faktur pertanian. Masih dalam suatu sistem rantai agribisnis, industri manufaktur (pengolahan) pertanian, baik yang mengolah komoditas pertanian maupun yang menghasilkan input pertanian menduduki tempat yang penting. Kegiatan industri manufaktur pertanian hanya bisa berjalan apabila memang ada kegiatan produksi yang sinergis. Dengan demikian kehadiran sektor pertanian adalah prasyarat bagi adanya sektor industri manufaktur pertanian yang berlanjut.
Ke enam, pertanian memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi. Keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor lain dapat dilihat dari aspek keterkaitan produksi, keterkaitan konsumsi, keterkaitan investasi, dan keterkaitan fiskal. Berdasarkan sifat keterkaitan maka dikenal keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage). Di Indonesia, sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke belakang yang kuat dalam menciptakan titik temu antarsektor yang lebih efektif dari pada keterkaitan ke depan.
KESIMPULAN
Nilai Tukar Petani merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kondisi kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase yang secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian.
Berhasilnya pembangunan ekonomi negara maju dimulai dengan industrialisasi dengan menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Setelah subtitusi berhasil, sebagian hasilnya diekspor ke luar negeri dan ditukarkan dengan barang kebutuhan pembangunan.
Kebanyakan negara berkembang memajukan industrialisasi di negaranya dengan harapan akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Industrialisasi dilakukan melalui dua cara, yaitu substitusi impor dan diversifikasi impor. Penyelenggaraan industrialisasi membutuhkan banyak perlengkapan kapital (modal), akan tetapi kebanyakan negara berkembang belum mampu membuat perlengkapan kapital secara mandiri.
Untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan kapital, negara akan mengekspor barang primernya agar dapat mengimpor dengan barang kapital. Jadi perekonomian negara berkembang dibangun atas dasar ekspor produksi barang impornya. Kebutuhan negara berkembang akan barang kapital berkesinambungan dengan kebutuhan negara maju untuk memelihara kelangsungan produksi barang-barang primer. Karena terlalu fokus pada produksi primer untuk diekspor, negara berkembang mengalami ketidakstabilan pendapatan dalam pembangunan ekonominya.
DAFTAR PUSTAKA
Dumairy, 1996,. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Erlangga
Tambunan, Tulus T.H., 2003. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia
Sukirno, Sadono. 2006. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
--http://faidzothman.blogspot.com/2013/02/pertanian-sebagai-sektor-unggulan.html--