BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
Bank Islam, selanjutnya disebut dengan bank syariah, bank syariah adalah bank yang beroperasi tanpa mengandalkan bunga. Bank syariah juga dapat diartikan sebagai lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan Al-Quran dan Hadis.
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam maksudnya adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba, untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan atau praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak dilarang oleh beliau.
Falsafah dasar beroperasinya bank syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efisiensi, keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas.
Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagangan utamanya.
1.2 Fokus Pembahasan
a. Konsep dasar terkait Bank Syariah.
b. Perbedaan prinsip antara sistem konvensional dan sistem syariah.
c. Operasional kegiatan Bank Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
Bank Syariah di Indonesia
Bank syariah di Indonesia mendapatkan pijakan kukuh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.
Ketika Indonesia dilanda krisis moneter yang memporakporandakan sebagian besar perekonomian Asia tenggara, Bank Muamalat, bank syraiah pertama di Indonesia yang beroperasi tahun 1992 pun terimbas dampak krisis awal. Pada tahun 1998, pembiayaan bermasalah Bank Muamalat yang biasa diukur dengan NPF mencapai lebih dari 60%.
Saat itu, bank Muamalat sebagai satu-satunya bank syariah di Indonesia juga merugi Rp 105 miliar, dengan ekuitas mencapai titik terendah, yaitu Rp 39,3 miliar. Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999, IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Sejak saat itu, perlahan Bank Muamalat mulai memperoleh laba kembali.
Lahirnya UU no. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, telah memungkinkan bank syariah beroperasi sepenuhnya sebagai Bank Umum Syariah (BUS) atau dengan membuka Unit Usaha Syariah (UUS). Lahirlah bank syariah Mandiri serta UUS bank IFI. Pada akhir tahun 1999, total aset bank syariah di Indonesia baru mencapai Rp 1,12 triliun atau sekitar 0,11% dibandingkan dengan aset bank konvensional.
Kemudian, lahirlah beberapa bank syariah, yang lain sehingga pada Desember 2002 terdapat 2 BUS dan 6 UUS denga total aset mencapai Rp 4,05 triliun. Pada 16 Desember 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai haramnya bunga bank yang menyebabkan terjadinya unorganic growth. Hingga Desember 2004, total bank syariah mencapai 3 BUS dan 15 UUS dengan total aset Rp 15, 33 triliun.
Dukungan terhadap perbankan syariah semakin kuat dengan disahkannya Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada Oktober 2009, telah ada 6 BUS dan 25 UUS dengan total aset sebesar Rp 59,68 triliun dan berhasil menyerap lebih dari 17 ribu pekerja. Salah satu dukungan pemerintah Indonesia yang cukup signifikan adalah implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syraiah.
Selain investor asing, penghimpun dana perbankan syariah dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai. Dilihat secara makroekonomi, pengembangan bank syariah di Indonesia memiliki peluang besar karena peluang pasarnya yang sesuai dengan mayoritas penduduk negeri ini. UU No. 10 tidak menutup kemungkinan bagi pemilik bank BUMN, swasta nasional, bahkan pihak asing sekalipun untuk membuka cabang syariahnya di Indonesia. Terbukanya kesempatan ini jelas akan memperbesar peluang transaksi keuangan di dunia perbankan, terutama bila terjalin hubungan kerja sama antarbank syariah.[1]
2.1. Konsep Dasar Bank Syariah
2.1.1. Pengertian Bank Syariah
Bank Syariah adalah bank yang dalam menjalankan usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam. Bank syariah yang sering pula disebut bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank syariah juga dapat diartikan sebagai lembaga keuanga/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw. Antonio dan Parawataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam. Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam dan bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan hadist. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islami.[2]
Istilah penyebutan yang telah umum dipakai di dunia internasional bagi bank syariah dan perbankan syariah adalah Islamic Bank/Islmaic Banking atau syariah bank/syariah banking. Di Indonesia istilah atau penyebutan yang dipakai ialah “bank Islam” atau “bank syariah” dan “perbankan Islam” atau “perbankan syariah”, meskipun dalam perkembangannya istilah tersebut masih diperdebatkan, yang antara lain adanya usaha penyebutan “bank Islami” atau “perbankan Islami”.
2.1.2. Latar Belakang Lahirya Bank Syariah
Alasan mendasar lahirnya bank syariah sebenarnya lebih berkaitan dengan masalah keyakinan berupa unsur riba, ketidakadilan dan moralitas dalam melakukan usaha. Penerapan bunga sebagai landasan operasional perbankan yang ada sebelumnya (bank konvensional) dianggap sebagai bentuk transaksi riba yang dalam agama Islam jelas-jelas dilarang. Bunga diyakinin mengandung unsur riba karena dalam sistem bunga terdapat unsur ketidakadilan karena pemilik dana mewajibkan peminjam dana untuk membayar lebih dari pada yang dipinjam tanpa memperhatikan apakah peminjam mengalami keuntunga atau kerugian.
Terdapat banyak sekali batasan tentang riba baik secara bahasa, konseptual maupun operasional. Riba sendiri menurut bahasa berarti tambahan (ziyadah), berkembang (numuw), meningkat (irtifa’) dan membesar (‘uluw) (Husaini, 1997)[3]. Secara konseptual, riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran yang diterima pemberi pinjaman dari jumlah pinjaman pokok sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu (Rahman, 1996)[4].
Secara konseptual, riba sering diposisikan secara bersebrangan dengan perdagangan, artinya, setiap penambahan yang diambil atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis dapat dikategorikan kedalam riba. Secara opersional, sistem bunga dapat dianggap sama dengan riba karena beberapa karakteristik sistem bunga yang mengandung unsur eksploitasi dan ketidakadilan. Karekteristik sistem bunga yang mengandung ketidakadilan dan eksploitasi di antaranya pemilik dana selalu untung, tambahan berdasarkan presntase tertentu dari modal dan bersifat tetap, pembayaran bunga tidak meningkat meskipun keuntungan berlipat dan lain-lain.
Salah satu prinsip syariah dalam sistem perbankan adalah digunakannya bagi hasil (profit and loss sharing) sebagai pengganti bunga. Inilah yang membedakan perbankan syariah denga perbakan konvensional yang menganut sistem interests (bunga) dalam setiap transaksinya. Disamping itu, prinsip perbankan syariah sangat memperhatikan kemaslahatan bagi orang banyak (maslahah al-amanah).
Ascarya (2005) mengemukakan bahwa prinsip syariah yang dipakai sebagai landasan operasional bank syariah diantaranya[5]:
1. Bebas dari bunga (riba)
Bunga diartikan sebagai tambahan/premi yang harus dibayarkan oleh debitor pada kreditor disamping pengembalian pokok, yang ditetapkan sebelumnya atas setiap jenis pinjaman (Chapra, 1985). Dalam pengertia ini bunga dianggap sama dengan riba, dengan kata lain bahwa semua bunga termasuk riba. Riba juga sering diartian sebagai pengambiln tambahan dari harta pokok atau modal secara batil (Saeed, 1996).
2. Bebas dari kegiatan spekulatif non produktif (judi:maysir)
Maysir berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa kerja. Tidak diperkenankan dalam sistem syariah seseorang melakukan sesuatu yang bersifat spekulatif, dengan keuntungan besar, risiko besar dan dengan tanpa melakukan usaha yang keras serta bermanfaat.
3. Bebas dari hal-hal meragukan (gharar)
Secara harfiah gharar berarti bencana, bahaya, risiko dan sejenisnya. Gharar artinya menjalankan suatu transaksi yang risikonya berlebihan tanpa mengetahui dengan pasti akibat dan risiko yang dihadapi. Seperti transaksi-transaksi berikut: penjualan barang yang belum ditangan penjual, penjualan dimasa datang (future trading), penjualan barang yang sulit dipindahtangakan, penjualan yang belum ditentukan harga, jumlah, dan kualitasnya, penjualan yang menguntungkan satu pihak.
4. Bebas dari hal-hal rusak (batil)
Dalam transaksi syariah tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak memberikan manfaat pada masyarakat apalagi yang merusak seperti jual beli barang-barang psikotropika, produk-produk yang merusak lingkungan.
5. Hanya membiayai kegiata yang halal
Usaha denga prisnsip syariah hanya diperbolehkan pada usaha-usaha yang tidak diragukan kehalalannya baik secara formal maupun substansial. Misalkan melakukan jual beli barang curian, jual beli produk-produk yang tidak bersertifikat halal dan sebagainya.
2.1.3. Perbedaan Prinsip antara Sistem Konvensional dan Syariah
Terdapat perbedaan mendasar antara sistem konvensional dan sistem syariah dalam bisnis perbankan. Perbedaan-perbedaan tersebut menyangkut masalah dasar perjanjian, dasar perhitungan imbalan, kewajiban pembayaran imbalan, persyaratan jaminan serta pandangan masng-masing sistem terhadap sistem lainnya. Perbedaan tersebut dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut[6]:
Tabel Perbedaan Prinsip antara Sistem Konvensional dan Sistem Syariah
No
Pokok-pokok Perbedaan
Sistem Konvensional
Prinsip Syariah
1.
Dasar perjanjian penentuan bunga/imbalan
Tidak berdasarkan keuntungan/kerugia
Berdasarkan keuntungan/kerugian
2.
Dasar perhitungan bunga/imbalan
Persentase tertentu dari total dana yang dipinjamkan pada nasabah
Besarnya nasabah bagi hasil didasarkan atas jumlah keuntungan yang diperoleh nasabah
3.
Kewajiban pembayaran bunga
1. Harus terus dilakukan meskipun usaha nasabah rugi
2. Besarnya pembayaran bunga tetap meskipun keuntungan nasabah lebih besar
1. Dilakukan jika nasabah untung, jika rugi ditanggung bersama
2. Besarnya imbalan berubah sesuai keuntungan
4.
Persyaratan jaminan pembiayaan
Berupa barang/harta nasabah
Tidak mutlak
5.
Obyek pembiayaan
Jenis usaha tidak dibedakan asal memenuhi persyaratan
Jenis usaha yang dibiayai harus sesuai syariah
6.
Pandangan sistem syariah terhadap sistem bunga
Pengenaan bunga kepada debitur dianggap haram
Pembayaran imbalan berdasarkan bagi hasil sifatnya halal
Sedangkan perbedaan prinsip antara sistem bunga dengan sitem bagi hasil, antara lain:
Tabel Perbedaan Prinsip antara Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil
No
Faktor Perbedaan
Siatem Bunga
Sistem Bagi Hasil
1.
Penentuan besarnya hasil
Sebelum kegiatan usaha dilakukan
Sesudah kegiatan usaha
2.
Yang ditentukan sebelumnya
Besarnya bunga/nilai hasil
Kesepakatan porsi/bagianmasing-masing pihak
3.
Jika terjadi kerugian
Ditanggung oleh satu pihak
Ditanggung kedua belah pihak
4.
Penghitungan
Dari dana yang diserahkan, bersifat fixed
Dari untung yang akan diperoleh
5.
Titik perhatian proyek
Hasil proyek hanya untuk Bank
Kedua pihak
2.1.4. Fungsi Bank Syariah
Bank syariah memiliki perbedaan prinsip dengan bank bank konvensional dari sisi fungsi. Bank syariah dalam sistem syariah disamping sebagai badan usaha yang memiliki tujuan memperoleh laba atau keuntungan (tanwil) juga memiliki fungsi dan peran sebagai badan sosial yang harus memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat. Sebagai badan usaha (tanwil), bank syariah memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Manajer investasi. Bank syariah dapat mengelola investasi nasabah baik dalam skema mudharabah, musyarakah, maupun salam.
2. Investor. Bank syariah dapat menginvestasikan dananya maupun dana nasabah yang dipercayakan.
3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran seperti transfer, kliring, inkaso, letter of credit dan sebagainya.
Sedangkan sebagai badan sosial (maal), bank syariah dapat berfungsi sebagai amil atas zakat, infa maupun shodaqoh dari masyarakat.
2.1.5. Manfaat Bank Syariah
Meskipun terdapat perbedaan yang tajam secara prinsip antara bank dengan sistem bunga dan bank dengan sistem syariah, namun justru memunculkan beberapa keuntungan dari adanya bank syariah tersebut khususnya dari sekup yang lebih luas. Adapun keuntungan munculnya bank syariah diantaranya:
1. Bank syariah sebagai pelengkap bank konvensional
Bank syariah dapat digunakan sebagai alternatif pembiayaan dan transaksi perbankan lainnya selain dari bank konvensional. Dengan adanya bank syariah, jenis-jenis produk dan pelayanan perbankan menjadi semakin bervariasi. Semakin banyaknya variasi jasa perbankan akan menguntungkan masyarakat karena memungkinkan masyarakat untuk memilih sekian jenis produk sebagai alternatif.
2. Bank syariah dapat mengakomodasi kelompok masyarakat tertentu
Diakui atau tidak, sebelum sistem syariah diakui sebagai salah satu sistem operasional perbankan di Indonesia, banyak sekali golongan masyarakat yang antipati terhadap dunia perbankan, khusunya dari sisi keyakinan. Dengan adanya bank syariah, kelompok masyarakat yang apatis terhadap dunia perbankan akan memperoleh saluran finansial baik investasi maupun pembiayaan.
3. Meningkatka mobilisasi dana masyarakat
Dengan adanya bank syariah dan semakin bervariasinya jasa perbankan serta terakomodasinya kepentingan masyarakat tertentu yang dulunya apatis, secara otomatis akan meningkatkan mobilisasi dana masyarakat pada perbankan yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.1.6. Prinsip Dasar Kegiatan Usaha Bank Syariah
Batasan-batasan bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam, menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prisnsip yang sejalan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Prinsip-prinsip dasar produk dan jasa perbankan syariah disusun berdasarkan pada landasan opersional bank syariah. Prinsip-prinsip dasar dari produk dan jasa perbankan syariah diantaranya[7]:
1. Prinsip Simpanan (Al-Wadi’ah)
Al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan mengehendakinya. Dasar hukum prinsip ini terdapat didalam QS. An-Nisa’: 58[8].
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Secara umum ada dua jenis al-wadi’ah, yakni[9]:
1. Wadi’ah yad amanah (trustee depository)
Wadi’ah yad amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan tersebut dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Namun jika kerusakan atau kahilangan barang/uang tersebut diakibatkan oleh kelalaian penerima titipan, maka si penerima titipan tetap wajib mengganti.
2. Wadi’ah yad dhomanah (guarantee depository)
Wadi’ah yad dhomanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggungjawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang titipan menjadi hak penerima titipan.
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana denga pengelola dana. Dasar hukum prinsip ini terdapat didalam QS. An-Nisa’: 12[10].
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurø—r& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/”9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4 Æßgs9ur ßìç/”9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ó‰s9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJ›V9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u‘ ß^u‘qム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7‰Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß‰¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° ’Îû Ï]è=›W9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h‘!$ŸÒãB 4 Zp§‹Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ
Artinya : “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Secara umum prinsip syariah yang berhubungan dengan sistem bagi hasil adalah[11]:
1. Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan dimuka. Jika usaha mengalami kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan pengelola dana seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalah gunaan dana. Akad mudharabah sendiri secara umum terbagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Mudharabah Muthalaqah
Mudharabah Muthalaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maaal dan mudharib dimana mudharib memberikan batasan kepada shahibul maal mengenai tempat, cara dan obyek investasi.
2. Al-Musyarakah
Al-Musyarakah adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan diawal. Al-Musyarakah sendiri terbagi dalam dua jenis yaitu:
a. Musyarakah pemilikan, tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih.
b. Musyarakah akad, tercipta denga cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.
3. Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah)
Sistem jual beli dalam perbankan syariah merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank untuk melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan tertentu (margin). Dasar hukum ini terdapat didalam QS. Al-Baqarah: 275[12].
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ ”Ï%©!$# çmäܬ6y‚tFtƒ ß`»sÜø‹¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìø‹t7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§‘ 4‘ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y™ ÿ¼çnãøBr&ur ’n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í‘$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
Artinya: “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Sistem jual beli dalam perbankan syariah secara umum terbagi kedalam dua prinsip yaitu.
1. Al-Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
2. Salam
Salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan penangguhan pengiriman oleh penjual dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai syarat-syarat tertentu. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.
3. Istishna’
Istishna’ adalah akad jual beli antara pembeli dan produsen yang juga bertindak sebagai penjual. Cara pembayarannya dapat berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam transaksi istisna’. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyeiakan barang pesanan dengan cara istisna’ maka hal ini disebut istisna’ paralel.
4. Prinsip Sewa (Al-Ijarah)
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan ats barang itu sendiri. Dasar hukum ini terdapat didalam QS. Al-Qashas: 26.
ôMs9$s% $yJßg1y‰÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó™$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó™$# ‘“Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
Artinya : salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
5. Prinsip Jasa (Free-Based Service)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Dasar ukum ini terdapat didalam QS. Yusuf: 72.
(#qä9$s% ߉É)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy— ÇÐËÈ
Artinya: penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
Bentuk produk berdasarkan prinsip ini antara lain:
1. Al-Wakalah
Dalama Wakalah, naasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu.
2. Al-Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
3. Al-Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
4. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagai piutang-piutang. Secara sederhana dapat dijelaska bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
5. Al-Qardh
Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tapa mengharapkan imbalan. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq, dan shadaqah.
2.2. Manajemen Bank Syariah
Pada bank syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan atas harta yang dikelola oleh bank dengan prinsip bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.
2.2.1. Sistem Penghimpun Dana
Metode penghimpunan dana yang ada pada bank-bank konvensional didasari teori yang diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan dan investasi. Teori tersebut menyebabkan produk penghimpun dana disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.
Berbeda haknya denngan hal tersebut, bank sayriah tidak melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpun dana bagi nasabahnya. Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dana bank syariah terdiri dari[13]:
1. Modal
Merupakan dana yang diserahkan oleh para pemilik (owner). Salah satu sumber dana bank berasal dari pemegang saham dengan setoran modal, kemudian disalurkan menjadi pembiayaan. Dalam satu periode, sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham, investor akan mendapatkan hasil dalam bentuk deviden.
2. Titipan
Akad yang termasuk dalam prinsip ini adalah wadi’ah yaitu titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Ada dua jenis wadi’ah yaitu:
1) Wadi’ah Yad Al-amanah (trustee depository)
2) Dengan konsep wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
3) Wadi’ah Yad Adh-dhamanah (guarantee depository)
Dengan konsep wadi’ah yad adh-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak bank dalam hal ini mendapatkan hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif pada penitip dalam bentuk bonus.
3. Investasi
Akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah mudharabah. Ada dua jenis mudharabah, yaitu:
1) Mudharabah Muthlaqah
Dalam investasi dengan menggunakan konsep mudharabah muthlaqah, pihak bank terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
2) Mudharabah Muqayyadah
Dalam investasi dengan menggunakan konsep mudharabah muqayyadah, pihak bank terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
2.2.2. Sistem Penyaluran Dana (Financing)
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut[14]:
1. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: 1) peningkatan produksi baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi, dan 2) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
2. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
2.3. Manajemen Pemasaran
Kegiatan pemasaran merupakan suatu kegiatan yang harus selalu dilakukan dalam organisasi tidak terkecuali perbankan. Willian J. Stanton mendefinisikan pemasaran sebagai suau system keseluruhan dari kegiatan bisnis dalam merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan pembeli.
Faktor yang memicu perkembangan pemasaran perbankan syari’ah di Indonesia sekaligus menjadi pembeda antara perbankan syari’ah dan konvensional adalah sebagai berikut[15]:
1. Pasar (market) yang dianggap luas ternyata belum dianggap secara maksimal.
2. System bagi hasil terbukti lebih menguntungkan dibandingkan dengan system bunga yang dianut bank konvensional.
3. Tingkat pegembalian (return) yang diberikan kepada nasabah pemilik dana bank syari’ah lebih besar dari pada bunga deposito bank konvensional.
4. Bank syari’ah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti prinsip bagi hasil.
5. Prinsip laba bagi bank syari’ah bukan satu-satunya tujuan karena bank syari’ah mengupayakan bagaimana memanfaatkan sumber.
Aktivitas pemasaan yang akan dilakukan perlu mengetahui siapa pelanggan yang akan dituju, siapa relasi yang dapat mendukung kemajuan usaha perbankan, dan siapa saja yang dianggap sebagai pesaing usaha perbankan tersbut. Untuk dapat memahami hal tersebut, berbagai pemahaman perlu dilakukan sebagai berikut:
1. Riset pemasaran
Merupakan studi mengenai kebutuhan dan keinginan nasabah pengguna jasa bank dan cara-cara agar bank dapat memenuhi kebutuhan nasabah tersebut.
2. Perilaku nasabah (costumer behavior)
Merupakan studi dari proses keputusan mengapa nasabah bersedia menjadi nasabah bank dengan memanfaatkan produk yang ditawarkannya. Perilaku pasar dapat tercermin dari keputusan pembelian.
3. Loyalitas merek (brand loyalty)
Merupakan pola perilaku regular dari nasabah yang selalu setia menggunakan jasa perbankan berdasarkan pada kepuasan terhadap suatu pelayanan dan produk yang ditawarkan.
Strategi pemasaran untuk perbankan syariah berdasarkan konsep bauran pemasaran (marketing mix) adalah hal yang sangat menarik dan juga merupakan sebuah keniscayaan untuk mempercepat pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia. Elemen bauran pemasaranuntuk usaha jasa meliputi: Product (produk), Price (harga), Place (tempat atau saluran distribusi), Promotion (promosi), People (SDM), Process (proses), Physical evidence (bukti fisik).
2.4. Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) mempunyai tiga fungsi, yaitu[16]:
1. Fungsi pengadaan (staffing), meliputi:
1. System kepangkatan dan jalur karier, yaitu suatu system yang menggambarkan pergerakan jabatan pegawai yang terpola menurut jenjang (strata), baik secara horizontal maupun vertical. Dengan adanya jenjang karir yang jelas, pegawai bisa mengerti dengan jelas dimana posisi dirinya saat ini dan pada waktu yang akan datang.
2. Perencanaan SDM, yaitu prakiraan yang sistematis dari suatu organisasi mengenai kebutuhan dan penyediaan SDM, baik secara kualitas maupun kuantitas.
3. Penerimaan dan penempatan, merupakan suatu system yang menggambarkan proses pengadaan seleksi dan penempatan pegawai baru dengan jumlah, mutu dan waktu yang tepat dengan cara rekrutmen. Rekrutmen adalah proses menarik orang-orang yang memenhuhi persyaratan untuk mengajukan lamaran pada pekerjaan yang belum terisi. Berikut macam-macam rekrutmen:
1) Rekrutmen internal: praktik mempertimbangkan karyawan yang ada sebagai kandidat bagi pekerja yang belum terisi.
2) Rekrutmen eksternal: praktik menarik orang dari luar organisasi untuk melamar lowongan pekerjaan.
3) Validasi: proses penentuan niali prediktif suatu informasi dari karyawan yang telah direkrut.
4) Orientasi: proses memperkenalkan karyawan yang baru direkrut kepada organisasi atau tugas yang baru sehingga mereka dapat lebih cepat menjadi contributor yang efektif.
2. Fungsi pengembangan (developing), meliputi:
1. System mutasi, merupakan system yang menggambarkan perpindahan pegawai dari unit ke unit yang lain.
2. Promosi, merupakan perpindahan dari suatu jabatan ke jabatan lain yang lebih tinggi. Promosi dapat meningkatkan kinerja karyawan dan tingkat kepuasan kerja karyawan.
3. Pendidikan dan pelatihan, merupakan wahana pengembangan SDM. System pendidikan dan pelatihan terdiri atas dua subsistem, yaitu subsistem pembekalan pengetahuan dan subsistem peningkatan mutu keterampilan.
4. Penilaian, adalah suatu system yang disusun untuk menilai keseluruhan hasil pencapaian sasaran kerja dan keterampilan yang telah ditunjukkan oleh pegawai dalam melakukan tugasnya.
3. Fungsi pemeliharaan (maintaining), meliputi:
1. System penggajian dan fasilitas.
Kompensasi adalah serangkaian penghargaan yang diberikan oleh suatu bank kepada karyawan sebagai imbalan atas keinginan mereka melakukan berbagai pekerjaan dan tugas. Pada dasarnya penghasilan karyawan yang diterima dari bak terdiri atas tiga unsur sebagai berikut:
1. Gaji, yaitu sejumlah uang yang dibayarkan kepada pegawai sebagai imbalan atas hasil kerja yang diberikan kepada bank.
2. Tunjangan prestasi, yaitu sejumlah uang yang diberikan dalam kaitannya dengan prestasi kerja pegawai.
3. Bonus,baik berupa uang atau fasilitas maupun berbagai kemudahan, yaitu kompensasi yang diberikan untuk tujuan meningkatkan kepuasan kerja serta membuat keadaan kompetitif di pasar tenaga kerja.
2. Pelayanan kesehatan, adalah suatu system yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas SDM.
3. Kesehatan dan keselamatan kerja, adalah system yang menggambarkan tata cara pengendalian lingkungan kerja dan pembinaan kesehatan yang sesuai agar tercapai kondisi optimum.
4. Pembinaan SDM, adalah system yang menggambarkan upaya untuk membina pegawai yang bermasalah dalam rangka membantu pegawai mengatasi masalahnya.
5. Disiplin SDM, merupakan system yang menggambarkan upaya untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan disiplin kerja.
6. Pemberhentian pegawai, mengatur kondisi yang dapat mengakibatkan pemberhentian pegawai, serta hak dan kewajiban yang menyertainya.
7. Pensiun dan kesejahteraan hari tua, mengatur penghasilan pegawai setelah berhenti bekerja dan kepentingan pegawai yang berkaitan dengan kesejahteraan hari tua.
Pengembangan SDM berkualitas dalam perbankan syari’ah:
1. Ilmu perbankan
2. Produktivitas
Yaitu upaya terbaik yang diberikan SDM untuk bank, agar bank tersebut dapat meningkatkan jumlah nasabah sekaligus jumlah pendapatannya.
3. Pengetahuan syari’ah
Pengetahuan syari’ah inilah yang membedakan antara bank syari’ah dan bank konvensional. SDM perbankan syari’ah tidak hanya mengetahui tentang permasalahan perbankan, tetapi juga mengetahui masalah syari’at yang berhubungan dengan muamalah.
4. Sikap dan kebiasaan
SDM perbankan syari’ah haruslah memiliki sikap yang mulia dan kebiasaan yang sesuai dengan syari’at, mulai dari cara berpakaian, bertutur kata, dan lain-lain.
5. Kemampuan memimpin
Keberadaan sosok pemimpin yang baik sangat penting untuk membuat kinerja dari suatu bank dapat berkembang dengan baik dan lancer sesuai dengan tujuan awal dari bank itu sendiri.
2.5. Manajemen Likuiditas
Manajemen likuiditas bank adalah suatu program pengendalian dari alat-alat likuid yang muah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang harus segera dibayar. Manajemen likuiditas mengelola bagaimana bank dapat memenuhi kewajibannya, baik yang sekarang maupun yang akan datang, apabila terjadi penarikan atau pelunasan aset liabilitas yang sesuai denagn perjanjian atau yang belum diperjanjikan. Pengendalian likuiditas bank dilakukan setiap hari, dimana berupa penjagaan semua alat-alat likuid yang dapat dikuasai oleh bank (misalnya, uang tunai kas, tabungan, deposito, dan giro pada bank syari’ah/antar aset bank) yang dapat digunakan untuk memenuhi munculnya tagihan dari nasabah atau masyarakat yang datang setiap hari.
Pada bank syari’ah, ada beberapa rasio keuangan untuk mengukur likuiditas suatu bank. Rasio likuiditas adalah ukuran kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, dimana meliputi aspek-aspek berikut ini[17]:
1. Cash Ratio
Kemampuan bank untuk membayar utang lancer dengan menggunakan aset lancer yang dimiliki.
Cash Ratio =
Standar penilaian cash ratio ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Indicator tingkat kesehatan cash ratio
Predikat
% cash ratio
Sehat
≥ 4, 05%
Cukup sehat
≥ 3,30% s.d ≥ 4, 05%
Kurang sehat
≥ 2,55% s.d ≥ 3,30%
Tidak sehat
< 2,55%
2. Loan to Deposit Ratio (LDR)
Menunjukkan kesehatan bank dalam memberikan pembiayaan.
Loan Deposit Ratio =
Standar penilaian cash ratio ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Indicator LDR
Predikat
% LDR
Sehat
≤ 94,75%
Cukup sehat
≤ 94,75% s.d ≤ 98,50%
Kurang sehat
> 98,50% s.d ≤ 102,25%
Tidak sehat
> 102,25%
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bank Syariah adalah bank yang dalam menjalankan usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam. Bank syariah yang sering pula disebut bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. syariah memiliki perbedaan prinsip dengan bank bank konvensional dari sisi fungsi. Bank syariah dalam sistem syariah disamping sebagai badan usaha yang memiliki tujuan memperoleh laba atau keuntungan (tanwil) juga memiliki fungsi dan peran sebagai badan sosial yang harus memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat. Salah satu dukungan pemerintah Indonesia untuk bank syariah yang cukup signifikan adalah implementasi kebijakan office channeling dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru yang akan mendorong pertumbuhan bisnis syraiah.
3.2 Saran
Lembaga keuangan syariah seperti bank syariah dalam pengelolaannya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk mendorong pertumbuhan bisnis syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Arafat, Wilson. 2006. Manajemen Perbankan Indonesia, Teori & Implementasi. Jakarta: Erlangga
Danupranata, Gita. 2013. Buku Ajar Manajemen Perbankan Syari’ah. Jakarta: Salemba Empat.
Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, ed. 2
Karim, Adimarwan. 2004. Bank Islam dari Teori ke Praktik. Jakarta: Rajawali Press
Muhammad. 2000. Sistem & Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press
---------------. 2011. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Sulhan,M. dan Ely Siswanto. 2008. Manajemen Bank Konvensional dan Syariah. Malang: UIN-Malang Press.
Susanto, Burhanudin. 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press
Umam, Khaerul. 2013. Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: Pustaka Setia
Bank Indonesia. 2013. Statistik Perbankan Syariah Indonesia bulan Agustus 2013. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=0CC4QFjAD&url=http%3A%2F%2Fwww.ojk.go.id%2Fdl.php%3Fi%3D1932&ei=t84sVPe8FdCeuQS2loGoCg&usg=AFQjCNEcn6CLgy7wOWqYIq740Gn9yAoGcQ&sig2=32eAX7fexmEhieuwLHJmbA&bvm=bv.76477589,d.c2E (Diakses pada tanggal 1 Oktober 2014)
[1] Khaerul Umam. 2013. Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: Pustaka Setia, hlm 25
[2] M. Sulhan dan Ely Siswanto. 2008. Manajemen Bank Konvensional dan Syariah. Malang:UIN-Malang Press. Hlm 125.
[3] Ibid. Hlm 126.
[4] Ibid,.
[5] Ibid.,
[6] Ibid. Hlm 128-129.
[7] Ibid. Hlm 131.
[8] Muhammad. 2000. Sistem&Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta:UII Press. Hlm 7.
[9] Opcit., Hlm. 131-132.
[10] Muhammad. 2000. Sistem&Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta:UII Press. Hlm 7.
[11] M. Sulhan dan Ely Siswanto. 2008. Manajemen Bank Konvensional dan Syariah. Malang:UIN-Malang Press. Hlm 132.
[12] Muhammad. 2000. Sistem&Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta:UII Press. Hlm 21.
[13]Gita Danupranata. 2013. Buku Ajar Manajemen Perbankan Syari’ah. Jakarta: Salemba Empat. Hlm: 72-73.
[14] Ibid.
[15] Opcit,.Hlm: 39-42.
[16] Opcit,. Hlm: 56-62.
[17] Opcit,. Hlm: 136-138.