2.1 Aspek Sosial yang Tertinggal
Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan objek kajian sosiologi. Namun demikian kajian sosiologi belum begitu lama dilakukan terhadap pariwisata, meskipun pariwisata sudah mempunyai sejarah yang sangat panjang. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pariwisata pada awalnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat maupun daerah (negara).
Sebagaimana halnya dengan pembangunan secara umum, ada beberapa hal yang menyebabkan aspek-aspek sosial-budaya atau aspek sosiologis kurang mendapat perhatian. Dengan mengikuti teori modernisasi klasik, pembangunan di dunia ketiga umunya memberikan penekanan pada aspek ekonomi. Paradigma dan program-program yang memfokuskan perhatian pada aspek ekonomi seringkali bertentangan dengan program-program dengan penekanan aspek sosial. Dalam konflik kepentingan ini, aspek sosial lebih sering dikalahkan. Masih dalam kaitan dengan focus ekonomi, salah satu tujuan setiap program pembangunan adalah untuk mengejar produktivitas, dan dalam usaha ini manusia (tenaga kerja) dipandang sebagai 'faktor produksi' yang mekanis, maka berbagai aspek sosial-budaya kurang mendapatkan perhatian.
Faktor lain yang memarginalisasi aspek sosial-budaya adalah karena performance indicator (kinerja atau keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif. Sementara itu sebagian besar dari isu sosial-budaya bersifat kualitatif, sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan 'pembangunan'. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap aspek sosial-budaya ini. Apalagi aspek sosial budaya memang sangat sulit diukur. Kesulitan mengukur ini ditambah lagi dengan kesulitan menentukan 'hasil' dari program-program dalam bidang sosial-budaya sangat sulit diisolisasi, sehingga sulit juga untuk menentukan secara pasti adanya hubungan sebab-akibat (cause and effect), apalagi dalam waktu yang singkat.
Penggunaan perencana dari luar,sesuai dengan dalil-dalil teori modernisasi, sering secara tidak sadar membawa nilai-nilai luar, serta memaksakan penerapan nilai-nilai tersebut di daerah yang dibangun. Sifat etnosentrisme perencana dari luar ini sering menihilkan budaya lokal. Etnosentrisme perencana (konsultan) luar ini didukung kemudian oleh sentralisasi pengambilan keputusan, dimana masyarakat lokal tidak mempunyai peran di dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup atau menentukan masa depan mereka.
Belakangan aspek sosial-budaya mulai diperhatikan, karena berbagai alasan. Di kalangan ahli pembangunan, mulai muncul wacana bahwa pembangunan tersebut sesungguhnya adalah untuk manusia, sebagai suatu proses belajar (social-learning process), dan dalam hal ini manusia merupakan pusat dan penggerak, sekaligus untuk siapa pembangunan tersebut dilakukan, sesuai dengan konsep people-centred development (David Korten, 1987). Jadi manusia bukan sekedar 'faktor produksi'.
Kritik tajam juga banyak ditujukan kepada teori modernisasi klasik, dan mengingatkan akan pentingnya unsur non-material dalam pembangunan, seperti human dignity (Julius Nyerere), social needsspiritual needs (Apthorpe). Menurut faham humanism, pembangunan harus diusahakan untuk 'memanusiakan manusia', sebagaimana berkembang dalam wacana pembangunan di Zambia dan Tanzania. Dalam pemanusiaan manusia ini, pembangunan harus memberikan penghargaan terhadap nilai 'rasa', yang mungkin tidak 'rasional' dalam konsep masyarakat lokal (the rational of irrationality). (Maslow), atau
Pengalaman empiris juga telah banyak membuktikan bahwa begitu banyak dana dan waktu dikeluarkan untuk melakukan 'pembangunan', tetapi mengalami kegagalan. Tidak jarang, pembangunan justru mengundang protes dari masyarakat di mana pembangunan dilaksanakan (indigenous people). Kegagalan program yang tidak adaktif secara sosial-budaya ini ini memberikan pelajaran penting, betapa aspek sosial-budaya harus mendapatkan tempat dalam perencanaan pembangunan, bukan saja sebagai 'aspek pinggiran'.
Berkembangnya kembali kajian ekologi manusia (human ecology) yang sangat menghargai pengetahuan masyarakat lokal (ethnoscience) juga sangat mendorong perencana dan pelaksana pembangunan untuk melihat aspek-aspek sosial-budaya secara lebih serius.
2.2 Dampak Sosial Pariwisata
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.
Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah:
- Dampak terhadap sosial-ekonomi.
- Dampak terhadap sosial-budaya.
1.2.1 Dampak Sosial Ekonomi
Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:
- Dampak terhadap penerimaan devisa,
- Dapat terhadap pendapata masyarakat,
- Dampak terhadap kesempatan kerja,
- Dampak terhadap harga-harga,
- Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,
- Dampak terhadap kepemilikan dan control
- Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
- Dampak terhadap pendapatan pemerintah.
Hampir semua literature dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, bahwa peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Pariwisata diharapkan mampu menghasilkan angka pengganda (multiplier effect) yang tinggi, melebihi angka pengganda pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Meskipun sulit melakukan penghitungan secara pasti terhadap angka pengganda ini, dari beberapa daerah/negara telah dilaporkan besarnya angka pengganda yang bervarisasi.
Peranan pariwisata juga sangat besar di Indonesia. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dollar AS (Santosa, 2001). Pada tahun 2002 dan 2003, meskipun mengalami tragedi Kuta (Bom Bali), nilai devisa juga masih tetap tinggi, yaitu US$ 4.496 Milyard tahun 2002 dan US$ 4.307 Milyard tahun 2003 (Nirwandar, 2004).
Perananan pariwisata dalam pembangunan ekonomi DTW seperti Bali, yang memang sudah terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan tidak tersedianya sumber daya alam seperti migas, hasil hutan, ataupun industri manufaktur yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sektor andalan dalam pembangunan. Kontribusi pariwisata menunjukkan trend yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1985 penukaran valuta asing senilai 95,105 juta dollar AS. Angka ini mengalami kenaikan, menjadi 456,105 juta dollar AS pada tahun 1990, dan pada tahun1997 (sesaat sebelum krismon) menjadi 1.380,454 juta dollar AS. Selanjutnya, karena nilai tukar dollar yang melonjak, penukaran valuta asing hanya mencapai nilai 865,078 juta dollar AS pada tahun 2000.
Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun1998, dampak pengeluaran wisatawan terhadap pendapatan masyarakat mencapai 45,3%, sedangkan dampak dari investasi di sektor pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara keseluruhan, industri pariwisata menyumbang sebesar 51,6% terhadap pendapatan masyarakat Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun 1998 sebesar 38,0% dari seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan untuk pariwisata. Ini terjadi dari kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh pengeluaran wisatawan sebesar 36,1% dan akibat investasi di sektor pariwisata sebesar 1,9%. Angka 38% ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka tahun1995 (yaitu sebesar 34,14%), dan nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke tahun. Erawan lebih lanjut mengatakan bahwa dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian di Bali terdistribusikan ke berbagai sektor, bukan saja hotel dan restoran. Distribusi juga terserap ke sektor pertanian (17,93%), sektor industri dan kerajinan (22,73%), sektor pengangkutan dan komunikasi (12,62%), sektor jasa-jasa (12,59%), dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan data mengenai distribusi pengeluaran wisatawan. Data menunjukkan bahwa selama di Bali, pengeluaran wisatawan yang terserap ke dalam 'perekonomian rakyat' cukup tinggi.
Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, hampir semua penelitian juga menunjukkan adanya berbagai dampak yang tidak diharapkan (dampak negatif), seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi, munculnya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya. Banyak peneliti menyebutkan bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi dari negara-negara maju (negara asal wisatawan) terhadap negara-negara berkembang (daerah tujuan wisata). Berbagai fasilitas wisata yang di DTW, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan. Sebuah lukisan secara karikaturis menggambarkan bahwa muatan lokal dari kegiatan pariwisata sangat kecil, karena segala kebutuhan wisatawan maupaun aktivitas pendukungnya didatangkan dari berbagai negara maju. Berbagai fasilitas dimaksud antara lain:
"Mobil didatangkan dari Jerman, computer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Perancis, tas dari Itali, karpet dari Irlandia, fire equipment dari USA, furniture dari Swedia…" (Fennel, 1999: 164).
1.2.2 Dampak Sosial Budaya
Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul 'dampak sosial budaya' (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):
1. perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
2. perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
3. perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan 'bola-bilyard', di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah 'pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat', dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses 'turistifikasi' (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:
1) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
2) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
3) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
4) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
5) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;
6) dampak terhadap pola pembagian kerja;
7) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
9) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
10) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial budaya tersebut adalah sebagai berikut:
1) Jumlah wisatawan, baik absolute maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal;
2) Objek dominan yang menjadi sajian wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut;
3) Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan, apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya;
4) Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;
5) Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal;
6) Perbedaan kebudayaan atau wisatawan dengan masyarakat lokal;
7) Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW;
Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;
9) Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh);
10) Tingkat pembangunan ekonomi DTW;
11) Struktur sosial masyarakat lokal;
12) Tipe resort yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts)
13) Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.
Lebih jauh Douglass mengetengahkan bahwa ada hubungan paralel antara tinggi dan makna dampak sosial-budaya pariwisata dengan variabel-variabel di bawah:
1) Besarnya perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya antara wisatawan dengan masyarakat lokal.
2) Perbandingan antara jumlah wisatawan dengan masyarakat lokal.
3) Distribusi dan kenampakan dari pembangunan pariwisata.
4) Laju dan intensitas perkembangan pariwisata.
5) Tingkat kepemilikan investasi asing dan tenaga kerja asing di DTW.
2.2.3 Kesenian, Adat Istiadat, dan Agama
Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.
Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau 'menghancurkan' kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung 'memaksa' ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat 'dijual' kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):
'Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism' (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali.
Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan:
"Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata".
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.
Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah "mendorong kreativitas dalam berbagai bidang" (1989: 17).
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.